2 November 2020
Penulis —  Neena

Malam Malam Jahanam

Dalam perjalanan menuju villa kepunyaan Tante Aini itu, aku menyempatkan diri membeli makanan untuk bekal di villa nanti. Aku pun menyempatkan diri untuk menelepon Nike.

Suaranya sengaja di keluarkan lewat speaker hapeku. Agar Narita ikut mendengarkan, Lalu :

Nike :-Hallo Bang. -

Aku :-Sibuk?-

Nike :-Iya. Tapi besok pagi juga semuanya selesai. Jadi lusa benar - benar bisa grand opening. Abang mau ke kantor hari ini? -

Aku :-Nggak. Ini justru udah di luar kota. Mau ke Jakarta. Ada urusan bisnis yang harus diselesaikan. -

Nike :-Owh… mau nginep?-

Aku :-Iya. Kalau pulang hari gak kuat lah nyetir sendiri gini. -

Nike :-Tapi maksimal besok malam harus sudah pulang Bang. -

Aku :-Ya iyalah, Kan lusa kita akan grand opening kantor. -

Nike :-Hihihi… kirain lupa. -

Aku :-Oke deh. Aku lagi nyetir nih. See you Beib. -

Setelah hubungan seluler ditutup, aku memegang tangan Narita yang berada di sampingku, “Beres kan? Udah ada ijin dari sang permaisuri.”

“Kirain tadi mau ngomongin masalah aku,” sahut Narita.

“Pelan - pelan dulu dong. Kalau sekarang kami sedang dalam hari - hari sibuk. Karena lusa kantor baruku akan dibuka.”

“Sekarang kita benar - benar mau ke Jakarta?”

“Nggak. Sebentar lagi juga nyampe. Tadi bilang mau ke Jakarta, supaya ada alesan untuk nginep.”

Tak lama kemudian mobilku sudah memasuki pekarangan villa punya Tante Aini yang dipercayakan padaku untuk merawatnya. Bahkan Tante Aini membolehkanku untuk memakainya pada saat - saat tertentu, seperti sekarang ini.

“Waduh… villanya keren banget Bang. Ini villa punya Bang Chepi?” tanya Narita setelah turun dari mobilku.

“Punya tanteku. Tapi kita bebas melakukan apa pun di sini. Mau telanjang bulat seharian juga gakpapa,” sahutku sambil menggandeng pinggang Narita masuk ke dalam villa.

“Hihihiii… masa telanjang seharian,” ucap Narita sambil balas menggandeng pinggangku juga, “Ohya… mau nyobain gaun - gaun baru yang Abang belikan tadi ya.”

“Iya… sekalian ingin lihat kamu telanjang,” sahutku.

“Malu dong telanjang di depan Bang Chepi,” ucap Narita sambil mengeluarkan salah satu gaun baru dari kantong plastik besar yang diletakkannya di atas meja makan villa.

“Kamu kan calon istriku. Tapi aku harus tau tubuhmu mulus gak. Siapa tau banyak bekas kudis atau boroknya.”

“Amit - amit. Tubuhku mulus Bang. Tapi toketku kecil… hihihiii…”

“Soal toket sih gak masalah. Yang penting kamu masih perawan. Masih kan?”

“Masih Bang. Dijamin soal itu sih. Pacaran aja belum pernah.”

“Tapi kamu naksir aku duluan kan?”

“Hihihiii… kata siapa? Paling Mama yang ngomong gitu sama Abang ya.”

“Jawab dulu pertanyaanku. Setelah kamu jabatan tangan denganku di acara akad nikahku dengan Nike itu, kamu jatuh hati padaku kan? Jawab secara jujur dong.”

“Iya Bang. Makanya aku bilang sama Mama, kalau punya calon suami seperti Bang Chepi sih, aku mau.”

“Berarti kamu cewek yang jujur. Aku suka itu. Aku paling benci pada cewek yang suka membohong. Ayo bukalah baju dan celana panjangmu. Kan mau nyobain gaun.”

Tanpa banyak bicara lagi Narita melepaskan celana jeans dan baju kaus biru mudanya.

Tadinya kupikir tidak ada pakaian lagi di baliknya, kecuali celana dalam dan behanya. Tapi ternyata tidak. Masih ada pakaian dalam berbentuk rompi dan rok mini berwarna hijau tosca. Aku masih ingat, foto Narita yang diperlihatkan oleh Chichi Sui di hapenya. Narita mengenakan rompi hijau tosca itu di fotonya.

Mungkin pakaian Narita masih terbatas, karena belum bekerja. Sementara ibunya sendiri sekarang mengandalkan Nike dan aku.

“Waktu dengan Nike, Abang test dulu keperawanannya sebelum menikah?” tanya Narita ketika tinggal bra dan celana dalam yang masih melekat di tubuh putih mulusnya.

“Iya,” sahutku, “Nanti boleh ditanyakan sama dia setelah urusan kita clear sekarang. Kalau aku bohong, silakan ludahi mukaku nanti.”

“Jadi sekarang Abang mau ambil keperawananku, kemudian kita menentukan hari pernikahan kita, begitu?”

“Iya.”

“Hihihiiii… aku gak pernah pacaran. Sekalinya ketemu sama Abang langsung mau diambil keperawananku.”

“Kalau kamu keberatan, silakan kenakan lagi pakaianmu, kemudian kita pulang ke rumah masing - masing,” ucapku dengan nada agak jutek.

Narita memegang kedua pergelangan tanganku, lalu berkata dengan nada memohon, “Jangan marah dong Bang. Aku sangat serius mencintai Abang. Kalau Abang merajuk atau marah, aku jadi sedih.”

Mendengar itu aku tersenyum. Lalu berkata lembut, “Makanya jangan ada keraguan sedikit pun. Kalau ternyata kamu memang masih perawan, kamu akan mendapat tempat istimewa di dalam hatiku. Oke?”

Kuraih lengan Narita dan membiarkan dia masih mengenakan bra dan celana dalam. Lalu kutarik badannya agar duduk di atas kedua pahaku. “Memang tak usah terburu - buru. Waktu kita kan banyak,” ucapku sambil menengadahkan wajah cantik Narita. Sementara wajahku menunduk di atasnya. Kuamati dengan seksama wajah anak Chi Sui itu.

Kalau aku harus menilainya secara jujur dan objektif, Narita adalah cewek tercantik di antara cewek - cewek yang pernah kukenal. Karena itu aku agak terburu - buru ingin memilikinya. Dan siap untuk mempertanggungjawabkannya kepada Nike kelak.

“Kenapa nama kecilmu Nay?” tanyaku sambil membelai rambut Narita yang agak panjang dan lurus hitam.

Narita menjawab, “Waktu kecil aku suka dipanggil Nar. Tapi aku belum bisa nyebut R. Jadi aku suka membahasakan diri Nay… akhirnya aku dipanggil Nay saja oleh ortu.”

“Orang chinese Singapore Naynay itu panggilan untuk nenek. Kalau Tata panggilan untuk kakek.”

“Masa sih?! Makanya Abang jangan manggil Nay dua kali ya. Hihihiii…”

“Aku mau manggil Nar aja. Kamu juga udah bisa nyebut R sekarang kan?”

“Iya… terserah Abang aja.”

“Sekarang aku ingin melihat sekujur tubuhmu dalam keadaan telanjang bulat. Wajar kalau orang mau memiliki sesuatu harus tau dulu keadaannya seratus persen kan?”

Narita spontan menanggalkan behanya sambil berkata, “Sebenarnya aku malu memperlihatkan toketku. Karena… toketku kecil Bang.”

“Aku justru suka toket kecil gini. Karena dengan satu tangan bisa tergenggam semua. Lagian kalau toket kecil, sampai tua juga takkan kendor dan menggelayut ke bawah,” sahutku sambil memegang toket kecil Narita yang tergenggam oleh satu tanganku.

“Iya… kata orang sih kalau toket gede cepat lembeknya ya Bang.”

“Hahahaaaa… itu betul. Pokoknya toket kecil dan toket gede punya kelebihan masing - masing.”

“Toket Mama tuh gede,” ucap Narita membuat batinku tersentak. Karena terbayang lagi apa yang sudah terjadi di antara mamanya Narita denganku.

“Masa sih?!” cetusku pura - pura belum tahu keadaan sekujur tubuh Chi Sui.

“Betul. Toket Mama sih gede. Tapi gak nurun sama aku. Mungkin karena aku banyak menuruni gen almarhum Papa juga.”

“Iya. Seorang anak kan hasil campuran chromosome ayah dan ibu, lalu dibagi dua.”

“Bukankah itu untuk menentukan IQ seorang anak Bang?” tanya Narita.

“Heheheee… kamu ternyata cerdas juga ya.”

“Aku di sekolah ranking satu terus Bang. Hanya saja gak punya biaya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Makanya cuma punya ijazah SMA.”

“Nike juga cuma punya ijazah SMA. Gampang kalau mau kuliah sih, nanti setelkah punya anak juga bisa aja kuliah. Aku sendiri sekarang sedang cuti kuliah setahun.”

“Kalau Abang kan karena sibuk bisnis.”

“Kok tau sih kalau aku sibuk bisnis?!” ucapku sambil mendekatkan bibirku ke bibir sensual Narita. Lalu mencium bibirnya dengan mesra.

Narita seperti kaget. Tapi lalu membiarkanku melumat bibirnya.

“Ini untuk pertama kalinya aku merasakan dicium oleh cowok Bang…” ucap Narita sambil tersipu - sipu.

Tanpa banyak bicara lagi kubopong tubuh langsing Narita ke atas bed. Di situlah aku menarik celana dalamnya sampai terlepas dari sepasang kaki putih mulusnya. Dan tubuh cewek jelita itu sudah telanjang bulat di depan mataku kini.

Sikap Narita tampak sudah pasrah sekali. Sementara aku pun melepaskan segala yang melekat di tubuhku. Hanya celana dalam yang masih kubiarkan melekat di tubuhku.

Batinku memang sudah bulat. Untuk membuktikan keperawanan Narita.

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan