2 November 2020
Penulis —  blackmore

Keluarga Pak Trisno

Siang di hari minggu ini kami mengadakan sedikit pesta kecil-kecilan. Tepatnya adalah pesta ulang tahunku yang ke 46.

Sebuah_Barbeque Party_yang hanya dihadiri oleh kami sekeluarga, yang kami gelar di taman halaman belakang rumah. Sebuah tungku pemanggang daging kami tempatkan ditengahnya. Dengan arang yang telah membara, memanggang beberapa lempengan daging sebesar telapak tangan yang berjajar diatas anyaman besi seukuran batang pinsil.

Steek daging sapi buatan sendiri, dalam beberapa menit lagi sepertinya siap untuk dihidangkan. Aromanyapun begitu mengundang selera.

Tak sia-sia aku dan Doni mempersiapkan ini semua semenjak pagi tadi. Mulai dari meracik bumbu dan membakar arang hingga membara seperti ini. Belum lagi harus menggotong meja makan dari dalam rumah dan meletakannya disini, untuk kemudian istriku dan Nanda menyajikan berbagai makanan yang sebagian besar kami dapat beli atau pesan.

Semua itu kami siapkan sendiri tanpa bantuan orang lain, termasuk pembantu rumah tangga.

Tini, dalam tiga hari belakangan ini lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar. Plek atau pendarahan dari kandungannya itulah yang menjadi penyebab. Sepulang dari kampungnya seminggu lalu, dia terpaksa harus ekstra sibuk, karena pekerjaan yang ditinggalkannya selama tiga hari jadi menumpuk, dan terpaksa harus dirapel.

Kesalahan kami juga yang memang sengaja menumpuk pekerjaan dengan harapan agar dikerjakan olehnya sepulang dari kampung. Dampaknya adalah dari rahimnya mengeluarkan darah berwarna kehitaman, dan detik itu pula dia ambruk bagai tak bertenaga. Tentu saja hal itu membuat kami sekeluarga panik, dan segera kami antar ke dokter kandungan.

Usia kandungan yang masih muda memang rentan, dan rawan terjadi plek seperti itu. Dan kalau dibiarkan bisa berakibat keguguran. Saat nanti usia kandungan berusia diatas empat bulan, janin akan lebih kuat, sehingga kemungkinan akan terjadi plek relatif kecil. Itu yang dikatakan dokter, dan solusinya adalah istirahat total, setidaknya sampai usia kandungannya itu berumur empat bulan nanti.

Akhirnya untuk sementara kami mempekerjakan pembantu rumah tangga lepas, yang hanya datang pada pagi hari, dan pukul empat sore dia pulang, yang kami bayar secara mingguan. Namun pada hari minggu seperti ini memang sengaja kami menyuruhnya untuk libur.

“Gimana nih Chef kita.. Udah mateng belum?” seperti biasa, akhir-akhir ini istriku selalu tak ingin melawatkan momen-momen seperti ini tanpa dokumentasi. Sedari tadi dirinya sibuk dengan hobinya itu. Merekam segala kegiatan kami dengan handycam ditangannya. Sesekali benda itu diletakannya diatas meja saat dirinya sibuk, namun tetap dalam posisi on record.

“Kayaknya sih udah nih…” jawabku, sambil membolak-balik irisan daging dengan menggunakan penjepit kue (cake tongs). Penampilanku sekarang ini memang tak ubahnya seperti koki profesional, dengan celemek putih membalut bagian depan badan, serta penutup kepala koki. Sedangkan Doni, sibuk mengipasi bongkahan arang agar tetap membara.

Hanya Nanda yang kini cuma duduk dikursi depan meja makan, dengan tak henti-hentinya mulutnya itu mengemil makanan ringan yang ada dimeja. Sepertinya perut buncitnya itu tak kunjung kenyang walau sedari tadi diisi makanan. Mungkin ada benarnya juga kata orang, saat mengandung bayi laki-laki, nafsu makan si ibu jauh lebih tinggi ketimbang mengandung bayi perempuan.

“Oke, saatnya kita cicipi..” dengan bangga dan penuh percaya diri, satu persatu lempengan daging yang telah masak kupindahkan pada piring besar berbentuk ceper, lalu kuhidangkan diatas meja.

*********

Santap siang yang cukup spesial di hari ini. Di hari ulang tahunku. Dan aku pula yang memasak serta mempersiapkannya. Tampaknya mereka begitu menikmati masakanku itu. Terutama Nanda, putriku, sekaligus ibu calon anakku, atau calon cucuku. Ah, peduli apapun itu sebutannya, yang pasti anak yang dikandungnya itu adalah hasil dari benih yang kutabur.

“Yang ulang taun koq justru yang penampilannya paling kusut, mana badannya bau asep lagi..” tegur istriku, dengan mulut masih mengunyah potongan daging..

“Iya pa, dimana-mana kalo yang ulang taun tuh yang paling rapi, pakaian bagus, wangi. Bukannya pake celana pendek, kaos singlet, pake celemek lagi..” tambah putriku.

“Yah, mau gimana lagi? Semuanya kan harus aku sendiri yang menyiapkan. Tapi it’s oke lah, aku suka koq melakukannya. Justru ini mendatangkan keasyikan tersendiri bagiku. Anggap sebagai hiburan lah..” timpalku.

“Apa? Papa sendiri yang menyiapkan? Jadi sedari tadi Doni bantuin gak dianggap nih?” protes Doni yang juga dengan mulut penuh dengan daging yang dikunyahnya.

“Ah, ya enggak dong. Maksud papa, yang mengkordinir ini semua kan papa..” sanggahku. Sementara istriku sepertinya telah menyudahi makannya, seraya kembali meraih hendycam yang sebelumnya diletakkan diatas meja.

“Yeee.. Gak bisa gitu dong. Tanpa Doni belum tentu semuanya bisa beres. Siapa yang menyiapkan arangnya sampai membara begitu? Lalu siapa yang nyuci bawang, cabe, dan…” sewot Doni lagi, yang segera kupotong.

“Ah, itu kan cuma pekerjaan yang enggak membutuhkan skil. Pekerjaan kuli gitu lho..” tepisku. Tentu saja aku hanya bermaksud menggoda bocah bau kencur itu.

“Eeee… Enak ajaaa… Papa gitu deh. Kan…”

“Eeeeee… Sudah-sudah.. Dua laki-laki ini koq malah saling ngotot sih…” potong istriku sambil mengarahkan lensa handycamnya kearah kami. Dan seperti biasa kembali ia mengoceh layaknya seorang reporter.

“Momen yang tak boleh begitu saja dilewatkan.. Pesta kebun, peringatan ulang tahun suamiku tercinta, yang sekaligus papa dari anak-anak kami tercinta. Mmmm.. sekaligus juga calon kakek dari anak yang dikandung putri kami.. Eh, kakek atau ayah ya? Ah, masa bodo lah..” oceh istriku, dengan nada menggoda.

“Mamaa.. mulai deh..” tegurku, sambil tersenyum dengan sindirannya itu.

“Ini lho pa. Momen seperti sekarang ini sangat sayang bila tidak didokumentasikan” terang istriku

“Ulang tahunku maksudmu? Pada ulang tahunku yang lalu kamu juga tidak mendokumentasikannya toh?” paparku. Ya, memang pada ulang tahunku yang ke 45 tahun lalu, kami juga melakukan hal yang serupa disini, tapi aku masih ingat bahwa istriku tidak mendokumentasikan peristiwa itu, padahal waktu itu bahkan kami mengundang beberapa famili dekat kami.

“Beda dong pa… Mmmm.. waktu itu kan aku dan Nanda tidak sedang hamil tua seperti ini.. itulah makanya menurutku momen ini sangat bersejarah, dan wajib kita dokumentasikan.. Iya enggak anak-anak?”

“Yo’i mam..” jawab Nanda yang masih saja ngemil walau telah menghabiskan dua potong daging seukuran telapak tangan.

“Baiklah, kita jumpa kembali dengan keluarga kami yang super bahagia ini.. Oh iya pemirsa, yang lagi ngemil kentang goreng ini adalah Nanda, anak pertama kami. Penampilannya kini berbeda ya pemirsa, sedikit lebih gemuk, karena… Nanda, coba kamu berdiri dulu dong sayang.. “oceh istriku. Paham dengan yang diinginkan mamanya, putriku itu berdiri tersenyum, seraya berputar sejenak sambil kedua tangannya menjinjing ujung dasternya, seolah dengan bangganya mempertunjukan perut buncitnya yang dibalut daster putih transfaran itu.

“Wooowww… sudah delapan bulan setengah pemirsa. Jadi, mmm.. ya, kira-kira dua minggu lagi kemungkinan anak kami ini akan dikaruniai putra yang lucu..”

“Dan ganteng dong ma..” tambah Nanda yang masih berdiri.

“Pastinya..” sambung istriku.

“Oh iya pemirsa… Siapa sih bapak dari calon putranya Nanda itu…? Siapa ya..? Mmmm..” istriku terdiam sesaat sambil tersenyum menatapku

“Ooww.. tentu saja pria disampingnya itulah orangnya. Betul sekali pemirsa, suamikulah yang menghamili putri kami tercinta ini, papanya, tentu saja ayah kandungnya, so sweet kan pemirsa…” cerocosnya, sambil mengarahkan lensa kamera kearahku, yang langsung diikuti dengan tubuh Nanda yang duduk dipangkuanku, sedang tangannya menggelendot manja pada pundakku.

“Wooww.. betapa mesra dan romantisnya mereka pemirsa. Bagaimana kalau kita wawancarai mereka..” diraihnya botol saus yang ada diatas meja. Seolah botol itu adalah sebuah mike, sisi bawah botol diaracungkan kearah Nanda.

“Bagaimana perasaan kamu Nanda, setelah mengandung delapan bulan ini?”

“Mmmm… Pastinya bahagia dong..” jawab Nanda.

“Kamu ceritakan sendiri ke pemirsa dong sayang, siapa sih bapak dari anak yang kamu kandung itu?”

“Ini orangnya..” jawabnya, kali ini diikuti dengan mengecup bibirku.

“Ia, dijelasin dong Nanda, siapa dia.. supaya pemirsa mendengar langsung dari kamu..”

“Owhh.. begitu. Oke deh. Halo pemirsa. Ini nih, yang hamilin Nanda adalah papa aku sendiri lho, papa kandungku yang ganteng ini nih..” terang Nanda, diikuti dengan mencubit gemas pipi kananku.

“Koq bisa hamil sih Nanda, emang diapain sih?” tanya istriku

“Ya iyalah… Orang dientotin terus tiap hari, ya jelas hamil kaliii…”

“Wooww.. Dientotin bagaimana?” kembali istriku bertanya.

“Ya itu lho… Memek aku dimasukin pake kontol papa yang gede ini nih.” terangnya, diikuti dengan meremas lembut batang penisku yang dibalut celana pendek. Lalu kembali melanjudkan ocehannya.

“Lalu dikocok-kocok maju mundur… digoyang-goyang… Mmmm.. sedaaaaapp..” saat menjelaskan itu, matanya terpejam, seolah tengah membayangkan rasa nikmatnya, yang dibarengi dengan menaik turunkan bokongnya itu, lalu memutarnya, sehingga batang penisku yang berada dibawahnya terkena “imbasnya” menjadi sedikit menegang akibat nikmatnya goyangan bokongnya.

“Terus.. crot.. crot.. keluar deh pejunya, masuk kedalam memek aku… makanya Nanda bisa hamil pemirsa.. Gitu lho.” lanjut Nanda.

“Wooww.. so sweet. Bagaimana rasanya waktu dientot itu Nanda, coba kamu jelasin kepemirsa TV.. Mmm.. TV apa ya? Incest chanel.. Ya, pemirsa TV Incest chanel dirumah..”

“Ah, masa’ reporter TV bisa lupa nama stasiun tvnya sendiri sih..” godaku.

“Biasalah gangguan teknis.. Ayo Nanda coba terangin ke pemirsa dong sayang..”

“Rasanya… Wooww.. sukar dilukiskan pemirsa, pokoknya nikmat.. nikmat.. nikmat.. banget deh.. Mau tau kayak gimana? Coba’in aja dirumah..” terang Nanda, sambil mengacungkan kedua ibu jarinya.

“Tentu kamu bahagia dong sayang…”

“Oww.. tentu dong, aku bahagia sekali punya papa seperti ini, punya keluarga seperti ini.. Owwhh.. thanks god..”

“Wooww… betapa beruntungnya kamu Nanda..” sambung istriku.

“Oke pemirsa.. Sekarang kita wawancarai papanya Nanda, Pak Tris..”

“Selamat siang Pak Tris… Ih, bapak tuh hebat banget deh, anak kandungnya sampe dibuntingin gitu. Apa sih yang mendorong bapak bisa melakukannya..”

“Yang pertama adalah rasa cinta seorang ayah kepada putrinya yang begitu besar, dan yang kedua putriku ini begitu seksi dan gemesin, sehingga membuat kontol saya ini serasa cenat-cenut ingin menikmati lobang memeknya.” terangku sekenanya, aku tau penjelasan seperti itu yang dia inginkan.

“Wooww.. Kegadisan putri anda ini apa juga anda sendiri yang menikmatinya?”

“Owhh.. Sudah barang tentu dong, batang kontolku sendiri yang memerawani lobang memeknya itu..” hampir tertawa juga aku mengatakan itu. Tapi masa bodo lah, toh seperti biasa, istriku membuat dokumentasi konyol seperti ini hanya sekedar untuk lucu-lucuan saja. Yang hasil rekamannya bakal kami putar dan saksikan bersama di layar tv ruang keluarga, sebagai hiburan segar sambil ketawa ketiwi.

“Wah, luar biasa sekali Pak Tris ini.. Anda benar-benar beruntung pak.. Oke kalau begitu pemirsa…” sampai disitu istriku berdiri dari kursinya, dan menaruh handycam itu pada pada ujung atas tripot yang sebelumnya memang telah disiapkan tepat disebrang meja makan.

Disetel beberapa saat posisi dudukannya dengan sesekali melihat pada layar monitor, ditekan-tekannya beberapa saat tombol pengaturannya, dan setelah mendapatkan posisi yang diinginkan, dengan berlari kecil kembali dia bergabung kemeja makan bersama kami.

Kini handycam telah nangkring diatas tripot dengan posisi lensa mengarah kepada kami. Istriku berdiri ditengah-tengah kami sambil mulai mengoceh seperti biasa.

“Tadaaaa… inilah saya pemirsa.. Seperti juga putri kami, saya juga sedang hamil lho pemirsa..” ujarnya, sambil mempertunjukan perutnya yang hamil besar itu.

“Coba tebak pemirsa, siapa bapak dari calon anak yang saya kandung ini…” sesaat matanya melirik kearah aku dan Doni.

“Yah, inilah calon bapaknya…” ujarnya, sambil menepuk-nepuk bahu Doni yang saat itu tengah duduk sambil menikmati minuman ringan.

“Mmm.. Dia adalah.. ini dia pemirsa… Doni, putra kandung kami, adiknya Nanda. Dialah yang menaburkan benih didalam rahimku, ibu kandungnya ini. Ah, aku merasa bangga dan bahagia sekali bisa mengandung anak dari hasil buah cintaku dengan anak laki-lakiku ini… Sesuatu banget gitu lho pemirsa.. Eh, Doni..

“Nah, gitu dong… Tapi kenapa juga malu-malu gitu sih… Nyantai aja dong sayang. Oh iya pemirsa… Anak saya yang ganteng ini sebenarnya banyak cewek-cewek yang naksir lho.. Tapi dia gak tertarik tuh.. Dia justru tertariknya sama mamanya… Dengan saya ini, ibu kandungnya. Saking tertariknya dia sama saya, sampai-sampai kalau dia onani itu yang dibayangin saya…

“Tapi anak saya ini betul-betul mantep lho pemirsa.. Dia pintar membuat mamanya puas lahir batin… Kontolnya itu lho pemirsa, bikin ketagian…” kali ini Doni telah memposisikan diri dibelakang istriku, sambil kedua tangannya mengelus-elus perut buncit mamanya. Sedang hidungnya tak henti-henti menciumi tengkuk dan leher “istrinya” itu.

“Tuh, liat aja pemirsa.. Begini nih, kalo udah deket sama mamanya, maunya ngegelendot ajaa… Aaww.. geli sayang, nanti dulu dong…” aksi yang dilakukan Doni membuat istriku sesekali menggelinjang kegelian, terutama saat lidah pemuda tanggung itu mulai menari-nari dilehernya.

“Eh, tunggu dulu dong sayang… aaww. Oh iya, kita berfoto bersama dulu ya, gak lama koq..” ujar istriku.

“Sudah di shooting, ngapain juga mesti dipoto lagi. Rekaman video kan lebih kongkrit ketimbang hanya sebuah gambar..” celetukku.

“Eh, jangan salah ya pa… hasil foto memiliki kekuatan tersendiri yang tidak bisa diwakili oleh rekaman video” terangnya.

“Ah, terserah kamu lah…” jawabku malas, karena aku memang kurang begitu memahami tentang hal itu.

Sejurus kemudian istriku masuk kedalam rumah. Tak sampai lima menit telah kembali dengan kamera foto DSLR ditangannya. Kamera yang kami beli saat kami berlibur ke Singapura setahun lalu, dengan harga setara dua buah motor bebek. Belum lagi beberapa buah lensa khusus yang dibeli istriku di Jakarta. Seperti lensa yang akan dipakainya sekarang ini, lensa yang dikhususkan untuk modeling, yang akan menghasilkan gambar yang tajam dan ditail, seperti di majalah-majalah mode.

“Coba kita berdiri semua. Mmm.. dimana ya.. Oke, kayaknya disebelah sini lebih baik, pencahayaannya cukup, dan gak ngelawan matahari..” pintanya, sambil menunjuk kearah samping meja makan, lalu memutar arah kameranya yang telah terpasang diatas tripot.

Beberapa kali kami berpoto bersama dengan mensettingnya secara auto shutter, sehingga kami berempat dapat bergaya dengan berbagai pose.

“Lucu juga.. Bagus bagus nih hasilnya. Tapi…” ujar istriku, sambil melihat-lihat hasil fotonya pada monitor.

“Apa lagi yang kurang, udah bagus-bagus begitu..” tanyaku, yang sebagian juga telah kulihat hasilnya saat dia mendisplay beberapa foto kami.

“Kayaknya kalo kita semua dipoto sambil telanjang, dalam keadaan aku sama Nanda lagi hamil besar begini, bakalan lucu juga kali ya, pasti unik dan eksotis deh… Oke? setuju…? Setuju dong.. Ayo guys semuanya, buka baju…” perintahnya, seolah tanpa perlu lagi mendengar persetujuan dariku, langsung saja dilucuti daster yang melekat ditubuh nya itu.

“Wah, boleh tu ma.. Kayaknya seru deh…” ujar Nanda, antusias.

Melihat semuanya mulai melucuti pakaiannya, akhirnya akupun juga mengikutinya. Ya, kini kami semua telah bugil, sehingga perut buncit kedua wanita ini tampak jelas terekspose ditempat terbuka dengan sorotan cahaya matahari, walau sebenarnya kami terlindung dibawah pohon talok yang cukup rindang. Namun tetap saja disiang hari seperti ini bahkan urat-urat berwarna kebiruan yang menghiasi perut buncit mereka terlihat begitu jelas bagai garis jalan pada peta kota.

Dan kini, tubuh-tubuh bugil kamipun menjadi objek bidikan lensa kamera yang memotret sendiri secara otomatis itu.

Setelah puas berpoto, kembali kami duduk dikursi meja makan, sedangkan kamera photo DSLR yang sebelumnya dipasang diatas tripot kini telah kembali diganti oleh perangkat handycam yang mengarah pada kami. Berbeda dengan sebelumnya dimana kami masih mengenakan pakaian lengkap, kini kami duduk dalam keadaan tanpa selembar benangpun.

“Oke, sebelum kita memasuki acara pemotongan kue tart, kini kita nyanyikan bersama lagu selamat ulang tahun…” oceh istriku, diikuti dengan bertepuk-tepuk tangan sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun.

“Selamat ulang tahun… ayo semuanya.. Sambil tepuk tangan dong..” suasanapun menjadi riuh oleh suara mereka bertiga

“Suamiku tercinta, aku ucapkan selamat ulang tahun ya, semoga sehat selalu.. panjang umur… dan juga.. panjang kontol… hi.. hi.. hi.. Asal jangan panjang tangan ya..” Ah, bisa saja istriku ini, lalu istriku mencium pipi kanan dan kiriku.

“Selamat ulang tahun papa cayang… mmuuaacchhh…” kali ini dari Nanda, yang diikuti mencium mesra pada bibirku.

“Met ulang taun ya pa…” kali ini Doni, yang menjabat, lalu mencium tanganku.

“Ayo pa.. Sekarang potong kuenya dong… Potong kuenya.. potong kuenya.. potong kuenya sekarang juga… sekarang juga.. sekarang juga..” pinta istriku, diikuti dengan menyanyikan lagu diikuti oleh kedua anakku.

Akhirnya aku potong seukuran kecil kue yang aku letakkan diatas piring kecil.

“Wah, siapa ya.. yang terlebih dulu papa berikan kue ini..?” bingungku, sambil melirik pada istriku dan putriku.

“Kayaknya kalo untuk saat ini, Nanda lebih berhak deh pa..” saran istriku.

“Serius nih. Kamu gak apa apa sayang..” tanyaku pada istriku, karena pada acara ulang tahunku yang lalu lalu, selalu istrikulah yang pertama kali kuberikan potongan kue..

“Gak apa koq, nyantai aja… Secara defakto, Nanda sekarang istrimu lho pa.. dan dia sedang hamil anakmu.. itu artinya, Nanda adalah orang yang paling spesial bagi papa. Kalo aku sih, tentunya dengan dia nih…” terang istriku, diikuti dengan memeluk dan mencium Doni yang duduk tepat disampingnya.

“Oke deh kalo begitu…” akhirnya piring kecil berisi kue tart itu kuberikan pada Nanda.

“Ah, gak seru deh… Terlalu mainstream… kuno..” celetuk istriku tiba-tiba.

“Aduuuhh… kenapa sih ma?” heranku pada istriku

“Iya, ngasih kuenya gak seru.. Oke deh, mama ajarin nih..” ujarnya, seraya mengambil piring kue yang dipegang Nanda.

“Begini nih pa… Papa olesin titit papa kekuenya lalu papa suapin langsung kemulut Nanda, begitu terus sampai kue yang dipiring ini abis.. Itu lebih romantis pa… Oke? Ngerti maksud mama kan?” terang istriku, Ah, ada aja ide konyol istriku ini.

“Oke deh, aku paham…” jawabku

“Oke deh, biar piringnya mama yang pegangin. Papa cukup olesin aja kontolnya dikue, lalu suapin ke Nanda..” terang istriku.

“Wah, seru nih… Ayo pa… Nanda dah gak sabar nih..” ujar Nanda.

Seperti yang diajarkan istriku, batang penis kubenamkan pada kue tar yang dipegang istriku, bahkan dia juga ikut membantu dengan jari telunjuknya mengolesi kebeberapa sudut batang penisku.

“Oke, udah cukup tuh pa.. lagian kayaknya Nanda dah gak sabaran deh…” batang penisku kini telah berubah wujud seperti pisang dilumuri adonan tepung dan siap untuk dimasukan kedalam wajan dengan minyaknya yang mendidih, akhirnya masuk kedalam mulut menganga putriku.

Sloopp.. clloopp… glek.. gek… slloopp.. Batang penisku yang diemut lembut praktis menjadi menegang besar. Kali ini Nanda mulai menjilati sisa-sisa kue Tart yang juga membaluri buah pelirku.

“Mmmm… lezaaatt..” ujarnya setelah penisku telah bersih oleh jilatan dan hisapannya.

Kembali penisku kucelupkan pada kue tar yang masih tersisa. Seperti sebelumnya, istriku juga membantu mengolesinya. Lalu kembali kumasukan kedalam mulut Nanda yang telah tak sabar menunggu.

“Wooowww… Romantis bukan pemirsa.. Jangan ngiri ya..” oceh istriku, dengan wajah mengarah pada handycam.

Sekitar empat kali aku menyuapi Nanda dengan cara yang ganjil tadi, habis juga kue tart yang ada dipiring kecil itu, yang tentunya telah berpindah kedalam perut Nanda.

“Makasih pa…” ucap Nanda, sambil menjilati sisa-sisa krim dibatang penisku.

“Sekarang giliran aku lho pa…” kini istriku yang menagih hal serupa.

Kali ini sepotong kue tart, dan kembali kutaruh diatas piring kecil. Kali ini Nanda yang memegangi piring tersebut, sementara aku mulai membenamkan batang penisku pada kue tart. Seperti yang dilakukan istriku sebelumnya, Nanda juga membantu mengolesi krim kue itu kepermukaan batang penisku.

Lalu, hap.. Dengan rakusnya istriku langsung melahap batang penisku.

“Mmmm… yamiii… sedap pemirsa.. bukan main…” ujarnya, saat aku tengah memolesi hatang penisku untuk yang kedua kalinya.

Seperti halnya Nanda, dalam empat kali suap, piring kecil itu telah kosong. Kini aku bersiap untuk memberikan potongan kue berikutnya kepada Doni.

“Doni juga sama lho pa…” ujar istriku.

“Maksudmu?” tanyaku.

“Iya, kamu ngasih kuenya seperti pada Nanda dan aku.. Yang kayak tadi itu lho..” betapa terkejudnya aku mendengar ide nyleneh itu. Walaupun aku termasuk suka melakukan seks yang nyleneh, tapi membayangkan batang penisku dihisap oleh sesama jenis, aku masih belum bisa

“Apa apaan sih kamu ma.. Ya enggak bisa begitu dong. Memangnya aku kaum LGBT apa?” protesku.

“Doni enggak mau ma… Emangnya aku Bang Ipul..” protes Doni

“Tuh, kamu dengar sendiri ma… Doni aja enggak mau koq..” ujarku.

“Pliss deh… Satu kali ini aja… Apa salahnya sih.. Ayo dong…” mohon istriku.

“Pokoknya Doni enggak mau ma… Gak mau.. Titik.” Kali ini Doni mempertegas keberatannya.

“Tuh ma, kita gak bisa main paksa lho.. Kamu mesti ingat dong, dikeluarga kita ini gak dibenarkan adanya pemaksaan.. Semua yang dilakukan harus ikhlas dan jujur..” terangku.

“Oke deh, mama paham…” pasrah istriku. Namun setelah itu dia seperti tengah berpikir untuk beberapa saat.

“Mmm.. tapi bagaimana kalo mama kasih usul. Kalau kue itu tetap disuapin oleh kontol papa, tapi kedalam mulut mama. Nanti dari mulut mama, baru deh kue itu mama lepehin kedalam mulut Doni. Setuju enggak?” ujar istriku.

“Kalo itu sih Doni setuju-setuju aja deh..” jawab bocah itu.

Satu suapan kue tart bersama batang penisku telah masuk kedalam mulut istriku, beberapa saat kemudian kulumannya penisku dilepasnya. Kini mulutnya itu terkatup rapat seperti menahan sesuatu didalamnya.

Sejurus kemudian dia berdiri sambil memberi isyarat kepada Doni yang masih dikursi agar membuka mulutnya. Yang diikuti oleh pemuda itu dengan menganga lebar sambil wajahnya menengadah keatas.

Dan, plehh.. tumpahlah isi dari mulut istriku kedalam mulut Doni. Glek.. glek.. Tanpa dikunyah lagi, kue tart bercampur air ludah istriku itu ditelannya dengan antusias.

“Gimana nikmat kan sayang…” tanya istriku, yang langsung diikuti dengan melumat bibir bocah itu. Untuk beberapa saat mulut mereka saling berpagutan dengan hot. Sebelum akhirnya istriku kembali mengulum batang penisku yang telah diolesi kue tar oleh Nanda. Dan kembali diulangi cara sebelumnya hingga empat kali balik, yang diakhiri oleh senyum bahagia yang terpancar dari wajah putra kami itu.

“Nah.. sekarang kamu baru tau nikmatnya kan.. Ayo bilang apa sama papa…” oceh istriku.

“Terima kasih kue tartnya pa…” ucap Doni.

“Sama-sama Doni..” jawabku.

“Terima kasih juga mama.. untuk campuran air ludahnya… he… he.. he..” ucap Doni sambil memeluk istriku dari belakang

“Ih, bisa aja kamu… Kamu tuh ya, paling suka sama ludah mama… Dasar anak jorok kamu hi.. hi.. hi..” goda istriku, dan dibalas oleh gigitan lembut Doni pada tengkuk istriku.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan