2 November 2020
Penulis —  Neena

Malam Malam Jahanam

**Part 11

Ketika kuperkenalkan Nike kepada Mbak Nindie, kelihatannya tiada ketegangan sedikit pun di wajah Mbak Nindie. Terlebih lagi setelah aku berkata kepada Nike, bahwa Mbak Nindie itu kakakku, wajah cantik Nike semakin cemerlang di mataku.

Setelah melihat - lihat ruang kerja Nike nanti, kelihatan sekali Nike bersemangat untuk bekerja di perusahaanku, sekaligus akan menjadi kekasih tercintaku. Ruang kerja Nike itu bersatu dengan ruang kerjaku. Kebetulan di samping pavilyun itu ada ruangan nganggur. Maka aku mnenyuruh tukang tembok untuk menjebol dindingnya dan dipasang pintu menuju pavilyun.

Yang jelas, Nike akan kujadikan “target” seriusku. Bukan sekadar tempat untuk melampiaskan nafsu birahiku.

Kemudian Nike kuantar ke rumahnya kembali. Aku tidak turun, karena harus segera berangkat ke Puncak. Di hari Sabtu begini, biasanya jalan menuju Puncak itu macet. Karena itu aku harus berangkat lebih cepat dari biasanya.

Menjelang jam lima sore, aku baru tiba di depan villa Mbak Susie. Di depan villa yang dikelilingi pagar hidup tinggi (bambu pring) itu, sudah ada mobil yang lebih mahal daripada mobilku. Sama - sama dari Eropa, tapi mobil Mbak Susie made in England, sedangkan mobilku built up Jerman.

Di ambang pintu depan villa tampak Mbak Susie sudah berdiri, dalam gaun dalam yang aduhai… gaun hitam yang sangat transparan. Sehingga aku bisa menyaksikan payudaranya yang takj berbeha, bisa menyaksikan celana dalamnya yang berwarna hitam juga.

Memang sekujur tubuh Mbak Susie jauh berbeda jika dibandingkan dengan Mbak Nindie. Mbak Susie ini berperawakan tinggi langsing. Toketnya pun sedang - sedang saja. Tidak segede toket Mbak Nindie. Namun jelas bahwa Mbak Susie ini awet muda. Sementara wajahnya pun lebih cantik daripada wajah Mbak Nindie.

“Nggak susah ya nyari villa ini walau pun masuk ke dalam jalan kecil?” sapa Mbak Susie dengan senyum manis di bibirnya.

Aku bahkan terlongong menyaksikan kecantikan dan keawet-mudaan kakak seayah berlainan ibu itu.

“Kenapa malah bengong?” tanya Mbak Susie sambil memegang kedua pergelangan tanganku.

“Sulit dipercaya bahwa Mbak seumuran dengan Mamie. Karena Mbak tampak seperti belum duapuluh tahun.”

“Syukurlah kalau aku tampak muda di matamu,” sahut Mbak Susie sambil mengecup bibirku. Lalu mengajakku masuk ke dalam villa.

“Sopirnya nunggu di mana?” tanyaku.

“Aku nyetir sendiri, gak bawa sopir. Soalnya ini kan sangat pfribadi… sangat rahasia. Sebaiknya sopir jangan sampai tau.”

“Iya iyaaa… “tanggapku sambil duduk di sofa ruang tamu villa.

“Rencananya kita mau nginap di sini sampai Senin pagi kan?” tanya Mbak Susie sambil duduk di pangkuanku, menghadap ke arahku. Spontan kurengkuh dan kudekap pinggangnya, untuk menjaga agar jangan sampai dia terjengkang ke belakang.

“Apa pun keputusan Mbak, aku ikut,” sahutku sambil menggores - goreskan bibirku ke bibir Mbak Susie yang sensual. Mbak Susie pun memagut bibirku, lalu melumatnya dengan hangat.

Awalnya aku merasa agak risih. Karena biar bagaimana pun juga Mbak Susie itu adalah kakak sulungku dari pihak Papa. Tapi berkat kelincahan Mbak Susie, suasana pun menjadi cair. Dan tanpa ragu lagi kubopong Mbak Susie menuju pintu kamar yang sudah terbuka, pintu yang Mbak Susie tunjuk.

Di kamar itulah Mbak Susie memperlihatkan toketnya yang tidak besar namun tidak terlalu kecil juga. Bahkan tanpa ragu Mbak Lies melepaskan celana dalam hitamnya, laluj memperlihatkan bentuk kemaluannya yang berjembut pendek - pendek di atas clitorisnya.

“Suamiku melarang menggunduli memekku. Dia berkeras harus ada jembut yang disisakan seperti ini,” kata Mbak Susie.

“Gak ada masalah Mbak. Gundul atau gondrong punya kelebihan masing - masing,” sahutku sebagai tanggapan. Lagian memang jembut Mbak Susie ada di bagian atas clitorisnya. Jadi kupikir takkan mengganggu kalau aku ingin menjilati memeknya.

Setelah telanjang bulat, Mbak Susie menelentang sambil merentangkan kedua lengannya dan berkata, “Ayo mau diapain aku ini sekarang?”

Aku tersenyum sambil melepaskan segala yang melekat di tubuhku. Tinggal celana dalam yang kubiarkan melekat di tubuhku.

Tanpa basa - basi lagi aku merayap ke atas perut dan dada Mbak Susie, lalu memagut bibirnya ke dalam lumatanku. Ketika tanganku ikut aktif untuk meremas toketnya, Mbak Susie pun membalas lumatanku dengan hangatnya. Suasana romantis pun mulai terasa. Semakin terlupalah aku bahwa Mbak Susie itu kakak seayahku.

“Toketku gak segede toket Nindie ya?” bisiknya.

Aku yang sudah tahu bahwa Mbak Nindie telah membuka rahasia kepada Mbak Susie, menyahut, “Tapi toket Mbak masih kencang, seperti toket gadis duapuluhan.”

Pada saat yang sama tangan Mbak Susie menyelinap ke balik celana dalamku. Dan tersentak setelah menggenggam kontolku yang sudah mulai ngaceng ini. “Haaa?! Nindie gak bilang kalau kontolmu sepanjang dan segede ini…”

Aku tidak menanggapinya. Tapi Mbak Susie langsung duduk sambil melepaskan celana dalamku. Kemudian mendorong dadaku agar celentang.

Kuikuti saja ke mana arah keinginan kakakku itu.

Ia mulai menjilati leher dan moncong kontolku. Lalu ia mengulum batang kemaluan ngacengku ini. Dan mulai mengoralnya dengan trampil.

Mungkin Mbak Susie sudah terbiasa mengoral suaminya yang sudah tua, sekadar untuk membangkitkan ereksinya. Tapi aku masih muda. Duapuluh tahun pun belum. Aku tidak butuh dioral, bahkan ingin mengoral memek Mbak Susie.

Maka kutunggu selama beberapa menit Mbak Susie menyelomoti kontolku. Kemudian giliranku untuk mendorong dada Mbak Susie agar celentang. Lalu mulutku nyungsep di permukaan memeknya yang berjembut pendek - pendek di atas kelentitnya.

Lidahku sudah cukup terlatih, sudah mengerti bagian mana yang harus kujilati secara intensif. Maka aku hanya sebentar menjilati bagian dalam memek Mbak Susie yang berwarna pink itu. Kemudian menjilati kelentitnya habis - habisan. Terkadang malah disertai sedotan - sedotan sehingga kelentit Mak Susie jadi agak “mancung”.

Tentu saja Mbak Susie menggeliat - geliat terus sambil merintih - rintih histeris.

Bahkan pada suatu saat Mbak Susie memegang kepalaku sambil berkata terengah - engah, “Aaaa… aaaaah… udah cukup Chepiii… udah basah banget nih… masukin aja kontolmu Cheeep… aaaaaaah… pakai kontol aja Cheeeep… aaaaaah…”

Tanpa buang - buang waktu lagi, kuletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek Mbak Susie.

Seperti gak yakin kalau aku bisa mengarahkan moncong penisku, Mbak Susie ikut memegang leher kontolku, lalu mencolek - colekkan moncongnya sambil agak ditekan.

Kemudian ia memberi isyarat dengan kedipan matanya.

Aku pun mendorong kontol ngacengku sekuat tenaga. Dan melesak sedikit demi sedikit ke dalam liang memek Mbak Susie.

“Memek Mbak luar biasa… kayak memek gadis aja…” ucapku setelah berhasil membenamkan kontolku lebih dari separohnya.

Mbak Susie menyahut, “Masalahnya kontolmu kegedean Chep. Nanti istrimu pasti selalu puas punya suami kontolnya segede kontol kuda gini sih. Hihihiiii… ayo entotin Cheeeep…”

Aku pun mulai mengayun kontolku, bermaju mundur di dalam liang memek Mbak Susie yang terasa sangat sempit dan menjepit ini.

Sambil mengentot aku pun mulai menyelomoti pentil toket kiri Mbak Susie, sementara tangan kiriku mulai meremas - remas toket kanannya yang laksana toket gadis belasan tahun saking padatnya (meski tidak segede toket Mbak Nindie).

“Aaaaa… aaaaah… kontolmu luar biasa terasanya… terasa menggesek - gesek liang memekku Cheeepiii… ini enak sekali Cheeeeep… ooooh… semoga dari enak menjadi anak ya Cheeep…”

“Aaaa… amiiiin…” sahutku sambil menahan tawaku.

Makin lama entotanku semakin lancar, karena liang memek Mbak Susie sudah “beradaptasi” dengan ukuran batang kemaluanku.

Rintihan - rintihan histeris Mbak Susie pun semakin erotis terdengarnya di telingaku.

“Entot teruuuuussss Cheeepiiiii… entooot teruuuussss… aaaa… aaaaah… iyaaaa… iyaaaa… iyaaaaa… entooottttt… entooooottttttt… entooootttttttt… iyaaaaa… iyaaaa… luar biasa enaknya kontolmu ini Cheeeep… entooottttt… entooootttt…”

Tubuh Mbak Susie pun menggeliat - geliat dan mengejang - ngejang terus, seperti ular yang terinjak kepalanya.

Terlebih setelah aku mulai menjilati leher jenjangnya, disertai dengan gigitan - gigitan kecil yang tidak menyakitkan. Sementara tanganku semakin giat meremas - remas toketnya.

Bahkan ketika tangan Mbak Susie berada di samping kepalanya, kujilati ketiaknya yang licin dan harum deodorant ini. Disertai dengan sedotan - sedotan kuat, yang membuat Mbak Susie semakin menggelepar - gelepar.

Permainan surgawi ini berlangsung cukup lama. Sehingga keringat pun mulai membasahi tubuh kami.

Mbak Susie tampak begitu bergairah menikmati entotanku, sehingga berkali - kali bibirku dipagut dan dilumatnya, disusul dengan bisikan, “Aku makin sayang saama kamu Cheeep… sayang sekaliii Cheeep… oooohhhh… ini luar biasa enaknyaaa…”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan