2 November 2020
Penulis — Neena
Esok malamnya Papa benar - benar pulang.
Begitu masuk ke dalam rumah, Papa langsung memanggilku. Entah kenapa, karena aku merasa sudah melakukan kesalahan besar kepada Papa, jantungku berdegup kencang waktu menghampiri beliau.
Ternyata Papa memeluk dan mencium dahiku, lalu berkata, “Selamat ulang tahun yang kedelapanbelas, ya Chep. Semoga panjang umur dan sukses selalu. Maafkan papa karena tidak bisa pulang pada hari ulang tahunmu kemaren. Tapi papa sudah transfer dana ke rekening tabunganmu, sebagai hadiah ulang tahun. Terserah kamu mau diapakan duit itu nanti, karena kamu sekarang sudah mulai dewasa.
“Iya Pap… terima kasih. ”
“Kapan kamu libur panjang?” tanya Papa.
“Dua minggu lagi Pap. “
“Nah… sekarang kamu sudah besar. Sudah dewasa. Zaman dahulu malah patokan dewasa itu pada usia tujuhbelas. Jadi kamu sudah bisa menilai sendiri mana yang baik dan mana yang buruk bagimu. Karena itu sekarang papa izinkan kamu untuk berjumpa dengan mamamu. Biar bagaimana Mama itu adalah ibu kandungmu.
“Iya Pap. Terima kasih. “
“Kamu masih ingat rumah mamamu kan?”
“Masih Pap. Rumahnya kan yang menghadap ke jalan raya, tapi di sampingnya ada jalan kecil. “
“Iya,” jawab Papa, “Di halaman depannya banyak pohon delima dan pohon mangga. ““
“Iya Pap. Aku masih ingat semuanya. “
“Lalu kamu mau pakai apa ke sana? Pakai bus?”
“Pake motor aja Pap. Biar bebas setelah ada di rumah Mama nanti. “
Dua minggu kemudian, aku sudah melarikan motorku ke kampung Mama yang jaraknya 60 kilometer dari kotaku.
Jalan cukup padat dengan kendaraan roda empat mau pun roda dua. Untunglah aku memakai motor, sehingga bisa selap - selip ke kiri ke kanan.
Dalam tempo relatif cepat aku pun sudah tiba di kampung Mama yang hanya kota kecamatan. Tanpa kesulitan sedikit pun aku tiba di depan rumah Mama yang masih sangat kuingat. Bahkan pohon mangga yang berderet di depan rumah Mama masih tetap seperti dahulu. Seperti waktu aku suka bermain di bawah pepohonan di masa kecilku, waktu Mama belum bercerai dengan Papa.
Ketika aku celingukan di dekat pintu depan, terdengar suara wanita dari ambang pintu itu, “Mau nyari siapa Dek?”
Aku terkejut dan mengamati wanita itu yang masih sangat kuingat. Yaaa… dia Mama kandungku!
“Mama lupa sama aku? Ini Chepi Mam,” sahutku yang disusul dengan mencium tangan Mama.
“Chepiiiii?! Ya Tuhan… “Mama merangkul dan memelukku sambil menangis tersedu - sedu, “Chepiiii… hiks… anakkuuuu… ooooooohhh… mama memang yakin bahwa pada suatu saat kamu akan datang juga. Karena pertalian darah dan batin kita takkan pernah putus… huuuuu… hiksss… Chepiiiiii…
Lalu Mama berjalan terhuyung - huyung sambil kudekap pinggangnya erat - erat, karena takut beliau terjatuh.
Kemudian Mama kududukkan di sofa. Sementara aku berlutut di lantai sambil menciumi lututnya, sambil bercucuran air mata.
Dengan suara sendu aku berkata, “Baru hari ini aku diijinkan oleh Papa untuk menjumpai Mama. Bahkan Papa nyuruh untuk menghabiskan liburanku selama dua minggu di sini. “
Mama menciumi rambutku dan masih terisak - isak. “Kekuatan apa pun takkan bisa memisahkan anak dengan ibu kandungnya. Mama memang mengerti kenapa kamu tidak diijinkan ke sini pada waktu masih kecil… hiks… hiks… mama berjuang untuk menenangkan hati mama selama ini. Untung masih banyak saudara yang sering menghibur hati mama dan berusaha menabahkan mama.
“Sudah Mam. Jangan menangis terus. Sekarang aku kan sudah diijinkan untuk menjumpai Mama di hari - hari luburku nanti. “
Mama pun berusaha menahan isak tangisnya. “Sekarang usiamu sudah berapa tahun?”
“Delapanbelas. Berarti usia Mama sekarang tigapuluhdelapan ya?”
“Iya. Kok kamu bisa tau?”
“Dahulu Mama kan pernah bilang, usia Mama duapuluh tahun waktu melahirkan aku. “
“Iya, iyaaa… sekarang kamu sudah jadi mahasiswa kan?”
“Iya Mam. Baru semester dua. “
“Syukurlah. Semoga kamu sukses di dalam menempuh pendidikan sampai jadi sarjana ya Chep. “
“Amiiin… “
Mama masih tetap seperti dahulu, seperti waktu mau berpisah denganku. Usia Mama lebih tua sepuluh tahun daripada Mamie. Jadi usiaku dengan usia Mamie dan usia Mama seperti tangga. Usia Mamie sepuluh tahun lebih tua dariku, usia Mama sepuluh tahun lebih tua dari Mamie.
Aku tak mau membanding - bandingkan fisik Mama dengan Mamie. Karena Mama dan Mamie punya kelebihan masing - masing. Dari perawakannya saja sudah jauh berbeda. Mamie berperawakan tinggi langsing, sementara Mama bertubuh tinggi montok. Mata Mamie agak menyipit, dengan hidung mancung meruncing. Sedangkan Mama bermata bundar dengan hidung mancung benar, mirip orang Pakistan.
Mama kelihatan sangat senang dengan kehadiranku di rumahnya. Lalu Mama sibuk di dapur bersama seorang pembantu yang datang pagi pulang sore, kata Mama.
Ketika hari sudah mulai sore, Mama mengajakku makan bersama. Sengaja aku duduk di samping Mama, karena aku mendadak jadi manja, ingin disuapi segala oleh ibu kandungku.
Mama ikuti saja keinginanku. Ia menyuapiku sambil berkata, “Waktu masih kecil kamu seneng sekali makan abon sapi dan sambel oncom yang kering dan dihaluskan. Sekarang masih suka?”
“Masih Mam,” sahutku, “Tapi Mamie cuma sekali - sekali aja menyediakan makanan favoritku itu. “
“Ibu tirimu galak nggak?” tanya Mama.
“Nggak. Sejak tinggal bersama dia sampai sedewasa ini, aku gak pernah dimarahi olehnya. Apalagi kekerasan, tak pernah terjadi. Dijewer telinga aja gak pernah. “
“Syukurlah kalau begitu. Kapan - kapan ajak dia ke sini. Mama akan terima dengan baik kok. Mama sudah tidak punya perasaan dendam lagi padanya. Yang penting dia mau merawat anak mama sebaik mungkin. “
“Iya, Mama tenang aja. Mamie gak pernah memperlakukanku secara buruk. “
Lalu kami lanjutkan ngobrolnya di ruang keluarga, sambil nonton televisi yang sedikit pun tak masuk di pikiranku. Entah kenapa, aku malah teringat - ingat Mamie terus. Teringat Mamie dan segala yang pernah terjadi dengannya.
Setelah hari mulai malam, Mama menempatkanku di kamar depan, yang sudah diberesi serapi mungkin. Tapi aku merasa kamar itu bekas kamar kakek dan nenek yang sudah tiada. Jujur, aku takut tidur di kamar itu sendirian. Maka kataku, “Nggak mau tidur di kamar depan ah. “
“Abis mau di kamar mana lagi? Kamar yang layak ditempati hanya ada dua. Apa mau di kamar mama?” tanya Mama.
Dengan gaya manja aku memeluk Mama dari belakang sambil berkata, “Iya… mau tidur sama Mama aja. Sebelum kita berpisah, aku kan masih suka tidur sama Mama. Nyaman sekali tidur dalam pelukan Mama. “
“Ya udah. Bawa tas pakaianmu ke kamar mama gih,” kata Mama sambil tersenyum.
“Iya Mam… emwuaaah…” sahutku yang disusul dengan kecupan di pipi Mama.
Malam itu aku merasa nyaman sekali tidur di dalam dekapan Mama. Setelah sembilan tahun berpisah, aku bisa merasakan lagi nyamannya dekapan dan kehangatan ibu kandung.
Malam kedua pun begitu. Bahkan di malam kedua itu, sebelum tidur kami masih sempat ngobrol di atas tempat tidur Mama.
“Mama kan belum tua. Empatpuluh tahun juga belum. Kenapa Mama tidak menmikah lagi?” tanyaku sambil mendekap pinggang Mama.
“Ah… yang naksir mama sih banyak. Tapi mama takkan kawin lagi Chep. “
“Kenapa?”
“Kawin lagi juga percuma, karena mama takkan bisa hamil dan melahirkan lagi. “
“Kok gitu? Kenapa gak bisa hamil lagi? “
“Ada masalah di rahim mama. Makanya waktu melahirkan kamu, dokter melarang mama hamil lagi. Kemudian mama disterilkan, agar tidak bisa hamil lagi. Kata dokter, kalau mama hamil lagi sangat berbahaya. “
“Ogitu Mam?! Kok baru sekarang aku dengar ceritanya. “
“Sebelum kita berpisah, kamu kan masih kecil. Baru umur sembilan tahun. Makanya mama merasa belum saatnya membicarakan masalah ini padamu.”
“Iya Mam. Lagian waktu itu aku belum punya handphone. Setelah punya pun bingung sendiri, karena aku belum tahu Mama pakai handphone nggak. Kalau punya pun, aku belum tau nomornya. “
“Iya. Mulai sekarang sih kita bisa ngobrol lewat hape ya?”
“Iya Mam. Kalau aku kangen Mama dan gak bisa ke sini, aku bakal nelepon aja nanti. “
“Iya… “
Lalu kami tertidur.
Di malam ketiga, aku malah duluan masuk ke kamar Mama, sementara Mama masih asyik nonton sinetron di televisi.
Pada malam ketiga inilah terjadi sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, apalagi merencanakannya. Saat itu aku sudah rebahan di bed Mama, dengan mata terpejam. Tapi sebenarnya aku belum tertidur. Hanya merem - merem ayam.
Lalu kulihat Mama masuk ke dalam kamarnya ini. Menengok ke arahku yang sedang merem - merem ayam ini. Lalu sambil membelakangiku, Mama melepaskan jilbabnya, disusul dengan baju jubah panjang hitamnya. Sehingga tinggal beha dan celana dalamnya yang masih melekat di tubuhnya. Kedua benda itu pun lalu dilepaskan.
Lalu entah setan mana yang merasuki jiwaku saat itu. Yang jelas, diam - diam kontolku mulai menegang di balik celana piyamaku…!
Dalamn keadaan telanjang bulat, Mama membuka lemari pakaiannya. Dan mengeluarkan sehelai kimono hitam yang lalu dikenakannya. Sehingga aku tahu benar bahwa di balik kimono itu Mama tidak mengenakan apa - apa lagi. Mungkin sudah menjadi kebiasaannya begitu kalau mau tidur.
Ketika Mama naik ke atas tempat tidur, aku langsung bereaksi. Mendekap Mama, tapi bukan pada pinggangnya, melainkan di toket gedenya yang masih tersembunyi di balik kimono hitamnya.
Mama agak kaget. Lalu terdengar suaranya, “Belum tidur?”
“Belum,” sahutku sambil memegang toket Mama yang sebelah kanan, “Pengen nenen dulu seperti masa kecil dahulu, boleh kan?”
“Hihihihiiii… kamu inget masa kecil?”
“Iya. Sampai kelas dua SD aku masih suka ngemut puting payudara Mama sebelum tidur,” kataku sambil bergerak menelungkup di samping Mama. Lalu kuemut pentil toket kanannya.
Sebenarnya ini salah satu trik yang kudapat dari Mamie. Bahwa kalau pentil toket diemut sambil dijilati, pasti perempuan itu akan terangsang dan jadi horny. Maka itulah yang kulakukan. Kuemut pentil toket Mama sambil menjilatinya.
Mama tidak menolak. Bahkan dengan lembut dibelainya rambutku. Dan berkata perlahan, “Kamu anak mama satu - satunya Chep. Apa pun yang kamu inginkan, akan mama kabulkan. “
Mendengar ucapan itu spontan tanganku terjulur ke bawah. Ke balik kimononya, tepat pada selangkangannya. Sambil berkata, “Kalau semua keinginanku akan Mama kabulkan, ajari aku tentang cara bersetubuh ya Mam. “
“Haaaa?! “Mama tampak kaget, “Yang begituan sih gak perlu diajarin. Nanti juga bisa sendiri. “
Pada saat itu pula aku telah berhasil menyelinapkan jari tanganku ke dalam celah memek Mama. “Aku ingin merasakan bersetubuh Mam. Kata orang - orang sih enak sekali. Makanya aku ingin nyoba. Dimasukkannya ke sini ya Mam?” tanyaku pura - pura belum punya pengalaman dalam soal seks.
“Iya Sayaaang… tapi mama ini kan ibumu Naaak… “
“Terus kalau ingin nyoba harus dengan pelacur?”
“Hush…! Jangan Sayang. Kalau dengan pelacur, nanti kamu bisa ketularan penyakit kotor. Hiii… serem…! Apalagi kalau ketularan HIV… takkan bisa disembuhkan. Ngeriiii… “
“Ya udah, kalau gitu sama Mama aja. Kan Mama sudah jadi janda. Gak ada yang punya. “
“Tapi mama ini ibumu… yang mengandung dan melahirkanmu… “suara Mama mulai mengambang. Karena jari tanganku mulai kugesek - gesekkan ke celah memeknya yang mulai basah. Anehnya, Mama tidak berusaha mengeluarkan jari tanganku dari liang memeknya. Bahkan lalu berkata lirih, “Sayang… jangan bikin mama bingung dong.
Lalu… diam - diam tangannya pun menyelundup ke balik celana piyamaku lewat lingkaran elastisnya di bagian perutku. Dan… ketika aku sedang asyik - asyiknya menggesek - gesekkan jari tengahku ke liang memek Mama yang makin basah ini, tiba - tiba tangan Mama memegang batang kontolku yang sudah ngaceng berat ini…
“Chepi… ini kontolmu diapain bisa gede dan panjang banget gini?” tanya Mama.
“Gak diapa - apain Mam. “
“Lebih gede dan lebih panjang daripada punya papamu Chep,” ucap Mama mengingatkan ucapan serupa yang terlontar dari mulut Mamie.
“Mungkin karena almarhumah nenek orang Pakistan ya Mam. “
“Mungkin aja. Iiiih… kebayang istrimu kelak, pasti ketagihan sama kontol sepanjang dan segede gini sih. “
“Jadi Mama mau kan ngajarin aku bersetubuh? Jangan pake alesan ini itu lagi Mam. Kalau ya jawab ya, kalau tidak jawab tidak aja. “
“Kalau mama jawab tidak mau, pasti kamu merajuk ya. “
“Iyalah. Aku lagi kebelet gini, pengen ngerasain bersetubuh. Kalau Mama gak mau, aku pulang aja malam ini juga. Di kota kan gampang nyari pelacur jam berapa juga. “
“Ya udah… udah… tadi mama udah janji akan mengabulkan apa pun yang kamu inginkan. Demi sayangnya mama sama kamu. Lepasin dulu baju dan celanamu Chep. “
Buru - buru kulepaskan baju dan celana piyamaku, karena takut pikiran Mama berubah. Setelah telanjang bulat, Mama menyuruhku celentang di atas bed bertilamkan kain seprai bercorak kulit harimau.
Lalu Mama melepaskan kimononya, sehingga tubuh chubby-nya tak tertutup apa - apa lagi.
Dari dekat barulah aku sadat bahwa Mama mengenakan stoking berwarna yang mirip dengan kulitnya. Namun pandanganku terfokus ke sepasang toiketnya yang gede dan bergelantungan. Yang lebih fokus lagi adalah ke arah memeknya yang tembem dan bersih dari jembut.
Dalam keadaan telanjang Mama duduk di antara kedua kakiku. Lalu mendekatkan wajahnya ke kontolku yang sudah ngaceng berat ini. Dan… hap… sepasang bibir tebal tapi sensual itu menangkap leher kontolku, lalu jemari tangan Mama memasukkannya ke dalam mulutnya.
(Bersambung)
“It may be a man’s world, but men are easily controlled by women.” ― Ashly Lorenzana
“Ini mungkin dunia pria, tetapi pria mudah dikendalikan oleh wanita.” ― Ashly Lorenzana