2 November 2020
Penulis —  Neena

Malam Malam Jahanam

Part 13

Dosenku yang nama lengkapnya Pratiwi itu, yang tiap hari mengenakan jubah dan hijab itu, ternyata seolah macan betina yang kelaparan. Sekalinya mendapatkan mangsa, diterkam dan dilahapnya habis - habisan.

Aku seolah dikuras olehnya, sampai tidak tersisa lagi tenaga, karena malam itu saja aku sampai tiga kali menyetubuhinya. Keesokan paginya aku diajak main ke kampungnya yang letaknya sekitar 60 kilometer dari kotaku. Kebetulan hari itu aku tidak ada kuliah. Bu Tiwi pun tidak ada jadwal mengajar. Sehingga kami bebas untuk “refreshing” ke kota kelahiran Bu Tiwi.

Di kota yang sangat bersih dan rumahnya bagus - bagus itu ternyata rumah Bu Tiwi besar dan punya lahan luas di sekitarnya. Ada sawah, kebun. kolam ikan dan sebagainya. Di kebun buah - buahan itulah Bu Tiwi mengajakku bersetubuh, untuk mewujudkan obsesinya… ingin merasaskan disetubuhi di alam terbuka (outdoor sex).

Ternyata Bu Tiwi tidak mengenakan celana dalam, sehingga begitu baju jubahnya disingkapkan ke perutnya, sambil merebahkan diri di bangku yang terbuat dari balok -balok kayu… aku pun leluasa untuk menyentuh dan menggerayangi memek gundulnya.

Setelah puas menjilati memek Bu Tiwi, aku pun menurunkan celana panjang dan celana dalamku sampai ke lutut. Kemudian membenamkan kontol ngacengku ke dalam liang memek Bu Tiwi.

Ya, kami tidak telanjang. Tapi kami bisa bersetubuh di kebun buah - buahan yang lengang dan sejuk itu. Ditemani oleh kicau burung liar di atas pepohonan dan semilir angin yang menggoyang - goyangkan dedaunan.

“Bu… memek Ibu memang luar biasa legitnya…” bisikku ketika kontolku sudah mulai mengentot liang memek dosenku.

“Kontolmu juga luar biasa gede dan panjangnya. Makanya aku jadi ketagihan Chep,” sahut Bu Tiwi sambil merengkuh leherku ke dalam pelukannya. Lalu dipagutnya bibirku ke dalam ciuman dan lumatannya yang lahap sekali.

Lalu kuentot Bu Tiwi habis - habisan. Tentu saja durasi ngentotku lama sekali. Karena tadi malam sudah habis - habisan mengentot dosenku yang ternyata laksana macan betina kelaparan ini. Karena itu, meski Bu Tiwi sudah orgasme tiga kali, aku masih kokoh, masih jauh dari ngecrot.

Maka Bu Tiwi mengajakku untuk melanjutkan persetubuhan ini di dalam rumahnya yang besar sekali itu.

Aku setuju - setuju saja untuk merehatkan dulu persetubuhan di kebun buah - buahan itu, kemudian melanjujtkannya di rumah Bu Tiwi, di dalam kamarnya yang perlengkapannya serba mentereng itu.

Sungguh sangat berbeda keadaan di rumah Bu Tiwi yang di kotaku kalau dibandingkan dengan rumah di kampung halaman Bu Tiwi ini. Di sini segalanya serba mahal dan antik. Sementara di daerah selatan kotaku, rumah Bu Tiwi hanya ditilami permadani di ruang tengahnya. Tidak ada meja mau pun kursi di situ.

Begitulah… setelah kenyang dan puas menyetubuhi Bu Tiwi, kami makan bersama. Dengan goreng ikan mas besar - besar, hasil menjaring dari kolam milik Bu Tiwi.

Kemudian aku pamitan, mau pulang ke kotaku.

Waktu mau meninggalkan rumah besar itu, Bu Tiwi memegang kedua pergelangan tanganku sambil berkata, “Jangan bosan sama aku ya Chep. Soalnya aku akan selalu membutuhkanmu. Kalau kamu tertarik, aku akan menjodohkanmu dengan Keyla. Supaya hubungan rahasia kita akan terjalin terus sampai aku tua renta kelak.

“Santai aja Bu. Kalau calon istri, aku sudah punya,” sahutku sambil mencolek bibir sensual Bu Tiwi, “Sedangkan hubungan rahasia kita semoga tetap terjalin dengan penuh kehangatan. Karena aku tak mau hypokrit. Aku pun sangat membutuhkan Ibu, baik di dalam mau pun di luar kampus.”

Bu Tiwi menyahut setengah berbisik, “Di kampus aku akan mendukungmu. Tapi di luar kampus, kamu yang harus mendukung hasrat birahiku, Chep.”

“Siap Bu,” ucapku sambil cipika - cipiki dengannya. Tentu saja aku senang mendengar ucapan Bu Tiwi itu. Karena dia sudah S3 dan punya jabatan di kampusku. Berbeda dengan Bu Shanti yang hanya dosen biaqsa, tiada jabatan apa - apa di rektorat.

Lalu dengan penuh semangat aku meninggalkan kota kecil yang telah menggoreskan kenangan indah itu.

Begitulah aku, dengan segala kelebihan dan kekuranganku.

Satu hal yang membuatku heran sendiri adalah, bahwa perempuan - perempuan yang hadir dalam kehidupanku, lebih banyak MILF daripada cewek sebayaku. Tapi aku tak mau mempersoalkan masalah itu. Yang penting aku happy, pasangan - pasangan seksualku pun happy.

Hari demi hari pun berputar dengan cepatnya.

Sampai pada suatu hari, datang lagi kisah baru di dalam kehidupanku…

Sebenarnya saat itu habis mengganti oli di bengkel mobil yang ditunjuk oleh dealer. Pulang dari bengkel besar itu tanpa disengaja aku melewati jalan ke rumah Nike. Dan aku menginjak rem ketika mau melewati rumah itu, kemudian menghentikan mobilku di bahu jalan, tepat di depan rumah Nike.

Saat itu tujuanku cuma satu. Ingin melihat seperti apa renovasi kamar Nike dengan dibiayai oleh cek yang sudah kuhadiahkan padanya itu. Maka aku turun dari mobil dan berharap ada orang di rumah Nike. Saat itu aku hanya mengenakan baju kaus dan celana pendek serba putih. Tanpa celana dalam di balik celana pendek putih yang elastis di bagian atasnya.

Ternyata Tante Esther (nama mamanya Nike) sendiri yang membuka pintu depan. “Yeee… ada Boss datang nih…” ucapnya ketika aku sudah masuk ke dalam rumahnya.

Dengan sopan kucium tangan kanannya, sebagaimana lazimnya bersikap terhadap calon mertua. Tapi setelah kucium tangannya, Tante Esther memeluk leherku dan mencium sepasang pipiku. Spontan aku pun memeluknya sambil mengusap - usap punggungnya.

Inilah gokilnya aku. Bahwa ketika memeluk mamanya Nike itu, aku merasa nyaman sekali bisa memeluk wanita setengah baya yang cantik dan bertubuh tinggi montok itu. Sehingga aku enggan untuk melepaskan kembali pelukanku.

Mata Tante Esther yang blasteran Jerman - Tionghoa itu menatapku dengan sorot lain dari biasanya. Bahkan bibirnya terbuka dan bergetar, seolah ingin dicium olehku. Ini membuatku degdegan. Aku ingin mencium bibir sensualnya, tapi tidak berani. Yang bisa kulakukan hanyalah mendekatkan bibirku ke bibirnya, dengan mata terpejam.

Pada saat itulah terjadi sedsuatu yang tak kuduga sebelumnya. Tante Esther memagut bibirku ke dalam ciumannya, yang lalu berkembang menjadi saling lumat. Aku pun mempererat pelukanku sambil meremas - remas punggung di daerah tulang belikatnya.

“Aku ingin melihat seperti apa kamar Nike yang katanya ingin direnovasi itu Tante,” kataku yang masih tetap berdiri di ruang tamu. Dengan pinggang dilingkari oleh lengan wanita tinggi montok berwajah kebule - bulean itu.

“Bukan hanya kamar Nike. Kamarku dan kamar Niko juga direnovasi semua tuh. Ayo kalau mau lihat…” sahut Tante Esther sambil mengajak ke bagian tengah rumah itu, dengan lkengan masih melingkari pinggangku. Tapi kubiarkan saja, sambil berpikir mungkin itu kebiasaan orang bule yang terikuti olehnya.

“Nah… ini kamar Nike…” kata Tante Esther sambil membuka pintu kamar pertama.

Aku pun melongok ke dalam kamar Nike. Memang sudah berubah drastis. Jadi cukup modern dan lengkap dengan kamar mandi yang bersatu dengan kamar itu.

Kemudian Tante Esther membuka pintu kamar kedua, “Nah ini kamar Niko, sudah selesai direnovasi juga kan?”

“Iya. Jadi sangat berubah,” sahutku, sambil mengenang masa laluku yang sering tiduran di kamar Niko ini. Tapi sekarang sudah berubah drastis.

“Tapi sayang, Niko dipindahkan ke Jakarta. Baru tadi subuh dia berangkat ke Jakarta.”

“Ohya?! Kok Nike gak bilang - bilang?”

“Mungkin Nike belum tahu. Karena perintahnya mendadak sekali. Kemaren sore diberitahu akan dimutasi ke Jakarta, tadi subuh sudah dijemput oleh bus perusahaan yang akan membawanya ke Jakarta. Ohya… kamarku juga sudah selesai direnovasi. Ayo lihat sana,” kata Tante Esther sambil mengajakku menuju pintu ketiga, yang berhadapan dengan ruang makan.

Di dalam kamar Tante Esther, mamanya Nike itu memelukku dari belakang, “Kami semua harus berterimakasih padamu Chep. Berkat kebaikanmu, kamarku dan kamare Niko juga ikut berubah drastis.”

Aku jadi salah tingkah. Sudah jelas perlakuan Tante Esther padaku sudah lebih dari semestinya. Lalu apakah aku akan mengalami hal yang sama seperti Bu Shanti dan Mama Aleta?

Entahlah. Yang jelas aku ini lelaki muda belia yang normal. Lengkap dengan darah mudaku. Sehingga diam - diam “si Jhoni” mulai bangun di balik celana pendek putihku.

Kamar Tante Esther memang sudah berubah drastis. Sudah ada kamar mandinya sendiri. Ada bed dan satu set sofa yang masih baru. Meja riasnya pun tampak masih baru.

Maka aku pun duduk di sofa baru berwarna coklat tua itu.

Tante Esther pun duduk merapat di samping kiriku. “Aku hanya bisa bilang terimakasih sama Chepi. Karena kami tak mungkin bisa membalas kebaikan Chepi.”

“Gak usah dipikirkan soal itu sih. Kan aku serius akan menjadikan Nike sebagai calon istriku Tante.”

“Mmm… selama ini Chepi dan Nike sudah jauh berhubungannya?”

“Maksud Tante jauh gimana?”

“Yah… aku juga maklum anak muda jaman sekarang kan banyak sekali yang pacaran tapi melakukan sesuatu yang seharusnya cuma boleh dilakukan setelah menjadi pasangan suami istri.”

“Ma.. maksud pertanyaan Tante tadi, apakah aku dan Nike pernah melakukan hubungan seks begitu?”

“Yaaa… begitulah kira - kira.”

“Tante… aku dengan Nike hanya sebatas cium pipi doang. Ciuman bibir pun belum pernah. Boleh Tante tanyakan sendiri kepada Nike nanti. Karena aku baru akan melakukan semuanya setelah Nike resmi menjadi istriku.”

“Nike juga pernah mengaku seperti itu. Tapi aku belum percaya sebelum mendengar pengakuan Chepi. Syukurlah… sebaiknya memang begitu. Jangan melakukan sesuatu yang bakal menjadi beban fisik dan mental di tengah perjalanan menuju hubungan yang paling sakral kelak.”

“Iya Tante.”

“Jadi kalian ciuman bibir pun belum pernah?”

“Belum Tante.”

“Malah barusan kiuta ciuman bibir ya.”

“Iya Tante. Maaf aku jadi lancang tadi.”

“Gak apa - apa. Tadi kan aku yang duluan mencium bibirmu. Ohya, kamu cowok normal kan?”

“Maksud Tante normal dalam hal apanya?”

“Waktu berdekatan dengan Nike, apakah kamu sama sekali tidak digoda oleh hasrat birahi?”

“Tentu aja nafsu sih ada Tante.”

“Lantas kalau sudah nafsu begitu, diapain?”

“Masuk aja ke kamar mandi. Lalu ngocok di situ. Heheheee…”

“Aduuuh kasian calon mantuku ini… “Tante Esther mengusap - usap tanganku yang sedang dipegang pergelangannya, “daripada dikocok mending dimainkan ke sini nih. “Tante Esther yang saat itu mengenakan daster putih, menarik tanganku ke balik dasternya. Dan diselinapkan ke balik celana dalamnya, sehingga aku merasa menyentuh memek berjembut tipis…

Spontan aku bereaksi, dengan menggerak - gerakkan jemariku di celah yang terasa agak basah, licin dan hangat.

Tante Esther malah mengecup bibirku dengan hangat, lalu menyhelkinapkan tangannya lewat lingkaran elastis di perut celana pendekku. Dan langsung memegang kontolku yang sudah mulai ngaceng ini…!

“Wow… kalau diibaratkan senjata, kontol Chepi ini bazoka, bukan cuma pistol…!” ucap Tante Esther sambil meremas kontolku dengan lembut.

Sementara aku pun semakin asyik menggerayangi memeknya yang sudah mulai basah. Tapi aku tetap ingat bahwa Tante Esther itu mamanya Nike. Sedangkan aku sudah telanjur mencintai Nike.

Maka cetusku, “Tante… ini gak apa - apa?”

“Nggak apa - apa. Ini kan wujud terimakasihku padamu Chep. Selain daripada itu, aku sudah terlalu lama tidak merasakan nikmatnya digauli lawan jenisku. Sehingga aku pun merindukan sentuhan lelaki yang sebenarnya.”

“Maksudku, apakah nanti takkan merusak hubunganku dengan Nike?“

“Nggak lah. Asalkan Nike jangan sampai tau. Sekarang kan Nike sedang di kantor. Niko juga sudah di Jakarta. Jadi hanya kita berdua yang berada di rumah ini.”

“Iya Tante. Aku juga sudah sangat terangsang nih…”

“Kamu mau lihat aku telanjang bulat?” tanya Tante Esther sambil berdiri dan bertolak pinggang di depanku.

“Ma… mau Tante…” sahutku dengan jiwa mulai dikuasai nafsu.

“Tunggu sebentar ya. Pintu depan harus dikunci dulu,” ucap Tante Esther sambil bergegas keluar dari kamarnya.

Tak lama kemudian dia muncul dan masuk lagi ke dalam kamar. Lalu menutup dan menguncikan pintu kamar.

Kemudian ia melepaskan daster putihnya. Ternyata di balik daster itu ia mengenakan baju kaus dan celana dalam yang sama - sama putih, dengan pinggiran merah.

Ia pun naik ke atas sofa yang berhadapan dengan sofaku. Di atas sofa itulah ia berlutut sambil menarik baju kausnya ke atas, sampai sepasang toket gedenya terbuka berikut sepasang pentil toketnya yang menggemaskan, ingin mengulum dan menjilatinya. Tak cuma itu, ia pun menurunkan celana dalamnya sampai kelihatan memeknya yang berjembut tipis dan menggiurkan itu.

Aku cuma terlongong menyaksikan semua itu. Terlebih lagi setelah Tante Esther melepaskan baju kaus dan celana dalamnya, sehingga tubuh tinggi montoknya jadi telanjang bulat.

Wow… tadinya kupikir Bu Tiwi itu sosok yang paling seksi dan menggiurkan. Ternyata Tante Esther lebih seksi dan lebih menggiurkan lagi…!

Aku pun seperti ditarik oleh daya magnetis, melangkah ke arah sofa yang sedang dibuat “pameran body” oleh Tante Esther itu.

“Bagaimana? Apakah aku masih menarik bagimu Chepi?”

“Tante sangat sangat dan sangat seksi. Sangat menggiurkan… !” sahutku sambil merangkul bokong Tante Esther yang masih berlutut di sofa itu. Lalu kuangkat tubuh tinggi montok berkulit putih mulus itu.

Tante Esther menunjuk ke arah bednya. Sebagai isyarat bahwa ia ingin dibawa ke sana. Dengan memeluk bokongnya, kuangkat tubuh tinggi montok berkulit putih mulus itu ke atas bednya.

Setelah merebahkan Tante Esther di atas bed, aku bertanya, “Tante… boleh aku menjilati memek Tante?”

“Jilatilah sepuasmu. Tapi kamu juga harus telanjang dulu Chep,” sahut Tante Esther.

Tanpa buang - buang waktu kulepaskan baju kaus dan celana pendekku. Setelah sama - sama telanjang aku pun bergerak ke antara sepasang paha putih mulus Tante Esther yang sudah direnggangkan lebar - lebar itu.

Kuamati memek mamanya Nike ini sejenak. Jembutnya tipis sekali sehingga takkan mempersulit aksiku untuk menjilatinya.

Lalu aku pun mendekatkan mulutku ke memek berjembut tipis itu. Dan mulai menjilati celah memeknya yang bagian dalamnya kelihatan berwarna pink itu.

Yang menyenangkan adalah daerah di sekitar memek Tante Esther ini tercium harum sekali. Sehingga aku sangat bersemangat untuk menjilatinya.

Tak sulit p;ula untuk mencari kelentitnya. Padahal ada juga perempuan yang kelentitnya bersembunyi terus sehingga mempersulit untuk mencarinya.

Tapi kelentit Tante Esther ini mudah sekali mencarinya. Sehingga aku tak hanya fokus menjilati bagian dalam memeknya yang berwarna pink itu, tapi juga mulai gencar menjilati kelentitnya.

Karuan saja Tante Esther mulai mendesah - desah sambil menggeliat - geliat. “Aaaaaah… Chepiii… aaaaaah… Cheeeeepiiii… kamu pandai sekali menjilati kemaluanku Cheeeep… aaaaah… iyaaaaa. clitorisnya itu jilatin terus Cheeep… enak sekali Chepiiii… aaaaa… aaaaaaah… aaaaa…

Aku tak cuma menjilati kelentitnya, melainkan juga menyedot - nyedot dengan agak kuat. Sehingga kelentit Tante Esther jadi “mancung”, menonjol ke depan.

Namun tak lama kemudian aku menghentikan jilatan dan isapanku. Lalu merayap ke atas perut Tante Esther sambil memegang kontolku yang sudah ngaceng berat ini.

Tante Esther pun ikut memegangi leher kontolku sambil mencolek - colekkan moncongnya sambil agak menekan, supaya moncongnya masuk ke dalam mulut memeknya.

Aku pun mengikuti isyaratnya. Dengan sekuat tenaga kudorong kontol ngacengku. Dan… melesak masuk sedikit demi sedikit sampai hampir separuhnya yang sudah terbenam.

Tante Esther pun merengkuh leherku ke dalam pelukannya sambil berkata setengah berbisik, “Belalai gajahmu gede banget. Sampai sulit masuknya gini.”

“Mungkin liang memek Tante yang sempit sekali. Padahal tadi sudah basah sekali rasanya,” sahutku sambil mulai mengayun kontolku perlahan - lahan, meeski baru masuk setengahnya.

Dengan cara seperti ini liang memek Tante Esther mulai beradaptasi dengan ukuran kontolku. Sehingga ketikja aku mendorong kontolku, makin lama makin dalam masuknya. Dan akhirnya terasa moncong kontolku mampu menabrak dasar liang memek Tante Esther.

“Uuuuughhhhh… sampai nyundul dasar liang memekku Chep… luar biasa panjangnya ular cobramu ini…” ucap Tante Esther sambil menciumi pipiku.

Aku tidak menyahut, karena mulai asyik memainkan sepasang toket Tante Esther yang sangat bagus bentuknya. Toket yang gede dan empuk, tapi belum kendor.

“Aku menyerahkan semuanya ini, saking sayangnya perasaanku padamu… sekaligus sebagai tanda terima kasih,” ucap Tante Esther ketika entotanku masih lamban ayunannya.

“Iya Tante. Tubuh Tante ini jauh lebih berharga bagiku. Walau pun aku sudah menikah dengan Nike, aku ingin agar kita tetap bisa melakukannya tanpa sepetahuan Nike.”

“Memangnya memekku masih enak Chep?”

“Sangat enak sekali Tante… gak nyangka kalau aku bisa merasakan kenikmatan di tubuh Tante ini…”

“Kalau sudah nikah dengan Nike, kita kan bisa ketemuan di tempat yang Chepi tentukan nanti. Kalau belum nikah, kan Chepi bisa datang ke sini di jam kerja. Pada saat Nike sedang bekerja di kantor.”

“Iya Tante. Aku akan sering datang tanpa sepengetahuan Nike nanti, khusus buat ngentot memek Tante yang luar biasa enaknya ini.”

Obrolan itu lalu terputus karena aku mulai mempercepat entotanku dalam irama standard. Sementara Tante Esther pun mulai sibuk mendesah dan merintih, sambil menggoyangkan pinggulnya. Tapi goyangannya bukan memutar dan meliuk - liuk, melainkan menyerupai gerakan ombak yang sedang bergulung - gulung menuju pantai.

Aku pun semakin bergairah mengayun kontolku, bermaju mundur di dalam liang memek Tante Esther yang luar biasa enaknya ini.

Rintihan - rintihan histeris Tante Esther pun terdengar sangat erotis di telingaku. “Aaaaahhhh… Chepiii… aaaaah… aaaaaaaah… ini luar biasa enaknya Cheeeepiiii… luaaaar biasaaaaa… terasa nsekali gesekan kontolmu ini… aaaaah… aaaah… aaaah… entot terus Cheeeepiiii… iyaaaaa…

“Aku juga uuuuuughhhh… aku juga akan menyayangi Tante… uuuugh… sebagai ibu mertua yang baik hati…” sahutku tersendat - sendat, karena entotanku tidak kulambatkan.

Mungkin akibat dari goyangan pinggul Tante Esther yang membuat kelentitnya terus - terusan bergesekan dengan kontol ngacengku, belasan menit kemudian ibunya Nike itu mulai berkelojotan, dengan nafas terengah - engah. Lalu ia mengejang tegang dengan nafas tertahan dan mata terpejam dan mulut menyeringai.

“Oooooo… ooooh… aku sudah orgasme Cheeeep…” ucap Tante Esther yang sudah melepaskan nafasnya kembali, dengan tubuh lemas lunglai.

“Aku paling suka ikut menikmati wanita sedang orgasme seperti barusan,” sahutku.

Tante Esther mencium bibirku, lalu berkata lirih, “Terima kasih Chepi… yang barusan terasa indah sekali. Tapi Chepi belum ejakulasi kan?”

“Belum Tante… santai aja,” sahutku, dengan kontol masih menancap di dalam liang memek Tante Esther dan belum kuayun lagi.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan