2 November 2020
Penulis —  Neena

Malam Malam Jahanam

**Part 20

Malam itu aku habis - habisan melampiaskan nafsu birahiku kepada Bu Claudia. Kebetulan Bu Claudia sendiri laksana seekor harimau betina yang haus belaian dan gesekan.

Malam itu sampai tiga ronde aku menyetubuhi dosenku yang cantik bermata sayu itu. Bu Claudia pun memperlihatkan betapa dahaganya akan belaian dan cumbuan lelaki. Setelah dua ronde aku menyetubuhinya, tanpa segan - segan lagi ia mengoral kontolku. Tentu saja ini bereaksi pada alat kejantananku. Ngaceng lagi.

Sampai lewat tengah malam barulah semuanya selesai. Lalu kami bersih - bersih di kamar mandi. Dan sama - sama merebahkan diri di atas bed.

Sebelum tidur, masih sempat Bu Claudia menuturkan kisah pribadinya.

Aku terharu mendengar curhat Bu Claudia tentang masa lalunya. Bahwa ia menikah dengan seorang pengusaha yang baru menceraikan istrinya, karena Bu Claudia tidak mau dijadikan istri kedua.

Lalu hidupnya bahagia di samping pengusaha itu, meski lelaki itu 20 tahun lebih tua dari Bu Claudia.

Pengusaha itu sangat memanjakan Bu Claudia. Maklum perbedaan usia mereka sangat jauh. Sehingga pengusaha itu memperlakukan Bu Claudia seperti perlakuan terhadap anak kandungnya sendiri.

Bu Claudia pun berusaha untuk mencintai lelaki itu, meski usianya jauh lebih tua dari harapan awalnya. Dan akhirnya ia merasakan bahagianya bersuamikan lelaki yang sudah tua. Karena lelaki itu seolah sudah membuang egonya, lalu hanya megutamakan kebahagiaan Bu Claudia.

Katakanlah Bu Claudia tidak merasa kekurangan apa pun dalam kehidupannya. Karena selalu dimanjakan oleh suaminya.

Namun ternyata kebahagiaan itu hanya berlangsung dua tahun. Karena pada tahun ketiga, lelaki tua itu mengidap kanker hati, yang mustahil bisa disembuhkan. Lalu lelaki itu dirawat di sebuah rumah sakit paling terkenal di Singapore.

Cukup lama dia dirawat di rumah sakit yang terkenal dan termahal di Singapore itu. Tentu saja ia harus menjalani berbagai macam cara pengobatan di rumah sakit itu, agar dia bisa sembuh. Tapi ia hanya hanya bisa bertahan selama 7 bulan dirawat di Singapore. Setelah berkali - kali menjalani kemoterapi dan sebagainya, lelaki iktu akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya dalam pelukan Bu Claudia.

Lalu bagaimana dengan harta peninggalan pengusaha itu? Boleh dibilang habis untuk membiayai perawatannya selama di Singapore. Hanya rumah yang ditinggali oleh Bu Claudia itu sisanya, berikut segala isinya.

Sedangkan Bu Claudia sudah terbiasa hidup bergelimang harta, tanpa kekurangan apa - apa. Tapi setelah suaminya meninggal, dosenku itu seolah harus mulai dari nol lagi.

Banyak sekali kekurangan yang harus ditutupi oleh Bu Claudia.

Belakangan ini Bu Claudia sering memikirkan semua itu. Bahkan setelah berhari - hari mempertimbangkannya, akhirnya dia memutuskan untuk resign sebagai dosen, lalu mencari pekerjaan baru di perusahaan swasta. Sampai akhirnya dia membaca iklan yang kumuat di media cetak dan elektronik.

“Begitulah ceritanya,” ucap Bu Claudia di akhir penuturannya, “Kalau aku mempertahankan statusku sebagai seorang dosen, aku akan selalu banyak kekurangan. Karena aku harus selalu membantu Mama dan adik - adikku.”

“Orangtua masih ada?” tanyaku.

“Tinggal Mama yang masih ada. Papaku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu,” sahutnya.

“Adiknya berapa orang?”

“Dua orang. Yang besar baru selesai es-satu. Sedang nyari kerja juga. Yang kecil baru tamat SMA dan sedang mendaftar untuk menjadi polwan.”

“Berarti adiknya yang kecil cewek ya.”

“Dua - duanya cewek. Kami tiga bersaudara, cewek semua.”

Aku tidak menanggapinya.

Bu Claudia melanjutkan, “Tadinya aku jadi tulang punggung mama dan adik - adikku. Tapi sekarang aku tidak bisa membantu mereka lagi.”

“Yang cewek es-satu dari fakultas apa?”

“Psikologi.”

“Kalau begitu rekrut saja dia untuk menjadi manager personalia.”

“Haaa?! Serius Sayang?” Bu Claudia memegang kedua pergelangan tanganku.

“Serius. Tapi gajinya tentu tidak sebesar gaji manager marketing. Lagian gaji es-satu tentu tak bisa sama dengan gaji Bu Claudia yang sudah es-dua kan.”

“Tentu saja. Tapi tidak apa - apa. Dia pasti mau kok. Memangnya gaji manager personalia berapa?”

Lalu kusebutkan nominal gaji dan uang makan manager personalia.

Spontan Bu Claudia berkata, “Wah, segitu sih gede dong. Aurora pasti mau.”

“Aurora? Dewi Fajar?” tanyaku sengaja mau bercanda.

“Nama adikku yang S1 psikologi itu.”

“Baru Spsi, kenapa gak sekalian ambil program psikolog?”

“Biayanya sayang. Nanti kalau sudah bekerja sih mudah - mudahan aja bisa ngambil S2 psikolog.”

“Sekarang psikolog harus S2 ya?”

“Iya. Notaris juga kan harus S2 dulu.”

Lalu kami terdiam. Dalam kantuk tak tertahankan.

Dan akhirnya sama - sama tertidur nyenyak, sambil saling berpelukan.

Besoknya, pagi - pagi sekali aku sudah bangun karena teringat rencanaku untuk menyelesaikan pembayaran rumah untuk Nike itu, sekaligus berniat membeli perabotan untuk mengisi rumah barunya.

Tapi setelah mandi dan mengganti pakaianku dengan pakaian casual, Bu Claudia sudah menyediakan dua gepok roti bakar isi smoke beef dan secangkir black coffee.

“Kopinya tidak pakai gula kan?” tanya Bu Claudia ketika aku sudah duduk di depan meja makan kecil dan bundar.

“Iya. Ibu sudah ngerti kebiasaanku ya.”

“Sayang, jangan manggil Ibu terus dong. Sebulan lagi aku sudah resign sebagai dosen. Jadi setelah cutimu habis, Chepi takkan menemukanku di kampus lagi.”

“Lalu aku harus manggil apa?”

“Panggil apa aja, asal jangan manggil Ibu lagi. Rasanya risih mendengar sebutan itu dari mulut lelaki yang sudah menggauliku.”

“Panggil Clody aja,” kata Bu Claudia, “Adikku juga namanya Aurora, tapi dalam keseharian dipanggil Rory aja. Adik bungsuku bernama Catalina, tapi dalam kesehairian dipanggil Cathy aja.”

“Rasanya kurang ajar manggil namamu langsung Beib,” ucapku.

“Kalau di Eropa, saling manggil nama dengan yang jauh lebih tua pun biasa saja. Bahkan ada juga anak yang memanggil nama saja kepada ibunya. Gak apa - apa.”

“Okelah. Aku mau memanggilmu Clod aja… Clody.”

“Iya. Dua bulan lagi aku kan bakal jadi anak buahmu Boss.”

“Oke deh. Tapi sebulan lagi kita harus melakukan meeting dulu. Semua manager harus dikumpulkan. Nanti aku akan menjadi komisaris utama. Semengtara calon dirutnya… calon istriku sendiri Beib.”

“Iya.”

“Nggak enak ya dengar calon istriku bakal jadi dirut nanti?”

“Biasa - biasa aja. Aku kan tidak akan menuntut untuk menjadi istrimu Sayang. Yang penting hubungan rahasia kita sebaiknya berjalan terus secara rapi.”

“Itu pasti Beib. Aku sendiri kan membutuhkanmu. Tapi kalau kamu hamil nanti, gimana?” tanyaku sambil memegang tangan Claudia yang terletak di atas meja bundar itu.

“Biarin aja. Aku mau kok hamil olehmu. Asal jangan dalam waktu dekat - dekat ini. Karena aku harus bekerja dulu sebaik mungkin di perusahaanmu kan?”

Beberapa saat kemudian aku sudah berada di dalam mobilku, sambil memijat nomor hape Nike. Lalu :

“Kamu sudah ada di kantor Beib?”

“Iya. Bukankah kemaren udah janjian mau ke perumahan itu lagi?”

“Oke. Tunggu aja, sebentar lagi juga aku tiba di kantor.”

Dari rumah klasik Bu Claudia, hanya dibutuhkan waktu setengah jam untuk mencapai rumahku.

Tapi aku tidak memasukkan mobil ke garasi rumahku. Kuminta Nike agar keluar dari kantor dan masuk ke dalam mobilku, agar bisa menghemat waktu. Karena aku ingin ke toko yang menjual segala perabotan rumah, dari segala jenis furniture sampai ke barang - barang elektronik tersedia lengkap di toko itu. Tak usah disebut namanya ya, nanti disangka iklan terselubung pula.

Menghabiskan waktu lebih dari sejam aku dan Nike di toko yang serba lengkap itu. Kemudian aku meminta agar semua yang telah kubeli itu diantarkan ke rumah di kompleks perumahan elit itu, sekaligus minta dipasangkan semua pada tempatnya masing - masing.

Kemudian kami menuju kompleks perumahan yang terletak agak di luar kota itu.

Pada waktu para tukang yang membawa perabotan rumah itu sedang memasangkan segala yang sudah kubeli di tempatnya masing - masing, aku dan Nike menuju kantor managemen perumahan itu. Untuk menyelesaikan pembayaran rumah yang telah dip;ilih oleh Nike. Tentu saja Nike yang harus menandatangani akte jual beli rumah itu di depan notaris yang sudah hadir di kantor managemen.

Keuntungan dari penjualan ketiga kapal tanker itu sangat banyak. Sehingga dana yang kupakai untuk membeli rumah itu terasa sedikit, meski nilainya milyaran.

Setelah transaksi di depan notaris itu selesai, aku dan Nike kembali ke rumah yang sudah kubayar lunas itu.

Ternyata semua perabotan baru itu sudah selesai dipasang di tempatnya masing - masing. Aku pun tak lupa memberikan uang tip kepada para tukang yang sudah memasang dan menata semua perabotan itu.

Setelah para tukang itu berlalu, Nike tampak ceria sekali. Karena kemaren rumah itu masih kosong melompong, tapi kini sudah lengkap semua. Bahkan peralatan kitchen pun sudah dilengkapi oleh perabotannya yang serba baru (tentunya serba mahal pula).

“Aku jadi speechless Bang. Karena aku tak menyangka akan mendapatkan hadiah yang selengkap dan semahal ini,” kata Nike sambil memeluk dan menciumi pipiku.

“Kan sebulan lagi kamu akan menjadi permaisuriku Beib.”

“Siap Sayang. Aku kan sudah menjadi milikmu. Jadi apa pun yang akan kamu lakukan, aku akan selalu mengikutinya.”

“Sebulan setelah menikah, kamu akan menjadi direktur utama pula. Jadi mulai saat ini kamu harus bisa menjaga wibawa, agar tidak ada yang berani melecehkanmu kelak. Soalnya para manager yang akan menjadi anak buahmu, semuanya sudah sarjana. Sedangkan kamu baru mulai kuliah semester pertama. Jadi… pandai - pandailah memimpin perusahaan nanti ya.

“Siap Bang. Aku akan berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk perusahaan. Aku sudah banyak membaca dan menghapalkan buku - buku tentang managemen, leadership dan sebagainya. Mudah - mudahan aja pengetahuanku tidak kalah oleh manager - manager yang semuanya sarjana itu.”

“Besok kan hari Sabtu. Jadi kita habiskan weekend kita di rumah ini ya.”

“Iya Bang. Hitung - hitung refreshing aja ya.”

“Iya, sekalian membuktikan keperawananmu. Siap?”

“Siap Sayang. Kalau Abang mau, sekarang juga siap.”

“Gak usah terburu - buru. Besok saja, hitung - hitung bulan madu pre wedding.”

Nike tersenyum. Lalu mencium bibirku dengan mesranya. Disusul dengan kata kata, “Terima kasih Bang Chepi Sayang… aku bahagia sekali mendapatkan semua ini.”

“Iya Sayang. Kamu kan calon permaisuriku. Jadi… segalanya harus serba perfect. Tinggal mobilnya yang belum ada.”

“Kantornya kan deket dari sini. Jalan kaki juga bisa. Hitung - hitung olah raga tiap hari.”

“Hushhh… jangan Sayang. Kita belum pada jadi sarjana. Sementara para manager sarjana semua. Kekurangan itu harus diimbangi dengan tampil seperfect mungkin. Mana ada direktur utama jalan kaki? Nanti diketawain oleh anak buah kita Nik.”

“Mmm… iya deh. Tapi kalau mau beliin mobil, pilih yang matic ya. SOalnya kalau manual, aku belum bisa nyetirnya.”

“Ya iyalah. Mobilku sendiri bisa manual bisa matic. Tapi aku selalu menggunakan matic tiap kali nyetir. Di zaman sekarang yang sering macet di jalan, mobil matic lebih tepat untuk digunakan. Makanya pabrik - pabrik mobil juga punya rencana bahwa kelak mobil itu harus matic semua. Menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Beberapa saat kemudian kami pulang ke kantor lagi, karena masih jam kerja. Aku dan Nike sudah janjian bahwa besok pagi dia harus sudah ada di rumah baru itu sebelum jam sembilan pagi. Dan aku berniat untuk “membuktikan keperawanannya” besok juga. Sementara pernikahanku dengan Nike sudah kujadwalkan pada bulan depan di tanggal muda.

Tante Irenka juga termasuk yang harus kukasih tau rencana pernikahanku dengan Nike.

“Nanti pernikahan kita sederhana saja ya. Jangan pesta gede - gedean. Yang penting keluargamu dan keluargaku hadir semua,” kataku ketika masih dalam perjalanan pulang.

“Iya. Aku juga tidak menginginkan pesta besar - besaran. Yang penting kita disahkan dulu sebagai suami istri Bang.”

“Memangnya kamu udah siap untuk menjadi ibu rumah tangga Beib?”

“Siap Bang. Aku sudah ingin meladeni cowok yang sangat kucintai.”

“Jika pada suatu saat kamu dimadu olehku, bagaimana?”

“Kalau memang harus begitu, silakan aja. Karena aku sudah banyak mempelajari, bahwa istri yang rela dimadu oleh suaminya, akan ditempatkan di surga.”

“Seandainya aku ini raja, kamu adalah permaisuriku. Yang lain hanya selir.”

“Yang penting aku jangan disakiti aja nanti Yang.”

“Mana mungkin aku mau menyakitimu? Percayalah… kamu ini sosok yang paling kucintai di dunia ini.”

Nike mencium pipi kiriku, lalu berkata, “Abang juga cowok yang paling kucintai di dunia ini.”

Sebelum tiba di rumahku, kubelokkan mobilku ke pekarangan sebuah restoran yang letaknya tidak jauh dari rumahku. “Kita makan dulu ya. Aku sudah lapar sekali Beib.”

Nike cuma mengangguk dengan senyum manis, lalu turun dari mobilku. Dan bersama melangkah ke restoran itu.

Setelah makan barulah kami lanjutkan bergerak menuju rumahku yang letaknya sekitar 100 meter dari restoran itu.

Setibanya di rumahku, Nike langsung masuk ke ruang kerjanya yang bersatu dengan ruang kerjaku. Sementara aku langsung masuk ke dalam kamarku.

Di dalam kamar kantukku malah datang. Menguap terus, sampai akhirnya tertidur nyenyak sekali.

Ketika hari mulai malam barulah aku terbangun. Itu pun karena terbangunkan oleh bunyi denting handphoneku. WA dari Nike.

Nike : - Bang ada masalah nih. Mama maksa ingin lihat rumah baru itu. Karena aku baru ngasih tahu dikasih rumah oleh Abang. -

Aku : - Terus? -

Nike : - Ini aku sudah berada di rumah baru itu Bang. -

Aku : - Ya, gakpapa. Kan mamamu juga berhak tahu milik anaknya. Lalu masalahnya di mana? -

Nike : - Mama ingin ngerasain tidur di rumah ini Bang -

Aku : - Ya izinkan aja. Kan ada tiga kamar di situ. -

Nike : - Masalahnya kita kan punya rencana besok pagi. Gimana? -

Aku : - Gampang soal itu sih. Rencananya kita lakukan di villa aja. Bilang sama mamamu, ada urusan bisnis di luar kota, gitu. -

Nike: - Iya. Tapi Abang gak marah nih? -

Aku: - Masa marah. Malah seneng kalau mamamu udah berada di rumahmu itu. Lagian besok jadi ada yang nungguin rumah pada waktu kita sedang berada di villa. -

Nike: - Iya Bang. Terima kasih atas kebijaksanaan Abangku Sayang ya. -

Aku: -Tadi gimana reaksinya setelah mamamu tahu keadaan rumahmu itu? -

Nike :- Uuuh dia tampak girang sekali. Sampai menciumiku sambil meneteskan air mata. Dia pun menasehatiku, agar selalu setia padamu Yang. -

Aku: - Kamu bilang kalau kita bakal kawin sebulan lagi? -

Nike: -Soal itu sih udah bilang seminggu yang lalu. Mama seneng kok dengar kita mau kawin. -

Aku: - Syukurlah. Oke… besok aku jemput ke rumah baru aja ya. Bilang sama mamamu ada urusan bisnis di luar kota giktu. Jangan bilang mau ke villa. -

Nike: - Iya sayang. Sampai jumpa besok pagi yaaa. -

Aku :-Iya. -

Setelah chat lewat WA selesai, kuletakkan handphoneku di atas meja tulisku. Sambil tersenyum sendiri. Karena membayangkan seperti apa perasaan Tante Esther setelah menyaksikan rumah untuk anaknya itu. Sudah lengkap dengan perabotan serba mahal pula.

Tentu saja Tante Esther akan merasa senang. Karena kalau hubunganku dengan Nike berlanjut ke pelaminan, berarti hubungan rahasiaku dengannya akan berlanjut terus. Bukankah selama ini minimal seminggu sekali aku “menengok” memeknya di jam - jam kerja? Bukankah aku pun selalu mentransfer duit ke rekening tabungannya, sehingga dia takkan merasa kekurangan lagi.

Esok paginya, tepat seperti yang dijanjikan, jam sembilan pagi mobilku sudah diparkir di depan rumah baru yang sudah menjadi milik Nike itu.

Di depan Nike, aku bersikap seperti biasa kepada mamanya. Mencium tangannya dengan sikap sopan. Seolah belum pernah terjadi apa - apa di antara aku dengan mamanya yang semok dan seksi abis itu.

“Sebentar… aku mau pakai make up dulu ya,” ucap Nike, yang lalu bergegas masuk ke dalam kamarnya setelah aku mengangguk.

Pada saat itulah Tante Esther berbisik di dekat telingaku, “Nanti kalau Nike tidur di rumah ini, sekali - sekali nginep di rumahku ya. Main siang terus… sekali - sekali ingin juga ngerasain main malam.”

Aku mengangguk sambil menahan tawaku.

O, betapa jahanamnya diriku ini. Calon mertua pun sering kuentot…!

Dan sekarang… aku sedang merencanakan untuk “membuktikan keperawanan” anaknya pula.

Tapi khusus mengenai Nike, cintaku padanya memang sudah mendalam sekali. Sehingga terkadang aku merasa takkan bisa hidup tanpa Nike. Karena segala sikap dan perilakunya selalu menyenangkan hatiku. Dan tentu saja karena dia cantik sekali di mataku.

Beberapa saat kemudian Nike sudah duduk di dalam mobilku yang sudah kugerakkan meninggalkan perumahan elit itu.

“Mentalmu sudah siap Beib?” tanyaku di belakang setir mobilku.

“Siap Yang,” sahutnya.

“Siap apa?” tanyaku lagi.

“Siap untuk menyerahkan keperawananku padamu Sayang.”

Aku tersenyum mendengarnya.

Mobilku meluncur terus ke arah utara, menuju villa yang letaknya tidak jauh dari kotaku. Hanya belasan kilometer jaraknya.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan