3 November 2020
Penulis — kernel
Sebulan setelah ayahnya meninggal dunia, hubungan kami yang telah terpisah lama menjadi semakin dekat, kemana-mana kami selalu bersama, ketempat kursus menjahit yang kuikuti untuk menyibukkan diri, ke salon, belanja kepasar, yang pasti kemanapun kami selalu berdua.
Sikap Roni pun menjadi lebih akrab, dan bahkan intim dengan saya, dia seringkali menyentuh dan memeluk saya, dan selalu ada disekitar saya, nyaris kecuali mandi dan tidur, dia selalu ada didekatku.
Aku sendiri tidak terlalu banyak mengambil perhatian atas sikapnya, apalagi berpikir terlalu jauh, selain bahwa itu adalah caranya untuk memperhatikan dan menunjukkan rasa sayangnya pada saya. Bukanlah merupakan suatu kesalahan kalau seorang anak memeluk ibunya.
Tapi semua anggapan itu kemudian berubah, ketika pada suatu pagi enam minggu setelah kematian suamiku, ayahku memanggilku untuk berbincang-bincang.
“Sum yang lalu telah berlalu, sudah tidak perlu lagi dipikirkan. Suamimu telah meninggal dan kamu yang hidup harus memasuki babak baru dalam kehidupanmu sebagai seorang janda. Karena itu kamu harus mulai memikirkan masa depan kamu selanjutnya”, kata ayah padaku.
“Ayah benar, aku sekarang adalah seorang janda, karena itu tugasku selanjutnya adalah merawat ayah dan Roni anakku, itulah masa depanku” jawabku ringan.
“Tentu tidak Sum, kamu harus memikirkan anakmu, karena itu kamu harus menikah lagi” kata ayah kepadaku, yang langsung kujawab “Tidak ayah, aku tidak ingin menikah lagi dengan siapapun juga setelah kematian suamiku, tolong jangan mengungkap masalah ini lagi”.
Anganku kembali melayang pada masa yang jauh silam, saat aku masih ingin sekolah dan bermain dengan teman-teman, ayahku telah memaksa aku untuk menikah. Meskipun akhirnya aku menerima pernikahan itu karena sikap suamiku yang baik, tapi sungguh selama pernikahanku aku tidak pernah mengenyam getar rasa cinta yang menggelora, seperti yang pernah diperbincangkan teman-temanku secara diam-diam, semasa gadisku dulu.
Anganku terputus saat kulihat ayahku tersenyum menenangkanku, sambil berkata dengan nada lembut, “Kalau kamu ingin terus bisa mengurus anakmu, maka kamu harus mau menikah lagi”.
“Kenapa begitu ayah?, lagipula belum tentu Roni ingin melihat saya menikah lagi”, kataku sambil memikirkan Roni, satu-satunya anakku. “Sudah tentu anakmu pasti akan setuju” jawab ayah sambil kembali tersenyum.
Aku menjadi tertarik dengan kata-kata ayah yang terakhir, “darimana ayah bisa memastikan Roni setuju dengan pernikahanku kembali” tanyaku pada ayah.