2 November 2020
Penulis — Neena
**Part 12
Aku memang sudah bertekad untuk menjadikan Nike sebagai calon istriku, bukan sekadar pacar biasa, Tapi aku juga yak bisa mengabaikan Bu Shanti yang sudah menyerahkan keperawanannya padaku, sebagai protes kepada orang tuanya yang akan menjodohkannya dengan lelaki tua itu. Tapi meski keputusannya itu sebagai protes pada keinginan orang tuanya yang akan menjodohkan dengan seorang lelaki tua, kenapa justru aku yang dipilih untuk merenggut keperawanannya?
Tentu ada sebabnya. Dan Bu Shanti sudah berterus terang, bahwa ia sudah jatuh hati padaku. Karena itulah ia memutuskan untuk menyerahkan kesuciannya padaku, tanpa pamrih.
Bu Shanti membebaskanku untuk mencintai dia atau tidak. Yang penting di depan ibunya, aku harus berpura - pura akan menikahi Bu Shanti. Itu saja. Nanti dengan berjalannya waktu, bisa saja muncul cowok lain yang Bu Shanti cintai, bisa juga muncul cewek lain yang aku cintai dan akan kujadikan istri.
Terbukti bahwa dengan cepatnya aku berjumpa lagi dengan adik Niko yang bernama Nike, yang sudah sangat lama tidak berjumpa denganku.
Lalu terjadilah sesuatu yang tidak direncanakan sebelumnya. Bahwa aku dan Nike sudah saling suka. Dan bahkan sudah terlontar janji untuk melanjutkan hubungan kami ke pelaminan.
Aku sadar bahwa Nike bukan target pelampiasan nafsu birahi semata. Karena itu aku sangat berhati - hati dalam memperlakukannya.
Saking berhati - hatinya aku, mencium bibirnya pun belum pernah. Setiap kali berjumpa atau mau berpisah, aku hanya melakukan cipika - cipiki dengannya. Tidak lebih dari itu.
Niked kuanggap seolah simpanan masa depanku. Bukan target nafsu sesaat.
Ternyata hal itu diamati juga oleh abangnya (Niko). Bahkan pada suatu saat Niko berkata, “Sebenarnya Nike itu tak pernah pacaran Chep. Baru kali ini dia terang - terangan mencintaimu. Aku senang - senang saja, karena Nike tidak jatuh ketangan yang salah. Titip aja adikku ya Chep. Aku percaya kamu selalu memperlakukannya dengan baik.
Kutepuk bahu sahabat lama yang akan menjadi abang iparku itu sambil menyahut, “Santai aja Nik. Kami sedang menyiapkan masa depan kami ke arah yang lebih baik.”
Hal itu memang sudah kubuktikan.
Aku masih ingat benar, bahwa sebelum berpisah dengan Mbak Susie, aku menerima dua lembar cek. Yang nominalnya besar sekali untukku. Yang nominalnya jauh lebih kecil untuk Mbak Nindie.
Tapi bukannya aku nyombong. Aku tidak membutuhkan uang meski jumlahnya begitu besarnya. Karena Tante Aini selalu mentransfer duit dalam jumlah banyak ke rekening tabunganku. Apalagi setelah Tante Aini mulai hamil, transfernya selalu gede - gedean.
Tapi aku tak berani menolak pemberian cek dari Mbak Susie.
Cek itu kuterima sambil mengucapkan terima kasih dan ciuman mesra di bibir Mbak Susie. Lalu cek untuk Mbak Nindie kuberikan kepada yang bersangkutan. Sementara cek untukku, kuberikan kepada Nike.
Nike tampak kaget setelah melihat nominal yang tertulis di cek itu. “Untuk apa uang sebanyak ini?” tanyanya.
“Terserah kamu Beib,” sahutku, “Mungkin untuk mobil murah - murah aja sih cukup.”
“Nyetir aja gak bisa. Buat apa beli mobil segala.”
“Terus apa kebutuhanmu yang paling mendesak?” tanyaku sambil membelai rambut Nike.
Nike tercenung sesaat. Lalu berkata, “Mungkin lebih tepat kalau untuk biaya renovasi rumah. Terutama kamarku, sudah ketinggalan zaman banget.”
“Terserah. Pokoknya cek itu sudah menjadi milikmu. Untuk apa - apanya, kamu tedntu tau apa yang terbaik untukmu saat ini.”
“Untuk renovasi rumah aja. Biar Mama dan Niko ikuy senang. Kalau ada lebihnya, belikan motor bebek aja. Biar gak naik angkot tiap hari.”
“Iya. Aku setuju. Kalau masih kurang, bilang aja terus terang padaku nanti ya Beib.”
“Iya. Terima kasih ya Sayang,” ucap Nike sambil mencium pipiku.
Ya… baik aku mau pun Nike hanya berani sebatas cium pipi. Belum berani lebih jauh dari cium pipi untuk memperlihatkan tanda cinta dan sayang kami.
Sudah lebih dari 3 bulan Bu Shanti tinggal di Inggris. Tapi belum pernah satu kali pun dia menghubungiku lewat hubungan seluler. Aku sendiri tidak pernah menghubunginya, karena takut mengganggu. Siapa tahu dia benar - benar sibuk dengan kuliahnya.
Tapi benakku mulai dihuni oleh tanda tanya besar. Ada apa dengan Bu Shanti? Apakah dia memang sibuk dengan kuliah S3 nya atau sudah menemukan calon suami yang sesuai dengan pendidikannya sendiri? Sementara aku, yang S1 pun belum, masih tetap menunggu dengan setia laksana si punguk merindukan bulan?
Kalau pikiranku sudah nyelonong ke sana, aku suka menggebrak diriku sendiri: Persetan dengan Bu Shanti! Biarkan dia mencari pasangan yang selaras dengannya, baik usia mau pun pendidikannya.
Aku bisa move on darinya kapan pun aku mau.
Hari demi hari pun berputar dengan cepatnya …
Sampai pada suatu sore …
Sore itu aku baru selesai kuliah dan menuju tempat mobilku diparkir di pinggir jalan, karena mahasiswa tidak boleh parkir mobil di area parkir kampus. Hanya dosen yang boleh parkir di sana. Maklum area parkirnya juga tidak terlalu luas.
Tukang parkir langgananku langsung menghampiri sambil bertanya, “Mau jalan Dek?”
“Iya, “aku mengangguk sambil memberikan uang parkir padanya. Lalu melangkah ke pintu depan sebelah kanan.
Belum lagi pintu samping setir itu kubuka, ada yang menepuk pangkal lenganku dan terdengar suara wanta di belakangku, “Chepi… numpang pulang dong.”
Ketika aku menoleh ke belakang, ternyata yang menepuk dan berkata itu dosenku yang senantiasa mengenakan jilbab. Bu Pratiwi namanya.
“Silakan Bu,” kataku sambil bergegas membuka pintu depan sebelah kiri. Bu Pratiwi (Biasa dipanggil Bu Tiwi saja) pun masuk ke dalam mlobilku.
“Rumah Ibu di daerah mana ya?”
Wanita empatpuluh tahunan itu menyebutkan nama daerahnya yang terletak di batas kota arah ke selatan. Padahal kampusku di ujung utara kotaku. Berarti cukup jauh juga aku harus mengantarkan Bu Tiwi itu.
Tapi biarlah, sekali - kali berbuat kebaikan pada dosenku sendiri kan positif nilainya.
“Wah… beruntung nih diriku. Bisa numpang mobil mewah begini,” kata Bu Tiwi setelah mobil kujalankan di jalan aspal.
“Yang biasa antar jemput pakai vespa ke mana Bu?”
“Dia kan anak semata wayangku Chep. Sekarang dia sudah pindah ke Jogja, karena kuliahnya di sana.”
“Owh… cewek yang suka anter jemput itu anak Ibu?”
“Iya. Cantik nggak anakku itu?”
“Masih cantikan Ibu. Hehehe…”
“Masa perempuan tua begini dibilang cantik.”
“Tua apa? Ibu lagi sedeng - sedengnya menawan.”
“Aaah… kamu bisa aja, “Bu Tiwi menepuk tangan kiriku yang nganggur.
“Suami Ibu kerja di mana?”
“Suami apa? Sudah lima tahun aku hidup menjanda Chep.”
“Lho… kenapa? Divorce Bu?”
“Dia meninggal dalam kecelakaan di tempat kerjanya.”
“Owh… maaf. Ikut prihatin mendengarnya.”
“Terimakasih. Tapi sekarang aku sudah mulai bisa melupakannya.”
“Sudah move on Bu?”
“Move on benar sih belum. Baru bisa melupakan almarhum yang sudah tenang di alam kekal.”
”Sudah dapat penggantinya Bu?”
“Belum,” sahut Bu Tiwi. Dan tiba - tiba dia mendekatkan mulutnya ke telingaku, disusul dengan bisikan, “Memangnya kamu mau mengisi kesepianku Chep?”
“Sangat - sangat mauuu…” sahutku dalam kaget.
“Serius?” tanyanya sambil menggenggam tangan kiriku yang nganggur.
“Serius Bu. Kalau perlu kita buktikan sekarang juga.”
Tiba - tiba Bu Tiwi mencium pipi kiriku, “Emwuuuaaaah…”
“Terima kasih Bu. Pucuk dicinta ulam tiba.”
“Memang udah lama ya kamu merhatiin aku?”
“Iya Bu.”
“Memangnya apa yang menarik pada diriku?”
“Banyak. Mata Ibu yang bundar bening, bibir yang sensual dan terutama pakaian yang Ibu kenakan tiap hari membuat penasaran… ingin tahu seperti apa bentuk Ibu di balik baju jubah panjang dan hijab ketat itu.”
“Nanti akan kamu lihat semuanya,” sahut Bu Tiwi sambil merapatkan pipi hangatnya ke pipiku.
“Serius Bu?”
“Tentu aja serius. Tapi kamu bisa menyimpan rahasia gak?”
“Rahasia sangat terjamin Bu. Mulutku bukan ember bocor,” sahutku sambil memutarkan mobilku, kembali ke arah utara.
“Lho… kenapa balik lagi?” tanya Bu Tiwi.
“Aku ingin bersama Ibu duduk berdua di puncak bukit yang bisa memandang ke arah kota kita. Sebentar lagi hari mulai gelap kan Bu. Jadi kita bisa melihat kota kita laksana ribuan kunang - kunang di gelap malam.”
“Ogitu… iya deh… aku ikut sama keinginanmu aja… tapi kenapa kamu bisa tertarik sama wanita yang sudah berumur seperti aku ini Chep?”
“Terus terang aja, aku pengagum wanita setengah baya Bu.”
“Pernah punya pengalaman dengan wanita seumuran denganku?”
“Pernah Bu. Tapi sekarang sudah pindah ke luar Jawa,” sahutku cuma mengarang saja.
“Kamu ini tampan sekali Chep. Nyari cewek yang seperti apa juga pasi bisa.”
“Gak ketarik sama cewek - cewek seusia atau lebih muda dariku Bu. Lebih ketarik sama wanita yang seperti Ibu ini.”
“Ya udah, nanti nginep aja di rumahku. Mau?”
“Siap Bu.”
“Tapi kalau ada tetangga yang nanya, bilang aja kamu ini keponakanku, gitu.”
“Emangnya tetangga Ibu suka usil?”
“Nggak juga sih. Cuma jaga - jaga aja, kalau ada yang nanya kamu siapa… jawab aja keponakan Bu Tiwi, gitu.”
“Iya deh. Sip pake telor. Kurang sip buka kolor.”
“Hihihihiiii…”
Di luar mobilku mulai gelap. Sehingga aku mulai menyalakan lampu HID-ku yang menyorot dengan terangnya ke arah jalan yang akan diinjak oleh ban mobilku.
Lampu mobil buatan Eropa pada umumnya kurang terang lampu sorotnya. Sehingga lampu - lampu depan kuganti. Lampu fog kuganti dengan lampu HID yang rendah kelvinnya, sehingga sinarnyha kekuning - kuningan untuk menembus kabut. Lampu dekat kuganti dengan lampu HID yang tinggi kelvinnya, sehingga sinarnya kebiru - biruan.
Beberapa saat kemudian mobilku sudah kuparkir di puncak bukit yang ada cafénya. Kupesan black coffee americano dan Bu Tiwi meminta coffee late, keduanya minta dikemas dalam cup plastik dan minta diantarkan ke mobilku yang sudah dihadapkan ke pinggir tebing, menghadap ke arah kotaku nun jauh di bawah sana…
Setelah minuman pesanan kami datang, kuletakkan kedua cup plastik itu di pembatas antara aku dan Bu Tiwi, karena minumannya masih panas sekali.
“Kota kita indah sekali dilihat dari ketinggian begini ya Bu,” kataku sambil memegang tangan kanan Bu Tiwi yang hangat dan halus.
“Iya… seindah hati kita ya?”
“Iya Bu. Tapi mungkin duduknya enakan di belakang, biar gak ada pembatas di antara kita berdua.”
“Oke,” sahut Bu Tiwi sambil membuka pintu di sebelah kirinya. Aku pun pindah ke seat belakang sebelah kanan. Sementara Bu Tiwi duduk di sebelah kiriku.
Mesin mobil tetap kubiarkan hidup, karena ingin menikmati musik yang mengalun perlahan dari audio mobilku, memutar album Vasiliy Nikitin - Chillout Ambient, yang tenang sekali dan sudah dipublish sampai lebih dari seri ke 170. Juga agar AC tetap hidup, agar kami tidak sesak nafas. Hanya lampu - lampunya kumatikan semua.
Setelah duduk berdampingan tanpa pembatas begini, aku bisa melingkarkan lengan kiriku ke pinggang Bu Tiwi dengan ketat, sehingga harum parfum yang dikenakannya tersiar mewangi ke penciumanku.
Memang di puncak bukit ini banyak sekali pasangan yang sengaja melakukan “sesuatu” di dalam mobilnya masing - masing.
Maka aku pun tak ragu untuk memagut dan mencium bibir Bu Tiwi, yang disambut dengan lumatan hangat dosenku yang sexy habis di mataku ini.
Cukup lama kami saling lumat di kegelapan malam di atas seat belakang mobilku. Namun aku malah makin penasaran. Sehingga aku berusaha menyelinapkan tanganku ke balik jubah panjang yang dikenakan oleh dosenku.
Sangat menyenangkan, karena Bu Tiwi seperti mengerti apa yang kuinginkan. Ia menarik baju jubah panjangnya sampai ke pangkal pahanya, sehingga aku bisa langsung mengusap - usap paha dosenku sampai ke pangkalnya.
Tak cuma itu. Aku pun berhasil mewnyelinapkan tanganku ke balik celana dalamnya. Dan… wow… langsung menyentuh memeknyha yang plontos alias gundul abis itu…!
Semakin garang juga Bu Tiwi melumat bibirku, bahkan lalu kami bertukar sedot lidah. Ketika lidahku terjulur, Bu Tiwi menyedotnya ke dalam mulutnya, lalu menggelutkan lidahnya dengan lidahku. Begitu juga waktu lidah Bu Tiwi terjulur, kusedot ke dalam mulutku dan digeluti oleh lidahku. Sehingga air liur kami bercampur aduk dan berpindah - pindah tempat.
Lebih asyik lagi ketika jemari tangan kananku sudah menemukan celah di memek Bu Tiwi yang bersih dari jembut ini.
Lalu jemariku mulai menyelusup ke dalam yang agak basah dan licin serta hangat ini. Pelukan Bu Tiwi di leherku pun semakin erat saja rasanya. Sementara jari tengahku mulai maju - mundurkan di dalam celah memeknya.
Sekujur tubuh Bu Tiwi makin menghangat. Pertanda perempuan setengah baya ini sudah horny.
“Chepi… aku udah gak kuat menahan nafsu lagi,” bisik Bu Tiwi.
“Mau dilakukan di sini aja?” tanyaku.
“ML sih jangan… jangan di sini…”
“Lalu mau check in ke hotel?”
“Jangan juga Chep. Takut ketemu sama orang yang kenal.”
“Lalu mau di mana?”
“Di rumahku aja… tapi mainkan terus kemaluanku Chep… ininya nih… itilnya…” ucap Bu Tiwi sambil menarik jariku ke arah kelentitnya.
“Mau dijilatin itilnya?” tanyaku.
“Jangan ah… pakai jari aja mainkan terus itilku… sampai orgasme… kalau mau jilatin segala sih nanti aja di rumahku.”
Aku sudah banyak pengalaman untuk mengekspoitasi kelentit agar cepat orgasme. Baik dengan main jilatan lidah maupun dengan gesekan ujung jari tangan.
Karena itu setelah Bu Tiwi meletakkan ujung jari tengahku di kelentitnya, meski gelap gulita pun aku bisa menekankan ujung jariku ke kelentit sebesar kacang kedelai itu. Kemudian kugerak - gerakkan jari tengahku dengan gerakan menekan dan memutar - mutar. Terkadang kucelupkan jari tgengahku ke liang kecil di memek Bu Tiwi, hanya untuk membasahinya dengan lendir Bu Tiwi.
Bu Tiwi pun mulai mendesah - desah perlahan, “Aaaah… aaaaaaa… aaaaaah… aaaaa… aaaaahhhhh… aaaa… aaaa… aaaaaaaaahhhhhhh… aaaa… aaaa… aaaahhhhh…”
Hanya beberapa menit akju melakukan semuanya ini. Sampai akhirnya tubuh Bu Tiwi mengejang sambil mendekapku erat - erat, dengan nafas tertahan.
“Aaaaah… sudah… sudah lepas…” kata Bu Tiwi sambil mengeluarkan tanganku dari balik celana dalamnya. “Haaaah… lega sekarang. Ayo ke rumahku aja sekarang. Nanti di rumah akan kuberikan semuanya untukmu Chep.”
“Iya Bu… sahutku sambil melompat ke depan lewat celah dua seat depan. Bu Tiwi pun ikut - ikutan pindah lewat celah di antara kedua seat depan.
“Kopinya masih hangat Chep,” kata Bu Tiwi sambil membuka tutup cup coffee latenya. Lalu meneguk isinya tanpa sedotan. Aku pun melakukan hal yang sama. Meneguk kopiku yangb masih hangat sampai habis setengah cup. Kemudian kupindahkan gigi matik mobilku ke R. Untuk memundurkan mobilku.
Tak lama kemudian mobilku sudah menuruni bukit itu di atas jalan yang berkelok - kelok.
“Sebenarnya tadi masih seneng mainin punya Ibu,” kataku di belakang setir mobilku.
“Nanti di rumah mauj diapain juga terserah kamu Chep. Yang penting jaga rahasia kita ya. Kalau bocor keluar, aku bisa dipecat dari kampus.”
“Tenang Bu. Di kampus kita malah harus saling cuek- cuekan. Supaya kita tidak dicurigai. Kalau ada yang perlu kita bicarakan, bisa lewat handphone kan?”
“Owh iya… kalau mau ketemuan, kita pakai WA aja nanti ya. Tapi namamu akan kusaving sebagai nama cewek.”
“Dan nama Ibu akan kusaving sebagai nama cowok.”
“Iya. Di kampus kita gak usah komunikasi sama sekali. By phone aja komunikasinya kalau kita sudah jauh dari kampus,” kata Bu Tiwi sambil memegangi ritsleting celanaku.
“Mau ngapain Bu?” tanyaku.
“Pengen kenalan sama punyamu,” sahutnya sambil merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku.
Tersenyum aku mendengar ucapan dosenku yang sereba sensual ini. Lalu kuturunkan ritsleting celanaku, sekalian kusembulkan batang kemaluanku yang sejak tadi masih tetap ngaceng ini.
“Wow… penismu ini… penis giant size… !” seru Bu Tiwi sambil memegang penis ngacengku.
Lalu ia membungkuk dan menciumi penisku.
“Jangan dioral Bu. Aku kan lagi nyetir,” ucapku.
“Nggak dong. Kan sebentar lagi juga kita tiba di rumahku,” sahut Bu Tiwi sambil mengusap - usap kepala dan leher penisku.
“Oh… iya… di dalam kompleks perumahan itu kan?” tanyaku sambilk menunjuk ke gerbang sebuah perumahan yang berbentuk gapura dan sudah dekat denganh mobilku.
“Iya,” sahut Bu Tiwi sambil memasukkan kembali penis ngacengku ke balik celana dalam dan menutupkan kembali ritsleting celanaku.
Setelah memasuki gerbang berbentuk gapura itu, Bu Tiwi berkata, “Lurus aja terus. Nanti setelah mentok belok ke kanan.”
“Siap Bu.”
Ternyata rumah Bu Tiwi di kompleks perumahan sederhana itu bukan rumah besar. Mungkin type 40an. Kamarnya pun hanya satu. Sementara di ruang tengah hanya dihampari permadani besar. Tiada kursi mau pun meja.
Setelah mengunci pintu depan, Bu Tiwi mengajakku masuk ke dalam kamarnya.
“Sederhana sekali rumahku kan? Tapi sebenarnya rumah utamaku bukan di sini,” kata Bu Pratiwi sambil melepaskan baju jubahnya.
“Rumah utama Ibu di mana?” tanyaku.
Bu Tiwi menyebutkan nama sebuah kota yang jaraknya sekitar 60 kilometer dari kota ini.
Di dalam kamar Bu Tiwi pun lantainya ditilami sehelai permadani yang agak kecil kalau dibandingkan dengan permadani di ruang tengah. Di atas permadani itulah Bu Tiwi duduk sambil melepaskan beha dan celana dalamnya. Tapi gaun dalamnya yang berwarna ungu tidak dilepaskan. Kerudungnya pun masih membelit kepalanya.
Apalagi setelah duduk di atas permadani, ia sengaja memamerkan sepasang toketnya yang indah sekali di mataku.
Setelah melepaskan sepatu dan kaus kakiku, aku pun duduk di samping Bu Tiwi, di atas permadani tebal itu. Dan di atas permadani itu aku memegang toketnya, sambil mencelucupi pentilnya.
“Tempat tidurku sudah agak reyot,” kata Bu Tiwi sambil melepaskan kancing - kancing kemeja tangan pendekku, “Mainnya di sini aja ya,” ucapnya perlahan.
“Iya Bu,” sahutku, “bersama Bu Tiwi sih di atas rumput juga pasti menyenangkan.”
“Kamu suka main outdoor?” tanyanya sambil melepaskan kemeja tangan pendekku.
“Iya… tapi belum kesampaian.”
“Nanti kalau di kampungku bisa outdoor. Tapi aku juga belum pernah mengalaminya.”
“Iya… kapan - kapan kita main ke kampung Ibu ya,” kataku sambil melepaskan celana panjang dan celana dalamku.