2 November 2020
Penulis —  Neena

Malam Malam Jahanam

Part 15

Ketika aku pamitan mau pulang dari kamar perawatan Mamie dan bayi yang baru lahir itu, Mamie berkata kepada adiknya yang bernama Anna itu, “Kalau mau nginep, mendingan di rumah Chepi. Di rumahku kan gak ada orang, Mas Adrian juga kan mau tidur di sini, nungguin aku.”

“Chepi udah punya rumah sendiri?” Tante Anna menoleh padaku.

Papa yang menjawab, “Sudah An. Rumah Chepi jauh lebih megah dan besar daripada rumah kami.”

Akhirnya Tante Anna setuju, akan nginap di rumahku.

Beberapa saat kemudian, Tante Anna sudah berada di dalam mobilku, menuju rumah hadiah dari Tante Aini itu.

“Kamu masih ingat masa kecil kita dahulu?” tanya Tante Anna ketika mobilku sudah berlari di jalan asap, ketika hari sudah lewat tengah malam.

“Masih,” sahutku, “Tapi sekarang Tante sudah sangat berubah. Makanya tadi kupikir siapa cewek cantik yang datang itu.”

“Jangan manggil Tante lah. Sebut namaku aja. Kamu kan lebih tua setahun dari aku.”

“Iya. Tiga hari lagi usiaku genap sembilanbelas tahun.”

“Nah… aku sebulan yang lalu genap delapanbelas tahun. Jadi gak enak kan dipanggil tante sama yang usianya lebih tua dariku.”

“Tadi kan Mamie yang nyuruh manggil Tante.”

“Biarin aja, kalau gak ada dia, kamu panggil Anna aja.”

“Iya Sayang, eeeh, Anna…”

Sebenarnya aku hanya bercanda, pura - pura keceplosan nyebut “Sayang” padanya. Tapi dia menepuk bahuku sambil berkata, “Naaah dipanggil Sayang malah lebih enak.”

“Iya Beib… eeeh… Anna… “lagi - lagi aku bercanda dengan menyebut Beib. Tapi tanggapannya sungguh di luar dugaan.

“Hiihihihiii… kamu kok jadi grogi gitu sih. Udah kita putuskan kamu manggil Beib sama aku. Aku manggil kamu Ayang ya… “katanya sambil meremas - remas tangan kiriku dengan lembut tapi hangat.

“Loh… kapan kita jadian? Kok panggilannya berubah drastis?!” tanyaku pura - pura heran.

“Ya sejak sekarang aja,” sahutnya “Aku suka kok sama kamu. Padahal waktu masih kecil kamu nakal sekali. Sering jambak rambutku kan?”

“Hihihiii… iyaaa… aku ingat itu. Soalnya waktu itu rambutmu panjang. Jadi enak narik - nariknya.”

“Tapi banyak orang yang nakal waktu kecilnya, justru jadi baik setelah dewasa. Semoga kamu juga begitu ya.”

“Sebegitu jauhnya mikir tentang diriku?”

“Boleh kan aku punya keinginan yang positif tentang dirimu?”

“Boleh aja. Cuman… hahahaaa… serius nih bahwa kita secepat kilat jadian?”

“Kalau bisa cepat kenapa harus diperlambat? Tapi itu juga kalau kamu mau menerimaku. Kalau gak mau, aku gak maksa kok…”

“Aku senang sekali jadian sama cewek cantik sepertimu Beib. Cuma masalahnya… aku udah punya calon istri.”

“Biarin aja. Cowok kan boleh polygami.”

“Ohya?! Jadi kamu mau dijadikan yang kedua?”

“Nggak apa. Emangnya siapa calon istrimu?”

“Amoy mualaf.”

“Ohya?! Sudah serius mau kawin dengannya?”

“Iya, “aku mengangguk di belakang setirku, “kasian kalau diputusin. Sedangkan dia sudah jadi mualaf, karena sudah serius bakal jadi isriku.”

“Kita main backstreet kan bisa Yang.”

“Aku masih heran. Begitu cepat kamu nembak aku Beib.”

“Kita kan sudah saling mengenal sejak masa kecil dahulu. Kemudian aku melanjutkan sekolah di Singapore. Makanya kita seolah terputus komunikasi sama sekali. Dan begitu melihatmu di ruang perawatan mamiemu tadi, aku juga heran… kamu punya daya pesona kuat, sehingga hatiku spontan runtuh pada pandangan pertama tadi Sayang,” ucap Anna sambil memegang pergelangan tangan kiriku yang nganggur karena mobilku matic.

“Memangnya belum pernah melihat cowok setampan aku Beib?”

“Yang tampan sih banyak. Tapi kamu… aku yakin kamu orang baik. Selain daripada itu, kamu punya daya pesona yang gimana gitu… gemesin… jadi pengen cium bibirmu…”

Mendengar ucapan adik Mamie seperti itu, spontan kecepatan mobilku dikurangi. Lalu kuhentikan di bahu jalan yang gelap gulita, karena di sekelilingku hanya ada pohon - pohon pinus, tidak ada rumah satu pun.

“Kok berhenti di tengah hutan begini?” tanya Anna.

“Katanya mau cium bibirku. Ciumlah sepuasmu Beib,” sahutku sambil mengangsurkan bibirku ke dekat bibir Anna.

Spontan cewek yang setahun lebih muda dariku itu memagut bibirku dan mel, umatnya dengan lahap. Sementara aku lebih tertarik untuk mengusap - usap betisnya yang sejak tadi kuperhatikan… betis yang indah dan putih mulus.

Ketika Anna masih melumat bibirku dengan lahapnya, tanganku sudah berada di balik gaunnya. sudah memijat - mijat pahanya yang terasa hangat.

Namun tanganku hanya sampai pahanya, kemudian turun ke lututnya lagi.

Ciuman dan lumatan Anna pun terlepas.

Aku pun menjalankan lagi mobilku pada saat jam di dashboard menunjukkan pukul 03.00 pagi.

“Bakal ada kisah baru nih di antara kita Beib,” ucapku sambil mengemudikan mobilku.

“Iya. Hitung - hitung melanjutkan masa kecil kita aja.”

Aku memang mulai memikirkannya. Karena Anna memang sangat cantik. Padahal pada waktu kecil dia itu tampak tomboy dan gendut. Tapi setelah dewasa, dia kelihatan begitu cantik, tubuhnya pun tampak seksi sekali. Masa aku mau menghindar dari cewek cantik yang terang - terangan nembak aku duluan?

Tapi… apakah dia masih virgin atau sudah blong seperti Yama dan Gita?

Entahlah. Yang jelas dalam tempo secepat mungkin aku harus tahu “sikon”nya.

Setibanya di rumah, kubawa Anna ke lantai atas. Karena di situ ada kamar yang sangat indah viewnya. Namun Anna tampak ragu. “Aku mau ditinggal sendirian di sini Yang? Takut ah. Udah di kamarmu aja.”

“Mau tidur sama aku?” tanyaku.

“Iyalah. Ini rumah kok gede - gede amat. Kamu kok masih sangat muda sudah punya rumah sehebat ini. Apakah kamu sudah pandai nyari duit?”

“Rumah ini hadiah dari adik mama kandungku Beib. Sekaligus perusahaannya juga.”

“Ooo… pantesan. Tapi kamu masih kuliah kan?”

“Pendidikan sih gak boleh ditinggalin.”

“Kirain dilupakan saking asyiknya nyari duit.”

“Ya udah kalau mau tidur di kamarku, ayo. Aku udah ngantuk sekali nih.”

Anna pun mengikuti langkahku turun ke lantai bawah, sambil menjinjing tas pakaiannya dan masuk ke dalam kamarku.

“Kamarmu ini… kayak kamar pejabat tinggi aja Yang. Hmm… di sini suasananya terasa lebih hangat daripada yang di atas tadi,” kata Anna sambil mengeluarkan pakaian dari dalam tasnya.

Aku tidak mau menanggapinya, karena aku sedang mengganti pakaianku dengan baju dan celana piyama.

“Itu kamar mandi kan?” tanya Anna sambil menunjuk ke pintu kamar mandi pribadiku.

“Iya, “aku mengangguk sambil duduk di pinggiran bed, “Mau mandi?”

“Mau ganti baju Sayang.”

“Di sini aja mau ganti baju sih. Ngapain harus di kamar mandi?”

“Sekalian mau pipis,” sahut Anna sambil mengibaskan bajunya ke dekat mukaku.

“Pengen lihat kamu lagi pipis Beib,” ucapku sambil berdiri.

“Hihihiii… katanya ngantuk.”

“Iya. Nanti sehabis lihat kamu pipis, aku mau bobo,” kataku sambil mengikuti langkah Anna ke dalam kamar mandi.

“Ini buat pertama kalinya mau pipis disaksikan sama cowok,” kata Anna sambil menyingkapkan gaun terusannya yang berwarna hijau tosca, lalu menurunkan celana dalamnya sampai lutut dan duduk di atas kloset.

Terdengar bunyi kencingnya yang seperti pancaran air shower. Srrrr…!

“Pinter nyembunyiinnya. Sampai gak bisa lihat apa - apa,” kataku sambil memijat hidung Anna. Lalu aku keluar dari kamar mandi. Dan merebahkan diri di atas bed.

Tak lama kemudian Anna pun keluar dari kamar mandi. Sudah mengenakan kimono putihnya yang terbuat dari bahan goyang.

Setelah Anna berbariong di sampingku, aku memegang tangannya sambil bertanya, “Boleh aku tahu sesuatu yang sangat pribadi sifatnya?”

“Tanyalah… mau nanya apa?”

“Kamu masih virgin nggak Beib?”

“Masih lah.”

“Masa?! Aku kurang percaya.”

“Buktiin aja sendiri.”

“Haaa?! Emangnya aku boleh membuktikannya sendiri?”

“Boleh. Tapi kamu jangan menyia - nyiakan diriku kalau sudah membuktikannya.”

“Ya nggak lah. Kamu kan adik Mamie Beib. Mana mungkin aku tega nyakitin hatimu?”

“Kapan mau dibuktikannya? Sekarang?”

“Besok aja biar fisik kita sama - sama segar. Sekarang aku udah capek dan ngantuk.”

“Ya udah kalau gitu kita tidur aja ya.”

“Iya, tapi kitanya harus tidur telanjang ya Beib.”

“Haa?! Aku kedinginan dong nanti.”

“Kan kita tidur dengan satu selimut. Tapi sama - sama telanjang.”

“Sama amoy mualaf itu suka telanjang di balik selimut?”

“Iya,” sahutku berbohong. Padahal aku belum pernah melihat Nike telanjang.

Akhirnya Anna pun menanggalkan kimono dan celana dalamnya. Dan langsung telanjang, karena ia tidak mengenakan beha tadi.

Sekujur tubuh Anna yang tak tertutup apa - apa lagi itu… aduhai… indah sekali. Meski toketnya kecil, aku suka melihatnya.

Tapi setelah telanjang Anna langsung menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Sementara aku pun sudah menelanjangi diri dan menutupi tubuhku dengan selimut yang sama. Hanya leher dan kepala kami yang tidak ditutupi selimut.

Namun di balik selimut Anna memeluk pinggangku, sambil merapatkan pipinya ke pipiku. “Yakin nih takkan membuktikan virginitasku sekarang?” tanyanya setengah berbisik.

“Kalau dipaksakan sekarang, pasti kurang nikmat. Besok aja ya Beib,” sahutku sambil menggenggam toketnya yang tergenggam dengan satu tangan.

“Aku sih mau ikut kemauan kamu aja.”

Aku pun menguap terus, sehingga akhirnya kupejamkan mataku sambil tetap menggenggam toket kecil Anna.

“Toketku kecil ya,” ucap Anna setengah berbisik.

“Kecil tapi masih sangat kencang.”

“Memang gak pernah disentuh tangan colwok Yang.”

Aku mulai asyik meremas - remas toket kecil itu, yang memang masih kencang sekali.

Tadinya aku ingin memuaskan diri dengan memegang tokewtnya saja. Tapi lama kelamaan ada juga rasa penasaran, ingin memegang kemaluannya. Sehingga pada suatu saat, kujamah kemaluannya yang berambut jarang dan tipis itu.

“Jembutnya gak pernah dicukur?” tanyaku.

“Nggak lah,” sahutnya, “aku kan gak pernah mengusik memek segala. Kubiarkan aja apa adanya.”

Aku memang sudah mulai nafsu. Tapi kupaksakan tidur sambil menggenggam toket Anna.

Akhirnya kami benar - benar tidur.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan