2 November 2020
Penulis — Neena
Makin lama makin riuh juga rintihan - rintihan histeris cewek bule ini. Bahkan pada suatu saat ia berucap terengah, “Chepppiii… ooooh… rasanya vaginaku seperti mau ambrol… tapi… ini luar biasa enaknya… oooooohhhhh…”
“Itu pertanda mau orgasme Zie… ayo nikmati saja orgasmemu sepuasnya…” sahutku sambil menggencarkan entotanku.
Zie pun berkelojotan beberapa detik. Kemudian mengejang tegang sambil menahan nafasnya. Pada saat itulah kubenamkan kontolku sedalam mungkin, tanpa digerakkan lagi, karena ingin ikut merasakan indahnya perempuan yang sedang menikmati orgasme.
Lalu terasa liang sanggama Zie berkedut - kedut kencang, disusul dengan gerakan dinding liang memeknya yang seperti spiral membelit batang kemaluanku.
“Ooooooooh… “Zie melepaskan nafasnya, lalu terkulai lemas.
Pada saat yang sama, tiba - tiba terdengar suara Tante Irenka yang sudah melangkah ke dekat bed, “Wah… wah… waaaah… asyiknya sepasang anak muda yang tengah memadu birahi…”
Aku agak kaget dan langsung tersadar bahwa pintu sudah kututup tadi, tapi memang lupa menguncinya. Sehingga Tante Irenka bisa masuk ke dalam kamar ini. Tapi biarlah, aku malah senang melihat kehadiran Tante Irenka itu. Terlebih setelah ia melepaskan gaun tidur putihnya, sehingga tubuh indahnya langsung telanjang bulat, karena di balik gaun tidur putihnya itu tiada beha mau pun celana dalam.
Kemudian Tante Irenka naik ke atas bed. Mengusap - usap dahi Anastazie yang keringatan, “Kenapa kelihatan lemas gini?”
Aku yang menjawab, “Dia baru orgasme Tante.”
“Ohya?! Berarti giliranku dong sekarang,” ucap Tante Irenka sambil tersenyum menggoda.
Aku pun mencabut kontolku dari liang memek Zie. Dan kulihat di bawah bokong Zie ada genangan darah yang sudah mengering. Darah yang bisa dijadikan saksi, bahwa Zie masih perawan sebelum diterobos batang kemaluanku tadi.
Tante Irenka pun melihat darah yang sudah mengering di kain seprai itu. Lalu bergegas ia membuka lemari dan mengeluarkan seprai lain yang masih bersih. Ia mengajak Zie untuk bersama - sama memasang seprai baru itu.
Setelah merapikan seprai baru itu, Zie menggulung kain seprai yang sudah ternoda darah perawannya itu sambil menundukkan kepala.
“Nggak apa… itu hal biasa Zie,” kata Tante Irenka sambil memegang bahu adiknya, lalu mengecup pipinya.
Zie mengangguk sambil tersenyum.
“Nanti lihat dulu cara bersetubuh yang benar ya,” ucap Tante Irenka yang lalu naik ke atas bed dan menangkap batang kemaluanku. Lalu menjilatinya dengan lahap, sementara Zie pun naik ke atas bed sambil memperhatikan yang sedang dilakukan oleh kakaknya.
Aku memberi isyarat kepada Tante Irenka, sambil menunjuk ke arah Zie.
“Gak apa - apa. Zie sudah tau bahwa aku mendapat anjuran dari suamiku seperti Zie mendapat anjuran dariku.”
Lalu Tante Irenka mengoral kontolku dengan binalnya. Menyelomoti kepala dan leher kontolku, sementara tangannya mulai mengurut - urut badan kontolku. Terkadang kontolku dikulum sampai lebih dari setengahnya, disertai sedotan - sedotan dan gelutan lidah di dalam mulutnya.
Anastazie memperhatikan semua yang dilakukan oleh kakaknya dengan sorot serius sekali. Seolah murid yang sedang menyimak pelajaran dari gurunya.
Tante Irenka memang trampil sekali permainan oralnya. Mungkin Oom Safiq selalu harus dioral dulu agar ereksi. Maklum beliau sudah tua, hanya dua tahun lebih muda daripada Papa.
Tapi karena batang kemaluanku masih ngaceng berat, tak lama kemudian Tante Irenka mulai berusaha memasukkan kontolku ke dalam liang memeknya, sambil berjongkok, dengan kedua kaki berada di kanan - kiri pinggulku. Sambil memegang batang kemaluanku, Tante Irenka pun menurunkan memeknya yang sudah ternganga.
Kontolku mulai “ditelan” oleh liang memek Tante Irenka sedikit demi sedikit.
“Katanya cuma suka posisi missionary,” ucapku ketika batang kemaluanku sudah sepenuhnya berada di dalam jepitan liang memek istri Oom Safiq itu.
“Ini kan sedang ngajarin Zie,” sahut Tante Irenka yang lalu mengayun bokongnya seperti wanita sedang menunggang kuda. Sehingga batang kemaluanku terasa dibesot - besot oleh liang memek wanita bule itu.
Aku pun tidak tinggal diam. Meski sedang celentang, aku bisa mengentotkan kontolku di dalam cengkraman liang memek Tante Irenka. Sehingga kontolku bergerak secara berlawanan dengan memek Tante Irenka. Ketika liang memeknya turun, kontolku maju. Dan ketika dia menarik memeknya ke atas, aku pun menarik kontolku ke bawah.
Sementara Zie memperhatikan aksi kakaknya dengan sorot serius sekali. Sambil mengusap - usap memeknya sendiri.
Tapi hanya belasan menit Tante Irenka beraksi di atas tubuhku. Lalu ia mengelojot dan ambruk di atas dadaku sambil mengeluh, “Inilah yang aku tidak suka. Kalau main dalam posisi WOT, jadi cepat orgasme.”
“Aku kan gak minta Tante main di atas,” sahutku yang kuikuti dengan kecupan hangat di bibir sensualnya.
“Kan ngajarin Zie, biar dia tau banyak mengenai sex,” sahut Tante Irenka, “Lanjutin sama dia lagi gih. Dia udah horny lagi tuh.”
Aku memang sudah tahu, bahwa Zie sudah horny lagi. Karena itu setelah Tante Irenka mengangkat memeknya tinggi - tinggi, sehingga kontolku terlepas dari liang memeknya, aku pun spontan mendekati Zie yang masih mengusap - usap selangkangan dan memeknya.
Kudorong dada Zie sambil berkata, “Kita sih pakai posisi yang tadi aja ya. Kamu kan masih pemula. Biar hafal pelajaran pertama aja dulu.”
“Iya,” sahut Zie sambil tersenyum.
Terdengar suara Tante Irenka, “Kalau Chepi punya minat menikahi Zie, aku ijinkan. Asalkan hubunganku dengan Chepi tetap berjalan.”
Kusahut, “Tapi Zie harus jadi mualaf dulu. Karena di sini perkawinan antar dua agama tidak diijinkan. Harus ada salah seorang yang melebur.”
Tiba - tiba Zie berkata perlahan, “Aku sudah jadi mualaf sejak tiga tahun yang lalu.”
“Haaa?! Betul Zie sudah jadi mualaf Tante?” tanyaku sambil menoleh ke arah Tante Irenka.
“Betul, “Tante Irenka mengangguk, “Sejak kelas satu SMA dia sudah menjadi mualaf. Atas anjuran Oom Safiq. Karena Zie ingin punya suami orang Indonesia. Kalau aku dengan Oom Safiq kan nikahnya di catatan sipil Jerman. Makanya aku sampai sekarang belum jadi mualaf.”
Aku tidak menanggapi ucapan Tante Irenka itu, Karena sedang mengarahkan moncong kontolku di ambang mulut memek Zie.
Kali ini membenamkan batang kemaluanku ke dalam liang memek Zie, tidaklah sesulit yang pertama tadi. Karena liang memeknya masih melar dan cepat beradaptasi dengan ukuran batang kelelakianku.
Maka tak lama kemudian kontolku sudah bisa “memompa” liang memek cewek bule itu. Aku pun bisa merasakan kembali nikmatnya mengentot liang memek yang masih sangat sempit ini. Sementara Zie pun mulai mendesah dan merintih histeris lagi.
“Chepiii… ooooohhhh… Chepiiii… oooooohhhhh… ini luar biasa enaknya Cheeeep… aaaaaaah… aaaaah… Cheeepiiii… aaaaa… aaaaah… aaaah… Chepiiii… aaaaah… aaahhhhh… aaaaahhhhh…”
Tante Irenka tampak sayang sekali kepada adiknya. Ia duduk di dekat kepala Zie dan membelai rambut adiknya. Terkadang diciuminya dahi Zie. Di saat lain ia mencium bibirku dengan mesranya.
Sedangkan Zie tetap merintih - rintih histeris dengan mata terpejam - pejam.
Kali ini cukup lama aku menyetubuhi Zie. Sehingga keringat pun mulai membanjiri tubuhku, bercampur aduk dengan keringat cewek bule itu.
Kali ini aku tak bisa mempertahankan diri lagi. Ketika Zie mulai berkelojotan, aku pun sudah tiba di detik - detik krusialku. Maka kugencarkan entotanku. Dan ketika Zie mengejang tegang, kupertahankan agar jangan ejakulasi dulu. Karena aku meletuskan lendir kenikmatanku dalam jepitan sepasang toket super gede itu.
Setelah terasa liang memek Zie berkedut - kedut kencang, cepat kucabut kontolku dari liang memek Zie. Lalu aku bergerak sedemikian rupa, sehingga batang kemaluanku berada di antara sepasang toket Zie.
Tante Irenka pun ikut campur, karena Zie belum tahu apa yang harus dia lakukan. Ditekannya sepasang toket gede Zie dari kanan - kirinya, sehingga terasa menjepit kontolku yang hampir muncrat ini.
Lalu… kontolku mengejut - ngejut di dalam jepitan sepasang toket Zie.
Croootttt… crooottt… crotttcrottt… croooottttttt… crooottttt… croootttt…!
Air maniku bermuncratan ke leher dan ke wajah Zie… Tante Irenka pun dengan lahapnya menjilati air maniku. Sementara Zie pun menggunakan tangannya untuk memasukkan air maniku ke dalam mulutnya. Kemudian menelannya, seperti juga Tante Irenka yang menjilati air maniku di setiap bagian yang menciprati wajah dan leher Zie.
Lalu aku terkapar lemas, diapit oleh Tante Irenka dan adiknya.
Kami pun tertidur dnegan nyenyaknya, dalam keadaan telanjang semua.
Ketika aku terbangun keesokan paginya, Tante Irenka dan Zie sudah tidak ada di atas bed. Mungkin mereka sudah masuk ke kamarnya masing - masing. Aku pun turun dari bed dan masuk ke kamar mandi. Lalu mandi sebersih mungkin dan mengenakan pakaian lengkap. Karena aku teringat banyak yang harus kuselesaikan hari ini.
Begitu aku selesai berpakaian, Zie muncul dalam daster putih bersihnya. Dengan senyum manis di bibir sensualnya dan ucapan, “Selamat pagi Chepi Tercinta…”
“Selamat pagi Zie Cantik,” sahutku sambil memeluknya, disusul dengan ciuman mesra di bibirnya.
“Udah lama bangun?” tanyaku.
“Sejam yang lalu. Mmm… ada sesuatu yang berubah padaku pagi ini,” sahut Zie.
“Apa tuh? Ohya… kamu jadi semakin cantik pagi ini Zie.”
“Bukan masalah wajah. Ini nih yang berubah,” ucap Zie sambil menyingkapkan daster putihnya.
Ternyata Zie memamerkan memeknya yang tidak bercelana dalam. Memek yang sudah dibersihkan jembutnya. Membuatku terlongong dan mendorong dada Zie agar celentang di atas bed.
Lalu kuamati memek Zie dari jarak dekat sekali. “Dicukur?”
“Pakai wax,” sahutrnya, “Irenka yang ngewaxing tadi. Dia bilang sekarang sudah gak zamannya lagi membiarkan jembut tumbuh.”
“Pantesan bersih sekali. Mmm… memekmu cantik sekali Zie,” ucapku disusul dengan ciuman - ciuman lahap di memeknya yang sudah berubah drastis itu.
“Terima kasih.”
“Tapi sekarang aku banyak kerjaan yang harus diselesaikan Sayang. Sedangkan luka di dalam vaginamu juga harus kering dulu. Nanti kalau sudah benar - benar sembuh lukanya, call aku ya.”
“Iya. Tapi aku ingin menyampaikan sesuatu Chep.”
“Apaan tuh?”
Zie menciumi pipiku, lalu berbisik di dekat telingaku, “Aku cinta kamu Chep.”
“Sama. Aku juga mencintaimu. Tapi bisakah kamu menerima Irenka yang sudah duluan punya hubungan denganku?”
“Nggak apa - apa. Aku dan Irenka saling menyayangi kok.”
“Sukurlah kalau begitu. Pokoknya kita bertiga nanti harus selalu kompak ya.”
Zie mengangguk sambil tersenyum manis.
Setelah tukaran nomor hape dengan Zie, aku pun menghampiri Tante Irenka dan Oom Safiq di kursi rodanya, dalam ruang keluarga. Untuk pamitan pulang.
“Lho… masa gak makan sarapan pagi dulu Chep?” tanya Tante Irenka.
“Gak usah Tante. Aku harus ke kantor dulu, banyak yang harus dikerjain hari ini.”
Ketika aku berjongkok di depan kursi roda Oom Safiq dan mencium tangan adik Papa itu, Oom Safiq mengusap - usap rambutku, “Terima kasih atas bantuanmu Chep. Aku minta agar Chepi datang ke sini secara rutin ya. Minimal seminggu dua kali.”
“Iya Oom. Kalau tidak sibuk, pasti aku akan datang ke sini.”
Tante Irenka mau mengantarkanku ke rumah. Tapi aku menolaknya, karena takut merepotkan. Maka pagi itu aku pulang ke rumah dengan memakai taksi.
Setibanya di rumah, aku langsung menjumpai Nike di ruang kerjaku.
Setelah mencium bibirnya, aku berkata, “Ayo ikut aku sekarang Beib.”
“Siap, “Nike langsung berdiri dan mengikuti langkahku menuju garasi.
Beberapa saat kemudian aku sudah berada di belakang setir mobil kesayanganku. Nike pun sudah duduk di samping kiriku.
Yang kutuju adalah restoran langgananku. Untuk menyantap sarapan pagi bersama kekasih utamaku.
“Seandainya pernikahan kita dipercepat, gimana Beib?” tanyaku pada waktu menyantap mie goreng seafood, sementara Nike menyantap lasagna.
“Kalau Abang menganggap hal itu jalan yang terbaik, aku setuju aja,” sahut Nike dengan senyum manisnya yang senantiasa membuat hatiku sejuk.
“Dua bulan lagi kantor baru kita selesai pembangunannya. Aku ingin agar pernikahan kita dilaksanakan sebelum pembukaan kantor baru itu. Karena kamu akan kuangkat sebagai dirut, sementara aku akan menjadi komisaris utamanya.”
“Wow… aku mau dijadikan dirut?” ucap Nike dengan sorot ceria.
“Iya. Kalau sudah jadi istriku, masa mau jadi sekretaris terus. Lagian belakangan ini kamu sudah sering mempelajari buku - buku managemen kan?”
“Sering. Malah isinya sudah ngelotok di dalam otakku.”
“Aku percaya dalam soal itu sih. Lagian tau bahwa mayoritas orang Tionghoa bisa bekerja secara profesional dalam bidangnya masing - masing.”
Selesai sarapan, kutujukan mobilku ke arah kompleks perumahan yang paling elit di kotaku. Tepatnya sekitar 25 kilometer di luar kotaku.
“Mau mengunjungi relasi bisnis?” tanya Nike setelah mobilku memasuki gerbang perumahan elit itu.
“Nggak,” sahutku “Aku mau membelikanmu rumah baru yang layak untuk ditempati oleh seorang dirut sekaligus istri tercintaku.”
“Wow! Rumah - rumah di sini milyaran harganya Honey.”
“Nggak apa - apa. Kebetulan bisnisku di Surabaya sukses. Karena itu kamu harus punya rumah sendiri. Bahkan sebagai seorang dirut, kamu juga harus punya mobil.”
“Apakah itu tidak berlebihan Honey?”
“Tidak berlebihan. Karena aku menyesuaikan dengan statusmu kelak, lagian kebetulan rejekinya ada.”
Kemudian kami mendatangi kantor managemen perumahan itu. Kebetulan banyak rumah baru yang siap huni. Kusuruh Nike memilih sendiri rumah mana yang disukainya.
Setelah memilih - milih, akhirnya pilihan Nike jatuh pada sebuah rumah yang punya dua kamar di lantai satu dan sebuah kamar di lantai dua.
Kemudian kami langsung diantar oleh pihak managemen untuk melihat - lihat rumah baru itu. Tentu saja rumahnya masih kosong, belum ada perlengkapannya. Tapi tampaknya Nike langsung jatuh cinta kepada rumah itu, karena di samping rumah itu ada sebuah taman untuk bermain anak - anak.
“Kalau sudah punya anak nanti, tak usah main jauh - jauh. Diasuh di taman itu aja,” kata Nike.
“Iya, “aku mengangguk sambil tersenyum, “Besok furniture dan perabotan lainnya kita beli.”
“Ohya… kantor baru itu kan gak jauh dari sini kan?”
“Iya. Dari gerbang perumahan ini hanya duaratus meteran jaraknya. Jadi letak rumah ini sangat strategis kan?”
“Iya. Tapi Mama pasti sedih ditinggal sendirian di rumah kelak.”
“Ajak aja mamamu pindah ke sini. Kan kamarnya ada tiga tuh. Kalau kurang, bangun lagi kamar baru di tanah yang masih kosong di belakang itu. Jadi mamamu bisa tinggal di sini. Niko juga kalau pas lagi datang, bisa nginap di sini.”
“Mama boleh diajak pindah ke sini?” tanya Nike.
“Tentu aja boleh. Kan kamu juga harus punya teman di sini. Karena aku takkan bisa setiap malam tidur di sini.”
“Iya iya… aku mengerti soal itu sih. Abang kan pasti sibuk sekali.”
Aku tidak menanggapinya. Karena aku teringat Tante Esther, mamanya Nike itu.
Sejauh ini aku dan Tante Esther masih bisa menutupi hubungan rahasiaku dengan Tante Esther. Padahal paling telat seminggu sekali aku suka mendatangi rumahnya, sementara Nike sedang berada di kantor. Bukan cuma menyetubuhi mamanya Nike itu, tapi juga diam - diam aku sering memberinya uang untuk kebutuhan sehari - harinya.
Setelah membayar DP rumah itu di kantor managemen dan berjanji untuk melunasinya besok di depan notaris yang biasa dipakai oleh managemen perumahan itu, aku mengantarkan Nike ke kantor lagi. Kemudian aku mengarahkan mobilku menuju rumah Papa.
Selama aku di Surabaya, aku teringat terus pada Mamie dan anakku yang sudah diberi nama oleh Papa itu. Adelanie namanya. Gabungan antara nama Papa dengan Mamie. Adrian dan Melanie.
Papa sempat nelepon aku, apakah aku setuju dengan nama yang akan diberikan kepada “adikku” yang sebenarnya anakku itu? Aku pun spontan menyetujuinya. Karena secara hitam di atas putih, bayi itu anak Papa dan Mamie. Tapi secara biologis, Adelanie itu anak pertamaku.
Setibanya di rumah Papa, kukeluarkan sebotol parfum impor dan setangkai bunga mawar merah dari laci dashboard mobilku. Kulihat tidak ada mobil Papa di garasi, karena saat itu jam kerja. Kemudian aku berjalan mengendap - endap menuju kamar Mamie.
Kebetulan pintunya sedikit terbuka, sehingga aku bisa masuk ke dalam kamar Mamie. Ternyata Mamie sedang meneteki anakku. Dan Mamie terbelalak melihatku sudah berdiri di dalam kamarnya, sambil menyembunyikan parfum dan bunga mawar merah di punggungku.
“Chepi Sayang… ke mana aja selama ini?” tanya Mamie sambil membiarkan Adelanie tetap
“Kan di Surabaya Mam.”
“Oh iya, Papa bilang kamu sedang ngurus penjualan kapal - kapal tanker itu ya?”
“Betul. Baru tadi malam pulang,” sahutku sambil menyerahkan parfum dan setangkai bunga mawar itu kepada Mamie, sambil berlutut di dekat kakinya.
“Mmmm… you are so sweet and romantic… “Mamie menerima pemberianku dengan sebelah tangan, karena tangan satunya lagi sedang menahan aisan Ade.
Ketika Mamie mencium bunga mawar itu, kulingkarkan lenganku di pinggangnya. Dan bertanya setengah berbisik, “Sekarang sudah boleh ditengok memeknya?”
“Belum Sayang. Secara tradisional harus empatpuluh hari setelah melahirkan baru boleh digituin. Sekarang sebulan juga masih kurang empat hari. Jadi… dua minggu lagi deh mamie kasih gumurihnya sama kamu.”
“Gumurih? Apa itu gumurih?”
“Kan setelah empatpuluh hari sehabis melahirkan, rasanya enak sekali katanya. Bahkan ada yang bilang lebih enak dari perawan. Itulah yang disebut gumurih.”
“Ohya? Kalau gitu biarin deh aku mau bersabar selama dua minggu. Aku juga ingin merasakan seperti apa enaknya memek yang sedang gumurih itu.”
“Iya. Nanti kamu akan mendapat prioritas pertama. Sebelum dikasihkan sama Papa, kamu dulu yang akan merasakannya.”