2 November 2020
Penulis —  Neena

Malam Malam Jahanam

Part 16

Pada waktu aku menyetubuhi Bu Shanti untuk pertama kalinya, aku sangat berhati - hati. Takut menyakiti, takut menimbulkan trauma dan sebagainya. Sehingga aku pun tidak mau terlalu mengulur durasi ejakulasiku.

Tapi pada waktu menyetubuhi Anna ini, aku merasa ingin menikmatinya selama mungkin. Karena liang memek adik Mamie yang luar biasa sempitnya ini, luar biasa pula enaknya.

Aku tahu bahwa Anna sudah orgasme. Lalu ia terkulai lemas. Dan aku pura - pura tidak tahu. Kuentot terus liang memeknya yang sudah basah, tapi masih tetap sempit dan menjepit ini.

Beberapa detik kemudian, Anna pun tampak bergairah lagi. Untuk menikmati entotan kontolku yang baik ukuran mau pun ketangguhannya di atas rata - rata ini.

Rintihan - rintihan histerisnya pun mulai berlontaran lagi dari mulut Anna, “Chepi Sayaaang… ooooohhhh… ternyata bersetubuh ini enak sekali Cheeep… lu… luar biasa enaknya Cheeeep… ayo entot terus Sayaaaang… aku makin gemes dan makin sayang sama kamuuuuu… aaaaah… aaaaah… oooooohhhh…

Tubuh kami pun sudah basah oleh keringat yang bercampur aduk. Sampai pada suatu saat, aku mengajak Anna ganti posisi. Ia menurut saja ketika kusuruh merangkak dan menungging. Sementara aku menoleh ke arah darah di bekas tempat Anna celentang tadi. Darah perawan yang bisa dianggap saksi bisu tapi sangat akurat, bahwa sebelum ditembus oleh kontolku tadi, Anna memang masih perawan.

Keperawanan memang sudah menjadi sesuatu yang langka di zaman sekarang ini. Bahkan menurut survey di tahun 2002 saja, para mahasiswi di sebuah kota besar hanya 4% yang masih perawan. Berarti 96 di antara 100 orang sudah bolong semua, alias bekas dipakai sama kontol. Hanya 4 orang di antara 100 orang yang masih bisa menjaga kesuciannya.

Mungkin pada dasarnbya aku ini seorang cowok yang penyayang dan tidak tegaan. Setelah menyaksikan darah perawan di atas kain seprai putih itu, aku membatalkan niatku untuk menyetubuhi Anna habis - habisan.

Dalam posisi doggy ini Anna cepat ambruk. Berarti itu sudah orgasme yang kedua kalinya.

Kemudian kami kembali ke posisi missionary lagi. Dalam posisi inilah aku berkonsentrasi agar secepatnya ejakulasi. Dan aku berhasil mempercepat durasi ejakulasiku.

Memang untuk mempercepat ejakulasi, terasa mudah bagiku. Yang agak sulit itu memperlambatnya. Karena aku harus memikirkan yang buruk - buruk, agar ejakulasiku lambat datangnya.

Dalam posisi missionary inilah aku mempercepat entotanku. Lalu membenamkan kontolku sedalam mungkin, sehingga terasa moncongnya mentok di dasar liang memek adik Mamie ini.

Lalu kontolku mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.

Croootttt… croooottttt… crootcroottt… crooooooottttt… croooottttt…!

Aku pun terkapar di atas perut Anna. Tapi, kusempatkan mencium bibir adik Mamie ini, disusul dengan bisikan, “Terima kasih Beib. Aku telah membuktikan keperawananmu barusan. Semoga hubungan kita abadi sampai masa tua kelak.”

Anna menatapku dengan sorot cinta. Dan berkata lirih, “Sekujur tubuh dan jiwaku sudah menjadi milikmu Sayang.”

Aku tersenyum sambil mencabut kontolku dari dalam memek Anna.

“Waaah… seprainya kecucuran darahku Yang,” ucap Anna tampak panik melihat darah perawannya yang mengotori kain seprai putih bersih itu, “Di sini ada mesin cuci?”

“Tenang aja, gak usah panik gitu Beib. Tinggal angkat aja kain seprainya. Nanti biar dicuci sama penunggu villa ini.”

“Ada kain seprai lain?” tanyanya.

“Banyak tuh di lemari itu.”

Dengan cekatan Anna menarik dan menggulung kain seprai yang kecipratan darah perawannya itu. Kemudian mengambil kain seprai baru yang dikeluarkannya dari lemari.

Ketika Anna tengah memasangkan kain seprai baru itu, tiba - tiba handphoneku berdering. Ternyata dari Mbak Nindie. Biasanya kalau Mbak Nindie meneleponku, pasti ada sesuatu yang penting. Maka kuterima call dari kakakku itu :

“Iya Mbak…”

“Chep… ada tamu nih. Kelihatannya penting sekali.”

“Laki - laki atau perempuan tamunya?”

“Perempuan. Bule pula. Dia istri Oom Safiq.”

“Oh iya iyaaa… aku ada urusan bisnis dengannya Mbak. Sekarang masih ada tamunya?”

“Masih. Mau bicara dengannya?”

“Nggak Usahlah. Bilang aja dalam dua jam aku sudah tiba di rumah. Memang aku penting sekali berjumpa dengannya.”

“Sekarang Chepi lagi di mana?”

“Di luar kota. Tapi gak jauh. Hanya belasan kilometer dari rumah.”

“Sebentar… aku mau ngomong dulu sama istri Oom Safiq ya.”

“Iya. Oom Safiq paman Mbak Nindie juga kan? Nama istrinya itu Irenka.”

“Owh… kamu udah tau namanya segala.”

“Dari Papa. Kan Papa yang menghubungkan aku dengannya dalam masalah bisnis.”

“Ya udah aku mau ngomong dulu dengannya.”

Hubungan seluler dengan Mbak Nindie terputus. Mungkin dia mau ngomong sama Tante Irenka dulu.

Sementara aku termenung sambil menyaksikan Anna yang sudah merapikan kain seprai baru itu.

Yang kupikirkan adalah, Papa dan saudara - saudaranya terasa kurang kompak begitu. Dengan istri adik Papa saja aku belum kenal.

Berbeda dengan Mama dan saudcara - saudaranya. Terasa kompak sekali dalam lingkungan keluarganya.

“Telepon dari siapa barusan?” tanya Anna yang sudah mengenakan kimononya.

“Dari Mbak Nindie. Di rumah sedang ada tamu penting. Tamu bisnis,” sahutku sambil mengenakan celana pendek putih dan baju kaus putih pula.

“Terus?”

“Aku harus pulang dulu. Bahkan mungkin harus terbang ke Surabaya. Kalau ditinggal dulu di sini mau gak Beib?”

“Iiih… yang bener aja. Masa aku mau ditinggalkan sendirian di tengah hutan begini?”

“Terus maunya ditinggalkan di mana?”

“Di rumah papamu aja. Ada pembantu kan di rumahnya?”

“Ada. Jadi mau diantarkan ke rumah Papa aja sekarang?”

“Iya.”

“Ohya… jangan lupa minum pil kontrasepsinya Beib. Kecuali kalau kamu ingin mengandung anak kita.”

“Jangan dulu hamil lah.”

Handphoneku berdering lagi. Dari Mbak Nindie lagi.

“Dia mau menunggu Chepi katanya,” kata Mbak Nindie di speaker hapeku.

“Iya Mbak. Aku segera pulang. Tapi mau nganterin adik Mamie dulu. Ohya… Mbak udah dengar berita Mamie belum?”

“Soal Mamie sudah melahirkan?”

“Iya.”

“Tadi pagi aku terima beritanya dari Papa by phone. Mungkin besok pagi mau ke rumah sakit. Sekalian anterin Mamie yang sudah akan pulang besok siang.”

“Iya Mbak. Aku mau langsung berangkat nih. Ajak ngobrol dulu istri Oom Safiq itu ya Mbak. Biar gak kesal nunggu aku datang.”

“Iya.”

Beberapa saat kemudian aku sudah mengemudikan mobilku, meninggalkan pekarangan villa.

“Semoga bisnisnya sukses, ya Sayang,” ucap Anna sambil menyandarkan kepalanya di bahu kiriku.

“Amiiin…” sahutku, “Sejak aku bedlajar berbisnis, ini bisnis terbesar. Makanya penting sekali aku menjumpai tamu yang sedang menunggu di rumahku itu. Maaf ya… sebenarnya kita sedang merasakan keindahan dan kenikmatan… tapi terpaksa harus dihentikan dulu.”

“Gak apa - apa. Dahulukan dulu bisnismu, demi masa depanmu kelak.”

“Masa depan kita. Bukan hanya masa depanku. Kalau bisnis ini goal, aku berani menghamilimu Beib.”

“Tapi halalkan dulu Yang. Biar anak kita bukan anak haram.”

“Yah… kalau disetujui oleh Mamie, aku akan menghalalkannya.”

Setibanya di rumah Papa, aku berkata kepada Anna, “Besok juga Mamie pulang. Pasti kamu ada gunanya Beib. Minimal bisa bantuin Mamie mandiin baby.”

“Iya. Kira - kira berapa lama kamu ngurus bisnismu?”

“Sulit ditebak - tebak. Bisa sehari, bisa seminggu. Tapi moga - moga aja cepat selesai dan sukses. Doakan aku ya Beib.”

“Iya, kudoakan semoga bisnisnya sukses Yang,” sahut Anna sambil mengecup sepasang pipiku.

Lalu aku pulang ke rumahku ketika hari mulai malam.

Kulihat ada sebuah mobil yang lebih mahal daripada mobilku diparkir di depan pintu garasi. Sudah pasti mobil made in England itu punya Tante Irenka.

Ternyata benar. Begitu aku masuk ke ruang tamu, seorang wanita bule yang usianya kutaksir sekitar tigapuluh tahunan, langsung bangkit dari sofa dan berjabatan tangan denganku.

“Irenka…”

“Chepi…”

“Jadi kamu anaknya Bang Adrian?” tanyanya dengan tangan masih menggenggam tanganku.

“Betul Tante Irenka…”

“Buat lidah orang Indonesia, mungkin lebih mudah menyebut namaku Iren aja. Gak pakai Tante juga gak apa - apa. Karena di Eropa, terkadang kepada ibu pun memanggil namanya saja.”

“Iya… iyaaa… tapi karena aku orang Indonesia, aku akan tetap memanggil Tante… mm… Tante Iren.”

“Oke… kita bisa langsung berbicara masalah ketiga kapal tanker itu ya,” ucap Tante Irenka sambil menarik tanganku dan mengajak duduk berdampingan di sofa.

Harum parfum mahal pun tersiar ke penciumanku.

“Kapal - kapal tanker itu milik siapa?” tanyanya dengan sikap yang sangat familiar.

“Punya orang. Tapi surat - suratnya sudah atas namaku semua Tante,” sahutku.

“Owh… berarti kita tidak perlu moderator, arranger dan sebagainya. Karena pihak buyer pun sudah menyerahkan segalanya padaku. Ohya, foto - fotonya sudah kulihat dari papamu. Tapi di situ tidak tercantum ukuran tonasenya.”

“Ketiga kapal tanker itu terdiri dari satu kapal ULCC (Ultra Large Crude Carrier), berkapasitas 500.000 ton. Dan dua kapal VLCC (Very Large Crude Carrier/Malaccamax), berkapasitas 300.000 ton.”

“Kondisinya memang bagus kan?”

“Semuanya barang second Tante. Tapi kondisinya bisa disebut delapanpuluhlima persen lebih. Bahkan bisa disebut sembilanpuluh persen.”

“Oke. Yang jelas ketiga - tiganya masih layak melaut kan?”

“Masih Tante. Soal itu sih kujamin masih bagus, karena baru selesai diservice dan direnovasi semuanya.”

“Kapal - kapalnya ada di mana sekarang?”

“Di Surabaya Tante.”

“Wow. Berarti kita harus ke Surabaya ya.”

“Iya Tante. Pakai pesawat sejam setengah juga tiba di Surabaya.”

“Kalau ke Surabaya, aku justru ingin pakai mobil aja. Satu mobil aja, biar kita bisa gantian nyetir nanti,” sahut Tante Irenka.

Pada saat itu belum ada jalan tol trans Jawa. Jadi paling juga harus lewat pantura. Untuk mencapai Surabaya dibutuhkan waktu lebih dari 12 jam, kalau menggunakan mobil pribadi. Setelah ada tol memang bisa hemat waktu, tapi biayanya lebih besar (untuk bayar jalan tol).

“Mau pakai mobilku apa mau pakai mobil Tante aja?” tanyaku.

“Pakai mobilku aja,” sahutnya, “Tapi gantian nyetir nanti ya.”

“Oke. Lalu mau berangkat kapan?” tanyaku lagi.

“Sekarang aja. Untuk jalan jarak jauh mendingan juga malam.”

“Tante bawa pakaian untuk ganti?”

“Ada. Selalu siap pakaian ganti di dalam bagasi mobilku.”

Lalu kami merundingkan lagi masalah harga ketiga kapal tanker itu. Dengan sedikit di mark up dari harga yang diputuskan oleh Tante Aini. Uang kelebihan itu nantinya kusediakan untuk Anna. Minimal harus jadi rumah untuknya, jika bisnis ini sukses.

Memang kalau dibandingkan dengan harga barunya, harga ketiga kapal tanker itu jauh lebih murah. Tidak sampai 50% dari harga barunya. Tapi tetap saja harga ketiga kapal tanker itu setelkah dijumlahkan, jadi duabelas nolnya.

“Kalau keadaan ketiga kapal itu kondisinya bagus seperti yang Chepi jelaskan, harganya cukup murah tuh. Tapi kepastiannya nanti saja, setelah aku melihat kondisi ketiga kapal tanker itu. Oke?”

“Oke Tante.”

Beberapa saat kemudian, aku sudah duduk di dalam mobil Tanted Irenka, yang ia kemudikan sendiri.

“Waktu pertama kali melihatmu tadi, aku sangat terkejut Chep,” ucap Tante Irenka di belakang setir mobilnya yang terasa nyaman didudukinya ini.

“Kenapa terkejut Tante?” tanyaku heran.

“Wajah dan gerak - gerikmu mirip pacarku waktu masih kuliah di Jakarta dahulu.”

“Lho… kata Papa, Tante ini orang Czech, lalu ketemu dengan Oom Safiq di Prague…”

“Informasi yang salah. Ayah dan ibuku memang berdarah Czech. Tapi aku lahir dan dibesarkan di Jerman. Kemudian aku mendapat beasiswa untuk kuliah di Jakarta. Pada saat itulah aku pacaran sama orang Indonesia yang bentuknya sangat mirip kamu Chep. Tapi sekarang dia tentu sudah berumur. Tidak semuda kamu lagi.

“Terus, ketemu dengan Oom Safiq di mana?”

“Di Jerman. Itu setelah aku selesai kuliah. Tapi kemudian aku sering mengunjungi Prague, kota leluhurku. Maka makin seringlah aku ketemu dengan pamanmu di Prague, karena pamanmu saat itu bertugas di Czech Republic. Dalam pengakuannya, pamanmu seorang duda beranak cewek dua orang. Istrinya meninggal sebelum dia bertugas di Prague.

“Terus dengan pacar yang orang Indonesia itu putus?”

“Iya. Dia berkeras agar aku melebur ke dalam agamanya. Tapi aku tidak bisa. Sementara pamanmu tidak memintaku jadi mualaf. Maka aku pun menerima lamarannya, lalu kami menikah di Prague. Begitu ceritanya.”

“Sekarang usia pacar Tante yang orang Indonesia itu kira - kira berapa tahun?”

“Sudah tua lah. Dia itu lima tahun lebih tua dariku. Sekarang usiaku sudah tigapuluh tahun. Berarti dia sudah tigapuluhlima tahun. Hmm… setelah melihatmu, aku merasa seolah - olah ketemu dengan reinkarnasi pacarku itu Chep.”

“Kalau boleh tau, siapa nama pacar Tante itu?”

“Panji.”

“Ya udah… anggap aja aku ini reinkarnasi Panji. Hehehee…”

Tante Irenka mengurangi kecepatan mobilnya. “Serius?!”

“Tentu aja serius. Cowok mana yang tidak tertarik oleh wanita yang cantik seperti Tante.”

Tiba - tiba Tante Irenka meminggirkan mobilnya sampai menginjak bahu jalan. Lalu menghentikan mobilnya, sekaligus mematikan semua lampu, tapi mesinnya tetap dinyalakan. Tanpa canggung - canggung lagi Tante Irenka merangkul leherku dan… mencium bibirku…!

Ooooh… apakah aku akan mengalami kisah baru di dalam perjalanan hidupku?

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan