2 November 2020
Penulis — Neena
**Part 06
Ketika sedang bersama Bu Shanti di ruang fitnessnya, pikiranku masih melayang - layang. Aku memang mengagumi rumah dosenku ini yang serba lengkap. Ada fitness room di bagian belakangnya, ada pula kolam renangnya. Sehingga aku mulai punya cita - cita, kalau aku sudah punya rumah sendiri, aku ingin rumah itu lengkap seperti rumah dosenku ini.
Fitness room ini benar - benar private fitness room. Karena menurut pengakuan Bu Shanti sendiri, pintunya selalu dikunci kalau dia sedang latihan sambil telanjang, seperti sekarang ini. Bahkan kolam renangnya pun tertutup, tak bisa dilihat dari luar. Sehingga Bu Shanti bisa berenang dalam keadaan telanjang bulat, tanpa takut ada orang yang melihatnya.
Menurut pengakuan Bu Shanti sendiri, ia suka melatih kebugaran fisiknya karena ikut - ikutan pada ibunya. Dia bilang, “Mamaku kelihatan bugar terus, meski usianya sudah kepala empat. Tubuhnya tidak gemuk, tidak buncit dan sebagainya. Sehingga kelihatan seperti baru berumur tigapuluhan. Ya karena rajinnya latihan kebugaran seperti yang kulakukan sekarang ini.
Aku cuma mengangguk - angguk sambil tersenyum. Sementara pikiranku masih menerawang kejadian yang kualami di Jakarta itu.
Tentu saja aku masih ingat semuanya itu, karena peristiwanya baru terjadi beberapa hari yanjg lalu. Aku masih ingat betapa menggelepar - geleparnya Yama di dalam amukan kontolku yang seolah pompa manual, gencar bermaju mundur di dalam liang memeknya yang sempit menjepit itu.
Kebetulan fisikku sedang fits. Padahal waktu bersetubuh dengan Gita di dalam mobil tadi, aku belum ngecrot. Tapi pada waktu sedang menyetubuhi Yama ini, aku bisa mengontrol diriku sendiri, agar jangan cepat ejakulasi.
Akibatnya, ketika Yama sudah dua kali orgasme, aku masih saja tabah mengentotnya. Ketika Yama kelihatan mau orgasme lagi untuk ketiga kalinya, barulah aku konsentrasi agar bisa ejakulasi pas Yama sedang orgasme lagi.
Dan aku berhasil. Ketika Yama sedang terkejang - kejang, sementara liang memeknya terasa berkedut - kedut kencang, kontolku pun sedang mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku. Croootttttt… crooottttt… crooootttt… crottttcrottt… crooootttt…
Lalu kami sama - sama terkapar dalam keadaan sama - sama telanjang bulat.
Aku ketiduran saking letihnya.
Dan terbangun ketika merasakan sesuatu yang bergerak - gerak, mengelus - elus kontolku. Ketika kubuka mataku, ternyata Gita sedang menyelomoti kontolku…!
Kubiarkan saja Gita mengoralku. Bahkan ada perasaan kasihan juga karena dia belum bisa menikmati persetubuhan yang perfect denganku.
Begitu trampilnya Gita mengoral kontolku. Mungkin karena dia sering menyelomoti dildo hitam segede pergelangan tangan seperti yang diceritakan oleh Yama tadi.
Setelah kontolku benar - benar ngaceng, Gita merebahkan diri, celentang di samping Yama yang masih terkapar, telungkup seperti tak menyadari apa yang terjadi di sekitarnya.
“Ayo entot lagi. Yang di mobil tadi sih hitung - hitung foreplay aja,” kata Gita sambil mengusap - usap memeknya yang bersih dari jembut itu.
“Foreplay tapi orgasme ya,” sahutku sambil merayap ke atas perut Gita yang sudah telanjang bulat. Sambil memegang leher kontolku yang moncongnya sudah kuletakkan di mulut memek Gita.
Gita tidak menanggapi, karena aku mengakhiri ucapanku dengan mendorong kontolku sekuatnya. Dan… blessss… kontolku membenam lebih dari separohnya. Sehingga aku bisa mulai mengentotnya.
Biar bagaimana Gita adalah sahabat dekatku. Karena itu aku ingin memberikan kepuasan padanya, seperti yang telah kuberikan kepada Yama tadi.
Maka ketika aku mulai mengentotnya, kupagut bibirnya ke dalam lumatanku, yang Gita sambut dengan lumatan pula. Cukup lama kami salin g luimat, sementara kontolku sudah mulai gencar bermaju - mundur di dalam liang memek Gita.
Di saat lain mulutku mulai nyungsep di leher Gita, untuk menjilatinya disertai dengan gigitan - gigitan kecil, sementara tangan kananku mulai meremas - remas toket kirinya yang… jujur aja kalau soal toket sih punya Gita lebih kencang daripada toket Yama.
Gita pun mulai merintih - rintih histeris. “Aaaaaaah… Cheeepiiii… kontolmu memang luar biasa Cheeeep… terasa sekali menggesek - gesek liang memekku…”
“Enak mana sama dildo?” tanyaku sambil melambatkan gerakan kontolku sejenak.
“Lu tau gue suka pake dildo?”
“Tau.”
“Alaa… paling juga tau dari si Yama. Memang gue sudah dua tahun suka mainin dildo. Biar gak mikirin cowok mulu. Ayo cepetin lagi ngentotnya, jangan pelan gini.”
Aku pun mempercepat lagi ayunan kontolku, sambil menjilati leher Gita sekaligus meremas - remas toket kanannya.
“Aaaaakhhhh… aaaaaaa… aaaaah… iyaaaaa… entot terus yang cepet kayak gini Chep… iyaaaa… iyaaaaa… entot teruuuuusssss… entooot… entoooooooottttttttt… iyaaaa… iyaaaa… iyaaaa… enak Cheeeep… entot teruuuussss… entooooottttt… entoooottttt… ooooooh Cheppiiiii enaaaaak…
Suara Gitga cukup bising, sehingga pada suatu saat kulihat Yama terbangun. Memperhatikan kami yang sedang bersetubuh. Lalu Yama duduk sambil tersenyum - senyum. Bahkan mendekatkan memeknya ke pipiku dari samping kiri Gita yang sedang meraung - raung histeris.
Tanpa basa - basi kuciumi memek Yama. Bahkan lalu jari tangan kananku diselinapkan ke dalam liang memeknya. Lalu digerakkan seperti kontol sedang mengentot.
Tiba - tiba Gita berkelojotan sambil berdesis, “Ssssshhhhhh… gue mau orga Cheeeeep…!”
Aku pun mempercepat entotanku. Dan… manakala Gita sedang terkejang - kejang, kutancapkan kontolku sedalam mungkin, tanpa menggerakkannya lagi.
“Anjriiiiiitttttt… nikmat sekaliiiiiiiii… !” pekik Gita dengan mata terpejam. Lalu terasa liang memeknya berkedat - kedut kencang, pertanda sedang mengalami orgasme.
Setelah Gita terkulai lemas, cepat kucabut kontolku dari liang memeknya. Lalu pindah ke atas perut Yama yang tampak sudah bergairah lagi.
Dengan mudah aku menjebloskan kontolku ke dalam liang memek Yama, karena liang memeknya masih basah, bekas orgasme tadi, ditambah lagi dengan permainan jariku ketika sedang bersetubuh dengan Gita tadi.
Yama menyambutku dengan dekapan eratnya di pinggangku. Dengan mata kadang terpejam, kadang terbuka. Di mataku, wajah Yama itu makin cantik saja. Sayang masa lalunya tidak sebaik masa lalu Bu Shanti. Tapi biar bagaimana pun juga memek Yama ini enak sekali. Aku harus menikmatinya sepuas mungkin.
Terawanganku tentang segala yang pernah terjadi dengan kedua sahabatku itu langsung buyar ketika handphone Bu Shanti terdengar berdering - dering.
Dalam keadaan masih telanjang bulat Bu Shanti memburu handphonenya yang tergeletak di meja kecil sudut fitness room.
“Sttt… dari Mama… !” Bu Shanti menyimpan telunjuk di depan bibirnya. Kemudian membuka percakapan dengan mamanya yang aku tidak tahu. Hanya terdengar Bu Shanti berkata saja… iya Mama… iya Mama Sayang… iyaaaa… iyaaaaa… daag…!
Hanya sebentar Bu Shanti berbicara di dekat handphonenya. Dan setelah hubungan seluler dengan ibunya ditutup, Bu Shanti mengambil kimononya yang tergantung di kapstok, lalu mengenakannya sambil berkata, “Mamaku sedang dalam perjalanan dari Jakarta menuju ke sini.”
“Haaa?! Panjang umur beliau ya,” ucapku dalam kaget, “baru tadi diomongin, sekarang sudah mau ke sini. Terus aku harus gimana? Apakah aku harus standby di sini atau harus pulang aja?”
“Sayang,” sahut memegang sepasang pipiku, “maaf ya, aku bukan ngusir. Tapi sebaiknya kamu pulang dulu, biar jangan banyak pertanyaan dari mamaku nanti.”
“Oke, aku mengerti Mam.”
“Tapi besok sore, sebaiknya ke sini lagi. Biar bisa kenalan sama mamaku. Mudah - mudahan aja suasananya sudah menjadi nyaman. Aku memang mau berterus terang sudah punya calon suami, yaitu kamu Pap. Kamu gak keberatan kalau kusebutkan sebagai calon suami?”
“Iya, silakan aja. Pokoknya Mamie atur aja deh mana yang tebaik bagi Mami.”
“Nanti kita bicara by phone aja ya. Sekarang aku harusa siap - siap dulu menyambut kedatangan Mama yang sudah dekat. Katanya sih sejam lagi juga pasti tiba di sini.”
“Oke. Kalau gitu aku mau pulang aja sekarang ya,” ucapku yang disusul dengan kecupan hangat di bibir Bu Shanti.
“Take care honey,” ucap Bu Shanti sambil menepuk bahuku.
“You too,” sahutku sambil melangkah ke garasi, untuk mengeluarkan mobilku.
Diiringi kissbye dan lambaian tangan Bu Shanti, mobilku kujalankan ke luar pekarangan rumah dosenku. Setelah menginjak jalan aspal, kubunyikan klakson, sebagai tanda pamitan. Bu Shanti pun melambaikan tangannya lagi yang kubalas dengan lambaian tangan dsan kissbye ku.
Tak lama kemudian mobilku sudah berlari di jalan raya menuju pulang ke rumah.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah, aku memikirkan apa yang akan terjadi dengan Bu Shanti kelak? Apakah ibunya datang untuk memaksa Bu Shanti agar mau dinikahkan dengan lelaki tua itu atau bagaimana?
Entahlah. Yang jelas aku siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi kelak. Bahkan seandainya aku disuruh menikah dengan Bu Shanti pun, akan kujalani saja. Meski usiaku baru 18 tahun, kalau memang terpaksa harusa menikah, ya menikah saja. Itu sebagai wujud tanggung jawabku, karena aku sudah merenggut keperawanan Bu Shanti (meski pun hal itu atas keinginan Bu Shanti sendiri sebagai protesnya atas rencana perkawinannya dengan lelaki tua itu).
Tapi kalau Bu Shanti tetap harus menikah juga dengan lelaki tua itu, aku tak bisa merintanginya juga. Yah, apa yang akan terjadi, terjadilah.
Setibanya di rumah, kumasukkan mobilku ke garasi. Tampak mobil Papa pun ada di garasi. Membuatku ingat bahwa hari itu adalah haru Sabtu. Papa tentu tidak masuk kantor di hari Sabtu dan Minggu.
Aku sendiri tadinya mau pulang besok, hari Minggu. Tapi karena mamanya Bu Shanti mendadak mau datang, terpaksa aku “mengungsi”. Supaya tidak banyak pertanyaan, kata Bu Shanti.
Mamie menyambutku di dalam garasi. Dengan ciuman mesranya di bibirku, disusul dengan pertanyaannya, “Tadi malem nginep di mana?”
“Di rumah dosen Mam. Tadinya malah harus dua malam nginepnya, karena banyak tugas. Tapi bisa dipersingkat, sehingga bisa pulang lebih cepat,” sahutku berbaur dengan kebohongan.
“Papa terbang ke Medan lagi tuh nanti malam. Barusan dijemput oleh mobil perusahaan yang akan membawanya ke bandara,” kata Mamie.
“Iya,” sahutku sambil tersenyum, “Pantesan Mamie udah senyum - senyum kayak gitu. Kangen ya sama aku?”
“Memang kangen. Tapi ada sesuatu yang lebih penting Sayang.”
“Apa tuh yang lebih penting?”
“Mamie udah dinyatakan hamil, tapi baru empat minggu.”
“Ohya?! “seruku girang. Laluj memeluk dan mengangkat tubuh Mamie, disusul dengan ciuman bertubi - tubi di sepasang pipinya dan di bibirnya.
“Berarti sekitar sembilan bulan lagi kita akan punya anak Sayang.”
“Iya Mam. Aku bahagia sekali mendengarnya,” ucapku sambil menurunkan Mamie lagi. Dan mengikuti langkahnya masuk ke dalam rumah.
Mama langsung membawaku ke dalam kamarnya.
Mamie duduk sambil menyelonjorkan kakinya di atas bed.
“Biasanya orang yang baru hamil suka ngidam dan punya keinginan yang aneh - aneh. Mamie mau apa?” tanyaku sambil duduk di pinggiran bed, sambil mengelus paha Mamie yang terbuka lewat belahan kimononya.
“Belum kepengen apa - apa. Cuma kangen sama kontolmu aja…” sahut Mamie sambil tersenyum dan memegang pergelangan tanganku.
Lalu kami bergumul dengan mesranya.
Memang terasa sekali Mamie sudah kangen padaku, sehingga ketika kontolku dibenamkan ke dalam liang memeknya, Mamie langsung memeluk leherku. Menciumi bibirku dan berkata, “Mamie memang sudah cinta berat sama kamu sayang.”