2 November 2020
Penulis —  blackmore

Keluarga Pak Trisno

*****

“Ayo Doni, papamu udah gak sabar tuh mau ngerasain barangnya Mbak Tini… Ayo gantian dong sayang.” ujar Bu Tris, setelah beberapa menit Mas Doni menyetubuhiku.

“Waduuuhh… sebetulnya sih lagi nanggung nih, tapi gak apa-apa deh… Nih, pa.. silahkan cobain barang Mbak Tini, pasti papa ketagian deh..” ujar Mas Doni, seraya mencabut batang kontolnya dari lobang memekku.

Selepas Doni menyingkir dari tubuhku, Pak Tris tidak langsung menancapkan batang basokanya kedalam memekku, melainkan membalik tubuhku hingga telentang. Ah, kedua tanganku yang masih terikat kebelakang membuatku tak nyaman dengan posisi berbaring telentang seperti ini, dan terpaksa harus tertindih oleh bokongku, akibatnya selangkanganku juga terlihat menggunung karna terganjal, yang tentunya bibir vaginaku juga ikut menyembul keatas bak kue apem.

Dan.. jlleppp… Aagghhh… akhirnya kunikmati juga batang kontol om ganteng ini, setelah sekian lama aku hanya membayangkannya saja, kini telah berada sepenuhnya didalam lobang memekku.

“Ma, itu jempol kakimu tolong disingkirkan dulu dong…” pinta Pak Tris, kepada istrinya yang masih menjejali ibu jari kakinya kedalam mulutku.

“Ih, si papa ini, sukanya ganggu kesenangan orang aja deh…” sungut Bu Tris, namun tetap diturutinya permintaan suaminya itu, dan kini perempuan itu hanya duduk sambil menyaksikan aksi suaminya itu.

Mmmm… rupanya ini alasan Pak Tris meminta istrinya menyingkirkan jempolnya itu, dengan rakusnya dia melumat bibirku, kurasakan lidahnya itu menari-nari didalam rongga mulutku, tentu saja aku menyambutnya dengan tak kalah hot, kukulum dan kuemuti lidahnya, ludahnya yang menetes kutelan dengan rakus, mmm…

Goyangan kontolnya didalam memekku kurasakan begitu mantap, benar-benar terasa legitnya saat batang yang tegang itu menggesek-gesek otot vaginaku.

“Mmmmhhhh… Terusss paaaakk… enaaakkkk.. mmmhhhffff…” gumamku secara spontan, disela-sela pagutan mulut kami.

“Apanya yang enak tin?” tanya Pak Tris, kali ini telah melepaskan pagutannya.

“Memek saya pak… Lobang memek saya…” Jawabku, tak lagi kupedulikan ketiga orang lainnya yang tengah memperhatikan aku, rasa nikmat membuat rasa sungkanku lenyap.

“Emangnya diapain sih, koq bisa enak…?” tanya pak Tris lagi sambil terus menggoyang bokongnya, Ah, aku tau pertanyaan-pertanyaan Pak Tris ini sekedar untuk memencing jawaban-jawaban vulgar dariku.

“Iya Pak, soalnya memek Tini dientotin sama kontol bapak sih… uuugghhhhh…” jawabku.

“Emang kontol saya enak ya tin? Koq kamu sampai sebegitunya sih… Agghhhhh…” tanyanya lagi, sambil sesekali melenguh menandakan dirinya begitu menikmati permainan ini.

“Iya pak, enak banget pak… sedeeeepp deh.. Tini suka banget pak”

“Saya juga suka memek kamu tin, memek kamu legit banget.. Empotannya bakal bikin ketagihan nih… Zzzz… aaaggghhhh…”

*******

Hampir lima menit Pak Tris menggenjot memekku yang kini telah begitu basah oleh cairan birahi, hingga akhirnya aku mencapai klimaks.

“Aaaaaagggggghhhhhhh… Tini keluar paaaaakkkkk…” lenguhku, sambil kuangkat bokongku keatas, karna hanya itu yang aku bisa, seandainya tanganku ini tak terikat seperti ini, mungkin sudah kupeluk erat tubunya itu.

Aaahhhh… Sungguh nikmat, Orgasme oleh sentuhan batang kontol yang pertama sejak satu bulan terakhir tak pernah lagi aku rasakan, dan itu didapat dari pria setampan dan segagah Pak Tris. Tanpa sedikitpun bermaksud untuk mengecilkan almarhum suamiku, terus terang Pak Tris adalah lelaki paling tampan dan gagah yang pernah meniduriku selama ini, dan yang memiliki ukuran kontol paling besar pula.

Pak Tris masih terus menggenjot lobang memekku yang semakin banjir dan becek, suara berkecipakan alat kelamin kami bercampur dengan tepukan paha yang saling berbenturan membuat suasana dikamar itu kian riuh. Pak Tris kembali melumat bibirku, dikuluminya lidahku seolah ingin ditelannnya. Sementara istri dan kedua anak Pak Tris hanya menyaksikan dengan tak berkedip, bahkan Mbak Nanda sepertinya telah melupakan rantai yang dipegangnya, dia justru duduk dilantai tepat disampingku sambil mengamati ayahnya menyetubuhiku.

“Uuuuggggggghhhh… Aku keluar tin… aaaagggghhhhhh… enak bangeeeeeetttttt…” Ah, sepertinya Pak Tris telah mencapai puncak kenikmatannya, kurasakan hangatnya semburan cairan kental mengisi rahimku, sepertinya cukup banyak air mani Pak Tris ini, sekitar lima kali semburan yang kurasakan, sebelum akhirnya tubuh atletis itu roboh diatas perutku.

Namun sepertinya itu belumlah waktu jeda untukku, karna setelah itu, Mas Doni yang sebelumnya masih duduk dibibir ranjang langsung menghampiri papanya itu.

“Gantian dong pa…” ujar Mas Doni, yang langsung diikuti dengan mendorong tubuh papanya itu hingga terguling kesamping dengan posisi telentang dengan batang penis yang sudah tak lagi tegak tampak berkilat basah oleh lumuran air maninya sendiri dan juga air maniku.

Woooww.. betapa terkejutnya aku saat Mbak Nanda menundukan kepalanya, dan langsung mengulum batang penis yang terlihat lengket itu, hmmm.. sepertinya gadis abg itu memang sengaja ingin menikmati cairan kental yang masih melekat itu.

Mas Doni yang kini telah menggantikan posisi ayahnya, kini mulai memegang penisnya yang sedari tadi masih berdiri tegak, ujungnya kini telah berada tepat dimuka liang memekku yang menganga dan becek.

“Doni… Tunggu dulu..! Coba sekarang kamu toblos lubang anusnya..” ujar Bu Tris, Ah, celaka… Seumur-umur aku belum pernah melakukan anal seks. Duh, bisa modar aku. Dulu saat aku bekerja dengan majikan yang lain, pernah ada salah seorang anak majikan ingin memasukan batang kontolnya kedalam lobang silitku, tentu saja aku tolak mentah-mentah, bagiku anal seks pasti akan menyakitkan, bagaimana tidak, lha wong kalau tiga hari aku gak berak, sekalinya berak tainya keras, dan saat keluar sakitnya bukan main, itu barulah tai, yang sekeras-kerasnya tai tidaklah sekeras batang kontol yang sedang ngaceng, aduuuhhh saat kubayangkan batang kontol yang gede dan keras itu masuk kelobang anusku, dan dikocok-kocok pula, ampuuuunn.

“Jangan… jangan Mas Doni, jangan dientot silitku… ampun mas jangan… Bu.. Bu Tris, jangan dong bu… toloooong..” mohonku

Namun sepertinya mereka tak memperdulikannya, Mas Doni malah membalik tubuhku hingga aku kini tertelungkup, dan mengatur posisiku agar kembali menungging.

“Tidak ada penolakan… pokoknya lobang pantatmu harus ditoblos… Memang kenapa? Kamu belum pernah kan? Makanya kamu harus coba’in..” tolak Bu Tris.

Baru saja aku hendak berontak dan bermaksud berdiri, Mas Doni telah menahan pinggulku, sedang Bu Tris langsung menginjak kepalaku hingga pipiku sebelah kiri kini menempel pada lantai, begitupun dengan Mbak Nanda, yang berdiri sambil menginjakan kaki kanannya pada punggungku, sedang ditangannya memegang hendel rantai yang masih diikatkan dileherku.

Sial, kalau begini aku benar-benar tak berkutik. Boro-boro bisa kabur, bergerakpun tak mungkin aku bisa.

“Heh, mau lari kemama kamu…?” hardik Bu Tris, sambil menginjakan kakinya dikepalaku.

“Jangan coba-coba mau kabur ya… Rasain dulu bo’ol kamu ditoblos sama kontol Doni, hi.. hi… hi…” sambung Mbak Nanda.

“Tolong dong Bu Tris… Saya takut kalo silit saya ditoblos… Kan sakit bu.. Jangan bu, nanti kalau saya ambein bagaimana…” hanya memelas yang masih bisa aku lakukan, semoga saja mereka membatalkan niatnya itu.

“Ah, masa bodo’ mau ambein keq… mau dobol keq, itu urusan kamu… Ayo don, langsung hajar…!” ujar Bu Tris.

“Aaddaaaaaauuuuwwwwwww…” Pekikku, Sial, pemuda tanggung itu benar-benar memasukan batang penisnya kedalam lubang anusku, apuuunnn rasanya perih sekali.

“Tenang aja mbak… baru masuk ujungnya doang, koq udah segitu histerisnya sih…” ujar Mas Doni, haduuuhh, baru ujungnya saja yang masuk sudah perih begini.

“Aduuhh biyuuuuung… sakiiiiitttt… Asuuuuu kamu Mas Doniiiii…” pekikku saat Mas Doni memasukan seluruh batang kontolnya kedalam lobang silitku.

“Alaaahhhh… Mbak Tini ini, belum juga digoyang… Nih, kalau gitu, Doni goyang sekarang… heyaaaa… hugghhh… hugghhh… hugghhh.. “Bangsat, anak ini mulai mengocok-ngocokan batang kontolnya didalam lubang anusku, terpaksalah aku hanya bisa pasrah menerima siksaan ini, telah kucoba untuk berontak, namun justru mereka lebih kuat lagi menahan tubuhku, hingga akhirnya aku hanya bisa menangis merasakan sakit pada liang anusku.

Aaaahhhh… entah sampai kapan bocah ini mengakiri aksi sodominya padaku, bahkan kurasakan gerakannya itu semakin kuat dan cepat.

Sambil masih menginjak kepalaku sesekali Bu Tris menundukan kepalanya, untuk kemudian meludah kearah liang anusku, sepertinya maksudnya itu untuk memberikan pelumasan.

Hampir lima menit aku harus merasakan penetrasi pada lubang anusku ini, entah karena aku telah terbiasa dengan rasa sakitnya atau karena otot-otot pada lubang anusku yang memang telah mengendur dan ukurannya menjadi lebih besar, sehingga sodokan batang penis Mas Doni kurasakan tak lagi sesakit sebelumnya, yang membuatku bisa sedikit lebih rilek menghadapinya.

“Aaagggghhhhhh… Doni mau keluar nih… aaaaaaaaggghhhhhhh..” sepertinya bocah itu telah klimaks, semburan spermanya kurasakan didalam liang anusku. Untuk beberapa saat dia masih memompakan penisnya walau dengan kecepatan rendah dan tersendat-sendat, sepertinya dia masih menikmati sisa-sisa orgasmenya, hingga akhirnya benda yang menyumbat liang anusku itu terdiam seiring dengan bocah abg itu menarik nafas panjang.

“Fuuuuuuuhhhhhh… sedaaaaappppp…” ungkapnya, sambil menarik lepas batang kontolnya dari dalam duburku.

“Nanda, coba kamu ambil roti tawar didapur.. Gak usah banyak-banyak, cukup sepotong” perintah Bu Tris, yang langsung dituruti oleh Nanda yang segera ngeloyor keluar.

Hmmmm… entah untuk apa lagi roti tawar yang diinginkannya itu, apakah dia lapar. Tak lama setelah itu Nanda telah kembali dengan membawa satu putong roti tawar ditangannya yang langsung diberikan pada ibunya.

Bu Tris melepaskan injakan kakinya dari kepalaku, seraya beringsut kearah pantatku yang masih menungging

“Saya mau kasih kamu makan malam spesial… saya jamin kamu pasti suka tin.. Hi… hi… hi…” ujar Bu Tris, yang kini berjongkok menghadap pada bokongku. Makan malam? Apa maksudnya itu, dan roti itu, untuk apa? Jangan-jangan? Ah, sepertinya yang aku perkirakan memang demikian, jari tengah dan telunjuknya ditusukan kedalam lobang silitku, dikocok-kocoknya beberapa saat lalu ditarik keluar, dan Aaahhh..

benar-benar jorok perempuan ini, air mani anaknya yang bersarang didalam lubang anusku mengalir keluar dan langsung mendarat diperemukaan roti tawar yang dipegang dengan tangan kirinya. Sepertinya dia belum puas dengan jumlah sperma yang memenuhi permukaan roti itu, hingga diulanginya langkah sebelumnya yaitu mengorek-ngorek lubang duburku, dan itu dilakukannya hingga tiga kali.

“Tadaaaaaa… makan malam telah siap… mmmmm… aromanya betul-betul menggoda…” ujar Bu Tris, diikuti dengan menghirup aroma roti ditangannya sambil memejamkan mata seolah itu adalah makanan yang sedap.

Kini roti tawar itu disodorkan kearah wajahku, gumpalan benda kental berwarna putih kekuningan tampak memenuhi permukaannya, aroma khas sperma bercampur dengan aroma lubang pelepasan merebak kedalam lubang hidungku.

“Ayo silahkan dinikmati… Buka mulutnya… Aaaaakkkkkkk..” ujar Bu Tris, sambil menyodorkan roti itu kedepan mulutku, entah mengapa aku menuruti permintaan konyolnya itu, kubuka mulutku lebar-lebar bersiap menerima makanan spesial itu.

“Oooowww… pinternya.. Aaaaeeemmmm… Lagi nih lagi… aaaeemmmm..” kukunyah juga makanan itu seolah rasa jijik telah hilang dari otakku, dan kutelan pula setelah halus.

“Iyeeeesss… kamu memeng pinter, nih sedikit lagi… aaeeemmmm…” akhirnya roti dengan selai spesial itu habis, berpindah mengisi lambungku dimalam ini.

“Gimana… Enakan?” tanya Bu Tris, sambil tangan kanannya mencengkram daguku.

“Iya, enak bu… enak..” Ah, lebih baik kujawab dengan seperti itu, toh memang roti itu rasanya enak, hanya ada sedikit rasa asin, tak ada bedanya dengan rasa keju, apalagi air mani itu asalnya dari pemuda setampan dan segagah Mas Doni, jadi tak ada alasan untuk merasa jijik, terlepas itu sebelumnya telah mengendap didalam lubang anusku, ah, masa bodo lah.

“Hmmmm… kamu pasti haus kan… Mau minum?” tanyanya lagi.

“Iya bu, minum..” roti ini memang membuatku sedikit serat, sehingga aku butuh air untuk melancarkannya.

“Baik… Tunggu sebentar ya..” Entah apa yang direncanakannya, mengapa setelah itu mereka menjauh dan apa lagi yang mereka rundingkan dengan berbisik-bisik seperti itu. Tak berapa lama, keempat orang itu datang lagi menghampiriku dengan wajah seperti hendak menahan tawa. Ah, entah apa yang mereka rencanakan ini.

“Ayo bangun…” ujar Mbak Nanda, sambil menarik hendel rantai yang masih terikat dileherku, sehingga memaksaku untuk bangkit dari posisi menunggingku.

“Udah… Mbak Tini duduk aja disitu..” ujarnya lagi. Akupun kini hanya duduk bersimpuh dilantai, menanti sesuatu yang entah apalagi yang akan mereka berlakukan padaku.

“Kamu selesai makan roti tadi belum minum kan? Pasti haus dong?” tanya Bu Tris

“Iya bu, saya haus…” jawabku

“Mau minum?” tawarnya, yang aku jawab hanya dengan menganggukan kepala.

“Kalau gitu, kamu buka mulut kamu lebar-lebar… Cepaaat!” perintah Bu Tris, yang segera aku ikuti kemauannya itu. Tapi mengapa aku tak melihat adanya minuman disitu.

Sepertinya mereka mereka ingin mempermainkan aku, aku yakin itu, terlebih saat mereka berempat berdiri mengelilingi aku. Ah, mengapa Pak Tris dan Mas Doni memegangi batang penisnya? Dan Bu Tris serta Mbak Nanda menyibak bibir vaginanya, dan kesemuanya itu mengarah padaku.

“Satu… dua… ti..” satu, dua, tiga… apa ini? Ah, assuuuu… mereka mengencingi diriku, semuanya. Ya, kesemuanya dari mereka memancurkan air seni kearahku dari empat penjuru angin, kiri, kanan, depan dan belakang, secara bersamaan. Benar-benar edan tenan mereka.

“Ayo buka mulutnya… Diminum…” ujar Bu Tris.

“Ayo Mbak, diminum tuh, bir pletoknya hi… hi.. hi..” celetuk Mbak Nanda yang mengencingi bagian belakang kepalaku.

Ah, nasi sudah manjadi bubur, wis kadung teles… mandi sekalian lah. Gila, tak percaya aku, akhirnya air kencing Pak Tris yang mancur kemulutku kutelan, dan itu bukan cuma sekali teguk, tapi berkali kali cairan hangat dengan bau pesing menyengat itu kureguk. Ah, biarlah… lebih baik dinikmati saja.

Dan mereka sepertinya begitu menikmati momen itu, yel-yel dan sorak sorai mereka memecah ruangan itu.

“Horeeeee… ayo minum terus Mbak…” sorak Mas Doni

“Ayo mbak… itung-itung keramas, kan abis ngentot… hi… hi.. hi..” sorak Mbak Nanda dengan vulgarnya, Ah gak nyangka anak ini ternyata omongannya kayak preman terminal.

“Yeeeeeeee… apa enggak enak tuh, abis makan roti dikasih teh hangat… sekalian mandi basah lagi…” kali ini Bu Tris.

“Iya tin… minum semua tin… mamanya anak-anak juga paling suka tuh minum air kencing seperti ini… he.. he.. he…” juga Pak Tris. Ah, kalau itu aku juga sudah tau, hampir setiap kali mereka melakukan pesta seks selalu diakhiri dengan ritual minum air seni, tapi itukan Bu Tris, bukan aku.

Eeeerrrggghhhhh… Banyaknya air seni yang mengisi lambungku sampai-sampai membuatku bersendawa, kurasakan aroma pesing dari sendawaku itu. Sepertinya mereka telah tuntas, tak ada lagi pancuran air seni dari kemaluan mereka, kecuali tawa dan sorak-sorai mereka yang masih tersisa.

“Gimana tin, enak enggak?” tanya Bu Tris, yang hanya aku jawab dengan sendawa yang panjang, sehingga memancing mereka tertawa cekikikan seolah itu hal yang lucu. Habis harus aku jawab dengan apa, toh kalau aku jawab enak, masa’ sih air kencing enak, tapi kalau aku jawab tidak, nyatanya aku minum juga, dan aku merasa baik-baik saja dengan itu, tak ada yang membuatku tersiksa karenanya.

“Hey Mbak Tini, itu yang tergenang dilantai juga diminum dong…” ujar Mbak Nanda, yang segera diikuti oleh Bu Tris dengan mencengkram leher belakangku lalu menekannya kebawah, hingga tubuhku kembali menungging dengan wajah mencium lantai.

“Ayo diminum… diabisin…” perintah Bu Tris, kali ini dia berdiri sambil kaki kanannya menginjak kepala bagian belakangku.

Srrrrryyyuuuufffff… ssrrrryyyuuufffttt… srruppppuuutttttt… Bagai seekor anjing, air seni yang memang banyak tergenang dilantai itu kuhirup langsung dengan mulutku.

“Ayo, pindah kesebelah sini…” ujar Mbak Nanda, sambil menarik hendel rantai yang dipegangnya, sehingga diriku merangkak beringsut keposisi sesuai yang dia inginkan.

******

Setelah dirasakannya tak ada lagi genangan air seni disekitar kamar itu, mereka melepaskan ikatan tanganku, sekaligus rantai yang dikalungkan dileher

“Gimana? Sudah kenyang?” tanya Bu Tris, yang kujawab dengan hanya menundukan kepala.

“Ya sudah sana, kamu kembali kekamarmu, dan langsung mandi, setelah itu kembali lagi kesini untuk membersihkan ruangan ini… Cepat…!” terang Bu Tris, diikuti dengan menepuk pantatku.

Begitu diriku berada diluar ruangan itu, masih sempat kudengar suara tawa mereka yang berbarengan, Ah, sial, tampaknya mereka begitu senang telah mengerjai aku. Tapi tak apalah, setidaknya aku tak merasa rugi-rugi amat, toh aku juga merasa beruntung telah merasakan batang kontol mereka, bahkan sampai aku klimaks, perkara Mas Doni menyodomi anusku sepertinya aku akan bisa mengatasinya, itu terbukti disaat-saat terakhir lobang duburku digenjot, rasa sakit itu berangsur berkurang, sukur-sukur dua atau tiga kali lagi aku melakukan anal seks justru akan bisa menikmatinya, seperti sebelumnya aku mengintip mereka, bagaimana Bu Tris dan terutama Mbak Nanda yang tampaknya begitu menikmati anal seks.

Ah, tapi mengapa aku begitu GR kalau mereka akan mengajak aku lagi, bisa saja itu tadi adalah yang pertama dan terakhir. Tapi perasaanku mengatakan kalau aku bakalan diajak lagi, dan sejujurnya akupun memang mengharap, terlepas perlakuan kasar mereka padaku. Rasa nikmat yang kuperoleh jauh lebih besar ketimbang rasa sakit yang aku terima saat dibuli tadi, lagi pula mereka tak menganiaya atau memukuliku.

Ah, apapun yang bakalan terjadi selanjutnya, kita lihat saja nanti.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan