3 November 2020
Penulis — kernel
“Dan ayah kemudian menandatangani perjanjian! Apa isi perjanjian itu? Apa yang dia janjikan sebagai imbalan bagi memperistri ibunya?” tanyaku sambil mulai terisak.
“Ya dia memberikan imbalan” jawab ayah pendek. “Apa imbalannya?” tanyaku kembali mendesak. Ayah terdiam dan tidak menjawab. “Uang?” desakku dengan emosi. “Uang yah, jadi ayah sekarang menjualku, ayah menjual anak perempuannya dengan harga berapa? murah atau mahal?” kataku semakin emosi.
“Berapa nilainya Ayah, berapa hargaku?” pekikku disela air mata yang tanpa kuasa lagi meluncur dipipiku. “lima ratus ribu ringgit” gumam ayah menjawab pertanyaanku.
Aku terkejut, sampai isakku terhenti, sungguh aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar, jumlah itu sangat besar sekali bagi kami, karena itu aku bertanya sekali lagi kepada ayah untuk meyakinkannya, ayah kembali menjawab bahwa imbalan baginya untuk menikahkan Roni dengan aku adalah lima ratus ribu ringgit.
Aku sungguh kaget mendengar itu, tapi entah kenapa disudut hatiku muncul rasa bangga, karena ternyata hargaku tidaklah murah. “Ayah akan meminta lebih banyak… kalau ayah bisa? Sebagai imbalan menjual anakmu kepada cucumu?” tanyaku setengah berbisik.
Dengan nada marah ayah menjawab “Dengarlah apa yang salah dengan semua itu, anakmu menawari aku sejumlah uang untuk bantuanku agar dia bisa menikahimu, sementara itu kau adalah seorang janda, jadi apa salahnya? Selain itu kau toh telah mengenalnya dengan sangat baik dan mencintainya dengan demikian kau akan selalu bersamanya, dan aku tidak menikahkan kamu dengan orang asing”.
Dari nada bicaranya dan sikapnya, aku hapal dari pengalaman bahwa ayah pasti akan memaksakan kehendaknya, dan dia sama sekali tidak mau dibantah. Meskipun demikian aku masih menjawab, “karena itu ayah akan menikahkanku dengan anakku sendiri!”
“Apa salahnya menikah dengan anakmu!, kau toh sudah mencintainya, sekarang cintailah dia bukan sebagai anak tapi sebagai seorang suami” tandas ayah sambil memandangku dengan tajam.
Dengan menahan tangis yang hampir meledak, aku menjawab “kau sungguh seorang ayah yang sangat egois, sangat memaksakan keinginan sendiri” kataku sambil berlari kekamarku, airmata tanpa dapat ditahan lagi mengalir deras dipipiku.
Aku telungkup diatas ranjang dan menangis sejadi-jadinya sampai ahirnya tertidur karena kelelahan. Entah berapa lama aku menangis dan ahirnya tertidur, saat aku sadar kemabli, jam telah menunjukan pukul lima sore, perutku terasa lapar dan aku segera bangkit berjalan kedapur untuk membuat makan malam.
Setelah sekedar mengisi perut dan kubuat secangkir kopi, aku memeriksa sekeliling rumah, ayah sedang tidak ada, tapi kutemukan Roni ada di dalam kamarnya