2 November 2020
Penulis — Neena
45 hari kemudian …
Sebulan paska hari perkawinanku dengan Nike, kantor baru itu sudah selesai dibangun, di atas lahan 1 hektar (10.000 m2). Tapi penataannya butuh waktu dua minggu, karena kontraktor menyerahkan bangunan itu dalam keadaan kosong melompong semua.
Maka aku dan Nike dibuat sibuk untuk menata ruangan demi ruangan. Tentu saja setelah membeli segala perabotannya yang layak untuk kebutuhan kantor, seperti meja - meja kerja dan kursinya masing - masing. Di setiap meja pun ada monitor komputer, sementara PCnya disembunyikan di bawah meja masing - masing.
Bangunan kantor itu hanya satu lantai. Tapi atapnya dicor sekujurnya, untuk mempersiapkan diri, siapa tahu kelak harus dibangun dua atau tiga lantai.
Tapi pada dasarnya aku tidak ingin bangunan kantor yang mencolok. Karena kalau kantor baru itu terlalu megah, belum apa - apa bisa didatangin orang pajak. Maka biarlah kelihatannya sederhana dari luar, tapi kalau sudah masuk ke dalamnya akan kelihatan modernnya kantor perusahaanku ini.
Pemasangan meja, kursi, lemari dan sebagainya diatur sedemikian rupa supaya serba praktis. Tapi untuk menata semuanya itu butuh waktu dua minggu.
Yang sangat menyenangkaqn adalah semangat Nike itu, tidak kenal lelah. Seharian di kantor baru itu untuk menata ini - itu, dibantu oleh beberapa buruh harian.
Nike tidak perlu selalu bersamaku lagi. Karena dia sudah kubelikan mobil baru, sesuai dengan keinginannya. Mobil yang harganya di bawah 300 juta. Tapi Nike tampak senang sekali, karenaa sedan merah maroon metalic itu sudah lama diidam - idamkannya, meski menurutku kurang aduhai. Maklum sedan matic yang harganya tidak seberapa.
Sementara itu kakak sepupu Nike yang suka dipanggil Chichi Sui itu sudah tinggal di rumahku sejak seminggu paska hari pernikahanku dengan Nike. Waktu itu Nike bilang, bahwa nama kakak sepupunya itu Nyung Sui. Tapi Nike membiasakan memanggilnya Chi Sui saja. Setahuku Chichi itu berarti kakak perempuan, sementara kakak lelaki suka dipanggil Koko.
Karena itu aku pun memanggilnya Chichi saja, terkadang juga memangilnya Chi Sui. Ikut - ikutan pada Nike saja.
Memang Chi Sui itu rajin orangnya. Enak pula masakannya. Karena itu aku berjanji di dalam hati, untuk memberikan gift atau reward pada suatu saat kelak. Sebagai tanda besarnya hatiku menyaksikan keuletan, kerajinan dan ketrampilannya di rumah baru ini.
Sejak menikah dengan Nike, aku jadi selalu menginap di rumah baru yang sudah kuhadiahkan untuk Nike itu. Entah kenapa, rasanya hatiku nyaman sekali tinggal di rumah baru ini. Meski keadaannya tidak semewah di rumahku, namun hatiku nyaman, karena berada di dekat pendamping hidupku.
Sebenarnya aku sudah mengajak Nike untuk berbulan madu di luar negeri. Tapi Nike menolaknya secara halus dengan kata - kata, “Gak usahlah Sayang. Kita kan sedang siap - siap untuk membuka kantor baru itu. Kalau mau ngajak tour ke luar negeri, nanti aja setelah kita santai.”
Meski tawaranku ditolak oleh Nike, aku justru tambah kagum padanya. Karena semua yang dikatakannya itu benar. Bahwa saat ini kami sedang sibuk - sibuknya menata kantor baru itu. Kalau memperturutkan kata hatinya, tentu saja Nike akan menyetujuiku untuk berbulan madu di luar negeri. Tapi dia mengutamakan perusahaan dulu.
Mudah - mudahan saja Nike bisa memimpin perusahaanku (yang sebenarnya perusahaan Tante Aini, tapi secara hitam di atas putih akulah ownernya). Walau pun Nike masih sangat muda, tapi dia itu istriku. Maka wajarlah kalau aku mengangkatnya sebagai dirut. Karena sebagai “owner” aku tidak bisa duduk sebagai dsirut.
Tapi sebelum perusahaan itu berjalan secara sehat, tentu saja aku akan terus - terusan membimbing Nike, agar jangan mengeluarkan kebijakan yang tidak menguntungkan bagi perusahaan.
Ohya, ada yang terlupakan ditulis di sini. Bahwa dua hari setelah akad nikahku, Tante Aini mengirim berita via WA. Isinya hanya sekadar laporan, bahwa beliau telah melahirkan anak laki - laki, yang lalu diberi nama Abdullah oleh “ayahnya”. Beliau juga memberitakan tentang kegembiraan suaminya karena sudah mendapatkan “anak” cowok dari Tante Aini.
Bahkan ketika bangunan kantor baru itu baru diserahkan oleh kontraktornya, datang pula berita dari Mbak Susie. Bahwa ia tengah mengandung anakku juga.
Berarti tanpa nikah pun aku sudah punya anak dua, dari Mamie dan Tante Aini. Kemudian anakku bakal jadi tiga orang kalau Mbak Susie sudah melahirkan nanti.
Hahahaaaa… siapa suruh aku jadi pejantan? Mereka sendiri yang menginginkannya kan?
Namun tentu semua ini sudah tertulis dari sananya. Bahwa aku ditakdirkan untuk menjadi seorang pejantan…!
Untuk menyatakan kebahagiaannya, Mbak Susie mentransfer sejumlah dana ke rekening tabunganku. Bahkan kalau dihitung - hitung, yang membelikan mobil Nike itu bukan aku, melainkan Mbak Susie. Karena jumlahnya lebih besar daripada harga mobil baru untuk Nike itu…!
Sementara itu aku sudah menempatkan adik Mamie yang bernama Anna itu seperti yang sudah kujanjikan. Dijadikan kepala gudang dan menempati rumah kecil yang tak jauh dari gudang itu.
Anna tampak senang sekali mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup besar itu. Tapi ketika kutanyakan apakah ia masih berminat menjadi istri mudaku, Anna menjawab, “Gak usah resmi - resmian deh. Karena setelah dipikir - pikir, kasihan sama Nike itu. Tampaknya dia sangat tulus mencintaimu Chep. Biarlah tak usah menikah denganku secara resmi.
Adik Tante Irenka yang bernama Anastazie itu pun mengatakan hal yang serupa ketika kutawarkan untuk menjadi istri keduaku. Hanya bahasanya saja yang berbeda, namun kesimpulannya Zie menolak. Lagian menurutnya, di Eropa sudah biasa anak muda melakukan hubungan sex tanpa harus menikah.
Aku sih tidak mau memaksa orang yang ragu, apalagi yang menolaknya secara halus. Nikah atau tidak, nothing to loose buatku. Karena keperawanan yang dipecahkan bukan ada di dalam fisikku. Tadinya aku hanya ingin mempertanggungjawabkannya, makanya aku mau menikahi Anna dan Anastazie. Tapi kalau mereka menolak dengan berbagai macam alasan, terserah merekalah.
Karena itu biarlah aku konsen pada Nike saja sebagai satu - satunya istriku. Dan Nike memang istri yang patut kucintai dengan segenap perasaanku.
Tapi godaan itu datang dari dalam rumah yang sudah kuhadiahkan kepada Nike ini.
Padahal tadinyha aku tak pernah memperhatikannya. Tak pernah punya pikiran yang aneh -p aneh kepada sosok yang satu itu.
Lalu terjadilah sesuatu yang tak pernah kurencanakan di suatu pagi.
Aku bangun kesiangan, karena semalam habis bagadang di depan laptopku. Biasa, habis mengerjakan program kerja karyawan setelah kantor baru itu dibuka nanti.
Aku takkan ke kantor yang sudah hampir siap ditata itu. Ingin istirahat saja di rumah Nike ini atau di rumahku sendiri.
Setelah mandi kukenakan celana pendek dan baju kaus serba putih. Lalu keluar dari kamarku.
Kulihat Chi Sui sedang masak di dapur. Dan tidak menyadari kalau aku sudah berada di belakangnya.
Pada saat itulah aku baru menyadari bahwa tubuh Chi Sui yang gempal itu tampak sangat seksi kalau dilihat dari belakang. Karena bokongnya itu… gede sekali.
Saat itu ia mengenakan kimono wetlook berwarna abu - abu. Begitu ketatnya ikatan kimono itu, sehingga dari belakangnya ini aku bisa melihat bentuk bokongnya yang… aaaah… diem - diem si joni mulai bangun, karena otakku membayangkan bentuk Chi Sui dalam keadaan telanjang bulat. Seperti apa ya?
Lalu sambil berjalan mengendap - endap aku mendekati belakang tubuh Chi Sui. Dan… kupegang dan kuremas bokong wanita 36 tahunan itu.
Chi Sui terperanjat dan memutar badannya jadi berhadapan denganku. Dan mencubit perutku sambil menggerutu, “Bikin kaget aja iiih… !”
“Kalau mau nyubit jangan perut… coba cubitnya yang di bawah perutku,” sahutku sambil tersenyum - senyum.
“Yang mana? Yang ini?” tanyanya sambil menggenggam celana pendekku persis di bagian si joni yang sedang ngaceng. “Iiih… lagi tegang gini… !”
“Iya,” sahutku sambil memegang bahu Chi Sui, “gara - gara megang bokong Chichi barusan. Soalnya Chichi seksi banget sih.”
“Udah punya istri cantik begitu masih aja merhatiin perempuan lain. Kalau ketahuan sama Nike nanti gimana?”
“Gak apa - apa. Nike udah ngijinin aku polygami kok.”
“Terus Nike mau dimadu gitu?”
“Nggak ah. Tadinya sih pengen punya istri dua atau tiga orang. Tapi setelah dipikir - pikir, kasian Nike.”
“Nah, makanya itu… kenapa barusan remas - remas pantatku?”
“Karena Chiochi seksi abis.”
“Nikke kurang cantik apa coba? Kok masih…”
Belum selesai Chi Sui bicara, kupotong, “Nike memang cantik. Tapi badannya tinggi semampai. Sedangkan aku dari dulu seneng perempuan setengah baya yang bodynya semok kayak Chichi gini.”
Ucapan itu kuikuti dengan pelukan erat di pinggang Chi Sui.
“Matiin aja dulu kompornya Chi. Terus ikut ke kamarku yok.”
“Mau ngapain Boss?”
“Pengen gumulin Chichi sampai sama - sama basah…”
Chichi Sui tertunduk, seperti memikirkan sesuatu.
“Itu juga kalau Chichi mau kusayangi. Kalau nggak sih, aku gak bakal maksa.”
Tiba - tiba Chi Sui yang mendekap pinggangku sambil berkata lirih, “Sangat mau… tapi takut ketahuan Nike… bisa - bisa aku diusir dari sini nanti.”
“Yang penting kita harus rapi Chi. Kalau ada Nike kita saling cuek aja.”
Chi Sui menatapku dengan sorot mata jinak. Lalu mematikan semua kompor. Dan menurut saja ketika kuajak menuju kamarku.
Tapi setelah berada di dalam kamarku, Chi Sui berkata, “Sebentar… pintu - pintunya mau dikunciin dulu semua. Supaya kalau Nike tiba - tiba pulang takkan bisa menangkap basah kita.”
“Iya, silakan Chi,” sahutku sambil mencolek bibir saudara sepupu Nike yang bodynya bohay habis itu.
Chi Sui pun keluar dari kamarku. Sementara aku tersenyum sendiri, karena merasa kemenangan sudah di ambang pintu.
Chichi Sui tidak cantik. Tapi jelek pun tidak. Tampangnya biasa - biasa saja. Tapi bodynya itu membuatku silap. Membuat penasaran yang amat sangat. Ingin tahu seperti apa rasanya tubuh janda setengah baya itu.
Tak lama kemudian dia kembali lagi ke dalam kamarku, dengan sikap yang semakin jinak. Dan berkata, “Sejak ditinggal mati suami, aku tak pernah disentuh lelaki Chep.”
Dengan penuh gairah kuraih tangannya ke atas bed. Sambil berkata, “Makanya aku ingin berbagi rasa denganmu Chi.”
Setelah berada di atas bed, Chi Sui berkata sambil melepaskan ikatan tali kimononya, “Aku sih gak mau munafik… aku masih membutuhkan sentuhan lelaki. Tapi tadinya gak pernah mikir akan mendapatkannya dari suami adik sepupuku.”
“Aku juga tak mau munafik, sudah lama aku ini penggila wanita setengah baya seperti Chichi. Makanya ngepas deh… kita saling membutuhkan ya?” ucapku seraya mengusap - usap perut Chi Sui yang sudah celentang dalam keadaan tinggal beha dan celana dalam saja yang masih melekat di tubuh sintalnya.
“Iya… “Chi Sui tersenyum sambil menatapku yang tengah melepaskan baju kaus dan celana pendekku, “Mau jam berapa Chepi berangkat ke kantor?”
“Hari ini aku ingin istirahat. Ingin menikmati waktuku bersama Chichi. Sekalian untuk menyiapkan fisik, karena lusa kantor baru itu akan dibuka.”
Ketika tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhku, Chi Sui pun menanggalkan beha dan celana dalamnya. Sehingga tubuh tinggi montok itu tak tertutup apa - apa lagi.
Begitu menggiurkan tubuh Chi Sui di mataku. Bahkan menurutku, Chi Sui lebih seksi daripada Mama Esther
(Setelah aku menikah dengan Nike, aku memanggil Mama kepada ibunya Nike itu. Tidak pakai istilah Tante lagi).
Tentu saja. Karena Chi Sui lebih muda daripada Mama Esther.
Tubuh montok berbokong dan bertoket gede itu seolah menantangku untuk diterkam. Maka dengan nafsu yang semakin merajalela, kuterkam tubuh wanita setengah baya itu.
Aku mulai dengan mengemut pentil toge kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket gede kanannya. Spontan suhu tubuh Chi Sui mulai menghangat. Terlebih setelah aku menciumi dan menjilati lehernya, sementara tangan kiriku tetap meremas - remas toket kanannya, sambil sesekali memelintir pentilnya.
Seperti biasa, setelah puas dengan wilayah dadanya, aku pun melorot turun. Sehingga wajahku berhadapan dengan memek Chi Sui yang bersih dari jembut. Memek yang membangkitkan gairahku untuk menjilatinya.
Memek tembem itu memang lebar belahannya, tapi sepintas pun kelihatan bahwa liangnya tidak lebar. Membuatku yakin rasanya pasti enak sekali.
Chi Sui tampak mengerti apa yang akan kulakukan. Ia merentangkan sepasang paha gempalnya selebar mungkin, sambil mengangakan mulut memeknya. Maka aku pun langsung menyapu - nyapukan ujung lidahku ke bagian yang berwarna kemerahan dan sudah dingangakan itu.
Begitu asyik aku menjilati memek Chi Sui yang terasa empuk dan lengkap ini. Sesekali kujilati kelentitnya yang tampak menonjol dan menegang itu.
Chi Sui pun mulai menggeliat - geliat sambil meremas - remas bahuku. Dan mulai mendesah - desah ketika aku sudah fokus untuk menjilati kelentitnya disertai dengan isapan - isapan kuat, sehingga kelentit yang sebesar kacang kedelai itu tampak “mancung” karena tegangnya.
Belasan menit aku mengoral memek kakak sepupu istriku itu.
Sampai akhirnya ia merintih lirih, “Sudah Chep… masukin aja kontolnya… memekku sudah basah sekali nih…”
Kuturuti saja permintaannya. Dengan sigap kulepaskan celana dalamku.
Dan Chi Sui terduduk dengan mata terbelalak sambil berseru tertahan, “Astagaaa… gak salah nih? Kontol Chepi itu… gila… panjang dan gede sekali… !”
Kudorong dada Chi Sui agar celentang lagi sambil berkata, “Dibandingkan dengan kontol negro sih masih kalah Chi.”
“Tapi kontol almarhum suamiku sih tidak sepanjang dan segede ini,” sahut Chi Sui sambil ikut memegang kontolku yang sudah diletakkan di mulut memeknya.
Lalu kudorong kontol ngacengku sekuat tenaga. Dan… mulai melesak masuk ke dalam liang memek perempuan tinggi montok itu… blesssssssss… diiringi rintihan Chi Sui, “Ooooooh… kontol sepanjang dan segede gini sih bisa membuatku ketagihan nanti Chep… ooooh udah masuk semuaaaa… gila…
Aku tidak menanggapinya, karena aku sudah sering mendengar ucapan yang sama dari perempuan lain.
Dan kini aku mulai mengayun kontolku, bermaju mundur di dalam liang memek Chi Sui.
Ternyata meski tubuhnya tinggi gempal begitu, Chi Sui sangat atraktif di atas ranjang.
Bokong gedenya mulai bergoyang memutarf - mutar dan meliuk - liuk. Membuatku semakin semangat untuk mengentotnya.
Maju mundur dan maju mundur terus tongkat kejantananku di dalam cengkraman liang memek Chi Sui yang terasa empuk - empuk legit ini.
Aku pun melengkapinya dengan jilatan dan gigitan - gigitan kecil di leher Chio Sui yang mulai lkembab oleh keringat. Sementara memek Chi Sui terasa membesot - besot terus, karena bokong gedenya bergeol - geol erotis terus.
Maka ketika aku sedang mengentot memeknya sambil menjilati lehernya, tanganku pun mulai merambah sepasang toket gede itu. Kuremas - remas terus toket gede itu. Sementara kontolku semakin gencar mengentot liang sanggamanya. Chi Sui menanggapinya dengan mempergencar goyang pinggulnya, yang dengan sendirinya makin gencar pula liang memeknya membesot - besot kontolku.
Gila… tak kusangka memek Chi Sui seenak ini. Sehingga aku bertekad di dalam hati, bahwa hubungan rahasiaku dengannya harus dijalin terus sampai kapan pun.
Empuk tapi sangat legit. Itulah rasa liang memek Chi Sui.
Sementara Chi Sui pun melontarkan rintihan yang bernada serupa. Bahwa kontolku ini enak sekali rasanya. “Aaaaah… aaaaaaah… Cheeeepiiii… kontol Chepi ini… luar biasa enaknya Cheeeep… aaaaaah… Cheeeeep… iyaaaaaaa… iyaaaaa… entot terus Cheeeep… entoooot… entoooottttt…
enaaaak sekaliiii… aaaaah… Chepiiiiii… gak nyangka kontol Chepi seenak iniiii… aaaaah… Cheeeepiiii… entot terussss Cheeeep… entooottttt… entoooottttttt… entooooootttttt… tetekku remas agak kuat Cheeeeep… ooooohhhhh… Chepiiii… aku bakal ketagihan sama kontol Chepiii nantiii…