2 November 2020
Penulis —  Neena

Malam Malam Jahanam

Part 21

Sebulan kemudian …

Seperti yang sudah direncanakan, pernikahanku dengan Nike dilaksanakan secara sederhana saja. Yang penting keluarga Nike dan keluargaku ada yang hadir.

Jujur, aku mampu melaksanakan pesta dengan biaya sebesar mungkin. Tapi aku tak mau pernikahanku jadi bahan gunjingan orang - orang. Karena itu teman kuliah pun tiada yang diundang. Yang penting, dari pihakku ada Papa dan Mamie yang hadir. Meski pihak laki - laki tidak membutuhkan wali, tapi kehadiran mereka sangat penting bagi jiwaku.

Aku pun mengajak Mama kandungku untuk menghadiri akad nikahku dengan Nike. Tapi Mama menolaknya secara halus. Beliau berkata, “Biarlah ibu tirimu saja yang hadir. Supaya dia tambah sayang padamu. Mama sih ikut mendoakan saja dari jauh, semoga pernikahanmu berjalan lancar. Nanti setelah akad nikah selesai, bawalah istrimu ke sini.

Bukan hanya Mama, aku pun mengundang Tante Aini yang merupakan sosok terpenting dalam dunia bisnisku. Tapi Tante Aini sudah tinggal menunggu harinya saja untuk melahirkan. Sehingga beliau takkan bisa hadir dalam pelaksanaan akad nikahku.

Dari pihakku, bukan hanya Papa dan Mamie yang hadir. Anna juga dibawa serta oleh Mamie.

Tante Irenka dan Anastazie juga datang, sesuai dengan undangan lisan dariku.

Yang sangat mengharukan adalah… Niko sudah jadi mualaf. Sehingga dia bisa dijadikan wali Nike.

Aku tidak tahu apakah Niko jadi mualaf karena ingin mengikuti jejak adiknya atau sengaja supaya bisa jadi wali Nike pada saat dilaksanakan akad nikahku dengan adiknya. Entahlah.

Yang jelas, famili Nike banyak yang sudah menjadi mualaf. Dan mereka hadir semua pada saat akad nikahku dengan Nike.

Namun di tengah kesibukan pada pelaksanaan akad nikahku ini, aku ingat terus kepada Mama. Karena beliau adalah sosok terpenting bagiku.

Mungkin Mama ingin menghindari Mamie. Mungkin Mama membayangkan bahwa pada waktu menyaksikan akad nikahku, Papa pasti berdampingan dengan Mamie. Mungkin hal itu yang ingin dihindari oleh Mama.

Maka setelah tamu - tamu pada pulang, aku mengajak Nike untuk mengunjungi rumah Mama, seperti yang Mama inginkan.

Pada saat itu Niko yang nyetir mobilku. Karena pengantin tidak boleh nyetir sendiri katanya.

Dalam perjalanan menuju rumah Mama yang letaknya agak jauh di kota itu, aku dan Nike duduk di belakang. Sementara Niko sendirian di belakang setir mobilku.

Aku dan Nike masih mengenakan pakaian pengantin. Agar Mama merasa senang melihatnya nanti.

Setibanya di rumah Mama, aku terkejut karena melihat di depan rumah Mama sudah berderet mobil diparkir. Di halaman samping pun dipasang tenda segala.

Ternyata adik - adik Mama sudah hadir semua, kecuali Tante Aini yang menurut kabar terakhir sudah masuk rumah sakit bersalin di Jakarta.

Adik - adik Mama yang tampak hadir, Tante Dahma, Tante Iqrah, Tante Hibba, Tante Rafna, Tante Shaza, Oom Bahrul dan Oom Salam. Semuanya datang bersama suami dan istrinya masing - masing. Bahkan banyak juga yang membawa anak - anak dan orang - orang yang belum kukenal.

Inilah kompaknya keluarga Mama. Kalau ada event penting, pasti mereka berkumpul semua. Jauh berbeda dengan keluarga Papa. Hanya Tante Irenka yang hadir. Sementara adik kandung Papa tidak ada yang hadir seorang pun. Mungkin juga karena Papa tidak memberitahu mereka, entahlah.

Aku pun bersujud di depan Mama yang duduk di sofa ruang tengah, memohon doa restunya. Mama bercucuran air mata sambil menciumiku. Begitu pula waktu Nike giliran bersujud di depan Mama. Mama membelai rambut Nike dan menciumi sepasang pipinya. Lalu dengan suara sendu Mama menyatakan restunya. Kemudian Mama memasangkan seuntai kalung emas bertatahkan berlian di leher Nike, sambil berkata, “Kalung ini pemberian almarhumah ibu mama.

Adik - adik Mama dan pasangannya masing - masing menyalamiku dan Nike secara bergiliran. Mereka mendoakanku agar menjadi suami istri yang samawa dan cepat diberi momongan.

Dan suatu tradisi di keluarga Mama pun terjadi. Adik - adik Mama pada ngasih kalung emas kepada Nike. Mereka mengalungkan hadiahnya masing - masing di leher Nike. Sehingga ditambah dengan kalung berlian dari Mama, Nike jadi mengenakan 8 kalung mdi lehernya…!

Aku tersenyum - senyum saja menyaksikan semuanya itu. Dan sekali lagi aku menyaksikan kekompakan keluarga Mama. Kekompakan yang tidak kusaksikan di lingkungan keluarga Papa.

Dan yang paling mengejutkan, Mama menarik pergelangan tanganku, menuju ke sebuah sedan sport putih yang aku tahu harganya mahal sekali. “Sejam yang lalu sedan ini baru datang. Hadiah perkawinan dari Tante Aini untukmu. Dia sangat menyesal karena tidak bisa menghadiri akad nikahmu, karena sekarang sudah harus masuk ke rumah sakit bersalin.

Aku tercengang. Hadiah yang sangat gila - gilaan menurutku (kalau buat konglomerat mungkin biasa - biasa saja). Karena aku tahu harga sedan sport putih itu 5 kali lebih mahal daripada sedan kesayanganku.

Nike yang berdiri di sampingku bergumam di dekat telingaku, “Mobilnya keren habis Bang. Harganya mahal sekali kan?”

Kusahut dengan setengah berbisik, “Iya hadiah dari pemilik perusahaan kita yang sebenarnya.”

“Owh… dari beliau?” gumam Nike.

“Iya. Dia sedang di rumah sakit bersalin. Mau melahirkan. Makanya gak bisa datang di pernikahan kita. Kalau kamu mau, sedan sport ini bisa dipakai untuk ke kantor setelah resmi dinobatkan sebagai direktur utama nanti.”

“Nggak ah. Aku ngeri makainya juga. Kalau Abang mau ngasih mobil, cariin yang murah aja Bang. Supaya aku tidak grogi nyeitrnya.”

“Iya. Sedan sport ini mungkin akan disimpan saja. Tapi selama berbulan madu, tiada salahnya kalau kita pakai.”

Nike mengangguk sambil tersenyum manis.

Tapi aku tak bisa berlama - lama menyaksikan berkilaunya sedan sport putih itu, karena Oom Bahrul memanggilku. Untuk melaksanakan doa bersama di ruang tengah yang lantainya sudah ditilami permadani Turki sekujurnya.

Oom Bahrul sendiri yang memimpin acara doa syukuran itu.

Setelah acara doa syukuran selesai, kami makan bersama. Ternyata Mama sudah menyediakan makanan selengkap mungkin. Bahkan jauh lebih lengkap daripada di rumah Nike tadi. Tamu - tamu pun tampak lebih banyak di rumah Mama ini.

Setelah makan bersama selesai, saudara - saudara Mama pada minta berfoto dengan kami (dengan pengantin baru… hihihihiii). Lalu mereka pun pada minta tukaran nomor handphone. Siapa tahu kelak ada perlu atau berniat mengadakan reuni keluarga besar Mama.

Setelah malam semakin larut, tamu - tamu pun pada pulang. Begitu juga aku, harus meninggalkan rumah Mama. Meski hatiku berat meninggalkan mama kandung tercintaku itu.

Dalam perjalanan pulang, mobilku dibawa oleh Niko. Sementara aku dan Nike menggunakan sedan sport putih yang aduhai itu.

“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanyaku ketika Nike menyandarkan kepalanya di bahi kiriku.

“Bahagia,” sahutnya, “Sangat bahagiaaa…”

“Jadi istriku sudah. Sekarang persiapkan dirimu untuk mempimpin perusahaan. Walau pun usia kita masih sama - sama muda, yakinkan dirimu bahwa kamu akan mampu memimpin perusahaan mulai sebulan lagi.”

“Iya, tapi Ayang harus membimbingku juga nanti. Untuk sementara, mungkin aku tak bisa dilepas begitu saja.”

“Itu sih pasti. Yang penting pelajari terus buku - buku tentang managemen dan leadership. Karena anak buah kita rata - rata lebih tua dari kita. Sarjana semua pula.”

Sedan sport itu dimasukkan ke dalam garasi rumahku. Tapi malam itu aku akan menginap di rumah baru yang kuhadiahkan kepada Nike itu.

“Sekarang kita belum punya pembantu. Jadi segala sesuatunya harus dikerjakan sendiri. Nanti kucarikan pembantu yang cocok untuk meladeni kita di rumah ini,” kataku setelah berada di dalam rumah baru itu.

“Gak ada pembantu juga gakpapa. Biar aku bisa meladeni suami sendirian.”

“Memangnya kamu bisa masak?”

“Bisa lah. Tapi chinese food bisanya.”

“Aku suka kok chinese food. Tapi yang halal. Seperti restoran… “kusebutkan nama restoran chinese food yang serba halal itu.

“Iya dong. Aku juga kan sudah jadi mualaf. Makanan harus serba halal. Ohya… daripada nyari pembantu, mendingan kita rekrut aja kakak sepupuku. Dia jago masak Bang.”

“Dia sudah jadi mualaf?”

“Sudah lama, sebelum aku lahir juga sudah jadi mualaf.”

“Emangnya kakak sepupumu itu sudah tua?”

“Tigapuluhlima tahunan gitu. Pokoknya tiga atau empat tahun lebih muda dari Mama. Tapi dia tetap manggil tante sama Mama. Dia sih sigap kerjanya Yang.”

“Punya suami?”

“Justru setahun yang lalu suaminya meninggal karena tabrakan di Puncak. Dia jadi janda. Dan sejak menjanda, aku ikut priihatin melihat nasibnya. Maka kalau diajak ke sini, kita bisa bantu juga kesulitan - kesulitan dia.”

“Memang dulunya suami dia itu kerja apa?”

“Cuma jadi sopir mobil box Yang.”

“Owh gitu. Ya udah, kamu tentu tau yang terbaik buat kita di sini. Terutama untuk meladeni kebutuhanmu di rumah setelah jadi dirut nanti.”

Nike mengangguk - angguk sambil tersenyum manis.

Manis sekali senyum Nike itu. Memang tidak salah aku menjadikannya istriku.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan