2 November 2020
Penulis —  Neena

Malam Malam Jahanam

Aku meninggalkan Surabaya dengan gejolak batin seolah panglima yang baru menggondol kemenangan di medan perang.

Tante Irenka pun tampak sangat bersemangat. Bahkan pada suatu saat ia bertanya, “Chepi tau siapa buyerku yang telah membeli ketiga kapal tanker itu?”

“Siapa Tante?” aku balik bertanya.

“Ayahku sendiri.”

“Ayah Tante?!”

“Iya. Dan yang sangat menyenangkan ketiga kapal tanker itu sudah dibeli lagi oleh seorang pengusaha minyak dari Afrika Selatan. Sekarang ketiga kapal tanker itu sudah melaut menuju Afrika.”

“Begitu cepatnya proses itu terjadi?!”

“Tidak terlalu cepat juga. Kita kan menghabiskan waktu dua minggu selama ini. Kemaren buyer dari Afrika Selatan itu datang ke Surabaya, beserta nakhoda - nakhoda dan crew kapalnya.”

“Baguslah. Berarti kita sudah mencapai sukses yang gemilang, ya Tante.”

“Iya… itu suatu pertanda bahwa hubungan kita harus berlanjut terus sampai tua.”

“Siap Tante.”

“Duit pembagian keuntungan itu mau dipakai untuk apa Chep?”

“Biar mengendap aja dulu di rekeningku Tante. Itu kan bukan duit sedikit. Harus dipikirkan sematang mungkin mau dipakai apa nanti.”

“Mau dijadikan tambahan modal usahamu?”

“Sebaiknya begitu. Kalau tidak diputar, lama kelamaan bisa habis juga nanti.”

“Kamu masih sangat muda. Tapi pola pikirmu sudah sangat dewasa dan penuh tanggung jawab. Itu salah satu kelebihanmu Sayang,” ucap Tante Irenka sambil mengecup pipi kiriku.

“Terima kasih Irenka Sayang,” ucapku di belakang setir mobil Tante Irenka.

“Mmmm… aku suka sekali kamu panggil aku dengan sebutan Irenka Sayang itu… membuatku makin dalam mencintaimu Honey.”

Tante Irenka sudah berterus terang bahwa yang menjadi buyer ketiga kapal tanker itu adalah ayahnya sendiri. Tapi aku tetap merahasiakan siapa pemilik ketiga kapal tanker itu. Karena takut berbuntut panjang kalau beritanya menyebar ke mana - mana. Selain daripada itu, percuma juga aku menyebut nama Tante Aini.

Yang membuatku agak ragu - ragu, Tante Irenka memintaku mengantarkannya sampai di rumahnya. Berarti aku akan berjumpa dengan Oom Safiq. Dan itu membuatku takut juga sih.

Tapi Tante Irenka berkata, “Nanti kita harus bersikap seperti belum terjadi apa - apa di antara kita berdua. Santai aja Milenec.”

“Milenec?!”

“Milenec itu kekasih di dalam bahasa Czech.”

“Tante dibesarkan di Jerman. Tapi bahasa Czech tetap digunakan juga ya.”

“Iya. Di dalam keluargaku tetap menggunakan bahasa Czech. Tapi kalau di luar rumah kami menggunakan bahasa Jerman.”

Akhirnya aku berhasil menabahkan diri untuk mengantarkan Tante Irenka ke rumahnya. Berarti aku harus menjumpai Oom Safiq tanpa perasaan takut atau pun kuatir. Karena Tante Irenka sudah menjamin takkan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Ternyata sore itu Oom Safiq sedang duduk di teras belakang, di atas kursi rodanya, menghadap ke arah taman yang berada di pekarangan belakang rumahnya.

Tante Irenka duluan menghampiri Oom Safiq. Lalu mencium sepasang pipi adik Papa itu.

“Bagaimana? Sukses?” tanya Om Safiq dengan suara yang agak pelo. Mungkin salah satu dampak kena stroke itu.

“Sukses Pap. Itu anaknya Bang Adrian ikut,” sahut Tante Irenka sambil menunjuk ke arahku.

“Mana?” Oom Safiq memutar arah kursi rodanya. Mungkin untuk menoleh pun tidak bisa.

Cepat aku berlutut di depan kursi roda adik kandung Papa itu. “Ini Chepi Oom,” ucapku sambil mencium tangan Oom Safiq.

“Waduh… Chepi sudah ja… jadi pemuda gini? Papamu sehat?” tanya Oom Safiq dengan suara yang kurang jelas, sambil mengusap - usap rambutku.

“Sehat Oom. Papa suka ke sini kan?”

“Sering,” sahut Oom Safiq, “Sejak aku kena stroke, papamu suka nengok ke sini. seminggu sekali.”

“Owh… terus adek - adek ke mana Oom?”

“Elke dan Hania pada kuliah di Australia.”

“Jadi di sini Oom cuma berdua dengan Tante Irenka saja?”

“Bertiga dengan adik tantemu itu,” sahut Oom Safiq.

“Owh iya… tunggu sebentar ya Chep. Kamu harus kenal juga dengan adikku,” kata Tante Irenka sambil melangkah ke lorong menuju pintu - pintu yang berderet.

Pada saat itulah Oom Safiq berkata padaku, “Apakah tantemu sudah bilang mengenai sesuatu yang harus dirahasiakan itu?”

“Su… su… sudah Oom,” sahutku tergagap.

“Aku titip tantemu itu ya Chep. Aku sudah tidak berdaya dalam masalah sex. Tapi aku tak mau kehilangan dia.”

“Iya Oom.”

“Nah… daripada dia selingkuh dengan orang luar, mendingan kamu yang mewakili aku untuk memuaskan libidonya yang masih kenceng.”

“Iii… iya Oom.”

“Yang penting dia tetap mendampingiku sampai aku mati nanti. Tapi Chepi yang harus bisa memuasi hasrat birahinya. Aku ingin membahagiakannya dengan caraku sendiri. Tapi jangan ngomong apa - apa sama papamu ya. Jadikan hal ini rahasia kita bertiga, aku, tantemu dan kamu Chep.”

“Iya Oom…”

“Emangnya selama di Surabaya kalian belum pernah melakukan apa - apa?”

“Be… belum Oom. Di Surabaya kami sibuk mengurus bisnis. Lagian aku ingin kejelasan dari Oom dulu,” sahutku berbohong, seperti yang disarankan oleh Tante Irenka dalam perjalanan dari Surabaya tadi.

“Sekarang sudah jelas kan? Tantemu tidak berbohong. Aku sendiri yang menganjurkannya seperti yang sudah diceritakan barusan. Bisa kan kamu membantuku dalam hal yang harus dirahasiakan itu?”

“Si… siap Oom.”

Tak lama kemudian Tante Irenka muncul, bersama seorang cewek bule cantik, mengenakan gaun panjang ditutup oleh jaket tebal. Cantik dan segar kelihatannya. Aku yakin usianya pun masih belasan tahun.

“Nih kenalin adikku,” kata Tante Irenka. “Namanya Anastazie. Kalau di negara lain sih namanya bisa jadi Anastasia atau Anastasya. Tapi bagi orang Czech namanya Anastazie. Chepi bisa menggil Zie aja sama dia, biar gak sulit ngucapinnya.”

Lalu aku berjabatan tangan dengan adik Tante Irenka yang bernama Anastazie itu.

Yang membuatku terlongong adalah… Anastazie itu… cantik sekali…!

Maka diam - diam aku melakukan sesuatu yang nakal. Bahwa ketika aku berjabatan tangan dengannya, ujung telunjukku mengorek - ngorek telapak tangan Anastazie. Dan cewek bule itu menatapku dengan senyum manis di bibirnya…!

Namun tak lama aku melakukan hal itu. Karena tampak Oom Safiq menggerakkan kursi rodanya yang lumayan canggih. Kursi roda yang dilengkapi dengan tenaga listrik, sehingga tangannya tak perlu mengayuh rodanya, cukup dengan memijat tombol saja. “Aku mau istirahat dulu ya Chepi,” kata Oom Safiq, “Kamu mau nginap di sini kan?

“Mmm… iya Oom,” sahutku terlontar begitu saja.

Tante Irenka pun mengikuti kursi roda electric itu, sementara aku dan Anastazie masih berada di teras belakang rumah Oom Safiq yang lumayan besar dan megah itu.

“Can you speak Indonesian?” tanyaku.

“Bisa,” sahut Zie, “Aku kan sudah enam tahun tinggal di Indonesia.”

“Wow, kirain belum lama di sini.”

“Sejak kelas satu SMP aku tinggal di sini.”

Tak lama kemudian, Tante Irenka muncul lagi dan memberi isyarat padaku agar mengikutinya menuju pintu pertama yang berderet di lorong itu.

Aku pun mengikuti langkahnya, masuk ke dalam kamar pertama.

Setelah berada di dalam kamar, Tante Irenka berkata, “Oom Safiq mengijinkanku untuk bercinta denganmu sekarang. Tapi aku akan memberikan jatahku kepada Zie. Kasihan dia itu. Usianya sudah delapanbelas tahun tapi belum pernah merasakan hubungan sex. Kalau di Jerman sih cewek baru berusia empatbelas atau limabelas pun banyak yang sudah merasakannya.

“Iya, aku pernah dengar masalah itu di Eropa, bukan hanya di Jerman.”

“Zie memang cantik. Tapi ada sesuatu yang membuatnya minder, sehingga setelah tinggal di sini gak mau bergaul.”

“Memangnya kenapa dia Tante?”

“Toketnya gede banget. Jauh lebih gede daripada toketku,” sahut Tante Irenka, “Makanya dia selalu memakai jaket, untuk menyembunyikan kegedean toketnya itu. Chepi mau kan menolongnya?”

“Dengan cara apa aku bisa menolongnya?”

Setengah berbisik Tante Irenka menyahut, “Kasih dia pengalaman bersetubuh. Supaya sikapnya ceria lagi seperti di masa kecilnya.”

“Tante serius nih?”

“Sangat serius. Masa aku main - main dalam masalah yang seperti itu. Aku sangat menyayangi adikku itu. Sehingga aku ingin berusaha membahagiakannya, agar jangan murung terus begitu. Chepi mau kan membantuku untuk membahagiakan adik kesayanganku itu?”

“Memangnya Zie pasti mau melakukannya denganku?”

“Pasti mau lah. Masa dikasih cowok setampan kamu gak mau? Aku aja sampai jatuh cinta sama kamu. Bagaimana? Kamu mau kan Sayang?”

“Mmm… atur - atur ajalah. Tapi aku harus mandi dulu. Biar seger badannya.”

“Mandilah. Itu kan ada kamar mandi, “Tante Irenka menunjuk ke pintu kamar mandi yang ada di dalam kamar ini.

“Oke, aku mau ngambil tas pakaianku dulu di mobil.”

Lalu aku keluar menuju garasi. Untuk mengambil tas pakaianku dari bagasi mobil Tante Irenka.

Hari pun mulai malam.

Aku mandi sebersih mungkin di bathroom yang berada di kamar itu.

Selesai mandi, kukenakan celana pendek dan baju kaus serba putih. Lalu keluar dari kamar mandi.

Ternyata Tante Irenka dan Anastazie sudah duduk di sofa yang tak jauh dari bed.

Setelah aku muncul di bedroom, Tante Irenka berkata dalam bahasa Czech kepada adiknya, yang aku belum mengerti artinya. Hanya di ujungnya kudengar Tante Irenka berkata, “Nebuď stydlivý …” yang kalau tidak salah artinya jangan malu - malu.

Lalu Tante Irenka bangkit dari sofa. Memegang bahuku sambil berkata, “Titip adikku ya. Senangkanlah hatinya.”

“Iya, “aku mengangguk, “Tante mau ke mana?”

“Mau istirahat dulu di kamar yang di ujung sana,” sahut Tante Irenka sambil melangkah ke luar. Meninggalkan Anastazie sendirian di sofa, dalam gaun dan jaket tebal yang sejak tadi dikenakannya.

Dan aku pura - pura tidak tahu apa alasan Anastazie mengenakan jaket tebal itu. “Lagi sakit?” tanyaku sambil duduk di sampingnya.

“Tidak. Aku sehat - sehat aja,” sahutnya.

“Lalu kenapa pakai jaket?” tanyaku lagi sambil memegang tangannya dan mengusap - usap telapaknya.

“Malu… takut kelihatan payudaraku besar sekali…” sahutnya tersipu.

“Lho… payudara besar itu suatu kelebihan, bukan kekurangan. Harusnya dijadikan kebanggaan. Bukan harus membuatmu malu Zie.”

“Chepi suka sama payudara besar?” tanyanya sambil menatapku.

“Sangat suka. Kalau payudara besar kan bisa dipakai buat jepit ini,” sahutku sambil meletakkan tangan Anastazie di celana pendekku, tepat di bagian penisku.

“Owh… kamu benar - benar mau melakukannya denganku?” tanyanya sambil meremas - remas celana pendekku, sehingga batang kemaluanku yang bersembunyi di baliknya, mulai bangun.

“Iya. Aku akan melakukannya sesuai dengan perintah Tante Irenka.”

“Mau melakukannya cuma karena diperintah oleh Irenka?”

“Perintah itu merupakan kejutan untukku. Karena waktu kita berjabatan tangan tadi, kamu ingat apa yang kulakukan ya?”

“Iya. Kamu menggelitik telapak tanganku.”

“Nah itu terjadi sebelum ada perintah dari Tante Irenka,” kataku, “Berarti aku sudah suka sama kamu sejak berjabatan tangan tadi. Padahal aku belum dianjurkan untuk bersamamu oleh saudaramu. Makanya… lepaskanlah jaketmu. Aku ingin melihat seksinya sekujur tubuhmu.”

“Kamu aja yang lepasin,” sahut Anastazie sambil mengangsurkan dadanya ke dekatku.

“Oke,” ucapku sambil memegang ritsleting jaket tebal berwarna abu - abu itu. Lalu menurunkannya sampai terlepas di bagian bawah jaket itu.

Kemudian kulepaskan jaket itu. Kususul dengan melepaskan gaunnya yang berwarna pink. Ternyata di balik gaun berwarna pink itu pun ada dua macam benda yang berwarna pink juga. Beha dan celana dalamnya.

Dan setelah behanya pun kulepaskan, tampaklah dengan jelas bahwa sepasang toket Anastazie memang benar - benar gede. Jauh lebih gede daripada toket Tante Irenka…!

Sebenarnya aku terkejut menyaksikan payudara segede itu. Kalau Anastazie sudah berumur limapuluhan, mungkin aku takkan begitu kaget melihatnya. Tapi Anastazie baru berumur 18 tahun dan punya toket segede itu. Maka wajarlah dia selalu minder dalam kesehariannya.

Tapi aku tetap bertenggang rasa. Aku menyembunyikan kekagetanku dan bahkan berkata, “Sebenarnya cewek bertoket gede seperti inilah yang kucari dari dulu. Dan sekarang aku menemukannya. Jadi… kamu laksana bidadari yang diturunkan dari langit untuk mewujudkan khayalan lamaku…”

“Memangnya kamu suka sama aku?” tanyanya.

“Sangat suka,” sahutku diikuti dengan kecupan mesra di bibir sensualnya.

Zie tersenyum. Manis sekali senyum itu.

“Kamu benar - benar belum pernah merasakan hubungan sex?” tanyaku sambil memainkan toket gede Zie.

“Belum pernah, “Zie menggeleng.

“Dan sekarang sudah siap untuk merasakannya bersamaku?”

“Siap Chep… teman - temanku di Eropa sih sejak umur tigabelas tahun juga banyak yang sudah merasakannya. Sedangkan aku… sudah delapanbelas tahun.”

“Oke. Kita lakukan di sana aja yuk,” ajakku sambil menunjuk ke arah bed.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan