2 November 2020
Penulis — kernel
Ini pengalamanku yang termasuk paling unik. Ceritanya dimulai dari keisenganku yang sering tidak ada ujungnya. Salah satu pegawai di ruanganku adalah wanita yang sangat gemuk. Umurnya mungkin sudah mendekati 30 tahun dan belum kawin. Aku yakin dia juga belum pernah berpacaran. Wajahnya sih lumayan manis, tapi gemuknya itu, yang membuat kaum pria rada enggan berakrab-akrab untuk selanjutnya berpacaran.
Ruang kerjaku memang teramat luas, dan semua meja terhubung dengan internet. Kalau kerja sedang senggang aku sering chatting. Kuperhatikan kalau aku melintas di belakang kursi si Emy yang gemuk itu dia juga sering chating.
Sepanjang aku bekerja di situ belum pernah kulihat Si Ningsih diajak makan siang seesorang. Aku termasuk pemburu makanan enak dan murah. Wisata kuliner sering kali membuat temanku yang kuajak makan geleng kepala. Karena untuk makan siang kadang-kadang aku memerlukan memacu mobilku dari Jakarta ke Bogor.
Emi sering aku goda, maksudnya bukan menggoda kearah yang tidak-tidak, tapi hanya sekedar melampiaskan keusilanku saja. Dia memang akrab dengan ku. Aku sebenarnya kasihan melihat keadaannya. Dibalik sosoknya yang kelihatan mandiri, tetapi aku menangkap ada rasa minder atau rendah diri yang ada dalam dirinya.
Godaan ku yang paling sering kulontarkan adalah setiap kali ketemu selalu ku sapa Eh kok sekarang keliahatan agak kurusan.. Biasanya kalau aku goda begitu dia lalu memonyongkan bibirnya.
Sapaan itu memang aku lontarkan kepada siapa saja teman wanita ku yang lama tidak bertemu. Biasanya mereka merasa tersanjung. Mudah aja buat wanita tersanjung.
Aku sama sekali tidak pernah berencana memacari si Emy. Selain aku udah punya bini dan 2 anak, Lagian ngapain cari penyakit macarin temen sekantor dan gemuk pula.
Tapi khayalanku yang tidak ada tepinya tiba-tiba memunculkan pertanyaan, Sebagai wanita Emy pastinya punya juga keinginan untuk bermesraan atau bahkan merasakan rangsangan sex dari lelaki.
Namun karena keadaannya yang tambun, tidak pernah ada laki-laki yang berani menantangnya apalagi mendekatinya. Kasihan juga nasib wanita, posturnya membuat dia sulit mendapat teman kencan. Sebaliknya kalau laki-laki biar gemuk dan sudah tua, masih bisa menyabet cewek cantik malah abg. Eh maaf ya kaum perempuan bukan maksudku merendahkan, tapi itulah yang ada dalam pikiranku.
Lama-lama desakan untuk menanyakan soal apakah Ningsih punya keinginan sex, makin membesar di dalam pikiranku. Tapi mana mungkin aku berani menanyakan dengan langsung bertatap muka. Kata-kata apapun yang menyelimuti dan dihias, jika intinya menanyakan hal itu, rasanya sulit.
Sebenarnya di balik pertanyaan penasaran itu, aku sebenarnya ingin membantu dia merasakan rangsangan sex. Kurasa tidak ada laki-laki yang berani menawarkan diri membantu Ningsih untuk mendapatkan rangsangan sex. Mungkin juga laki-laki lain jengah mencumbui wanita gemuk, atau kalaupun ada yang mau, tidak menemukan kata-kata untuk menyampaikan maksudnya itu, seperti yang kualami.
Aku menjadi teman sekantornya yang paling akrab. Apalagi dia sering aku ajak berpetulang makan siang. Kadang-kadang bahkan sampai makan malam dengan mengunjungi tempat-tempat baru.
Pada awalnya dia bertanya pada diriku, apa kamu nggak malu jalan ama cewek segemuk aku.
Aku tau dia hanya ingin memastikan dirinya bahwa aku tidak mempersoalkan bentuk tubuhnya yang super gemuk itu. Aku jawab jalan ama nenek-nenek ke dufan aja aku gak malu, kenapa sama kamu harus jadi malu.
Mungkin jawaban itu tidak dia sangka mengarah ke situ. Dia geli dan meninju lenganku sambil sebelah tangannya menutup mulutnya yang sedang tertawa geli.
Meski kelihatannya sering, tapi sebenarnya makan siang bareng dia paling banyak sebulan 3 kali dan makan malam paling 2 kali.
Suatu kali aku bertanya, apakah dia pernah menikmati suasana cafe sambil mendengar musik sampai larut malam. Jawabannya seperti sudah kuduga adalah belum.
Aku berniat memperkenalkan dirinya mengenai kehidupan dugem, agar pengalaman hidupnya dimasa muda lebih lengkap. Tawaran itu, pada mulanya agak ragu dia terima. Bukan masalah pulang malam, karena pulang malam bagi dia tidak ada masalah, sebab tinggal di tempat kost yang bebas keluar masuk jam berapa pun pulang tidak masalah.
Yang membuat dia canggung adalah aku harus keluar banyak duit hanya untuk menyenangkan dirinya. Setelah kuyakinkan bahwa meski aku kerja di bagian marketing yang pendapatannya cukup besar, aku juga mendapat penghasilan yang cukup besar, malah lebih besar dari gajiku dari bermain forex di internet. So sejauh ini duit bagiku tidak terlalu masalah.
Eh perlu juga aku jelaskan pada kalian bahwa jam kerjaku sering tidak menentu, sehingga aku tidak terkena ketentuan harus pulang pada jam-jam tertentu. Istriku memahami itu, karena sejak pacaran ritme kerja dan hidupku memang begitu.
Aku dan Ningsih sejauh ini sudah menjelajah ke beberapa tempat dugem, dari yang bersuasana rada bule sampai yang bersuana giting di wilayah Jakarta kota.
Sejauh ini aku tidak merasa berpecaran dengan Ningsih, kurasa dia pun merasa begitu. Tidak ada kata atau tindakanku yang mengarah mengajak dia menjadi pacarku. Dia pun begitu. Meski kadang menggandeng atau merangkulku kalau dia rada berat kepalanya kebanyak minum wine. Tetapi aku tetap membawa diri sebagai seorang teman.
Di kantor tidak pula terlihat bahwa aku sering jalan dengan Ningsih. Aku memang mengakrabi siapa saja cewek di kantorku. Makan siang bukan hanya ngajak Ningsih, tapi cewek-cewek kantor lainnya juga demikian.
Misiku terhadap Ningsih hanya untuk membuka wawasannya sebagai wanita yang hidup di kota besar. Kalau tidak ada cowok yang ngajak, mana mungkin dia tau kehidupan dugem. Sebetulnya apa perlunya membuka wawasan soal dugem, kalau gak tau juga gak apa-apa sih. Tapi maksudku Ningsih yang gembrot itu tidak perlu terkungkung dalam perasaan rendah diri.
Nyatanya setelah hampir 5 bulan aku sering ngajak Ningsih, dia emang tampil lebih percaya diri. Tapi itu menurut pandangku, mudah-mudahan nggak salah ah.
Dari pergaulanku dengan Ningsih itulah kemudian timbul, keisenganku. Bagaimana ya rasanya main sex ama cewek yang super gendut. Tapi di samping itu aku juga ingin jadi sukarelawan untuk menyediakan diri menjadi patner sex si gembrot.
Sebetulnya ide itu bukan timbul sejak awal, tetapi muncul setelah aku jalan bareng. Sebetulnya aku sama sekali tidak tertarik secara seksual terhadap Ningsih. Makanya meskipun dia peluk-peluk aku, aku tidak merespon sebagai laki-laki yang menginginkannya. Kurasa dia pun tidak bermaksud menggodaku. Jadi persahabatan kami adalah murni, berkawan saja.
Namun sebagai laki-laki kadang-kadang terusik juga oleh keinginan coba-coba. Banyak sudah yang pernah kucoba, dari yang masih sangat muda sampai yang sudah cukup berumur. Ada beberapa pula yang sampai tulisan ini kubuat kami bermain di saat saling membutuhkan.
Aku berhubungan dengan beberapa wanita sama sekali tanpa landasan cinta. Aku menyenangi dia karena menarik, smart dan bicaranya nyambung. Mereka juga begitu mau akrab denganku karena aku dianggap menyenangkan dalam bergaul dan pandai menjaga hati perempuan.
Sebagai sahabat tentu aku dan Ningsih sering berbagai cerita mengenai berbagai masalah hidup. Dia kelihatannya cukup percaya terhadapku, sehingga sering dia curhat. Namun curhat itu sama sekali tidak ada yang menyinggung soal sex. Jadi aku pun tidak pula mau memulai bicara soal itu. Padahal di dalam benakku ada rasa penasaran mau gak kamu aku penuhi keinginan sex mu.
Berbicara tatap muka kadang-kadang terkendala oleh malu, makanya meski aku dan Ningsih sekantor, kami sering chating untuk menyampaikan berbagai masalah yang kalau diucapkan langsung dengan kata-kata tidak akan terlontar.
Satu kali entah darimana datangnya keberanian, ketika chating terlontar pertanyaanku. kamu pernah gak dicium cowok.
Setelah terkirim aku terkesiap, kaget. Malu rasanya kalau dia sampai merespon negatif.
Lama dia tidak menjawab dan aku pun diam saja. Mana mungkin aku tarik lagi kata-kataku itu. Belum gimana sih rasanya, aku pingin, tapi orang gak punya cowok, jawaban yang sama sekali tidak aku duga.
Merasa mendapat lampu hijau, aku melanjutkan dengan kenapa harus punya cowok kalau hanya ingin merasakan ciuman,
Maksudnya, katanya
Cukup lama aku memikirkan untuk menyusun kata-kata untuk mereply agar tidak menyinggung tapi juga sekaligus menjawab.
Saya siap membantu, jika tuan putri menginginkan kata ku.
Maksudnya tanya dia lagi.
Aku langsung menangkap bahwa dia suka jika aku melakukan untuknya, namun dia masih menjaga harga diri.
Maksudnya gini lho, aku siap mencium kamu kalau diizinkan, kata ku nekat.
Dia tidak membalas.
Kalau dia tersinggung atau marah pasti dia sudah membalas dengan kata-kata yang negatif. Tapi rasanya untuk mengatakan, Oke deh gua mau tak mungkin berani dia katakan. Jadi diam nya dia menurut terawanganku dia memberi signal lampu hijau.
Ntar disambung lagi, gue ada kerjaan, katanya.
Sekarang aku yang pusing berpikir, dimana dia akan aku cium. Kalau langsung dibawa ke motel, rasanya terlalu pagi untuk ambil keputusan begitu.
Di mobil kayaknya sudah cukup memadailah, toh sekedar ngajari ciuman. Lagipula lapangan parkir kantorku ini cukup aman untuk melakukan kegitan semacam itu.
Bahkan lebih dari itu sering kulakukan. Saat TTM ku menginginkan ku kadang-kadang dia parkir di sebelah mobilku. Kami melakukan di mobil, kalau tidak dimobilku ya di mobil dia. Kaca mobil kami sama sama tidak tembus pandang kalau malam hari.
Makan bebek goreng yuk ntar malam, aku dapat alamat baru, ajakku melalui chatting. ah kamu selalu menggagalkan program dietku. jawabnya. Ah diet itu masalah gampang, kamu pasti bisa turun beratnya kalau tidak makan pedas, kataku.
Aduh sulit meninggalkan cabe, katanya.
Aku tau dia memang maniak makanan pedas. Kalau tidak ada sambal dia sama sekali memang tidak selera makan.
Aku sudah menyusun rencana. Jam 7.30 malam aku kode supaya kita menyelesaikan pekerjaan dan langsung menuju parkiran mobilku.
Mobil aku hidupkan dan AC segera kunyalakan. Suasana mobil yang tadinya panas dan pengap berangsur-angsur sejuk dan nyaman. Aku tidak segera begerak, tetapi tetap bertahan di tempat parkiran.
Lho kok nggak jalan-jalan, tanyanya.
Mesin lalu kumatikan setelah suhu cabin cukup dingin.
Tanpa menunggu aba-aba dia langsung aku sergap dan langsung kucucup bibirnya. Bibirku kubenamkan di bibirnya. Bibir kami bertemu pada awalnya kurang tepat, tapi itu hanya berlangsung sesaat. Disaat dia terperanjat aku sudah mendekap badanku ke badannya dan bibirku sudah mencakup pada posisi yang tepat.
Ningsih kelihatannya bingung harus bereaksi bagaimana. Tapi aku sudah meningkatkan serang dengan menyedot kuat bibirnya dan mulai memainkan lidahnya. Terasa sekali jika Ningsih belum pernah berciuman, karena responnya yang masih bingung.
Tanganku mulai mengelus rambutnya. Gerakan ini cukup efektif memberi ketenangan, sehingga gerakannya yang semula ingin berontak jadi melemah. Secara naluri dia mulai merespon lidahku dan kami berpagutan erat sekali. Aku membiarkan naluri birahiku menuntun ritme ciuman, yang aku yakini energi birahiku akan mengaliri tubuh Ningsih sehingga birahinya juga bangkit.
Ningsih malu dia menyandarkan kepalanya ke dadaku sesaat setelah ciuman kami terlepas.
Tanganku segera maraih tuas sandaran kursi tempat Ningsih bersandar dan selanjutnya sandaran kursiku juga aku rebahkan. Ningsih aku posisikan terlentang. Nafasnya mulai memburu, suatu pertanda nafsu birahinya mulai bangkit. Kuciumi keningnya, pipinya, lalu telinganya kiri dan kanan. Aku kemudian dipeluknya erat sekali.
Sesaat kemudian pelukannya melonggar dan aku kembali beroperasi menciumi lehernya, untuk menjaga agar rpm birahinya tidak turun. Mendapat serangan dari laki-laki untuk pertama kalinya membuat dia tidak tahu harus berbuat apa. Nafasnya memburu, dan aku merasa detak jantungnya berdebar cepat.
Untuk menaikkan rpmnya aku kembali mencucup bibirnya. Kali ini ia mersepon dengan tepat. Bibirku dan mulutku disedotnya kuat sekali. Aku membiarkan menuruti kemauannya. Rasanya nyaman sekali menyium mulut Ningsih karena terasa aroma pepermint. Dugaanku dia sudah bersiap sedia untuk dicium sehingga dia menjaga bau mulutnya.
Meskipun aku ingin lebih dari sekedar berciuman, aku berusaha menahan diri untuk tidak merambah ke lain tempat. Padahal tanganku sudah gatal ingin meremas teteknya yang terasa empuk dan cukup tebal ketika menempel di dadaku.
Setelah berciuman seru sekitar 10 menit aku kembali ke sisiku telentang di kursi yang rebah dan Ningsih juga rebah di kursi disamping ku. Beberapa saat kami terdiam. Hanya tangan kiriku yang meremas tangan kanannya dan dia membalas meremas juga.
Terus terang aku hampir kehabisan nafas mentraining Ningsih berciuman. Meski bibirnya tebal dan enak dikenyot, tetapi posisi yang kurang leluasa di mobil membuatku mengeluarkan tenaga ekstra untuk mengatur posisi menyerang Ningsih.
Aku sebenarnya kurang bisa menikmati nikmatnya berciuman. Bagiku ciuman hanya stater untuk membangkitkan birahi pasanganku. Rasanya mengawali cumbuan yang paling sah adalah berciuman terlebih dahulu.
Sorry ya Mi aku tadi langsung nyosor tanpa minta izin. Abis kalau mau ciuman pake minta izin dulu rasanya koq lucu. Kata ku, setelah kudengar Ningsih mereda nafasnya.
Kamu jahat, tapi enak koq, makasih ya, aku rasanya bahagia sekali malam ini bisa merasakan seperti yang dirasai cewek-cewek lain, katanya.
Aku merasa trenyuh di dalam hati mendengar pengakuan polosnya. Your wellcome Mi, kalau perlu bantuan lainnya jangan malu-malu bilang ke aku, yuk sekarang kita menuju bebek.
Malam itu terlihat wajah Ningsih berseri-seri. Rasa bahagianya terpancar ketika aku duduk berhadapan di warung bebek goreng. Sebelum turun ke tempat kostnya kami sempat berciuman sebentar, dan tampaknya dia kembali bernafsu.
Di kantor sikap kami bias-biasa saja. Namun pembicaraan di chatting makin hot.. Dia katanya banyak membuka informasi mengenai ciuman sampai-sampai dia menyebutkan teknik berciuman berbagai rupa.
Aku membalas dengan mengatakan teknik itu tidak bisa dilakukan leluasa kalau di dalam mobil. Itu membutuhkan tempat yang khusus. Kapan dia merasa siap aku menyiapkan diri untuk membawanya melayang lebih tinggi dengan berbagai teknik ciuman yang katanya ingin dia coba.
Pada awalnya dia agak ragu menyanggupi ketika kutawari bercumbu di hotel. Tetapi dengan rayuan yang masuk akal, akhirnya dia mau juga aku giring ke hotel. Aku sengaja menyebutnya hotel, meski yang kumaksud adalah motel. Sebab jika aku sebut motel, nanti dia akan banyak bertanya yang bisa-bisa dia malah mundur, kalau akhirnya tahu bahwa motel itu adalah tempat khusus untuk eksekusi.
Aku tidak ingin kemesraan ku terputus hanya gara-gara ada room service mengantar makanan.
Ningsih agak ragu melangkah ketika pintu garasi motel tertutup. Tapi kuyakinkan bahwa tidak perlu takut, Aku tetap memegang komitment melakukan sejauh yang dia inginkan.
Dia agak canggung melangkah masuk ke dalam motel. Namun setelah kugandeng dan kugiring untuk duduk di tepi tempat tidur, dia akhirnya nurut.
Kusarankan dia untuk melepas hajat ke kamar mandi, setelah sebelumnya aku membuang cairan di kantong kemihku. Untuk menghadapi kemungkinan terjauh, aku sudah menyabuni barangku sehingga aroma wangi sabun menyelimuti barangku.
Ningsih menuruti saranku dia menuju kamar mandi dengan tak lupa mengunci pintunya. Aku dalam hati hanya tersenyum, karena pada saat nya nanti dia bahkan tidak perlu menutup pintu kamar mandi.
Sementara dia melakukan ritual di kamar mandi aku mencari chanel musik di televisi. Aku bertahan duduk di pinggir bed menunggu dia selesai beraktivitas di kamar mandi.
Dia agak malu melangkah mendekatiku, tangannya kutarik agar duduk disampingku. Bagitu duduk aku langsung merangkul pundaknya dan mulailah ritual berciuman. Seperti semula dia agak malu menyambut serbuan mulutku. Ini aku maklumi, karena birahinya belum on. Aku harus meningkatkan rpm birahinya agar dia mulai berkurang rasa malunya.
Ciuman sekitar hampir sepuluh menit berhasil menaikkan birahinya, ditandai dengan nafasnya yang makin cepat. Hembusan nafasnya makin keras. Ketika kutarik untuk berbaring dia menurutiku dengn melemaskan badannya. Kakinya masih tergantung disisi bed sementara aku mulai merangkulnya.
Berbagai teknik ciuman kami praktekkan sampai sampai dia tidak sadar bahwa kedua kakinya sudah naik seluruhnya ke atas tempat tidur. Aku mengambil posisi telungkup sedang Ningsih telentang. Tangan kanannya tidak sempat lolos dari tindihan badanku. Ini memang aku sengaja dan dengan gerakan yang seperti tidak sengaja aku menepatkan posisi alat vitalku yang masih terbungkus celana berada persis di atas telapak tangannya.
Telapak tangannya terasa tidak bergerak, tetapi dengan gerakan yang seolah-olah tidak sengaja aku menggoyang-goyang senjataku menekan telapak tangannya. Meski rasanya dia agak ragu, tetapi telapak tanganya mulai bereaksi menggamit alat vitalku yang mengeras. Aku coba mengangkat sedikit posisi badanku sehingga tidak terlalu menindih telapaknya, tetapi telapaknya mengejar alat vitalku yang bergaerak agak menjauh sedikit.
Pancinganku berhasil. Ningsih rasanya sudah tidak ragu-ragu lagi dia mulai meremas-remas celanaku yang menyimpan alat vital kebanggaanku.
Setelah aku yakin dia tidak lagi malu meremas barangku aku mengubah posisiku tidur telentang di sampingnya. Otomatis telapak tangannya terlepas dari senjataku. Kubimbing tangannnya untuk hinggap di atas celanaku yang membusung. Tangannya melemas menuruti arahanku. Begitu berada diatas alat vitalku telapak tangannya aku bantu untuk meremas.
Pembungkus yang tipis dan elastis celana dalamku membuat dia menemukan bentuk alat vitalku yang makin jelas. Dia terus meremas dan remasannya makin keras. Ini berarti aku diperbolehkan membuka celana dalamku. Kugeser kebawah celana dalamku sambil membimbing telapak tangannya menemukan alat vital yang sudah tanpa penutup lagi.
keras banget ya, katanya
Dia terus meremas sementara aku mulai memelorotkan seluruh bagian bawahku sampai terlepas. Tangannya mengeksplor seluruh kemaluanku. Semua dia jamah sampai ke kantong menyan di remas-remas. Aduh jangan keras-keras bagian itu sakit kalau terlalu keras di remas, kataku.
Penasaran ingin melihat bentuk yang sesungguhnya Ningsih bangkit dari tidurnya dan duduk disamping aku yang berbaring. Kubiarkan dia memperhatikan seluruh bentuk senjata andalanku. Yang menjulang bebas tegak kokoh.
Selama ini aku hanya lihat digambar dan film-film, katanya mengomentari pemandangan yang terhidang didepannya.
Sekarang puas-puasin deh menonton yang aslinya kataku.
Aku minta izin sebentar untuk membuka bajuku dengan alasan takut kusut bajuku. Alasan yang masuk akal itu memberi kesesempatan bagiku untuk bertelanjang bulat di depannya.
Aku kembali berbaring, sementara Ningsih kembali menggenggam batangku yang semakin keras dan semakin tegak. Sementara itu Ningsih masih berpakaian lengkap, dengan celana jean yang ketat karena memang pahanya yang besar.
Aku biarkan untuk sementara waktu dia menutupi tubuhnya, sampai saatnya nanti dia akan dibuka juga bajunya.
Aku ajari dia untuk mengenggam batangku sambil melakukan gerakan naik turun. Sementara dia melakukan itu aku berpura-pura keenakan sambil mendesis dan mengerang. Rupanya reaksiku itu memancing dia tambah semangat mengocok batangku.
Kalau aku biarkan terus, peluruku bisa melesat keluar. Kutahan kocokannya, dengan alasan batangku terasa panas dan pedih.
Kalau kamu suka kamu boleh mencium, kataku. Emang rasanya kaya apa, apa lebih enak ya kalau dicium, tanyanya.
Aku membenarkan dicium akan menimbulkan kenikmatan yang lebih tingi, kataku.
Perlahan-lahan direndahkan wajahnya dan dia mulai menciumi batangku. Sambil dia mencium, tanganku yang satu mengusap-usap kepalanya dan yang satu lagi mengarahkan agar batangku masuk ke dalam mulutnya. Meski agak lama tetapi akhirnya berhasil juga sedikit kepala alat vitalku masuk kemulutnya. Dia mulanya agak ragu melomot batangku.
Aduh batangku kegerus giginya. Kuminta agar giginya tidak mengenai batangku. Dia menuruti dan mulai melakukan lomotan naik turun. Hanya dalam waktu singkat dia sudah mahir mengoralku.
Dia tiba-tiba komplain, karena mulutnya merasa ada lendir dari kemaluanku dan terasa sedikit asin, sehingga dia berhenti mengoralku. Terpaksa kujelaskan cairan itu adalam pre cum, suatu cairan yang secara alamiah membantu pelumasan.
Untunglah dia berhenti, kalau diteruskan aku bisa muncrat.
Ningsih lalu kubaringkan. Aku memindihnya dan mulai kembali mencium mulutnya dan perlahan-lahan turun ke leher. Sambil menciumi aku berusaha membuka kancing bajunya satu persatu dengan gerakan hati-hati. Sampai batas BHnya terlihat tanganku mulai menjamah susunya yang ternyata cukup gembul terbungkus BH berukuran cukup besar.
Banyak sekali lemak di situ, membuatku geram untuk meremas. Mulanya temasanku ditahannya. Tetapi rasanya dia menahannya tidak sungguh-sungguh. Aku kembali meremas susu yang masih terbungkus BH. Setelah aku dibebaskan memeras susu kiri kanannya tanganku mulai menelusup ke bagian belakang tubuhnya untuk mencari kaitan BH.
Kusibak penutup susunya dan aku kini meremas langsung susunya. Ningsih pasrah di perlakukan begitu. Sampai akhirnya aku mulai memilin dan menjilat sekitar puting susunya. Puting susunya tidak terlalu besar. Dengan jilatan yang terlatih, birahi Ningsih makin tinggi.
Mungkin kesadarannya tingal setengah sehingga dia tidak merasa ketika tanganku mulai membuka kaitan celana jeannya. Resleteing berhasil dibuka. Tanganku langsung membekap gudukan kemaluannya yang masih terbungkus celana dalam. Tanganku agak ditahannya. Tapi karena kesadarannya sudah tersaput birahi, Pertahanan tangannya tidak terlalu kuat.
Jari tengah yang terlatih ini dengan mudah menemukan clitoris. Dititik klitoris itulah ujung jariku mulai bermain. Kenikmatan yang dibangkitkan dari permainan jari tengahku di klitorisnya membuat pinggulnya bergoyang-goyang. dia tidak hanya begitu tapi sudah mulai mendesis dan mendesah. Rasa malunya sudah lenyap, tinggal nafsu birahi yang berkuasa.
Aku meneruskan mempermainkan klitorisnya dengan target dia mencapai orgasme. Beberapa saat kemudian tangannya menekan tanganku yang menangkup di kemaluannya. Aku tahu dia mencapai orgasme, maka tarian jari tengahku kuhentikan, Terasa kemaluannya berdenyut-denyut dan belahan kemaluannya makin banjir.
Aku tidak ragu lagi lalu berusaha membuka seluruh celananya. Ningsih pasrah malah memberi ruang agar aku lebih mudah membuka semua celananya.
Kami berpelukan bugil.
Dari samping aku memandangi banyaknya tumpukan lemak mulai dari susunya, perutnya sampai pahanya.
Tanganku kembali bermain di kemaluannya yang hanya ditutupi bulu agak jarang. Sementara kedua putingnya kuserang dengan jilatan lidahku.
Ningsih sudah terangsang berat. Pelan-pelan aku ciumi kebawah arah perut, lalu perlahan-lahan kulebarkan kedua kakinya. Dia agak menahan, mungkin masih ada sisa rasa malu yang belum lenyap. Kubiarkan dia bersikukuh begitu, tetapi serangan jilatanku makin kebawah sampai akhirnya mencapai belahan kemaluannya.
Lidah yang trampil dengan segera mencari titik clitoris. Agak susah juga menemukan karena timbunan lemak yang terlalu tebal dan kakinya kurang membuka. Tetapi jilatan disekitar kemaluannya membuat dia mau juga melonggarkan kakinya sehingga lidahku bisa menemukan ujung lipatan kemaluan dimana bertengger clitoris yang sudah mencuat mengeras.
Serbuan ke pusat syaraf birahi membuat Ningsih seperti kesurupan. Dia tidak perduli lagi sehingga membebaskan aku membuka pahanya lebar dan menekuknya ke atas. Ketebalan kemaluannya karena lemak yang banyak disitu membuatku agak sulit memposisikan mulutku manangkup kemaluannya tanpa hidungku tertutup.
Sampai akhirnya mendapat posisi yang pas aku mulai menyerbu klitorisnya. Ningsih mengerang-ngerang sejadi-jadinya menimpali kenikmatan yang dia rasakan. Dia tidak bisa bertahan lama sampai akhirnya mencapai orgasme yang kedua. Kepalaku dijepitnya dengan dua paha yang minta ampun besarnya. Untungnya aku masih punya ruang sedikit untuk bernafas.
Setelah orgasmenya berakhir, jari tengahku pelan-pelan aku sodokkan ke dalam lubang vaginanya. Tujuanku mencari G spot. Agak sulit juga menemukan G spotnya karena dinding vaginanya penuh dengan timbunan lemak. Aku harus meningkatkan konsentrasi dan kepekaan sampai akhirnya menemukan tonjolan daging agak mengeras di dinding atas vaginanya tidak jauh dari lubang kencingnya.
Tonjolan g spot itu aku gosok halus dengan ritme teratur dan pelan. Mulanya dia mengejang setiap kali kugosok. Namun lama-lama dia bergerak, sehingga aku sering terpelset dan kehilangan titik incaranku. Aku berusaha menahan agar Ningsih tidak terlalu liar bergerak, sambil aku terus menggosok G spotnya.
Telapak tanganku ditekannya keseluruh permukaan kemaluannya sehingga aku merasa denyutan orgasme yang agak panjang waktunya.
Kutunggu sampai denyutan itu selesai lalu tanganku kulepas dari gundukan vaginanya.
Aku mengambil posisi berbaring disampingnya. Menyadari aku disampingnya Ningsih lantas memelukku dan bagian kemaluannya ditekankan ke pahaku kuat-kuat. Sesekali aku masih merasa ada denyutan yang ritmenya agak jarang. Mungkin itu sisa orgasmenya.
Ningsih kemudian menarik badanku agar berada diatas tubuhnya. Kuturuti saja kemauannya. Rasanya dia memposisikan agar vaginanya bertemu dengan batangku. Tapi dia tidak tahu bagaimana selanjutnya. Dia hanya menekan-nekankan kemaluannya ke kemaluanku.
Aku paham maunya Ningsih. Aku bangkit dan mencoba memposisikan ujung alat vitalnya tepat berada di depan vaginanya yang sudah licin dan kuyup. Kugesek kemaluanku keatas kebawah sampai akhirnya terlumuri cairan vaginanya di seluruh ujung alat vitalku. Kepalanya sudah berada tepat di gerbang kemaluannya.
Aku tekan sedikit, terasa kepala vitalku sedikit terbenam. Aku agak sulit merasakan apakah dia sudah terbenam di dalam liang vaginanya atau baru terjepit bibirnya yang tebal. Untuk meyakinkannya aku dorong sedikit. Karena licin rasanya mudah saja batangku maju, sampai akhirnya terhalang sesuatu. Ini mungkin selaput daranya.
Aku tidak berani masuk lebih jauh lagi. Aku memang tidak bermaksud menorobos keperawannya, sehingga aku berhenti dan maju mundur pada batas itu. Itupun rasanya udah enak juga karena jepitan kemaluannya yang tebal lemak sudah serasa menjepit. Sampai rasanya aku hampir mencapai orgasme aku berhenti bergerak.
Tangan Ningsih keduanya berada di pantatku. Ketika aku berhenti bergerak terasa tangannya menekan pantatku agar maju. Mulanya aku bertahan agar tidak maju lagi, sebab, jika aku maju, maka terteroboslah selaput keperawannya. Tapi antara akal sehat dan nafsu keadaannya sudah tidak seimbang, apalagi tangan Ningsih seperti mengajurkan aku maju terus menerobos.
Ketika kemaluanku mentok tidak bisa maju lagi, dan tangan Ningsih menekan pantatku, pelan-pelan aku tekan sampai akhirnyanya jebol juga pertahanan perawannya. Ningsih menjerit lirih dan mendesis. Pastinya dia merasa perih, karena air matanya mengalir dari kedua ujung matanya. Seluruh kemaluanku sudah terbenam, tetapi aku merasa, pembenamannya belum sempurna.
Kuhempaskan badanku menindih ke Ningsih. Aku merasakan sensasi tubuh gemuk yang empuk. Badannya yang berselimut lemak tebal, rasanya empuk benar ditindih. Setelah menikmati orgasme, aku menikmati kasur hidup untuk beberapa waktu.
Aku lalu berbaring disampingnya. Ningsih terlihat sangat lelah di tertidur dan tak lama kemudian mulai mendegkur halus. Aku sering memperhatikan, jika cewek mencapai orgasmenya yang tertinggi, maka dia akan ngantuk dan jatuh tertidur lelap.
Aku bangkit ke kamar mandi membersihkan diri. Dari kamar mandi aku segera mengeluarkan kamera digital. Berbagai posisi Ningsih yang sedang mendengkur aku abadikan. Tentu saja tanpa lampu kilat, karena lampu kamar yang kunyalakan seterang mungkin sudah cukup cahayanya untuk mengambil gambar. Ketika kakinya kutekuk dan kukangkangkan, Ningsih tidak juga terbangun dari tidurnya.
Setelah puas aku kembali menyimpan kameraku dan aku berbaring disampingnya dan menarik selimut. Kami tidur dalam satu selimut.
Aku tidak tahu berapa lama tertidur. Aku merasa dingin dan barangku seperti sedang digarap. Aku melirik ke bawah, ternyata Ningsih sedang mengoralku. Barangku sudah mengeras dengan sempurna. Aku tidak sadar sejak kapan dia mulai bangun, mungkin barangku lebih dulu bangun dari majikannya.
Kelihatannya Ningsih ketagihan dengan pengalaman pertamanya yang membawa dia ke langit ke 7.
Aku tetap pura-pura tidur untuk melihat apalagi yang akan dilakukan Ningsih terhadapku. Karena aku telah mengalami ejakulasi pertama, maka pertahananku sekarang cukup tangguh. Aku bisa menahan selama mungkin agar tidak muncrat ketika dioral.
Aku merasa dia lama sekali mengoralku, mungkin mulutnya mulai pegal menyosori penisku yang meneras.
Ningsih lalu bangkit dan dia berlutut mengangkangki tubuhku. Dipegangnya penisku lalu dia membawa ke gerbang vaginanya. Pelan-pelan direndahkan badannya sampai pelan-pelan batang penisku masuk ke dalam vaginanya. Ningsih kelihatannya agak mengernyit. Mungkin masih ada rasa perih ketika peniku menerobos masuk vaginanya.
Setelah masuk sempurna. Ningsih mulai meniak turunkan badannya. Mungkin kontrol terhadap keluar masuknya barangku kurang bagus, sehingga sering terlepas.
Setelah dia kembali menjebloskan penisku ke lubang vaginanya dia tidak lagi bergerak naik turun, tetapi bergerak maju mundur.
Akhirnya dia menemukan posisi yang tepat dimana kemaluanku bisa menyentuh clitorisnya dan menekan G spotnya. Dia tidak bergerak terlalu jauh kecuali menekan-nekan badannya ke badanku dan maju mundur sedikit saja.
Gerakan ini dengan cepat menstimulan area sensitifnya, ditandai dengan gerakannya yang makin gencar. Akhirnya dia ambruk diatas badanku dan seluruh berat tubuhnya ditumpukan ke badanku. Aku merasa berat sekali, tetapi aku tahan sebentar, sampai dia menuntaskan orgasmenya.
Badannya berkeringat meski ruangan ini cukup dingin. Setelah dia menyelesaikan orgasmenya, aku membalikkan badannya dan posisi berganti, aku berada di atasnya.
Aku tidak memberinya waktu istirahat, langsung ku genjot dan aku mencari posisi yang paling enak kurasakan. Meski Ningsih baru saja kuperawani, tetapi rasanya cengkeraman vaginanya kurang kuat. Mungkin karena vaginanya terlalu basah atau mungkin juga karena dinding vaginanya penuh dengan lemak yang lembut. Namun sensasi melihat cewek gemuk telentang di bawah badanku memberikan pemandangan yang asyik juga.
Aku menemukan posisi yang kurasa cukup maksimal merangsang penisku. Aku bertahan pada posisi itu. Ternyata Ningsih juga merespon dan kelihatannya dia juga merasakan nikmat. Dia mendesis-desis. aku terus memompa sampai dipertengahan jalan Ningsih sudah mencapai orgasme ditandai dengan tiba-tiba dia memelukku dan berusaha menghentikan gerakankua dengan menjepitkan kedua kakinya melingkari badanku. Penisku yang terbenam dalam merasakan denyutan di seluruh liang vaginanya. Aku memang berhenti sebentar. Begitu himpitan kakinya melonggar sedikit aku kembali menggenjot. Ningsih minta-minta ampun karena katanya dia merasa lelah sekali dan kemaluannya agak ngilu. Aku mengerti bahwa vagina yang baru saja mengalami orgasme merasa agak linu. Tapi aku tau juga bahwa rasa ngilu itu akan segera hilang. Aku tidak memperdulikannya dengan terus menggenjot malah dengan gerakan yang lebih kasar. Aku tabrak-tabrakkan badanku keras. Meski keras, karena badannya gemu, aku tidak merasa sakit. Bahkan cembungnya kemaluannya tidak mengakibatkan ngilu ketika aku tabrak-tabrakkan. Berbeda dengan menggauli cewek yang agak kurus, tulang cembung kemaluannya bila ditabrak-tabrakan terus menererus bisa membuat memar di tulang yang berada di atas kemaluanku.
Gerakan buasku rupanya memacu rangsangan bagi Ningsih dia sudah tidak protes ngilu dan lelah, tetapi malah mendesis dan mengerang. Aku terus mengembat dengan ganas, untuk segera mencapai orgasme. Namun rasa mendekati orgasme belum juga terasa. Yang ada malah Ningsih yang mendahuluiku mencapai orgasme. Aku dijepitnya lagi dan dia benar-benar minta ampu agar diberi waktu istirahat sebentar.
Aku menurutinya, karena badanku jua\ga lelah akibat melakukan gerkan-gerakan kasar, tadi. Badanku penuh dengan keringat. Disamping itu, perutku terasa lapar.
Aku jadi ingat oleh mie pangsit yang tadi kami beli. Aku berdiri mengambil dua bungkus mie pangsit dan dua botol air mineral. Aku meneguknya sampai setengah botol, dan Ningsih aku minta bangun dan kuberi air dingin. Dengan semangat ditenggaknya air itu sampai hampir habis. Rupanya dia haus luar dalam.
Ningsih mengangguk ketika kutawarkan makan mie pangsit bungkus. Ningsih duduk bersandarkan dinding sambil bersila. Ideku tiba-tiba muncul. Sambil membawa dua bungkus mie aku lalu duduk dihadapan Ningsih. Kaki Ningsih aku Arahkan agar diangkat dan ditekuk pada lututnya, Dudukku kumajukan sambil bersimpuh. Aku mengarahkan penisku yang masih keras menuju ke kemaluan Ningsih. Ningsih Agak protes karena dia menyangka aku mau main lagi. Kubilang tenang dulu, ini sensasi baru. Setelah seluruh batangku berhasil masuk pada posisi kami duduk berhadapan, kedua paha Ningsih menimpa pahaku, dan kakiku keduanya kutekuk kebelakang. Pertemuan tubuh kami dibagian bawah, menjadi semacam meja. Kuraih sebungkus mie pangsit, lalu kubuka dimeja di tubuh kami. Mie yang sudah terurai, tentunya tanpa kuah, disirami sambal. Kami makan mie itu menggunakan sumpit. Sensasinya memang luar biasa, sehingga 2 bungkus habis kami libas dalam waktu sekejap.
Posisi itu terus bertahan sampai kami selesai minum. Bahkan aku dan Ingsih sempat ngbrol sebentar menunggu santapan kami selesai dicerna. Dalam keadaan perut kenyang, rasanya kurang enak bersetubuh.
Aku menjelaskan ke Ningsih bahwa dia tidak perlu kuatir akan hamil, karena aku sudah melakukan vasektomi. Aku tahu dia tadi mungkin khawatir hubungan ini akan berakibat kehamilan. Di usiaku 35 tahun dan sudah mempunyai 2 anak, aku merasa tidak perlu lagi menambah keturunan.
Ningsih berkali-kali memujiku, bukan hanya kemampuan sex ku tetapi posisi makan sambil menyambungkan badan ini, Rasa sensasinya luar biasa.
Kebanyakan berceloteh membuat kekerasan penisku berkurang, sampai akhirnya terlepas dari vagina Ningsih.
Kami sempat istirahat sejenak dan diakhiri dengan permainan satu ronde, sampai aku ejakulasi. Aku tidak ingat lagi di ronde terakhir itu, Ningsih berapa kali mencapai orgasme.
Dalam perjalanan pulang Ningsih tertidur pulas di mobil. Dia rupanya mencapai kepuasan yang luar biasa.
Sejak itu aku katakan ke Ningsih, jika dia menginginkan sex, berterus terang saja memberi tahu ke aku. Bagi laki-laki setiap saat selalu siap. Tetapi wanita pastinya tidak begitu.
Setelah aku berhasil menyingkirkan rasa malu yang ada pada diri Ningsih untuk meminta sex dia akhirnya sekarang berterus terang kalau menginginkan. Biasanya dia memberi kode di chatting, Mas punya waktu enggak. ***