2 November 2020
Penulis — blackmore
Supartini, biasa dipanggil Tini, itulah namaku. 25 tahun umurku, berasal dari sebuah dusun dikaki gunung Merapi. Pembantu rumah tangga adalah profesiku, profesi yang telah saya lakoni sejak lima tahun terakhir, tepatnya semenjak dusun kami hancur akibat meletusnya gunung Merapi, bencana yang banyak memakan korban, baik itu harta benda maupun nyawa, termasuk nyawa suamiku Mas Ngatiman, yang membuatku menjadi janda pada usia perkawinan kami yang belum genap dua tahun, bahkan kami belum sempat diberikan momongan oleh Gusti kang gawe urip.
Walaupun hanyalah seorang buruh tani merangkap buruh bangunan, Mas Ngatiman merupakan tulang punggung bagi perekonomian kami, tepatnya aku dan simbok, wanita sepuh yang adalah ibu kandungku, sosok yang membesarkan dan merawatku seorang diri semenjak kematian bapakku diusiaku yang kelima.
Ah, Mas Ngatimanku… Sudah beberapa kali kuingatkan untuk lupakan saja kerbau dan kambing kita itu, jelas-jelas sudah ada larangan dari petugas untuk tidak berada dikawasan dusun kita itu, tapi apa yang kamu bilang “Cuma itu harta berharga yang kita punya tin, terutama kerbau, tanpa hewan itu bagaimana kita bisa menggarap sawah nanti. Biar aku tinggal dirumah agar bisa memberi makan dan menjaga ternak-ternak kita, kamu sama simbok saja yang tinggal dipengungsian.. nanti kalau situasinya telah membaik aku jemput kalian..” itu yang dulu dikatakannya, namun Gusti kang murbeng dumadi berkehendak lain, alih-alih dapat menyelamatkan ternak-ternak kami, justru dirinyapun tewas terkena terjangan awan panas, meninggalkan kami yang akhirnya hidup kehilangan sandaran, dalam artian sandaran kasih sayang seorang lelaki yang melindungiku, maupun sandaran ekonomi yang seharusnya membuatku dan simbok bertahan hidup.
Mengikuti ajakan temanku, akhirnya aku pergi ke Jakarta ini untuk mengadu nasib. Sebenarnya aku lebih tertarik menjadi pelayan toko seperti Narti temanku, namun apa daya aku tak memiliki ijasah SMU seperti dirinya, sehingga hanya pekerjaan sebagai pembantu rumah tanggalah yang dapat menampung wanita yang hanya lulus SD seperti diriku ini, padahal kalau dari segi penampilan aku jauh lebih menarik ketimbang temanku itu, mmm..
Didusunku dulu aku termasuk bunga desa yang banyak membuat hati para pemuda desa terpincut. Wajahku yang oval dan dagu bak lebah bergantung serta hidung yang bangir membuat wajahku mirip bintang film tahun 90an Paramita rushadi, belum lagi tubuhku yang bertinggi170 cm, yang tentunya tergolong cukup tinggi untuk seorang wanita, tubuh seksi dan montok, tak kalah dengan bodynya Nikita Mirzani atau Aura kasih…
Sekali lagi nuwun sewu, bukan maksud saya untuk menyombongkan diri, tapi itu semua menurut pengakuan teman-temanku, dan setelah aku timbang-timbang saat aku bercermin dikaca lemari didalam kamar dengan tanpa selembar benangpun, sepertinya yang dikatakan mereka itu tidaklah berlebihan, kecuali warna kulit disekitar tanganku saja yang agak hitam karna sering terkena matahari atau panas api kompor saat memasak, sangat kontras dengan warna kulit tubuhku yang asli yang kuning cenderung putih, sehingga lengan atas dan bawah terkesan belang hitam putih.
Sekali waktu pernah ada seseorang yang menawarkan padaku untuk bekerja padanya dengan hasil yang jauh lebih besar ketimbang seorang PRT, katanya penampilanku terlalu mubajir kalau hanya untuk digunakan sebagai pembantu rumahan, dia bilang pekerjaan yang ditawarkan hanyalah menemani pria-pria berkantong tebal.
Namun menurut cerita teman seprofesiku, wanita gemuk separuh baya yg penampilannya bak toko perhiasan berjalan itu adalah seorang mucikari alias germo yang mencari keuntungan melalui wanita-wanita muda yang dijadikannya sebagai perempuan penghibur kelas atas. Tentu saja aku menolaknya, aku bukannya menampik rejeki yang lebih baik, sebagai manusia aku juga mempunyai mimpi yang ingin aku wujudkan, mimpiku adalah mendapatkan uang yang cukup untuk membeli sawah dan kerbau dikampung halaman, sehingga dapat menunjang perekonomianku dan simbok tanpa aku perlu lagi untuk bekerja di Jakarta.
Pekerjaanku sebagai PRT memang terdengar sulit untuk dapat mewujudkan mimpi itu, untuk sekarang ini saja, harga sawah yang tidak terlalu luwas nilainya sudah mencapai angka ratusan juta, sehingga kalau dihitung secara matematis sepertinya gajiku ini kalau dikumpulkan hingga puluhan tahunpun masih tak mungkin dapat membelinya, belum lagi aku harus menyisihkan uangku untuk simbok dikampung.
Tapi bukankah tak ada salahnya kita bermimpi. Orang bijak bilang bermimpilah setinggi langit, karna jika engkau jatuh, maka engkau akan jatuh diantara bintang-bintang. Ketimbang aku bermimpi yang tanggung-tanggung atau setengah-setengah, bisa-bisa kalau aku terjatuh maka cuma akan temangsang dipohon kelapa, iya kalau pohon kelapa, wong di Jakarta ini sudah jarang pohon kelapa, nah kalau tiang listrik, bisa modar aku kesetrum, gosong.
Namun kalau mimpi itu dapat terwujud dengan harus menjual harga diriku, tentu saja aku menolaknya mentah-mentah, karna hanya inilah harta satu-satunya yang aku miliki, kalau juga harus aku jual, entah apalagi yang aku punya. Karna bagiku memek bukan untuk dijual, bukan karena aku takut dosa. Tidak munafik, walau tidak bisa dikatakan sering, kadang-kadang akupun pernah mencari kepuasan seksual, namun tentunya berdasarkan suka sama suka.
Kalau yang akhir-akhir ini, aku melakukannya dengan satpam komplek. Dulu waktu bekerja dimajikan yang sebelumnya, aku juga pernah melakukannya dengan anak majikan, atau dengan suami majikan, tapi itu dulu, dan itu semua sama sekali aku tak meminta bayaran, karena yang aku inginkan hanyalah kepuasan, sehingga aku juga pilih-pilih orang, gak asal orang yang mengajak lalu aku terima, tentu saja orang itu harus sesuai dengan seleraku, kalau ganteng sih relatif.
Dan akupun juga tak ingin jika harus mengeluarkan uang untuk kepuasan yang aku dapat itu, seperti satpam komplek itu, dia pikir kalau aku suka ML dengannya aku ini naksir dia, alaaaahh.. enak aja, wong dia saja sudah punya anak istri, aku bukan type wanita yang suka merebut suami orang.
Dan kurang ajarnya lagi, dia pernah mencoba minta uang sama aku dengan alasan untuk ganti hpnya yang jadul, prreeetttt… tentu saja tak aku berikan, dan dengan ketus aku maki dia “Heh, mas Yono..! Situ jangan coba-coba ngeretin saya ya, kamu pikir aku ini naksir sama sampeyan, cinta sama sampeyan… Sampeyan ngaca dulu, inget tuh sama anak bini sampeyan… inget ya, saya cuma butuh kontol sampeyan, itupun kalau saya lagi horny, kalau tidak ya emoh.. Jadi sampeyan jangan besar kepala… Jangan sampeyan coba-coba manfaatin saya, seperti halnya saya juga gak pernah manfaatin sampeyan… Yo wis, mulai sekarang saya gak butuh lagi kontol sampeyan…”
Dan sejak saat itu, lobang memekku aku nyatakan telah tertutup bagi batang kontolnya, aku tak perduli dia berkali- kali merengek meminta maaf, aku malah sengaja apabila melintas pos satpam saat ingin kepasar aku lenggak-lenggokan bokongku yang montok dan sintal ini didepannya. Dan kini yang dia bisa lakukan cuma menatap bokongku yang terbalut celana legging dengan wajah mupengnya.
Tak jauh berbeda dengan wanita-wanita cantik yang rela nikah dengan pria kaya dengan tujuan untuk dapat hidup mewah sekaligus agar status sosialnya juga ikut terdongkrak, walaupun sebenarnya dia tidak mencintai pria itu. Sehingga merakalah yang patut disebut sebagai wanita murahan dan tak lagi punya harga diri, berbeda dengan wanita yang sekedar mencari kepuasan birahi seperti aku ini, yang terpenting aku tak merusak rumah tangga orang, akupun juga tak pernah memberi inisiatif terlebih dulu, selalu para lelaki itu yang terlebih dulu menggodaku.
Dan yang paling penting lagi aku selalu mempertimbangkan kebersihan dan kesehatan, dalam artian sebisa mungkin aku selalu meminta pria itu menggunakan kondom saat ML denganku, kalau dia tidak mau ya sudah, tidak ada ML, disamping aku tak ingin terkena penyakit, aku juga tak ingin jika harus menanggung beban kehamilan atas perbuatanku itu.
Selama lima tahun aku menjalankan profesiku sebagai pembantu rumah tangga, sudah beberapa kali pula aku berganti-ganti majikan, rata-rata dari mereka adalah orang-orang terpandang, mulai dari artis sampai pejabat negara, dirumah merekalah aku bekerja. Satu alasan yang paling dominan yang membuatku harus berganti-ganti majikan adalah faktor penampilanku, istri-istri majikanku kerap cemburu denganku, mereka kawatir suami mereka akan terpincut padaku, sejujurnya aku tak punya niat sedikitpun untuk menarik atau mencari perhatian dari mereka, apalagi berniat untuk merusak tumah tangga mereka.
Sekali lagi aku bukanlah wanita bermental pelacur yang matre, sehingga walaupun pria-pria itu membujukku dengan iming-iming uang, aku tak akan begitu saja tergoda kalau memang pria itu tidak sesuai dengan selera seksualku. Terlebih salah seorang mantan majikanku dulu, seorang pria setengah baya yang bertubuh tambun, perut buncit, serta wajah bagai…
mmm.. maaf, seekor babi, yang adalah suami dari seorang tokoh wanita yang kerap memperjuangkan hak-hak perempuan, atau entah apalah namanya, pokoknya wanita separuh baya itu sering aku lihat tampil dilayar tv, membicarakan tentang persamaan hak wanita, tentang emansifasi wanita, dan.. Ah, enggak taulah, pokoknya yang dibicarakan itu selalu yang membela kaum wanita gitu lho.
Aku masih ingat dalam suatu pembicaraan dia pernah berbicara bahwa dia tidak pernah menganggap pembantu rumah tangga itu sebagai pembantu, “Saya selalu menempatkan mereka sebagai asisten, sehingga saya lebih suka menyebut mereka dengan sebutan asisten rumah tangga, ketimbang pembantu rumah tangga…
“Saya menganggap asisten rumah tangga itu bagian dari keluarga…” ucapnya lagi, sebuah ungkapan yang mendapat sambutan tepuk tangan yang cukup hangat dari penonton.
Tapi sebetulnya… Ah nuwun sewu, bukan maksud saya untuk nyinyir, karna sebagai pembantu rumah tangganya saya tak merasa pernah diajak makan bersama satu meja olehnya, dia pernah bilang “Heh, Tini.. Jangan pernah kamu makan duluan ya, sebelum kami semua selesai makan..” itu yang aku tau yang pernah dia katakan, sehingga aku selalu memegang peringatannya itu, dan tak berani untuk melanggarnya, juga saat makanpun aku tak pernah duduk dimeja makan, melainkan didapur atau didalam kamarku.
Pernah satu kali aku menyeterika blusnya, yang menurutnya hasil seterikaanku itu kurang berkenan baginya, hingga dengan bengisnya ia memaki “Tiniiiii… lu kalo nyetrika yang bener dong… ini lipetan lengannya bukan disini, kenapa disini yang elu seterika, toloooll.. Awas sekali lagi lu bikin begini, muka’ lu entar yang gua seterika sekalian…
Dan yang saya heran lagi, dia dan suaminya yang mirip, mmm… maaf, babi itu, kalau dirumah mereka tak saling bicara, tidurpun pisah kamar, tapi kalau tampil di tv, aduhaaaiii… layaknya pasangan yang selalu rukun dan tak pernah bermasalah, dan memang itu yang masyarakat tau.
Ah, sudahlah… yang sudah ya sudah, itukan masa lalu, toh akhinya aku diberhentikan oleh perempuan itu, penyebab utamanya dia jengkel karna suaminya yang mirip babi itu selalu menatap tubuhku dengan pandangan mesum.
Yang penting, majikanku yang sekarang ini orangnya baik, tak pernah ngomel, apalagi memaki, dan yang paling membuatku semakin kerasan bekerja disini adalah setiap hari minggu aku diberikan kelonggaran dalam pekerjaan, yaitu aku hanya diwajibkan menyiapkan sarapan pagi saja, setelah itu aku free, boleh keluar rumah hingga sore hari baru pulang, atau kalaupun aku dirumah aku tidak diwajibkan untuk bekerja, karna untuk hari minggu majikan perempuankulah yang masak, intinya mereka memberiku libur pada satu hari itu.
Disamping itu, majikanku ini juga memberi kesempatan padaku dalam tiga bulan sekali untuk pulang kampung, plus dibelikannya tiket kereta api pulang pergi, sehingga aku bisa menjenguk simbokku selama dua hari dirumah, Ah, aku sungguh bersukur masih bisa mengopeni simbokku ini walaupun beliau harus tinggal sendirian dirumah, bagi kami nasib simbok masih tetap lebih beruntung ketimbang nasib yang menimpa Mbah Ginem, wanita tua tetanggaku itu harus hidup sebatang kara sepeninggalan suami dan anaknya akibat bencana Merapi, sehingga dia harus bersusah payah menyambung hidup dengan cara mengumpulkan ranting-ranting kayu dihutan untuk kemudian dijual sebagai kayu bakar kepada penduduk, seberapa banyaklah tenaga perempuan tua itu dapat membawa kayu bakar yang hanya dipanggul oleh punggung tuanya itu, sehingga untuk makan sehari-haripun sering tidak mencukupi, sehingga saat aku pulang kampung kusempatkan untuk memberi sedikit rejekiku padanya.
Seperti halnya di Jakarta, aku juga sering memberikan sisa makanan dari rumah majikanku yang tentunya masih layak konsumsi kepada beberapa gelandangan atau orang gila yang biasanya hidup dibelakang pasar, itu sering kulakukan saat pagi hari belanja kepasar. Semua yang kulakukan itu bukan karena aku mengharapkan pujian dari orang lain, bahkan bukan pula karna aku berharap untuk mendapatkan pahala, yang aku lakukan adalah semata-mata agar orang-orang yang kelaparan atau orang yang sangat membutuhkan itu setidaknya bisa sedikit teratasi rasa laparnya, karna memang hanya sedikit itu yang bisa kubantu.
Dan aku bukanlah seperti beberapa orang kebanyakan itu, yang mengatakan ikhlas bersedekah karena sesuatu yang diyakininya, dengan harapan mendapatkan balasan pahala yang setimpal, sebagai bekal dihari akhir kelak, itu katanya. Ah, wong ikhlas koq masih mengharapkan balasan, bukankah seharusnya yang namanya ikhlas itu benar-benar tak mengharapkan apapun, Bahkan mereka tak perduli apabila uang yang disedekahkannya itu diselewengkan oleh orang yang tak bertanggung jawab.
Menurutnya begini “Terserah dia, mau diapain keq uangnya itu, itukan urusan dia, kalau diselewengkan dialah yang berdosa, yang penting aku telah ikhlas untuk bersedekah, dan aku bersedekah ikhlas atas namaNya… sehingga untuk itu aku yakin kalau aku tetap mendapat pahala…” bukankah kalau begitu namanya egois, yang diharapkan hanyalah pahala, sedangkan pihak yang seharusnya menerima bantuan masih tetap kelaparan, alias penyalurannya tidak tepat sasaran, dan itu tak diperdulikan oleh si dermawan itu, kalau begitu dimana rasa kemanusiaannya, sehingga aku berkesimpulan orang-orang yang berfikiran seperti itu, disaat kepercayaan mereka kepada yang diyakininya itu luntur, otomatis mereka tak akan peduli lagi untuk menolong sesamanya yang kekurangan, karena yang ada dikepalanya hanyalah pamrih.
Ah, mengapa juga aku harus ngelantur membahas yang begituan.. Kembali kemajikanku, Oh iya, majikanku itu sudah cantik, baik pula, suaminyapun baik, namanya pak Trisno, orangnya tampan dan gagah, begitu pula anak-anaknya yang satu cantik dan yang satu tampan.
Tapi yang membuatku tak habis pikir adalah… Ah, kembali aku nyinyir, sebetulnya aku tak enak jika harus menceritakan tentang keganjilan keluarga itu, karena bagiku mereka begitu baik. Aku katakan ganjil karena mereka memiliki kebiasaan melakukan hubungan seks sekeluarga, ya sekeluarga, bersama dengan anak-anak mereka sekalian, saling toblos tanpa pandang bulu…
Edan tidak? Aku berani mengatakan ini karena aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, walaupun dengan cara mengintip dari sela-sela jendela kamarku. Oalaaahhh… Gusti, lakon apalagi yang kini tengah kau pentaskan, lha wong anak sama bapak, anak sama ibu, kakak sama adik, lha koq saling berhubungan badan seperti itu, dan eladalaaahh…
cara mereka berhubungan badan itu, sungguh gak umum, lha wong lubang silit kok ditoblos, apa lubang memek mereka itu masih tak cukup untuk melampiaskan birahi mereka itu, dan yang lebih gila lagi pakai acara minum-minum air kencing segala, apa begitu cara orang-orang kaya memperoleh kenikmatan, tapi koq kenapa aku suka sekali ya mengintip pesta edan-edanan yang meraka lakukan di hampir tiap malam itu, tapi kalau aku gak suka kenapa juga aku begitu terangsang melihat aksi mereka, Ah, Pak Tisno yang ganteng dan gagah, seandainya batang kontolnya yang besar itu merojok lobang memekku, agghhhh…
Dan Mas Doni, brondong ganteng itu, mmmm… andai saja batang kontolnya itu aku emut, mmmhhh… Ah, sudah hampir satu bulan lobang memekku ini tak tersentuh oleh toblosan batang kontol, ya, semenjak aku putuskan hubunganku dengan satpam tengik itu, praktis semenjak itu pula aku tak memiliki gebetan yang bisa kupinjam batang kontolnya untuk menggaruk “gatel” dilobang memekku ini.
Dan, ah.. biasanya jam-jam 9 malam seperti ini mereka sedang asik-asiknya berasik masuk, lebih baik aku ngintipin mereka, dari pada kegatelan begini tapi gak ada lawan, paling ujung-ujungnya swalayan, alias nyolok-nyolok lobang memekku dengan jari tangan, gak apalah, ketimbang manyun.
Ah, sial, ruang keluarga kelihatannya sepi-sepi aja nih, apa malam ini mereka enggak pesta, hmmm… biasanya kalau enggak diruang keluarga berarti didalam kamar utama, yaitu kamar Pak Tris dan Ibu Tris, itu artinya jendela kamarku ini tak ada gunanya, Ah, lebih baik aku ngintip dari luar kamar utama, sebelumnya juga pernah aku lakukan, jendelanya biasanya tidak mereka tutup rapat, sehingga aku masih bisa ngintip dari sela-sela bagian pinggirnya.
******
Yesss… betul, tampaknya mereka tengah asik-asiknya, dan wooww.. batang kontol Mas Doni sedang menghantam memek mamanya dalam posisi nungging, sedangkan Pak Tris mencoblos kontolnya didalam lobang silit Mbak Nanda juga dengan posisi menungging, dan dua perempuan yang sama-sama nungging itu saling berciuman, ah, lesbian pula mereka, ih, ternyata bukan sekedar saling ciuman, kini mereka justru saling meludah kemulut lawannya, dan saling telan air ludah, benar-benar edan memang.
Kini Mas Doni telah membuka matanya, dan mengapa dia berhenti, dan mengapa pula menoleh kearah jendela, tepatnya kearahku.. Astaga… jangan-jangan? Ah, sial.. betul sepertinya dia mengetahui kebetadaanku… asuuuu.
“Heh… siapa itu..! itu mbak Tini kan? Ngapain disitu Mbak…” teriaknya, ah, aku tertangkap basah.. dan tak ada waktu lagi untuk menghindar, kaburpun tak ada gunanya, terpaksalah aku hanya terpaku disini sambil menunduk, bersamaan dengan itu pula mereka menghentikan aktifitasnya itu, namun sepertinya kini mereka tengah saling berbicara, atau berdiskusi, entah apa yang mereka diskusikan, suara mereka pelan, dan separuh berbisik, hanya sesekali mereka menengok kearahku yang masih berada dibalik jendela yang separuh terbuka itu.
Tiba-tiba terdengar suara derit pintu terbuka “Mbak Tini, disuruh masuk… kamu ini, ngintip aja kerjanya… ayo cepetan…” ujar Mbak Nanda, yang hanya mengeluarkan wajahnya dari sisi daun pintu yang dibuka.
Dengan langkah gugup aku memasuki kamar majikanku itu, disana mereka semua masih dalam keadaan bugil.
“Heh, Mbak Tini… kita tadi udah sepakat bahwa Mbak Tini harus dihukum atas perbuatan yang telah Mbak Tini lakukan… Iya kan ma?” terang Mbak Nanda, sambil berjalan mengelilingiku yang hanya berdiri tertunduk ini, Ah, entah hukuman apa yang akan mereka berikan padaku, semoga saja bukan pemecatan.
“Iya dong… harus, namanya juga ngintipin orang yang lagi asik-asikan, masa’ enggak dihukum sih…” balas, Bu Tris, yang sedari tadi hanya berdiri sambil bersedekap dengan melipat kedua tangannya didada.
“Heh, Mbak Tini sebelumnya juga udah sering ngintipin kami kan? Hayo ngaku… jangan bo-ong lho, kalo bo-ong hukumannya tambah berat…” bentak Mbak Nanda lagi.
“I.. iya Mbak Nanda, saya memang sebelumnya juga pernah ngintipin..” jawabku, apa adanya.
“Memangnya kenapa koq kamu sampai sering-sering ngintipin kami?” Kali ini, Ibu Tris yang tanya.
“Ayo… jawab tuh yang jujur, kenapa kamu sering intipin kami… awas jangan bo’ong..” sambung Nanda
“Mmmm… a.. anu… mmm… anu…” ujarku gugup, entah aku harus jawab bagaimana, lha wong aku mengintipi mereka karena memang aku suka, dan kepingin juga merasakannya. Apa mungkin aku harus menjawab seperti itu.
“Ayo jawab yang jujur… jangan anu-anu saja… Apa karena kamu juga suka ya? kamu kepingin juga ngerasain yang kami lakukan.. hah? Jawab yang jujur…” tekan Bu Tris
“Iya, ayo jawab yang jujur… Jangan-jangan Mbak Tini kepingin juga ya? Awas ya kalau mbak Tini gak jujur, hukumannya bakalan tambah berat..” sambung Mbak Nanda.
Aduh, modar aku.. Gimana ini, terpaksa aku harus terus terang nih, kayaknya mereka tau kalau aku sebenarnya juga kepingin ngerasain seperti mereka, bisa menikmati batang kontol Pak Tris dan Mas Doni, duh, kedua lelaki ganteng itu hanya santai-santai saja diatas ranjang, Pak Tris justru hanya tersenyum-senyum sambil duduk dibibir ranjang, sedangkan Mas Doni berbaring santai, dan Ah, batang-batang kontol mereka masih saja berdiri tegak, dan ukurannya jauh lebih besar dibanding kepunyaan Mas Yono, satpam komplek itu.
“Iya nih, pasti Mbak Tini kepingin ngerasain juga kan? Buktinya tuh, dari tadi mata Mbak Tini ngelirik kekontol papa sama Doni aja… Ayo ngaku, mbak Tini kepingin itu kan…?” tekan Mbak Nanda lagi, diikuti dengan menunjuk kearah selangkangan Mas Doni dan Pak Trisno.
“Sekali lagi, kami ingin kamu itu jujur ya tin… Ingat, sinar matamu tidak bisa dibohongi kalau kamu memang mengharapkan itu kan?” potong Bu Tris, juga diikuti dengan menunjuk kearah Pak Tris dan Mas Doni. Waduh, apa iya toh.. Apa perasaan kita bisa dilihat dari sinar mata? Apa mataku ini menheluarkan sinar?
“I… iya sa… saya memang suka…” terpaksalah aku harus jujur, sepertinya memang sulit untuk menyangkalnya.
“Suka apa?” bentakMbak Nanda, sambil tangannya menepak lenganku.
“Suka kontol… Eh, maaf..” jawabku dengan spontan karena sedikit kaget akibat bentakan Mbak Nanda
“Iya, kontol siapa? yang jelas dong.” sambung Mbak Nanda lagi.
“Kon.. Eh, anunya Pak Tris sama Mas Doni..” jawabku
“Nah, gitu dong… Berarti kamu memang suka kan? karena kamu memang suka sama Doni dan papanya, dan kepingin ngerasain kontol-kontol mereka, maka saya putuskan bahwa hukumannya adalah, kamu harus dikeroyok oleh mereka…” papar Bu Tris, Waduh, dikeroyok? Apa ini maksudnya? Apa aku mau dipukuli sama Pak Trisno dan anaknya itu.
“Duduk..!” bentak mbak Nanda, sambil tangannya menekan pundakku dengan kuat, sedang kaki kanannya menyepak engkol kakiku dari belakang, yang membuatku jatuh terduduk bersimpuh dilantai.
Betepa terkejutnya aku saat Mbak Nanda yang berjongkok dibelakangku menyibak mulutku dengan kedua tangannya hingga mulutku terbuka lebar. Belum lagi aku paham apa maksud Mbak Nanda melakukan itu, tiba-tiba Bu Tris memberi isyarat dengan menepuk tangannya, yang bersamaan dengan itu Pak Tris dan Doni mendekat kearahku.
“Ayo guys… Saatnya untuk eksekusi..” ujar Bu Tris, diikuti dengan menjentikan ibu jari dan jari tengahnya.
“Ayo… siapa dulu nih, yang mau nyoblos mulut Mbak Tini…” ujar Mbak Nanda. Nyoblos? Mulutku mau ditoblos, dengan apa?
“Aku dulu aja deh..” Belum terjawab rasa penasaranku, Mas Doni telah berdiri didepanku dengan batang kontol mengarah didepan wajahku.
“Ya sudah, kalo gitu langsung hajar aja don..” ujar Mbak Nanda. Langsung hajar? Jangan-jangan…
Haauuupphhh… benar seperti yang aku kira, Mas Doni menghujamkan batang kontolnya kedalam mulutku yang menganga karena dibengkek oleh Mbak Nanda.
Mmmmuugghhh… ghlloogghh… ghloogghh… ghlloogghh… haauuufffff… Sial, kenapa kasar sekali sih Mas Doni ini, sebelumnya aku juga pernah oral seks, tapi ya tidak seperti ini, kalau begini caranya bisa kewalahan aku. Aduh, mana ujung kontolnya sampai menyodok-nyodok tenggorokanku, bisa muntah aku kalau begini caranya.
“Yeeeeeeee… Ayo terus yang kenceng don…” sial, gadis abg ini sepertinya malah senang, dan Ah, kini Bu Tris juga ikut-ikutan menjambak rambutku dan menekan-nekan kepalaku keselangkangan Mas Doni.
“Ini nih, hukuman untuk tukang ngintip… ayo don, lebih kuat lagi… lebih kenceng…” ujar Bu Tris.
Tangan Mbak Nanda kini tak lagi membengkek mulutku, kini tangan itu justru melucuti daster yang melekat ditubuhku, hingga menyisakan kutang dan celana dalamku.
“Udah, telanjang aja sekalian… kita semua juga telanjang koq” ujar Mbak Nanda, yang kini juga mulai melepaskan kutang dan celana dalamku.
“Woooww.. ternyata badan Mbak Tini oke juga ya, engak nyangka nih… Eh, papa.. Gimana nih, body Mbak Tini oke enggak?” ujar Mbak Nanda, yang hanya dijawab dengan acungan ibu jari tangan oleh Pak Tris. Ah, ternyata Pak Tris juga mengakui keindahan tubuhku ini.
Haduuhhh.. Mas Doni ini koq semakin ganas aja sih membombardir mulutku, ujung kontolnya yang terus menerus menyodok-nyodok tenggorokanku membuat air mataku keluar seperti menangis, air liur sudah tak terkira lagi begitu banyak yang memenuhi dagu dan pipiku, belum lagi yang menggenang hingga kebagian tetek sampai keperut, yang akhirnya jatuh menggenangi lantai.
Kini kedua tanganku ditekuk kebelakang oleh Mbak Nanda, lalu dipeganginya dengan kuat. Sial ternyata bukan hanya dipegangi, kini malah diikatnya dengan sarung pembungkus bantal guling, praktis aku tak bisa lagi berkutik, bagaikan maling yang diborgol oleh pak polisi.
Sekitar lima menit sudah batang kontol Mas Doni mengerjai mulutku, sepertinya aku sudah mulai terbiasa menghadapinya, terus terang aku mulai menikmatinya, Ah, batang kontol mas Doni yang selama ini hanya bisa aku hayalkan saja, akhirnya kini berada didalam mulutku, semoga saja tidak hanya sekedar seks oral, tentu saja aku mengharapkan lebih, kalau bisa sih lobang memekku ini nih, sudah sebulan lebih enggak kemasukan kontol, duh sungguh ngarep aku…
“Ayo pa, siap-siap… sekarang giliran papa nih..” ujar Bu Tris kepada Pak Tris yang masih duduk dibibir ranjang.
Kini batang kontol Pak Tris yang menggantikan kontol anaknya itu, sedikit lebih besar ukurannya ketimbang kepunyaan anaknya. Seperti yang dilakukan Doni, Pak Tris juga menghujami mulutku dengan kasar dan cepat. Bahkan Bu Tris yang kini berjongkok dibelakang Pak Tris ikut menekan-nekan bokong Pak Tris, ditambah lagi Mbak Nanda menjambak rambutku sambil mengguncang-guncangkan kepalaku maju mundur dengan keras.
*******
“Sudah pa… cukup dulu” pinta Bu Tris, sambil menarik pinggul suaminya itu hingga terlepas batang kontolnya dari mulutku.
Kini Bu Tris memdekatiku, ditatapnya sejenak wajahku yang berlumuran oleh air ludahku sendiri, sebelum akhirnya dijambaknya rambutku.
“Heh, Tini… Gimana, enakkan? Enak enggak?” tanyanya.
“Mmm… i.. iya bu… enak koq..” jawabku, sejujurnya hukuman yang telah mereka berikan padaku tadi memang aku nikmati, sehingga kalau mereka tanya seperti itu, ya tentunya aku jawab enak.
“Wah, ternyata Mbak Tini suka juga ma… Kirain cuma Nanda saja yang suka digituin” celetuk Mbak Nanda.
“Enak kan? Apa enggak enak tuh, abis ngintipin orang ngentot, dihukum… Eh, hukumannya malah bikin kamu keenakan.. Dasar tukang ngintip, cuiihhh…” cibir Bu Tris, diikuti dengan meludahi wajahku dengan masih menjambak rambutku. Sial betul, wajahku yang sudah belepotan ludahku sendiri masih ditambah lagi dengan ludahnya.
“Mau dientot kan? Kamu mau disetubuhi sama mereka berdua kan? Ayo jawab…!” bentak Bu Tris.
“Iya… iya saya mau bu…” jawabku, ah, memang itu yang aku harap.
“Mau apa?” bentak Bu Tris lagi
“Mau disetubuhi bu, dientot sama Pak Tris, juga sama Mas Doni..” jawabku
“Bagus.. Doni kesini kamu nak..” panggil bu Tris pada Doni, diikuti dengan mendorong keras kepalaku. Kedua tanganku yang masih terikat kebelakang membuat diriku tak dapat menjaga keseimbangan, hingga aku tersungkur dengan posisi menungging dengan pipi sebelah kiriku sebagai tumpuan dilantai.
“Kamu entot tukang ngintip ini dari belakang..” kudengar Bu Tris memberi perintah, yang beberapa detik setelah itu kurasakan dua buah tangan meremas bokongku, dan uugggghhhhh… kurasakan benda keras berukuran besar menelusup masuk kedalam lobang memekku, Aaaagghhhh.. rupanya Mas Doni menusukan kontolnya kedalam memekku yang memang sudah lebih dari sebulan kegatelan ini.
Aagghhh… kini Mas Doni mulai menggoyangkan batang kontolnya maju mundur, mmm… sedapnya, benar-benar sip, ukurannya yang gede dan panjang dapat kurasakan didalam lobang memekku, beda sekali dengan kepunyaan si satpam yang bertingkah itu. Wah, nih anak masih SMP saja barangnya udah segede gini, gimana nanti kalau sudah dewasa ya.
“Aaaaggghhhhh… memek Mbak Tini enak banget nih, kayak ngempot-ngempot gitu ya… huukkhh… huukhh… huukkhh..” oceh Mas Doni, sambil terus memacu bokongnya maju mundur. Belum tau dia, kalau semua cowok yang pernah nyicipin barangku ini pasti berkomentar seperti itu, biar dia merasakan bagaimana nikmatnya memek si empot ayam kepunyaanku ini.
“Beneran don…?” tanya Pak Tris dengan penasaran
“Iya pa, betul… nanti juga papa ngerasain… tapi nanti dong, sabar dulu ya pa..” ujar Mas Doni, sambil terus menggoyang bokongnya.
Bu Tris yang sebelumnya hanya menyaksikan aksi anak laki-lakinya itu menyetubuhi aku, tampak menarik kursi didepan meja rias, lalu diletakan didepanku, seraya dihempaskan bokong telanjangnya diatas kursi dengan santainya. Dan… Ah, sial, jempol kakinya dijejalkan kedalam mulutku.
“Nih, ayo isep nih jempol..” perintahnya, terpaksalah aku harus mengulum jempol kaki majikan perempuanku ini. Kuakui jari-jari kakinya itu memang indah, bersih dan terawat, kuku-kukunyapun dipoles dengan pewarna kuku, sehingga terlihat mengkilat. Tapi walaupun demikian, kalau untuk dimasukan kedalam mulutku tentu saja tak layak, tapi entah mengapa jempol kaki itu tetap kukulum bagai mengemuti permen lolypop.
Sementara kaki kirinya kuemuti, kaki kanannya digunakan untuk menginjak kepalaku, atau sesekali telapaknya menampar-nampar pipiku.
Dan entah darimana asalnya, tiba-tiba ditangan Mbak Nanda telah memegang rantai, entah itu rantai apa, tampilannya seperti rantai yang digunakan oleh beberapa warga komplek untuk mengikat leher anjing peliharaan mereka saat jalan-jalan berkeliling komplek. Rantai sepanjang sekitar dua meter dengan ujung dan pangkalnya terdapat sabuk kulit berwarna hitam.
“Hey, anjing… Enak ya dientot sama Doni…? Enak enggak?” hardik Mbak Nanda, sambil berdiri dengan tangan memegang hendel rantai. Ah, sial.. sesekali gadis abg itu menyentak-nyentak hendel rantai itu, yang membuat leherku serasa bagai tercekik.