2 November 2020
Penulis —  Neena

Malam Malam Jahanam

Part 04

Bi Caca cuma manis, tidak cantik. Tapi setelah telanjang bulat sambil celentang di atas bedku… aduhai… betapa menggiurkannya tubuh pembokat setia itu…!

Lalu apakah aku berniat untuk jaim dan mau langsung menjebloskan kontolku ke dalam liang memeknya?

Tidak. Aku sejak awal mengalami hubungan seks dengan Mamie, prinsipku tetap kokoh di dalam batinku. Bahwa perempuan mana pun yang kusetubuhi, harus meninggalkan kesan positif di dalam hati perempuan itu. Kalau secara lebay, aku ingin dianggap sebagai lelaki yang paling memuaskan di dunia ini.

Karena itu aku menyerudukkan mulutku ke memek Bi Caca yang berwarna gelap itu, lalu mengangakannya dengan kedua tanganku, lalu menjilati bagian dalamnya yang berwarna merah membara itu. “Deeeen… “seru Bi Caca tertahan. Mungkin dia kaget karena aku menjilati memeknya, sebagai tanda bahwa aku menganggapnya bukan sekadar pembokat di rumah ini.

Lebih dari itu, tampaknya Bi Caca baru sekali ini merasakan memeknya dijilati. Sehingga kertika lidahku mulai gencar menjilati memek dan kelentitnya juga, dsia mulai menggeliat - geliat dan mendesah - desah, “Aaaaaaah… aaaaaaa… aaaaaah Deeeen Cheeepiiiii… sa… saya baru sekali ini merasakan eeee…

eeenaknya memek dijilatin begini… oooooh Deeeen… ini sangat - sangat enak sekali Deeen… adududuuuuuh… iya Deeeen… apalagi kalau itil saya dijilatin begini… enak Den.. enaaaaak… ooooh Deeen Chepiiii… saya merasa seolah bermimpi karena mengalami hal yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya ini…

Aku tak merasa derajatku direndahkan. Aku bahkan senang mendengar pengakuan Bi Caca itu. Bahwa ia baru sekali ini merasakan memeknya dijilati. Sehingga ia merasakan nikmatnya perlakuanku padanya. Maka semakin gencarlah aku menjilati kelentitnya yang cuma sebesar kacang kedelai itu. Bahkan sesekali aku menyedot kelentit yang sudah tegang itu, sehingga perut Bi Caca seriung terangkat - angkat dalam kejangnya.

Dan setelah memek Bi Caca terasa basah sekali oleh air liurku, dengan sigap aku mendorong sepasang pahanya agar terentang lebar, sementara moncong kontolku sudah kuletakkan di mulut heunceut Bi Caca yang berwarna gelap dan agak tembem itu.

Lalu kudorong kontol ngacengku sekuatnya. Blesssss… melesak masuk ke dalam liang memek Bi Caca yang disambut dengan pelukan perempuan yang kira - kira sebaya dengan Mamie itu (28 tahunan) disertai dengan rengekan erotisnya, “Adududuuuuuh… masuk Deeeeen… oooooooh Den Cheeepiiiii…”

Kemudian kuhempaskan dadaku ke atas sepasang toket gede itu, sambil merapatkan pipiku ke pipinya. “Gak nyangka… memek Bibi masih sempit gini ya…” ucapku sambil mengayun kontol ngacengku perlahan - lahan.

Sebagai jawaban, Bi Caca malah memagut bibirku ke dalam lumatan hangatnya, sambil melingkarkan lengannya di leherku. Sementara aku mulai mempercepat entotanku.

Bi Caca pun mulai menggoyang pinggulnya dengan gerakan yang sangat erotis. Memutar - mutar dan meliuk - liuk, sehingga kontolku terasa dibesot - besot dan diremas - remas oleh liang memeknya yang sangat legit ini.

Sementara Bi Caca semakin binal menggeolkan pinggulnya diiringi rintihan - rintihan histerisnya, “Deeen… oooo… oooooh… Deeeen… punya Aden ini… ooooooh… luar biasa rasanya… ooooh… belum pernah saya merasakan disetubuhi seenak ini Deeeeen… ooooh… kita ini… lagi ngapain Deeen?

“Lagi ewean… !”

“Hihihiiii… saya pasti ketagihan nanti Den… pengen diewe terus sama Aden… ““Santai aja Bi. Aku juga bakal ketagihan, pengen ngewe Bibi terus nanti. Heunceut Bibi juga luar biasa legitnya sih… nanti kalau aku mau ngecrot, lepasin di mana Bi?”

“Di dalem heunceut saya aja Den. Saya masih ikutan kabe kok. Ta… tapi… adududuuuuh Deeeen… saya udah mau lepas nih Deeen… “Bi Caca gedebak - gedebuk berkelojotan.

“Ayo lepasin aja Bi. Aku seneng kalau merasakan perempuan sedang orgasme,” sahutku sambil mempercepat entotanku. Pook… pok… pok… pokkkkkk… pokkk…

Akhirnya Bi Caca mengejang tegang. Sementara liang memeknya terasa seperti gerakan ular yang sedang membelit mangsanya. Disusul dengan kedutan - kedutan kencang yang luar biasa erotisnya.

Sesaat kemudian Bi Caca memeluk dan mencium bibirku sambil berkata lirih, “Terima kasih Den. Duh… belum pernah saya merasakan ditiduri yang snikmat barusan. Soalnya disetubuhi oleh cowok setampan Den Chepi, yang punya titit luar biasa pula.”

Aku cuma tersenyum. Lalu mulai mengayun kembali kontolku yang masih jauh dari ejakulasi ini.

“Mau nyobain anjing - anjingan Den?” tanya Bi Caca ketika entotanku masih perlahan.

“Boleh,” sahutku sambil menarik kontolku dari liang memek Bi Caca.

Spontan Bi Caca merangkak dan menunggingkan pantatnya ke atas, sehingga memek Bi Caca kelihatan semua dari belakangnya.

Aku pun berlutut sambil memegang bokong semok Bi Caca. Sambil berlutut pula kubenamkan kembali batang kemaluanku ke dalam liang memek Bi Caca yang legit licin itu. Blessss…

Tak sulit membenamkan batang kontolku kali ini. Karena liang memek Bi Caca sudah becek setelah orgasme tadi.

Sambil berlutut aku pun mulai mengentot lagi, sambil menepuk - nepuk sepasanjg buah pantat Bi Caca.

“Iiii… iya Den… tepok - tepok terus pantat saya Den… enak… lebih keras lagi juga gak apa - apa Den.”

Kuikuti saja keinginan Bi Caca itu. Kukemplangin pantatnya sekeras mungkin, yang disambut dengan rintihan eroitis pembokatku, “Oooohhhh… enak Den… tempelengin terus pantat saya Den… enak sekali… lebih kuat lagi Deeeen… iyaaaa… iyaaaa… ini semakin enak Den… oooohhhh… kontol Den Chepi memang luar biasa enaknya Deeen…

Sekitar setengah jam aku memngentot Bi Caca dalam posisi doggy ini.

Sampai akhirnya Bi Caca ambruk dalam orgasme keduanya.

Kemudian kami lanjutkan dalam posisi missionary. Bi Caca di bawah lagi, sementara aku di atas lagi.

Dalam posisi missionary ini Bi Caca menggeolkan bokongnya lagi. Memutar - mutar dan meliuk - liuk lagi.

Dalam posisi inilah akhirnya akui menggelepar di atas perut Bi Caca, sambil membenamkan kontolku sedalam mungkin.

Dan moncong kontolku pun mengejut - ngejut sambil melepaskan lendir kenikmatanku.

Crooootttt… croootttttttt… crooootttt… crettt… crooooooootttt .;.. croooottt… crooootttt…!

Bi Caca memelukku erat - erat sambil berbisik di dekat telingaku, “Aduuuh nikmatnya merasakan liang memek saya disemprot - semprot oleh air mani Den Chepi… mmmm… indah sekali rasanya Den…”

Aku cuma mendengus, lalu terkulai lunglai di atas perut Bi Caca.

Tapi sejam kemudian aku menyetubuhi Bi Caca lagi. Dalam segala jenis posisi. Dan tengah malam pun aku mengentotnya lagi untuk ketiga kalinya.

Tak cuma itu, keesokan paginya, sebelum turun dari bed masih sempat aku menyetubuhinya lagi.

Mungkin inilah petualanganku yang paling jahanam, tapi sangat indah buat kukenang pada hari - hari berikutnya.

Ayo lepasin dong pakaianmu. Kok malah melamun?”” tegur Mamie membuyarkan terawangan tentang segala yang telah terjadi antara Bi Caca dengan diriku itu. Bahwa beberapa hari sebelum aku berangkat ke rumah Mama, aku sempat melakukan petualangan dengan Bi Caca.

Dan kini di depan mataku, Mamie sudah melepaskan segala yang melekat di tubuhnya sambil berkata, “Sekarang mamie takkan minum pil kontrasepsi lagi. Karena sekarang tujuannya kan ingin agar mamie hamil.”

Aku pun menelanjangi diriku sendiri kemudian melompat ke atas bed. Menerkam Mamie dengan segenap gairahku.

Dan beberapa saat kemudian aku sudah bersetubuh dengan Mamie. Dengan segenap perasaanku tentunya. Karena kali ini ada tujuan penting. Agar aku bisa menghamili Mamie.

Sejak aku kuliah pakai sedan hitam ini, mahasiswi yang sekampus denganku jadi banyak yang suka melayangkan tatapan dan senyum yang menggoda. Tapi aku pakai sedan hitam ini bukan mau nyari cewek. Katro banget rasanya nyari cewek dengan modal mobil doang.

Aku malah suka enek kalau cewek yang tadinya jutek mendadak bermanis - manis setelah tahu aku punya sedan mahal ini. Entah seperti apa sikapnya kalau aku kuliah pakai motor bebek lagi.

Yama dan Gita memang kuajak pakai mobil ini. Tapi mereka sahabatku. Tak lebih dari itu.

Walau pun begitu, pada suatu saat aku mengalami kisah yang terduga.

Ya… sore itu aku sudah selesai kuliah dan sedang menggerakkan mobilku yang diparkir di pinggir jalan (karena mobil mahasiswa tidak boleh parkir di dalam areal kampus). Tiba - tiba pandanganku tertumbuk ke seorang wanita muda cantik, yang tak lain dari Bu Shanti, dosenku yang sudah lama menumbuhkan rasa simpatiku.

Mungkin dia sedang menunggu jemputan, atau mungkin juga sedang menunggu angkot.

Kuhentikan mobilku di depan Bu Shanti sambil membuka jendela kiri. “Mau pulang Bu?”

Bu Shanti membungkukkan kepalanya, “Chepi?! Iya mau pulang.”

“Ayo saya anterin aja Bu,” ajakku.

“Rumahku jauh di luar kota Chep.”

“Biarin aja,” sahutku sambil membuka pintu depan kiri, “Di luar propinsi juga saya anterin sampai rumah Ibu.”

“Beneran nih mau nganterin sampai rumah?” tanya dosen cantik itu setelah duduk di samping kiriku, sambil mengenakan seatbelt. Harum parfum pun tersiar ke penciumanku.

“Khusus untuk Ibu, saya siap mengantarkan kapan pun dan ke mana pun,” sahutku sambil memindahkan tongkat matic ke D.

“Ohya?! Enak dong, kapan - kapan bisa minta diantar sama mahasiswa yang baik hati begini.”

“Siap Bu. Asalkan gak ada yang marah aja. Hehehee…”

“Siapa yang marah? Suami belum punya, pacar pun gak punya.”

“Kirain Ibu sudah punya suami.”

“Belum laku - laku Chep.”

“Tapi pacar aja sih mungkin sudah punya.”

“Aku jomblo Chep. Dulu waktu masih SMA pernah punya pacar. Tapi begitulah, gak enak punya pacar yang selalu mengatur segalanya. Apalagi kalau sudah jadi suami.”

“Wah… bisa nyelip dong aku Bu.”

“Nyelip ke mana?”

“Ke hati Bu Shanti.”

“Hihihiiii… kamu bisa gombal juga yaaa, “Bu Shanti mencubit pangkal lenganku.

“Aku serius Bu. Soalnya di antara dosen - dosen, Bu Shanti yang paling kusukai. Makanya sekarang serasa ketiban rejeki nomplok, karena Ibu mau dianterin olehku.”

“Masa sih? Udah segitunya perasaanmu padaku?”

“Kalau iya, Ibu keberatan nggak?”

“Keberatan sih nggak. Tapi kamu kan masih sangat muda. Umurmu berapa?”

“Delapanbelas Bu.”

“Tuh… berarti delapan tahun lebih muda dariku.”

“Ibu baru duapuluhenam tahun? Sudah es-dua… hebat sekali.”

“Es-duaku dapet setahun yang lalu.”

“Waduh, berarti es-duanya diraih waktu usia Ibu baru duapuluhlima tahun?”

“Iya. Es-satunya diraih di usia duapuluhdua. Es-dua diraih di usia duapuluhlima. Gak muda - muda amat kan? Di Amerika ada anak umur tujuhbelas tahun sudah es-tiga.”

“Wah, itu sihg jenius banget Bu. Tapi program percepatan pendidikan hanya ada di Amerika kan?”

“Iya. Di Inggris belum ada.”

“Ibu jadi dosen belum ada setahun kan?”

“Iya, baru sembilan bulan.”

“Berarti aku harus dekat terus sama Ibu.”

“Kenapa.”

“Supaya lulus es-satu secepatnya. Tapi ada yang lebih penting lagi…”

“Apaan tuh?”

“Untuk mewujudkan khayalanku.”

“Khayalan apa? Nanti aku jadi serius lho.”

“Aku juga serius Bu. Serius mikirin Ibu sejak lama.”

“Masa sih? Kamu terlalu muda bagiku Chep.”

“Aku pengagum wanita yang lebih tua dariku Bu. Lagian Ibu kan masih muda. Baru duapuluhenam tahun. Tigapuluh juga belum.”

Bu Shanti memegang tangan kiriku yang nganggur, karena mobilku matic. Terasa hangat tangannya. Sehingga aku sengaja memegangnya dan mendekatkan ke mulutku. Lalu kuciumi tangan halus yang putih bersih itu.

Bu Shanti membiarkanku menciumi tangannya. Lalu ia melepaskan jaket putihnya. Sehingga blouse hitamnya tampak di mataku. Dan… ooo maaaak… blouse hitam itu ada bagian berbentuk hati atau icon love di bagian dadanya. Sehingga belahan buah dadanya tampak menonjol… terbuka jelas… putih dan mulus sekali.

Aku tidak berani berkomentar. Tapi diam - diam ada yang bangun di dalam celanaku!

Mobilku sudah menginjak batas kota. Kularikan terus ke luar kota.

“Jadi merasa tersanjung sama kamu,” ucap Bu Shanti sambil menyandarkan kepalanya di bahu kiriku, “Tapi tetap aja aku merasa malu, karena tersanjung oleh ucapan cowok yang masih belasan tahun…”

Kusahut dengan perasaan pede, “Mendingan juga cowok belasan tahun dibandingkan dengan empatpuluh tahunan sih Bu. Heeheehee…”

“Iya sih. Tentu aja kamu lebih fresh daripada bapak - bapak sesama dosen sih. Tapi kalau kelihatan orang lain, pasti aku diketawain. Dianggap seneng brondong.”

“Gak usah dilihat - lihatkan sama orang lain dong Bu.”

“Kamu bisa merahasiakannya?”

“Bisa.”

“Di kampus harus bersikap seperti biasa aja. Bisa?”

“Bisa. Di kampus aku tetap akan bersikap sebagai mahasiswa kepada dosennya seperti mahasiswa lain.”

Tiba - tiba Bu Shanti mengecup pipi kiriku. Membuatku kaget bercampur senang. Dan ketika pandanganku tertuju ke arah belahan buah dada yang terbuka lewat blouse hitamnya, o… ingin rasanya kuselundupkan tanganku ke balik blouse di bagian dadanya itu. Untuk memegang toket dosenku itu.

Mendadak Bu Shanti berkata, “Itu ada apotek! Berhenti dulu sebentar ya. Mau beli vitamin.”

“Iya Bu,” sahutku sambil mengurangi kecep[atan mobilku. Lalu menghentikannya tepat di depan apotek itu.

“Tunggu sebentar ya. Cuma mau beli vitamin,” kata Bu Shanti sambil membuka pintu mobilku di samping kirinya. Lalu kubiarkan ia turun dan melangkah ke dalam apotek itu.

Tak sampai sepuluh menit Bu Shanti sudah masuk lagi ke dalam mobilku. “Cepat sekali?! Udah dapet vitaminnya?” tanyaku.

“Sudah,” sahutnya sambil memasangkan kembali seatbelt, “Ohya… tadi ada yang belum kutanyain sama Chepi…”

“Soal apa?”

“Chepi belum punya pacar?”

“Udah dapet.”

“Orang mana?”

“Ini yang duduk di sampingku.”

Bu Shanti ketawa cekikikan. Tampak senang sekali kelihatannya.

“Tapi aku merasa berat Chep.”

“Berat apanya?”

“Berat menolakmu.”

“Hahahaaa… satu - satu ya. Tinggal satu lagi.”

“Apa?”

“Gak apa - apa Sayaaang…”

Bu Shinta ketawa cekikikan lagi. Lalu mengecup pipi kiriku lagi.

“Gak nyangka hatiku bakal sesenang ini.”

Lengan kiriku pun merengkuh bahu kirinya sambil berkata, “Gak nyangka hatiku bakal sebahagia ini Bu.”

Bu Shanti menanggapinya dengan menciumi tangan kiriku.

Lalu kuhidupkan musik chillout ambient, membuat suasana semakin romantis.

Setengah jam kemudian mobilku sudah kubelokkan ke sebuah rumah minimalis yang begitu artistik penataannya, termasuk pekarangannya yang berbentuk taman kecil dengan tanaman hiasnya yang ditata secara artistik pula.

“Ayo mampir dulu, sekalian melanjutkan obrolan di jalan tadi, “ajak Bu Shanti sebelum turun dari mobilku.

“Gak apa - apa nih aku mampir ke rumah Ibu?” tanyaku dengan nada ragu (padahal nggak ragu).

“Nggak apa - apa. Mau nginep juga boleh.”

“Ah, serius nih?”

“Sangat serius. Di rumah ini kan penghuninya cuma dua orang. Aku dan pembantuku.”

“Owh… kirain tinggal sama orang tua.”

“Orang tuaku jauh di seberang lautan sana. Kapan - kapan kita main ke sana ya.”

“Boleh, asalkan pas pada saat liburan panjang.”

Lalu kami masuk ke dalam rumah yang tertata rapi luar dalamnya ini.

Begitu berada di dalam rumahnya, Bu Shanti menurupkan pintu depan, lalu memelukku dari belakang sambil berkata, “Aku mulai jatuh hati padamu Chep.”

“Jatuh hati apa jatuh cinta?” tanyaku tanpa menoleh ke belakang.

“Ya sama aja dong… jatuh hati berarti jatuh cinta.”

Dalam keadaan masih sama - sama berdiri, aku memutar badanku, jadi berhadapan dengan Bu Shanti. Dan tanpa keraguan lagi, kupagut bibir dosenku yang tipis merekah sensual itu.

Bu Shanti pun balas melumat bibirku sambil mendekap pinggangku.

Setelah lumatannya terlepas, ia berkata, “Silakan duduk dulu ya. Aku mau ganti baju dulu.”

“Iya Beib…” sahutku.

“Apa…?”

“Iya Beib…!”

“Oooh bahagianya aku mendengar kamu memanggilku Beib.”

“Kan kita harus saling membahagiakan,” sahutku sambil tersenyum.

Tanpa canggung lagi Bi Shinta memeluk dan mencium bibirku sekali lagi, kemudian masuk ke dalam kamarnya, meninggalkanku di ruang tamu.

Aku pun duduk di sofa putih ruang tamu, sambil mengamati keadaan di sekitarku. Kelihatan sekali bahwa pemilik rumah ini seorang yang berpendidikan tinggi. Selera intelektualnya tampak dari penataan rumahnya, baik indoor mau pun outdoornya.

Agak lama aku menunggu di ruang tamu. Namun akhirnya Bu Shanti muncul juga, mengenakan daster yang aduhai… tipis sekali. Sehingga bentuk tubuh di balik daster itu membayang dengan jelas sekali.

“Mau minum apa?” tanyanya sambil tersenyum.

“Gak usah ngerepotin Beib,” sahutku, “Tapi kalau ada sih minta black coffee aja, tanpa gula.”

“Pahit dong kalau tanpa gula sih.”

“Kata para ahli, kopi itu akan bermanfaat tapi jangan pakai gula.”

“Ogitu. Sebentar… mau bikinin kopinya dulu ya.”

“Iya Beib,” sahutku membuat Bu Shanti mengerling manja. Membuatku semakin gemes.

Bu Shanti masuk ke dalam.

Beberapa saat kemudian Bu Shanti sudah muncul lagi, bersama seorang pembantu yang membawakan secangkir kopi panas dan dua piring snack.

Bu Shanti pun duduk di sebelah kiriku sambil berkata, “Silakan diminum Yang.”

Mendengar kata “Yang” terlontar dari mulut dosen cantik itu, dadaku terasa berdenyut.

Lalu kuteguk kopi yang masih mengepul itu seteguk.

“Nginep aja di sini ya,” kata Bu Shanti sambil memegang tangan kiriku, “Kalau kamu mau nginep di sini, kita kan bisa semakin dekat nanti.”

“Kalau tidurnya sekamar dan seranjang dengan Bu Shanti sih aku mau.”

“Nah lho… sekarang manggil Ibu lagi. Aku kan belum punya suami, apalagi punya anak. Masa manggil Ibu terus?”

“Biar bagaimana Bu Shanti kan dosenku.”

“Di kampus aku memang dosenmu. Tapi di sini… aku ini gadis yang sudah jatuh cinta padamu, Sayang.”

Aku tersenyum. Lalu kuciumi tangan Bu Shanti yang sedang kupegang.

“Mau kan nginep di sini?”

“Mau, asalkan tidur seranjang denganmu Beib.”

“Iya. Tadinya mau nyiapin kamar lain untukmu. Tapi kalau mau tidur bareng sama aku ya udah… sekarang aja kita ke kamar yuk.”

“Oke, “aku mengangguk sambil tersenyum.

Bu Shanti membawa cangkir kopi dan piring kecilnya sambil berkata, “Minuman dan snacknya bawa ke kamarku aja ya.”

“Iya,” sahutku sambil membawa dua piring berisi snack itu, lalu mengikuti langkah Bu Shanti ke dalam kamarnya.

Pada waktu berjalan dari belakang Bu Shanti, tubuh dosenku itu semakin jelas di balik gaun tidurnya yang menurutku terlalu tipis dan transparan.

Setibanya di dalam kamar, Kopi dan snack itu diletakkan di atas meja kecil yang membatasi dua buah sofa putih. Ketika Bu Shanti masih berdiri, aku mendekapnya dari belakang sambil membisikinya, “Gaun tidurnya seksi banget. Sehingga bentuk tubuh Ibu terlihat samar - samar dari luarnya.”

“Gaun ini baru sekarang kupakai. Tadinya malas makainya, ya karena terlalu tipis dan transparan. Tapi untuk kamu, aku sengaja memakainya.”

“Kalau aku terangsang gimana? Ini aja aku sudah mulai tergiur…”

“Lampiaskan aja. Aku memang akan menyerahkan keperawananku padamu malam ini, kalau kamu mau.”

“Haaa?! Beneran nih?”

“Beneran. Aku memang sudah berjanji di dalam hati, akan menyerahkan kesucianku kepada lelaki yang kucintai dan mencintaiku.”

“Aku memang mencintaimu Beib. Tapi untuk menikah masih lama. Mungkin kalau usiaku sudah dekat - dekat tigapuluh, baru aku mau menikah.”

“Menikah masih lama, tapi kalau kawin sih malam ini juga bisa kan?” tanya Bu Shanti sambil mencubit perutku.

“Kawin sih sekarang juga mau. Tapi bagaimana kalau Ibu hamil nanti?”

Bu Shanti malah tersenyum. “Tadi aku beli dulu vitamin di apotek kan? Nah… sebenarnya tadi aku sekalian beli pil kontrasepsi.”

“Ohya?!” seruku girang. Lalu duduk di sofa sambil merangkul pinggang Bu Shanti agar duduk di pangkuanku.

Dan… Bu Shanti benar - benar duduk di atas sepasang pahaku, sambil melingkarkan lengannya di leherku.

“Memangnya masih perawan Beib?”

“Masih. Tapi ada alasan kuat kenapa aku mau menyerahkan keperawananku padamu sekarang.”

“Apa tuh alasannya?”

“Aku mau dijodohkan dengan lelaki yang membiayai kuliah es-duaku di Inggris. Di satu pihak aku merasa berhutang budi padanya, tapi untuk dijadikan istrinya… oi maaak… usianya dua kali usiaku Chep.”

“Limapuluhdua tahun?”

“Ya kira - kira segitulah. Yang sangat menyebalkan, aku hanya akan dijadikan istri ketiga.”

“Wow… jangan mau dong Beib. Kalau merasa berhutang budi sih bayar aja dengan duit yang senilai dengan biaya kuliah di Inggris itu.”

“Tapi sejak aku masih di SMP pun dia sudah banyak memberi uang kepada orang tuaku secara rutin. Kalau semuanya dijumlahkan, pasti jatuh milyaran.”

Aku cuma terlongong mendengar curhatan Bu Shanti itu.

“Karena itu, aku berjanji di dalam hati, akan menyerahkan keperawananku kepada orang yang kucintai dan mencintaiku. Karena itu aku akan menyerahkannya padamu. Tapi kamu tidak usah memikirkan soal pernikahan segala. Aku sendiri pun belum ingin cepat - cepat bersuami.”

Banyak lagi yang Bu Shanti katakan. Tapi intinya sudah kutangkap semua. Bahwa seandainya pun dia harus menikah dengan lelaki tua itu kelak, dia harus berpuas - puas menikmati masa mudanya dulu denganku.

“Oke, apa pun alasannya, yang pasti… kita akan saling bagi rasa sekarang kan?” kataku sambil mempererat dekapanku di pinggang Bu Shanti yang sedang duduk di atas pangkuanku.

“Iya Sayang. Kalau kita memang berjodoh, bisa aja kelak kita menjadi suami istri. Tapi kalau jodohku harus dengan lelaki tua itu, berarti dia hanya akan kebagian sisa - sisamu Sayang.”

“Hmmm… boleh sekarang kulepaskan gaun tidurnya Beib?”

“Lepaskanlah. Kancing - kancingnya ada di bagian punggungku.”

Lalu dengan penuh semangat kubuka kancing gaun tidur itu satu persatu. “Udah gak sabar pengan megang sesuatu,” kataku setelah kancingnya terbuka semua.

“Pengen megang apa?” tanya Bu Shanti sambil melepaskan gaun tidurnya.

“Pengen megang bukit kembarnya. Sejak berangkat dari kampus tadi rasanya nantangin terus.”

“Iya… semuanya buat Chepi tersayang sekarang. Aku akan pasrah, diapain juga silakan. Asal jangan disakiti aja.”

“Duuuh… cewek secantik ini masa tega aku menyakiti? Dosenku pula…” ucapku sambil menciumi tengkuknya yang sudah terbuka. Karena memang tinggal beha dan celana dalam yanhg masih melekat di badannya…”Kancing behanya juga ada di punggung… bukain deh kalau ingin megang bukit kembar sih.”

“Mmm… kalau aku manggil Mamie, mau gak?” tanyaku sambil membuka kancing kait behanya.

“Boleh. Tapi aku juga mau manggil Papie sama kamu. Gimana?”

“Iya… harusnya sih Mamie langsung hamil aja, biar lebih pantes dipanggil Mamie.”

“Jangan dulu ah. Aku pengen ngejar es-tiga dulu.”

“Wadooooh… Mamie haus ilmu ya?”

“Kan biar bisa naik terus jabatanku di kampus, Papie tampan…”

“Iya Mamie Cantik… semoga cita - citanya cepat kesampaian. Tapi kuliah es-tiganya mau di Inggris lagi?”

“Harusnya sih begitu. Makanya sekarang sedang kumpulin duit dulu buat biayanya. Gak mau ngandalin si tua itu lagi.”

“Tapi jarak pendidikan kita semakin jauh nanti.”

“Gak apa - apa. Papie kan bisa nyusul belakangan.”

“Aku sih es-satu mau langsung kerja. Pendidikan selanjutnya kapan - kapan aja,” kataku sambil memegang kedua toket Bu Shanti yang memang gede dan indah itu.

Lalu kami terdiam. Sampai pada suatu saat Bu Shanti berdiri. “Lanjutin di sana aja yuk, biar lebih romantis,” ucapnya sambil menunjuk ke bednya yang serba putih bersih.

Aku mengangguk. Lalu berdiri dan mengikuti Bu Shanti menuju bednya.

“Si dede langsung berdiri tegak nih Mam,” ucapku sambil menepuk - nepuk celana panjangku, tepat pada bagian yang menutupi penisku.

“Coba lihatin penisnya. Aku ingin tau seperti apa penis itu.”

“Iya. Kan aku juga harus telanjang seperti Mamie,” sahutku sambil menanggalkan kemeja tangan pendekku. Disusul dengan pelepasan sepatu, kaus kaki dan celana panjangku. Sehingga tinggal celana dalam yang masih melekat di badanku.

Bu Shanti mengusap - usap dadaku sambil berkata, “Bodymu atletis banget. Rajin olah raga ya?”

Sebagai balasan, kupegang toket dosenku yang gede dan indah bentuknya itu, “Payudara Mamie luar biasa indahnya.”

“Iya. Mulai saat ini sekujur tubuhku menjadi milikmu,” sahut Bu Shanti.

“Terima kasih. Aku bangga telah memiliki Mamie yang begitu mulusnya dari ujung kaki sampai ke ujung rambut,” sahutku sambil melepaskan celana dalamku, sehingga zakarku yang sudah ngaceng berat ini tidak tertutup lagi.

Bu Shanti langsung memegang kontol ngacengku dengan tangan yang terasa hangat dan gemetaran.

“Ada yang mau kutanyain… Mamie kok kebule - bulean gitu. Apakah ada turunan bule?”

“Ibuku asli Belanda. Kalau ayah sih asli Indonesia.”

“Oooo… pantesan. Kirain bukan blasteran,” ucapku sambil mendorong dada Bu Shanti agar celentang.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan