2 November 2020
Penulis — Neena
Part 08
Aku tahu bahwa Mama terkadang seperti mengalami kontradiksi dalam jiwanya ketika selesai kusetubuhi. Terkadang juga kulihat ada genangan air mata di kelopak matanya yang kearab - araban. Ya… aku seolah berhasil memuasi hasrat seks beliau. Tapi kenapa ada tetesan air mata? Apakah setelah beliau merasa puas, muncul penyesalan yang mendalam karena baru saja digauli oleh anak kandungnya?
Namun Mama seperti menindas perasaan menyesal itu dengan mengajakku bersetubuh lagi untuk kedua dan ketiga kalinya. Dan Mama seperti berhasil menindas perasaan sesal itu dengan kenikmatan kedua, ketiga dan seterusnya.
Begitulah. Meski aku hanya menginap semalam di kampung Mama, sedikitnya aku menyetubuhi Mama tiga kali.
Namun saat itu ada yang lain dari biasanya. Sebelum tidur, Mama berkata, “Kamu masih ingat Tante Aini, adik bungsu Mama?”
“Wah… ingat - ingat lupa Mam. Setahuku Mama punya adik banyak kan?” tanyaku.
“Iya. Adik mama ada delapan orang. Enam perempuan dan dua laki - laki. Tante Aini itu adik bungsu mama,” jawab Mama.
“Sebentar… adik - adik mama itu siapa saja namanya?” tanyaku, “Aku malah sudah gak ingat lagi.”
“Nama adik - adik mama itu yang perempuan bernama Dahma, Iqrah, Hibba, Rafna, Shaza dan yang bungsu Aini. Yang laki - laki bernama Bahrul dan Salam.”
“Namanya aneh - aneh ya Mam. Nama Mama sendiri Hafza kan?”
“Iya, semuanya kepakistan-pakistanan. Karena nenekmu orang Pakistan.”
“Oh… iya ya. Ibu Mama orang Pakistan ya.”
“Iya.”
“Terus ada apa dengan Tante Aini?”
“Dia itu jadi istri pengusaha minyak Arab yang kaya raya. Tapi dijadikan istri keempat. Walau pun begitu Tante Aini sangat dimanjakan oleh suaminya, karena dia itu istri termuda. Pokoknya di usia yang masih sangat muda, harta Tante Aini sudah berlimpah ruah. Dan dia sering nanyain kamu, ingin bertemu denganmu, karena ada sesuatu yang sangat penting, katanya.
“Yang penting apa ya?”
“Katanya sih ingin ngajak bisnis sama kamu. Mungkin ingin memutar uang yang berlimpah ruah itu. Mungkin dia ingin punya tangan kanan, orang yang bisa dipercaya.”
Mendengar kata “bisnis”, aku langsung tertarik. “Dia tinggal di mana Mam?” tanyaku.
“Dia sekota denganmu.”
“Kalau memang penting, kenapa gak datang ke rumah aja? Apalagi sekota denganku gitu.”
“Mama juga udah nyuruh temui kamu di rumah papamu. Tapi gak enak katanya. Karena mama sudah bukan istri papamu lagi. Tapi besok juga dia akan ke sini. Jangan pulang dulu sebelum Tante Aini datang ya.”
“Memangnya dia sudah janji mau datang besok?”
“Tadi waktu mama lihat lampu mobilmu muncul, sebelum membuka pintu depan mama ngirim WA dulu padanya. Bilang bahwa kamu sudah datang. Lalu dia balas bahwa besok akan datang ke sini katanya.”
“Iya Mam.”
Mama mengecup pipiku, lalu berkata, “Ya udah, kita bobo yuk.”
“Iya Mam,” sahutku sambil meletakkan tanganku di perut Mama. Perut yang pernah mengandung diriku. Lalu merayap ke bawah. Tapi ditepiskan oleh Mama.
“Jangan megang memek mama lagi dong. Nanti ujung - ujungnya mama bisa horny lagi.”
“Kalau horny lagi ya ngentot lagi aja.”
Mama memegang kontolku dan berkata, “Iiiih… kontolmu udah ngaceng lagi Chep?!”
“Iya Mam. Kalau berdekatan dengan Mama, spontan birahiku membara…” sahutku yang masih telanjang bulat, seperti Mama.
“Jujur, mama juga seperti itu Sayang. Ayo masukin lagi aja kontolmu,” kata Mama sambil menyingkirkan selimut yang tadi menyelimuti ketelanjangan kami berdua. Tanpa basa - basi lagi kubenamkan kontolku ke dalam liang memek Mama. Lalu mulai mengentot Mama lagi.
Mama pun meladeniku dengan lincah. Meremas - remas rambut dan bahuku. Pantatnya pun mulai bergoyang karawang lagi. Sehingga kontolku terombang - ambing dan terbesot - besot dengan serunya.
Ini adalah persetubuhan ronde keempat bagiku. Dengan sendirinya durasiku sangat lama. sampai jham dinding beredentang lima kali (pertanda sudah jam lima pagi), kontolku masih bergerak seperti pompa. Maju mundur maju mundur dan maju mundur terus di dalam liang memek Mama yang luar biasa enaknya ini.
Tubuh kami pun sudah bermandikan keringat lagi. Namun kami tak peduli.
Akhirnya kubenamkan kontolku sedalam mungkin, tanpa kugerakkan lagi. Disusul dengan mengejut - ngejutnya kontolku yang tengah memuntahkan lendir kenikmatanku.
Croootttt… croooottttt… crooootttt… croooottttttttt… crotttttt… crooootttt…!
Lalu kami sama - sama terkapar. Dan tertidur dengan nyenyaknya. Tanpa peduli pada ketelanjangan kami lagi.
Jam duabelas siang aku masih tertidur, tapi dibangunkan Mama, “Sayang… bangun Sayaaang… Tante Aini sedang menuju ke sini… ayo mandi dulu… !”
Aku membuka mata. Menggeliat dan melihat ke jam dinding. Kaget juga setelah melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 12.15 siang.
Aku pun turun dari bed dan langsung melangkah ke kamar mandi Mama, dalam keadaan masih telanjang bulat.
Setelah mandi, kukenakan celana pendek putih dengan baju kaus berwarna hitam. Kemudian aku melangkah ke ruang makan. Ada roti bakar isi daging dua tangkep yang masih hangat.
“Ini boleh kumakan Mam?” tanyaku pada Mama yang sudah mengenakan busana muslim berhijab serba hitam.
“Iya, itu kan sengaja mama bikin buatmu sebelum mama bangunkan tadi,” sahut Mama, “Minumnya apa? Kopi pahit seperti biasa?”
“Iya Mam. Yang kental ya Mam. Biar jangan ngantuk.”
“Iya Sayang,” sahut Mama sambil melangkah ke dapur.
Tak lama kemudian Mama sudah muncul lagi dengan secangkir kopi di tangannya. Kopi iktu diletakkan di atas meja makan. Lalu Mama mengecup pipiku sambil berbisik, “Mama nggak disetubuhi sebulan juga gak apa - apa. Tadi malam kenyang sekali. Sampai semalam suntuk.”
“Kalau aku kangen, pengen ngentot Mama gimana?”
“Ya datang aja ke sini. Memang kapan mama pernah nolak? Kecuali kalau Mama sedang haid.”
“Heheheee… santai aja Mam. Aku juga kenyang banget kok,” kataku.
Baru aja aku selesai makan kedua tangkep roti bakar isi daging itu, tiba - tiba terdengar bunyi mobil memasuki pekarangan rumah Mama yang sangat luas.
“Nah itu Tante Aini datang. Jemput ke depan gih,” kata Mama sambil masuk ke dalam kamarnya.
Sementara aku melangkah ke ruang depan dan membukakan piuntu depan. Sebuah sedan sport merah sudah terparkir di bawah pohon kersen.
Anjrit… aku punya sedan mahal pemberian Mama. Tapi sedan sport itu jauh lebih mahal. Aku pernah iseng menanyakan harga sedan sport yang sejenis di showroom yang menjual mobil - mobil second. Harganya 16 milyar! Itu harga second. Apalagi harga barunya…!
Seorang wanita muda berpakaian muslimah serba coklat tua dan coklat muda turun dari sedang sport yang membuatku ngiler itu.
Aku pun spontan menghampirinya dan memuji di dalam hatiku, bahwa wanita muda yang adik bungsu Mama itu sangat cantik…!
“Tante Aini?” tanyaku sopan.
Ia menatapku dengan sepasang mata beningnya. “Iya. Kamu Chepi?!” tanyanya.
“Iya Tante,” sahutku sambil mencium tangan kanannya.
Wanita muda berhijab yang kutaksir baru 22-23 tahunan mengepit sepasang pipiku dengan kedua telapak tangannya yang hyalus dan hangat. “Chepi… setelah gede kamu kok jadi tampan sekali sih?” cetusnya yang disusul dengan ciumannya di sepasang pipiku. Harum parfum mahal pun tersiar ke penciumanku.
“Tante juga cantik sekali, laksana putri raja Arab.”
“Masa?! Jangan bawa - bawa Arab ah. Kita ini punya campuran darah Pakistan. Bukan Arab. Mmm… aku sudah sering nanyain kamu sama mama. Baru sekarang bisa berjumpa ya?”
“Iya Tante. Mari masuk.”
Tante Aini yang jelita itu mengangguk, lalu melangkah di sampingku, masuk ke dalam rumah Mama.
Mama baru keluar dari kamarnya. Kelihatan sudah bermake up sedikit, rambutnya pun tidak acak - acakan seperti tadi.
Mama berpelukan dan cipika - cipiki dengan Tante Aini. Kemudian kami duduk di ruang tamu yang sudah direnovasi oleh Mama, agar tidak terlalu ketinggalan zaman.
Setelah ngobrol singkat tentang masalah keluarga, Tante Aini berkata, “Sekarang kita bicara masalah bisnis ya.”
“Siap Tante.”
Mama langsung berdiri dan berkata, “Silakan aja bahas masalah bisnisnya. Aku mau ke dapur dulu ya.”
“Iya Kak,” sahut Tante Aini sambil tersenyum.
Setelah Mama meninggalkan ruang tamu, Tante Aini berkata padaku. Bahwa pada dasarnya ia membutuhkan orang yang bisa dipercaya untuk mengurus usahanya. Kemudian dia berkata bahwa di kota kami ada rumah yang bisa dijadikan kantor sekalian tempat tinggalku. Tapi urusan yang mendesak adalah, dia ingin agar namaku dipakai untuk perusahaannya yang akan membeli tiga buah kapal tanker dalam keadaan rusak.
“Aku tidak ingin suamiku tau bahwa ketiga kapal tanker itu dibeli olehku. Karena penjualnya teman - teman suamiku sendiri. Sedangkan suamiku takkan mengira aku punya uang sebanyak itu,” kata Tante Aini di tengah penuturannya.
“Lalu kapal - kapal tanker yang sudah pada rusak itu mau dijual sebagai besi tua Tan?”
“Hush bukan! Kalau sekadar mau dijadikan besi tua sih gampang banget. Baik di Jakarta mau pun di Surabaya ada haji Madura yang sudah pada jadi trilyuner sebagai buyer besi tua. Tinggal tawarin ke mereka saja, bisa langsung dibeli.”
“Terus mau diapain nantinya?”
“Begini,” kata Tante Aini, “ketiga kapal tanker itu memang mau dijual murah sekali. Bahkan lebih murah daripada kalau dijadikan besi tua. Maklum orang - orang Arab kan gak mau pusing. Punya mobil rusak di jalan aja bisa mereka tinggalkan begitu saja di pinggir jalan, tanpa diperbaiki. Ketiga kapal tanker itu pun begitu.
“Lalu peranku sebagai apa nanti Tante?”
“Kamu harus berperan sebagai pihak pembeli. Tentu saja duitnya dari aku nanti.”
“Supaya tidak ketahuan oleh suami Tante bahwa sebenarnya ketiga kapal tanker itu dibeli oleh Tante?”
“Betul Sayang. Aku mau percayakan semuanya padamu. Tapi tentu nanti akan kukasihtau ini itunya.”
“Jadi aku hanya sebagai wayang ya Tante.”
“Sebagai tangan kananku. Bukan sebagai wayang. Kan pada waktu negosiasi nanti, aku takkan ikut campur. Kamu bisa jalan sendiri kan?”
“Pemilik kapal - kapal itu orang Arab?”
“Iya. Kapalnya ada tiga, berarti tiga orang Arabnya.”
“Aku gak bisa bahasa Arab Tante.”
“Kan dia selalu membawa orang Indonesia yang bisa berbahasa Arab. Jadi ucapan kita dalam bahasa Indonesia akan diterjemahkan oleh interpreter itu.”
Aku merasa sedang diperhatikan oleh Tante Aini, tapi aku pura - pura tidak menyadarinya saja. Mungkin dia sedang memperhatikan sikapku, apakah aku ini jujur dan cerdas atau tidak.
“Bagaimana?” tanyanya.
“Siap Tante. Aku akan mencobanya semampuku. Tapi mungkin aku butuh teman, agar aku tidak terlalu sendirian.”
“Boleh. Karena nanti urusan kita bukan cuma kapal - kapal tanker itu. Masih banyak yang bisa kita kerjakan nanti. Yang penting Chepi harus jujur, ulet dan sabar.”
“Siap Tante.”
“Sekarang kuliahnya sudah semester berapa?”
“Baru semester tiga Tante.”
“Ntar dulu… waktu kamu lahir, umurku baru lima tahunan. Berarti sekarang baru delapanbelas tahunan ya.”
“Betul Tante,” sahutku sambil berkata dalam hati - Berarti tepat dugaanku, usianya 23 tahun -.
“Delapanbelas tahun sudah semester tiga. Termasuk cepat juga.”
“Aku lulus SMA pada usia menjelang tujuhbelas tahun. Sekarang semester tiga pun baru dijalani sebulan.”
“Begitu ya. Sudah punya cewek?”
“Belum Tante. Mau konsen kuliah dulu.”
“Itu bagus. Cowok setampan kamu, cewek sih gampang dapetinnya nanti, setelah jadi sarjana.”
“Hehehee iya Tante,” sahutku yang merasa malu sendiri. Karena sebenarnya aku sudah punya pengalaman banyak dalam masalah perempuan.
Tante Aini seperti mau ngomong lagi. Tapi keburu datang Mama yang berkata, “Ayo Aini… kita makan dulu seadanya.”
“Aduuuh… Kak Hafza suka repot terus kalau aku datang ke sini ya.”
“Walaaah… repot apa cuma nyediain makan adik kesayanganku… ayo Chepi temenin tantemu makan tuh…”
Aku pun bangkit berdiri dan mengikuti langkah Tante Aini menuju ruang makan.
Aneh memang. Perempuan berhijab selalu mendatangkan pesona tersendiri bagiku. Pesona sekaligus rasa penasaran yang jahanam. Karena aku sering membayangkan seperti apa perempuan berhijab itu kalau sudah telanjang bulat di depan mataku?