3 November 2020
Penulis — kernel
Sejak Tsunami itu, Marwan meresa dirinya sudah tak berarti lagi. Dia mondar mandir tak menentu. Terkadang dia mengitari pantai mencari entah apa. Terkadang dia berteriak di tepi pantai memanggil-manggi nama isterinya dan putra tunggalnya. Banyak orang yang merasa jatuh kasihan kepadanya. Tapi takdir mengatakan lain, dia harus mnenerima kenyataan.
Ibunya juga demikian. Dua anaknya Adik Marwan berseta ayah Marwan raib tak tau kemana terseret oleh Tsunami. Ketkika tsunami itu terjadi, Marwan dan Ibunya sednagh pergi berboncengan naik sepeda motor ke gunung, untyuk menghadiri pesta dan mereka mewakili keluarga. Saat itulah mereka mendengar di pesta, kalau tsunami terjadi, dan pesta serta merta bubar.
Ibu Marwan Syifa sedikit lebih kuat dan dia masih mampu menenangkan hati Marwan setelah sekian minggu. Mereka pasrah dan kembali membangun gubuk mereka. Untuk rumah mereka agak di ketinggian, hingga hanya rumah mereka yang hamncur, namun di sana sini masih bisa diperbaiki. Dari atas bukit itu mereka berdua selalu menatap ke bawah dan orang dari bawah merasa hiba, tentu saja mereka yang masih tersisa dari Tsunami.
“Kamu menikahlah Marwan agar aku bisa menumpang denganmu,” kata Syifa di suatu sore. Marwan hanya terdiam dan menunduk.
“Kini kita tinggal berdua Ibu, Tanpa saudara, tanpa sesiapa. Aku ingin kita hidup berdua saja,” jawa Marwan. Syifa diam tak menjawab. Dia sendiri pikirannya entah kemana. Dalam usianya yang 42 tahun, dia tidak memikirkan pernikahan kembali. Dia hanya ingin membahagiakan anak tunggalnya Marwan.
Berdua mereka memasuki puing-puing rumah mereka yang disana disni diperbaiki. Tak layak lagi disebut rumah, tapi gubuk yang hanya bisa dipakai unhtuk berteduh dari hujan dan matahari. Marwan selalu naik ke bukit untuk mengambil apa saja yang bisa untuk dijual untuk bisa makan. Terkadang dia ke laut untuk menangkap ikan dengan tatapan kosong.
Malam itu, Marwan tidur di sisi ibunya dan memeluknya.
“Ibu aku ingin menikah,” bisiknya. Syifa ibu Marwan merasa bahagia sekali mendengarnya.
“Kapanm kamu mau menikah dan siapa perempyuan yang beruntung untuk kau nikahi anakku?”
“Malam ini juga, Ibu.”
“Malam ini juga? Apa kamu sudah gila Marwan?”
“Aku mau menikahi ibu,” kata Marwan lirih.
“Apa kamu m, asih waras nak? Aku ibumu, tak boleh demikian. Sadar, nak.. sadar…”
“Aku ingin menikahimu ibu?”
“Jangan Nak. Sadar Nak aku ibumu…”
“Aku ingin menikahimu sekarang juga Syifa…” Bentak Marwan. Matanya tajam menatap Syifa. Syifa ketakutan bukan kepalang.
“Maukan aku menikahimu…?” Marwan berkata selembut mungkin. Entah karena takutnya Syifa mengangguk lemah dan Marwan tersenyum. Dia salami ibunya dan dia bergumam, aku menkahimu dengan mas kawin Rp. 2 juta hutang. Syifa tersenyum dipaksakan dan airmatanya berlinang. Marwan memeluknya dan menciuminya, lalu membawanya ke kamar tidur, lalu lanmpu teplok pun diredupkan.
“Ini malam pertama kita sayang…” kata Marwan. Syifa ketakutan ditatap tajam oleh sorot mata Marwan.
“Ya… ini malam pertama kita, kata Syiofa menggigil. Marwan tersenyum dan mendekati Syifa, lalu melepas satu persatu pakaiannya sampai bugil. Keduanya bugil, sementara purnama mengintip dari celah-celah dinding bambu. Marwan menmeluk ibunya dan mengecup bibirnya, meremas teteknya dan mengelus sekujur tubuh Syifa.
Usah itu, Syifa sempat meneteskan airmatanya, sementara Marwan sudah terkapar di sisinya dengan nafasnya yang memburu. Kali kedua mereka lakukan Syifa masih merasakan ada sesuatru yang mengganjal di hatinya. Setelah yang ke empat dan ke lima, dia bisa menikmatinya, dan melupakan siapa dirinya. Syifa semakin menyanangi Marwan yang semakin gigih mencari nafkah.
Ketika Syifa hamil dan semua orang tau, kalau Syifa tidak pernah menikah setelah Tsunami dan semua sudah memastikan kehamilan Syifa adalah karena hubungan seks ibu dan anak, semua diam. Semua mengatakan, Syifa dan Marwan ibu dan anak yang sudah gila.
Saat anak mereka lahir dengan sehat, Marwan pergi ke kota dan menawarkan tanah dan rumah mereka. Bertahun tanah dan rumah itu ditawarkan, tak ada yang mau membeli, walau surat-suratnya lengkap. Siapa yang mau membeli dari orang gila. Saat seorang Cina mengetahui surat lengkap dan Marwan adalah pemilik sah tanah ayahnya, Cina ityu membelinya, saat Syifa sedang hamil anak kedua dalam udia 49 tahun.