2 November 2020
Penulis — blackmore
Kuakui, Intan memang cantik, manis dan baik, dan selalu memberi perhatian lebih padaku. Teman-teman bilang gadis itu naksir padaku, namun aku katakan pada mereka, bahwa aku masih terlalu muda, baru kelas 2 SMP, usiapun belum genap 14 tahun, dan belum waktunya untuk bercinta-cintaan.
Lalu apa yang mereka katakan padaku, terutama si Faris, yang dengan seenaknya dia bilang “Doni… Doni… gua curiga sama elu.. Jangan-jangan elu itu homo.. masa si Intan yang cakepnya kayak gitu elu tolak.. kalau gua yang jadi elu don…” Atau yang dikatakan si Reza “Don, denger gua ya… elu tuh ganteng.. tampang elu mirip si Al anaknya Ahmad dani.. udah sikat aja.. cuma sekedar untuk penyemangat belajar kan gak apa don…”
Ah, apa yang dikatakan Reza sepertinya terlalu berlebihan, yang mengatakan aku mirip si anulah.. si inilah.. Terlebih yang dikatakan si Faris, yang seenaknya menuduhku homo. Aku normal 100%, lelaki tulen, bahkan untuk anak usia 14 tahun batang penisku terbilang besar, itu dapat kubandingkan dengan aktor-aktor film porno yang kerap aku saksikan filmnya dikamar, dan ukuran penisku rasanya tak jauh berbeda dengan mereka.
Memang aku termasuk bongsor, dengan usia semuda ini tinggi badanku telah mencapai 172 cm, itu artinya aku lebih tinggi dua cm dari ibuku, walaupun belum setinggi ayahku yang 175 cm. Dan aku sama sekali tak tertarik dengan sesama jenis, aku hanya tertarik pada wanita. Namun wanita yang selama ini menarik hatiku adalah…
Bukan sekedar rasa cinta yang kuberikan pada Mamaku, tapi juga nafsu.. nafsu birahi, bagiku dia adalah sosok yang begitu sempurna. Tak ada wanita lain yang dapat menyita perhatianku selain Mama, termasuk Intan, gadis primadona sekolah yang selalu menjadi impian teman-temanku.
Obsesiku adalah Mama, terutama obsesi seksual. Sering aku membayangkan bersetubuh dengan Mama, sehingga sering pula aku mencuri-curi pandang pada tubuh indahnya, terutama saat dirinya mengenakan pakaian-pakaian yg mengekspose bentuk tubuh, seperti saat dia mengenakan hot-pan, pahanya yang mulus dan padat membuat syahwatku mendesir, yang ujung-ujungnya hanya bisa kulampiaskan dengan cara onani.
begitu pula saat dia mengenakan gaun tidur berbahan sutra yang tipis sehingga bentuk tubuhnya yang indah terbayang jelas. bentuk tubuh yang sempurna, pantat bulat dan padat, buah dada besar, padat dan berisi, kulit putih mulus tanpa cacat, wajahnya yang cantik, hidung mancung dan bibir agak lebar dan sensual.
Pernah aku mengintip Mama dan Papa sedang ML dikamarnya, dari lubang kunci aku melihat bagaimana batang penis papa menggenjot vagina Mama. tidak hanya vagina mama yang menjadi sasaran penis papa, tapi juga anusnya. Bahkan aku pernah juga melihat mama sambil menungging vaginanya digenjot oleh papa, pada saat bersamaan lubang anusnya juga disumbat oleh dildo, Ah..
********
Seperti malam-malam yang lain, selesai belajar biasanya aku menonton film-film porno yang telah aku unduh dari situs-situs dewasa. Berbagai jenis film porno dengan berbagai genre hampir memenuhi separuh dari kapasitas harddisc laptopku, mulai dari genre softcore sampai hardcore yang gila-gilaan.
Setiap kali menyaksikan wanita yang sedang bersetubuh di film-film itu, selalu yang kubayangkan adalah sosok Mamaku, sedangkan sosok prianya kubayangkan adalah diriku.
Dan seperti biasanya disaat birahiku menaik, aku mulai melepas celana dan memain-mainkan penisku sambil tatapanku terpusat pada layar monitor komputer.
“Aaaaahhhhh… ayo ma.. terus maaa… memekmu enak ma… zzzzz.. aaaahhhh…” racauku sambil tanganku bergerak mengocok-ngocok batang penis.
Sedang asik aku melakukan “ritual malam” yang hampir rutin aku lakukan itu, tiba-tiba diriku dikagetkan oleh sebuah bentakan keras dibelakangku.
“Doni..! Apa-apaan kamu…”
Secara reflek kursi putar yang kududuki kuarahkan pada sumber suara itu. Dan betapa terkejutnya aku melihat sosok yang berdiri didepanku, dia adalah Mamaku, yang sepertinya juga terkejut melihat batang penisku yang masih berdiri tegak. Dengan panik segera kuraih celana pendek dilantai dan langsung kukenakan.
“Ka.. kamu.. keterlaluan.. Doni… awas.. Mama beritahu Papamu nanti…” Sepertinya Mama begitu marah, pipinya yang putih tampak memerah. tapi sepertinya ia juga gugup, seperti ada keraguan dalam dirinya. Ah, tapi mata Mama sepetinya berkaca-kaca, semarah itukah dirinya sehingga sampai ingin menangis.
Hanya kata-kata itu yang leluar dari mulutnya, seraya dirinya pergi sambil menutupi mulutnya, sepertinya ia benar-benar menangis… Langkahnya setengah berlari… Lalu.. brraakk… pintu kamarku ditutup dengan begitu keras.
Ah, mati aku.. Mengapa aku bisa lupa mengunci pintu itu, betapa teledornya aku… Habis sudah diriku… Entah apa yang akan terjadi padaku saat Mama melaporkannya pada Papa. Betapa malunya aku. Jangan-jangan Mama juga mendengarkan kata-kata yang keluar dati mulutku saat beronani tadi. Haduuhhh.. bisa-bisa dianggapnya aku ini anak yang tak waras karna membayangkan ibu kandungnya sendiri saat bermasturbasi.
Laptop yang menayangkan adegan film porno telah kumatikan, dan aku masih terduduk dikursi dengan berjuta-juta pikiran, dan membayangkan hal apa yang akan menimpaku selanjutnya. Ah, disaat nanti Papa pulang dari kunjungan dinasnya kedaerah, sudah pasti Mama akan melapor kepadanya. Bisa jadi setelah itu Papa akan menitipkan aku pada kakek dikampung, karna aku dianggap berpotensi melakukan tindak asusila kepada Mama, dan itu dianggap sebagai sebuah aib bagi keluarga.
Tiba-tiba pintu kembali dibuka dengan pelan, diikuti dengan langkah Mama yang sedikit lesu, matanya sedikit sembab, serta hidungnya agak memerah. Aku hanya pasrah menunggu sumpah serapah yang bakal keluar dari bibirnya yang seksi itu.
Dia duduk dipinggir tempat tidurku, menatapku sejenak, lalu menarik nafas panjang, kemudian mulai bicara
“Doni.. Mama maklum dan mengerti, juga menganggap wajar dan manusiawi, jika anak muda seusia kamu melakukan hal seperti yang tadi kamu lakukan itu… Terus terang tadi secara tak sengaja Mama sempat mengintip dari sela-sela pintu yang masih sedikit terbuka itu.. Tapi setelah mama mendengar desahan-desahan kamu yang selalu menyebut nama Mama…
“Maaf ma…” Jawabku lirih
“Mama tidak butuh kata maafmu… yang Mama butuhkan adalah alasanmu.. Mengapa kamu mendesah-desah sambil menyebut Mama… Ayo jawab..”
Sepertinya otakku tak sempat lagi untuk mengarang cerita yang bisa menyanggah bahwa aku terobsesi pada dirinya. Terpaksalah aku hanya bisa jujur mengatakan apa adanya.
“Do.. Doni memang su.. suka sama Mama…” jawabku gugup
“Suka bagaimana? Suka untuk ngapain? Ayo ngomong yang jelas.. kamu kan anak laki..” tekannya lagi
“Suka.. suka.. Ah.. Doni ingin berhubungan seks sama Mama…” Ah, sial.. keluar juga kata-kata itu
“Ya tuhaaaan… Doniii… Aku ini ibumu naaakk.. Ibu kandungmu… sudah gila kamu..” bentaknya, yang membuatku hanya menunduk menatap lantai.
Kini dia berdiri, lalu menatapku sejenak, kemudian melangkah mondar-mandir disekitar kamarku, sepertinya tengah berpikir, namun aku melihat adanya kebimbangan dalam dirinya, seperti bingung dalam memutuskan sesuatu.. entah apa yang dibingungkannya. Langkahnya berhenti sejenak tepat dihadapanku.. menatapku lagi..
“Doni… kamu itu…” hanya itu yang terucap, lalu tertahan.. sepertinya ingin dilanjutkan… ah, ternyata tidak. Justru malah kembali duduk dibibir ranjang, kembali berpikir… menatapku… lalu menarik nafas panjang.. kembali tampak gugup, sementara kedua kakinya digoyang-goyangkan.. Kembali menarik nafas panjang lagi, kali ini sambil memejamkan kedua matanya..
Lalu tubuh itu melesat kearah pintu.. sepertinya hendak keluar.. Tapi mengapa secepat itu dia keluar? Hanya begitu saja? Bahkan dia belum memponisku. Ah, ternyata dugaanku salah.. justru dia mengunci pintu itu.. tapi mengapa dikunci? Ah, gawat.. Jangan-jangan dia akan menghajarku habis-habisan, makanya pintu itu dikunci agar tak ada yang menghalangi saat aku berteriak kesakitan karna siksaannya..
“Ampun maaaa…” Mohonku, sambil meringkukan badanku dikursi, bagar seekor tikus yang tersudut dipojok ruangan dan tak ada lagi tempat untuk berlari. kedua tanganku kugunakan untuk melindungi wajah dan kepalaku.
“Heh… Doni.. Jangan seperti anak kecil gitu kamu…” Ah, ternyata dia belum menghajarku. kini dia berdiri tepat didepanku.
“Ampun ma… jangan ma…” mohonku
“Ampun.. ampun.. Apaan sih kamu.. kamu pikir Mama mau ngapain…?” kini aku hanya terdiam.
“Doni.. kamu betul kepingin berhubungan seks sama Mama..?”
“Betul Ma… tapi Doni minta maaf.. ampuuun…” kembali aku memohon ampun, berharap Mamaku akan melupakan semua ini.
“Eh, Doni.. kamu denger Mama ya… Sekarang Mama mau tanya serius, dan Mama enggak marah… coba liat wajah Mama.. apakah Mama kelihatan marah.” paparnya seraya tersenyum padaku untuk kemastikan kalau dia memang tidak marah.
“Iya ma… Mama mau tanya apa?”
“Begini Doni… tadi kamu bilang, ingin sekali berhubungan seks dengan Mama.. iya kan? Nah seandainya Mama bersedia memenuhi keinginan kamu untuk ngesek bagaimana…? apa kamu juga bersedia…? Jawab yang jujur ya…” Deg… berdegub kencang jantungku, apa aku tidak salah dengar ini.. Dan bagaimana aku mesti menjawabnya.
“Jawab Doni.. kalau kamu tidak jawab dengan jujur, justru Mama akan telpon papa sekarang juga..”
“Ba.. baik ma.. baik… Doni akan jujur Ma… Doni memang mau Ma… kalau Mama ngajak Doni.. mmm.. ngesek.. Doni sudah jujur Ma.. Mama sudah janji kan, enggak akan melaporkan hal ini kepada Papa.. kalau Doni jujur..” ujarku, berharap kejujuranku itu bisa meluluhkan hatinya untuk tidak memperpanjang masalah ini.
“Bagaimana kalau sekarang juga Mama menawarkan itu? Apa Doni mau melakukannya?” pertanyaan yang kembali membuatku bingung, apa maksud sesungguhnya dari semua itu.
“Menawarkan apa? Dan melakukan apa?” tanyaku masih bingung.
“Doni.. Doni.. Baiklah, sekarang kita lupakan semuanya… tentang marah-marah Mama barusan, tentang Mama yang sempat menangis tadi… Dan sekarang, Mama menawarkan diri Mama kepadamu.. seutuhnya.. kamu boleh melakukan apa saja pada Mama, sesuai keinginanmu.. kamu bisa wujudkan fantasi-fantasi kamu selama ini pada Mama..
bagaimana sayang?” Deg.. jantungku berdetak begitu kencang.. dari ekspresi dan perkataannya sepertinya jujur, tulus, dan sama sekali tak terlihat kalau itu sebuah jebakan, tapi tetap saja aku masih bingung untuk berbuat apa, hingga… Busssseett.. dia menaikan kaki kanannya dikursi tempatku duduk, seraya menyibak dasternya hingga memperlihatkan celana dalam putihnya padaku.
“Mama tau.. kamu masih gugup.. semoga ini dapat menghilangkan kegugupanmu sayang… hi.. hi.. hi..” sebuah susunan kata yang diucapkan dengan nada yang menggoda, dan diikuti dengan tawa renyahnya yang nakal. Ah, justru ini membuatku semakin gugup, namun juga membuat batang penis dibalik celana boxerku berdiri tegak.
Gile mek… paha yang putih mulus dan padat itu kini tepat berada didepan hidungku, dan yang dibalik celana dalam putih itu, yang beberapa helai bulu jembutnya mengintip keluar melalui sela-sela pinggiran celana dalam. Ah, apakah aku hanya mimpi.
Kuangkat tangan kananku dengan maksud menyentuh indahnya paha itu, tapi.. tangannya justru menahan pergelangan tanganku, sehingga maksudku harus tertunda.
“Eiit.. tapi ingat, ini hanya akan menjadi rahasia kita berdua… jangan sampai orang lain tau, terutama Papa.. Paham kamu… Janji..?” peringatnya sambil mencengkeram pergelangan tanganku.
“Iya ma… Doni janji ma..”
“Bagus.. Sekarang lanjutkan apa yang ingin kamu lakukan..” seraya melepas cengkramannya.
Telapak tanganku mulai menyusuri sekujur paha dan pinggulnya, paha yang selama ini hanya bisa aku tatap, kini dengan bebas dapat kusentuh, bahkan sesekali kuremas dengan gemas, dan katanya aku bebas untuk melakukan apa saja.. ya, apa saja.
“Ma.. celana dalam mama boleh Doni buka ya?”
“Kan, sudah Mama bilang… kamu bisa melakukan apa saja..” paparnya, yang malah dirinya sendiri yang membuka celana dalamnya itu.
Wooww.. liang vagina dengan bulu-bulunya yang lumayan lebat dan tertata rapi itu kini tepat berada dihadapanku. Sebelah kakinya yang diangkat diatas kursi membuat liangnya menganga lebar, mempertunjukan daging merah berkilat yang hanya pernah aku saksikan difilm porno.
Kucium aromanya sampai mataku setengah terpejam, aroma yang belum pernah aku cium sebelumnya, yang pastinya aroma yang membuatku tergoda untuk melakukan hal lebih selain hanya menciumi baunya.
Kusentuh keratan daging merah jambu itu, lunak dan agak sedikit basah, jembutnya ku sibak-sibak sebentar, bahkan kutarik pelan karna gemas.
“Aaawww… masa’ jembut Mama kamu tarik-tarik begitu sih sayang.. sakit dong..”
“Abis Doni gemes ma… Doni jilatin aja ya ma?”
“Ih, kamu memang nakal ya… Ayo jilatin memek Mama sayang…” ujarnya, seraya menyibak bibir vagina dengan kedua tangannya.
Ah, surga itu kini benar-benar berada didepan mataku, menawarkan padaku akan rongga-rongganya yang menganga menggoda. Lidahku mulai menjulur menyentuh bibir vaginanya, untuk beberapa detik lidahku bagai canggung dalam bergerak, kemudian berubah liar menari-nari menyusuri keseluruh bagian, mulai bibir vaginanya, kelentit, jembut, hingga menelusup masuk kedalam ronngganya.
“Uuuuuhhhhhh… nikmat sekali sayang… aaaaaahhhhh… kamu pinter banget sih zzzzzz… aaaaahhhh” Erangan nikmat yang keluar dari mulut Mama bagaikan sebuah komando bagiku untuk semakin agresif mengoral liang kewanitaannya, liang yang sepertinya semakin basah dan hangat, cairan bening agak lendir kian banyak keluar, mungkin ini yang disebut dengan cairan birahi disaat seorang wanita merasakan nafsu untuk disetubuhi.
Beberapa saat kemudian Mama menundukan badannya, sehingga vagina yang sebelumnya berada dihadapanku raib seketika, berganti dengan wajah cantik nan menggoda yang selama ini hanya bisa aku pandang, wajah itu menjulurkan lidahnya, menjilat-jilat bibirku, lalu menelusup masuk kedalam mulutku, kurasakan gelitikannya pada dinding mulut dan lidahku.
Setelah melumat bibirku, Mama melepaskan t-shirt yang kukenakan, baru kemudian melucuti sendiri gaun yang masih dikenakannya. rupanya mama sudah tak lagi mengenakan bh, sehingga buah dadanya yang kencang dan padat terumbar dihadapanku. Aku menatap nanar pada dua gunung kembar yang putih montok dengan puting sebesar kelereng berwarna pink kehitaman.
“Doni mau netek?” tawarnya, sambil meremas-remas kedua payudaranya sendiri.
“Mau ma… mau..” jawabku penuh semangat. Mama segera menyodorkan kedua buah dadanya pada wajahku, yang segera kukenyot puting yang sekitar 14 tahun lalu pernah juga kukenyot itu.
Setelah dirasa aku puas menetek, mama mengecup bibirku, menjilati leherku, lalu menggigit-gigit kecil puting tetekku, dan terus turun hingga ke pusar. Sampai akhirnya ditarik lepas celana pendek yang membungkus penis tegakku.
“Woooww… Kontol kamu gede juga ya Don… gak kalah sama punya Papamu nih…” ujarnya, sambil mengurut-urut batang penisku.
“Tadikan kamu sudah mencicipi memek Mama… Sekarang giliran Mama yang mencicipi kontol kamu..” Ah, tak kusangka kalau dari mulut Mamaku itu bisa dengan entengnya mengucapkan kata-kata vulgar seperti itu, kata-kata yang membuatku semakin terangsang.
Pertama-tama lidah itu hanya menjilati sekujur penisku, lalu ditelannya sambil kepalanya bergerak naik turun secara berirama. Ah, setelah sekian lama hanya merasakan dengan tanganku sendiri, betapa jauh berbeda rasa nikmatnya bila dengan kuluman mulut yang lembut seperti ini, mulut Mamaku pula.. wanita yang selama ini menjadi hayal mesumku.
“Zzzzzzzzzz… aaaaaaaahhhhhhhh… terus maaaa… kenyot terus kontol Doni maa… sedeeeeepppp…” racauku, sesekali Mama melirik kearahku sambil mulutnya tetap mungulum penisku.
Beberapa saat kemudian mama menghentikan kulumannya, bangkit dan memagut mulutku dengan rakus hingga membuatku sulit untuk bernafas, namun aku justru menyukainya, kutelan ludah mama yang menetes dimulutku. sepertinya mama menyadari kalau aku kerap meneguk air liurnya, hingga sepertinya ia sengaja menumpahkannya dimulutku sambil kami tetap berpagutan.
“Kamu suka meminum air ludah mama ya sayang..?” tanyanya, setelah melepaskan pagutannya.
“Iya ma… Doni suka..” jawabku jujur
“Doni mau lagi sayang.?” tanya Mama, sambil mengusap-usap rambutku.
“Mau ma…” jawabku, setengah memohon.
“Ih, dasar anak mama nakal.. Ayo buka mulut kamu Aaakkk..” ujarnya, setelah mencubit pipiku.
Kubuka mulutku lebar-lebar dengan menghadap keatas, menantikan “hadiah istimewa” yang bakal diberikan Mamaku yang kini berdiri dengan mulut sekitar 30cm diatas mulutku.
Plehh… cairan kental keluar secara perlahan dari mulur mama, sifatnya yang kental membuatnya tak langsung masuk kedalam mulutku, melainkan terlebih dulu menggantung dan masih terhubung dengan mulutnya, sebelum akhirnya jatuh dimulutku dan langsung kuhirup dengan antusias. Beberapa kali mama menumpahkan ludahnya dimulutku, namun rasanya dahaga ini masih tak terpuaskan.
“Doni… kamu pingin ngentotin Mama enggak?” tawarnya, Ah, sebuah penawaran yang menggoda.
“Mau ma.. mau..” jawabku bernafsu.
“Ah, tapi besok aja deh ya… Udah malem nih..” jawabnya
“Yaa… sekarang aja deh ma.. pliss..” mohonku, aku tau mama hanya menggodaku, itu dapat kulihat dari senyum nakalnya.
“Besok aja deh… kan udah malem sayang..” namun tangannya justru mengurut-urut batang penisku.
“Yaa.. mama.. tega deh..” keluhku
“Oke deh ngentotnya sekarang… Aduh segitu sedihnya anak mama…”
“Horeee… sekarang ya ma… yesss..” sorakku.
“Eiiitt… jangan seneng dulu, ada saratnya…” ujarnya, sambil menggoyang-goyangkan jari telunjuknya didepan wajahku.
“Apa saratnya?”
“Saratnya kamu harus minta ngentotnya dengan ucapan yg hot.. yg sehot mungkin..” paparnya
Aduh, bagaimana ini.. mungkin yang dimaksudkannya adalah dengan kata-kata yang vulgar, seperti yang sering dia ucapkan itu… tapi bagaimana ya? Ah, baiklah..
“Oke deh ma.. Doni siap..” beberapa saat setelah aku berpikir.
“Ya sudah ayo dimulai…” tantangnya, sambil bersedakep.
“Mamaku sayang.. Ngentot yuk ma… Kontol Doni udah gatel nih ma… pengen ngentotin memek mama, sampai mama bunting…” rayuku dengan penuh percaya diri.
“Wooowww… so sweet… romantis sekali rayuanmu itu sayang… sampai mama terbuai.. Ayo sayang buntingin mama…” Ah, sepertinya kata-kata yang kurangkai itu berhasil membuatnya terbuai, yang langsung melangkahkan kakinya kearah tempat tidur sambil menggengam batang penisku, sehingga aku hanya menguntil dari belakang sambil sesekali meringis karna batang penisku ikut tertarik.
Mama telah berbaring telentang diatas tempat tidurku, sambil tangan kanannya menggosok-gosok vaginanya
“Ayo.. katanya mau ngentotin mama… mau buntingin mama… koq malah bengong disitu.. ayo sini sayang..” ujarnya, saat aku hanya duduk dibibir ranjang sambil menatap dirinya yang menggosok-gosok memeknya.
Segera aku memposisikan diri berlutut didepan mama, dengan batang penis mengarah pada liang vaginanya.
“Nah, gitu dong… Sekarang masukin kontol kamu kelobang memek mama.. sini mama bantu.. iya.. tekan.. haaapp… pinter anak mama…” Mama membimbingku dengan cara memegang batang penisku dan mengarahkannya keliang vaginanya, hingga akhirnya seluruh batang penisku tenggelam didalamnya. Ah, nyamannya penisku berada didalam vagina mama, hangat rasanya, sesekali kurasakan kedutan-kedutan lembut dari otot-otot vagina mama bagai meremas-remas batang penisku…
“Sebelum kamu genjot.. Kasih mama hadiah dulu dong sayang… aaakkkk” pintanya, seraya membuka mulutnya lebar-lebar.
“Hadiah apa ma?” heranku.
“Ludahi mulut mama sayang… seperti yang tadi mama kasih ke kamu… aaaakkkk” Aku mulai paham apa yang dimaksud oleh Mama.
“Oke deh ma… siap-siap ya ma…” pleh… beberapa kali cairan kental ludahku berpindah tempat kedalam mulut Mama, yang langsung ditelannya dengan tanpa sisa. Ah, mengapa aku begitu menyukai sensasinya itu, momen dimana cairan ludahku berpindah kemulut mama.. Ah, sesuatu sekali.
“Ayo, sekarang digenjot kontolnya sayang…” segera kuikuti apa yang dipintanya itu, dan nafsu birahikupun memang sudah begitu tinggi, dan ingin kulampiaskan sekarang juga.
Pinggulku mulai bergerak maju mundur untuk mempenetrasikan batang penisku didalam liang vaginanya. Ah, kesampaian juga impianku selama ini untuk menyetubuhi mama, semoga saja ini bukan yang terakhir, aku tak ingin cepat-cepat menyudahi kebersamaan yang indah bersama mama seperti ini.
“Iya… nyantai aja sayang… jangan gugup.. nah begitu… iihh.. anak mama mulai pinter nih… aaaauugghhhh nikmaaaaaattttt…” Ah, mama begitu seksi sekali dengan ekspresi seperti itu, ekspresi sedang merasakan nikmat, nikmat oleh hantaman penisku… anak kandungnya sendiri.
“Iya… terus sayang… entotin mama yang lebih kuat sayang… aaaahhh.. buntingin mama sayang.. buntingin ibu kandungmu ini… aaaaaauuugghhhh…” racau mama, yang membuatku semakin bernafsu, hingga kurasakan sesuatu ingin mendesak keluar dari diriku… ya, sepertinya aku akan orgasme.
“Aaaauuuuggghhhhhh… Doniiiii… mama sampai nak… aaaauugghhhh…” ah, sepertinya mama juga demikian.. dan ah… aku tak tahan.
“Mamaaaaaaaaa… Doni juga keluar maaaa… aaaaaaaagghhhhhhhh…” pekikku mengiringi semprotan sperma yang menyirami rahim ibu kandungku itu.
“Iya sayang… taburi benihmu didalam tahim mama sayang… iya yang banyak ya sayang… biar mama cepat bunting… aaaaaaaggghhhhh…” racau mama, bagai orang kesurupan, seiring dengan puncak kenikmatannya yang dicapai, yang berlangsung secara berbarengan denganku.
Beberapa saat setelah itu, tubuhku ambruk diatas tubuh Mamaku, dengan masih batang penisku bersarang dalam liang vaginanya. kurasakan kenyalnya buah dada mama didadaku.
“Iih… anak mama nakal nih… masa’ ibu kandungnya sendiri dientotin sih…” godanya. sambil memencet hidungku.
“Abis mama napsuin banget sih…”
“Emang sejak kapan sih.. kamu mulai nafsu ingin ngentotin mama?”
“Mmmmm… kapan ya? Kayaknya mulai kelas 6 SD tuh ma…”
“Dasar kamu… masih SD aja udah mau ngentotin mama…”
“Oh iya ma… nanti kalau benar-benar mama hamil bagaimana ma?”
“Kalau hamil ya terus melahirkan.. terus punya anak…” jawab Mama dengan santainya.
“Terus kalo Doni punya anak gimana dong ma? Kan Doni masih sekolah..”
“Ya, anaknya kamu yang uruslah.. kamu yang momong.. kamu ke sekolah sambil bawa anak kamu…”
“Orang lain kalo punya anak, kan istrinya yang urus anaknya ma…”
“Tapi kan kamu gak punya istri.. aku kan mama kamu bukan istri kamu… jadi kamulah yang momong anakmu sendiri.. kesekolah sambil gendong bayi.. trus bikinin susunya… kalo abis pup diganti popoknya.. gitu… Nanti temen-temen kamu pada ngebuli kamu semua deh.. Hey, lihat tuh si Doni.. kecil-kecil udah punya anak…
“Aaaaeeeng… mama kok gitu… gak mau.. gak mau ah…” rajukku
“Ya, emang harus begitu… kan kamu yang bikin… kamu yang ngentotin mama… ya harus tanggung jawab dong…”
“Aaaaeeng… mama jahat nih… Doni kelitikin nih… tik.. kitik.. kitik.. kitik…”
“Hi.. hi… hi… Aaawww.. aaww… ampun.. ampuuuunn… udah don.. aaww… hi.. hi… hi… aaaww… geli ah..”