2 November 2020
Penulis —  blackmore

Keluarga Pak Trisno

Seperti biasanya, pukul enam pagi aku telah terbangun. Setelah mandi, sedikit roti untuk pengganjal perut, kubawa segelas kopi yang telah dihidangkan Tini pembantuku kedepan TV diruang keluarga.

Perhatianku kini tertuju pada tayangan berita di Metrotv, walau tidak sepenuhnya… sebagian pikiranku masih teringat pada peristiwa malam tadi, peristiwa dimana penisku dimasturbasi oleh anak gadisku sendiri. Ah, entah lakon apa lagi yang akan terjadi antara aku dan Nanda berikutnya. Jujur belum pernah aku merasakan orgasme senikmat dan sedahsyat malam tadi, hingga spermaku menyembur begitu kuat dan banyak.

Masih terbayang bagaimana menggemaskannya Nanda saat duduk mengangkang dihadapanku sambil mengocok penisku, betapa menggodanya dia saat itu. Ah.. seandainya aku bisa memperoleh lebih dari sekedar gosokan tangannya. Tapi? Baiklah, aku kira tidak perlu sejauh itu. Semoga ini adalah yang terakhir, setelah itu semua ini akan tinggal menjadi rahasia kami berdua, selesai..

Dari sebelah kananku kulirik sosok gadis remaja menuruni tangga, siapa lagi kalau bukan Nanda anak gadisku itu. Rambutnya masih dalam balutan handuk, sepertinya dia baru saja selesai mandi, dan hanya mengenakan gaun tidur tipis berbahan satin tanpa lengan.. Bahannya yang tipis tak dapat menyembunyikan lekuk tubuh didalamnya yang masih dibungkus lingrie dengan setelan bra berwarna hitam.

Sepanjang melangkah, perhatiannya tak pernah lepas dari ponselnya, bahkan sampai dirinya duduk disampingkupun seolah diriku dianggapnya tak ada. Sesekali bibir itu tersenyum sambil menarikan jari-jari lentiknya pada monitor ponsel, dan dengan masih tak memperdulikan diriku, diraihnya cangkir kopi diatas meja, cangkir kopi milikku yang isinya masih tersisa separuh langsung diseruputnya tanpa sisa.

Ah, dasar anak kurang ajar.. dan lebih kurang ajar lagi saat dengan seenaknya meraih remot tv dan menggantinya dengan chanel yang lain. Terpaksa kini perhatianku harus rela tertuju pada tayangan infotement yang masih didominasi oleh berita seputar kematian presenter pria feminim itu.

Smartphone miliknya kini diletakan diatas meja. Sepertinya urusannya dengan ponsel telah selesai. Gaunnya yang tinggi membuat paha mulusnya tersingkap saat dalam posisi duduk seperti itu, terlebih dengan seeanaknya salah satu kakinya dinaikan diatas sofa.

Ditatap sejenak diriku dengan senyum-senyum, entah apa arti senyumnya itu.

“Gimana pa… semalem enak ya?” Ah, pertanyaan apa itu. Sebuah pertanyaan yang meyakinkanku bahwa peristiwa semalam itu memang bukanlah sekedar mimpi. Kujawab hanya dengan menolehnya sesaat, tersenyum, lalu kembali perhatianku mengarah pada layar tv, atau tepatnya berpura-pura nonton tv.

“Eh, ditanyain juga’… Pa, semalam puas kan? hayo ngaku…” desaknya lagi

“Sok tau…” jawabku, masih dengan sikap sok ja’im.

“Pa… Mau ini enggak?” Mau ini? Astaga… betapa terkejudnya saat aku menoleh kearahnya. Bagaimana tidak, gaun tipisnya diangkat, mempertunjukan padaku selangkangannya yang masih terbungkus oleh lingrie warna hitam.

“Hi.. hi.. hi… papa kaget tuuuhhh… abis cuek banget sih..” godanya, seraya menutup kembali gaunnya, mengakiri pemandangan indah dihadapanku, glek… aku meneguk ludah, birahiku mulai kembali bangkit.

“Ayo pa… sini..” Ajaknya, seraya berdiri sambil menarik tanganku.

“Apa sih…” protesku

“Ayo… kita kekamar Nanda… Papa kan tadi malam sudah Nanda puasin… sekarang gantian dong.. giliran papa yang puasin Nanda..” Glek… entah apa yang harus aku lakukan.. Ah, masa bodo lah, setelah peristiwa semalam itu, sepertinya tak ada gunaya lagi aku bersikap pura-pura ja’im padanya.. lebih baik aku ikuti saja irama permainan ini, ibarat syair lagu dangdut, terlanjur basah ya sudah..

********

Gadis itu melepas belitan handuk pada kepalanya, seraya mengibas-ngibaskan rambut basahnya yang sepertinya baru saja dikeramas.

Kini aku telah berada didalam kamar tidurnya, dan masih berdiri mematung saat dia merebahkan tubuhnya diatas ranjang.

“Ayo pa… Nanda dipuasin juga dong…”? Pintanya sambil berbaring telentang

“Mmm.. pu.. puasin bagaimana?” Tanyaku gugup

“Si puss Nanda disayang-sayang dong… kayak yang difilm-film begituan itu lho pa…”

“Si puss yang mana? Disayang-sayang bagaimana?” walau secara garis besar aku mengerti apa yang diinginkannya, tapi secara spesifik, terus terang aku belum memahaminya, terutama istilah-istilah yang dipakainya itu.

“Ini lho si pussnya…” jawabnya sambil menyingkap keatas gaunnya hingga memperlihatkan lingrie berwarna hitam.. Glek.. mungkin benda dibalik lingrie hitam itulah yang dimaksudkannya sebagai si puss. bukankah dalam bahasa inggrisnya adalah pussy… tapi kenapa juga disebutnya si puss, aku pikir kucing..

“Ehmmm.. iya.. tapi disayang-sayangnya seperti apa?” Tanyaku, yang kini telah duduk dibibir ranjang. Walau nafsu birahiku telah mulai menaik, tapi terus terang diri ini masih gugup.

“Kayak difilm-film bokep itu lho pa.. ih, papa ini koq gaptek banget sih…” sialan.. untuk hal seperti ini aku lebih tau dari kamu tau… pikirku dalam hati.

Sepertinya aku mulai mengerti sepenuhnya apa yang dimaksud oleh gadis imutku ini. Kegugupanku berangsur mulai berkurang, diriku kini telah naik keatas tempat tidurnya, memposisikan diriku tepat dihadapan selangkangan yang masih terbungkus lingrie itu.

Ahh… betapa indahnya apa yang berada dihadapanku ini, lekuk tubuh yang begitu sempurna putih bersih. Kuraba sesaat pangkal pahanya, sambil memperhatikan benda yang berada dibalik lingrienya itu. kulirik sebentar wajahnya, tampak dirinya tengah memperhatikan apa yang tengah aku perbuat.

“Celananya papa buka ya sayang…” yang dijawabnya dengan senyum dibarengi dengan mengangguk pelan.

Aahh… organ kewanitaan putriku kini telah berada dihadapanku, sepenuhnya… Ya, sepenuhnya terbebas dari benda yang menutupinya, dan terbebas pula dari rambu-rambu kenormaan yang merintanginya, sehingga aku bebas untuk melakukan apa saja.

Kusentuh bibir vaginanya, yang secara reflek kedua pahanya membuka, mempertunjukan belahannya yang berwarna merah jambu. Bulu-bulu yang menumbuhinya masih belum begitu lebat dan hanya tipis saja seperti bulu-bulu halus.

Kuhirup sejenak aroma liang vaginanya yang sedikit menganga, aroma sabun mandi masih terasa. Lidahku kini mulai terjulur, menjilat pelan pada keratan daging basah yang berwarna merah jambu pada bagian tengahnya. Kulihat sesaat ekspresinya, yang mendesah pelan saat menerima sentuhan lidahku yang pertama.

“Zzzzz… aaaauuugghhhhh… geli paaaaaa… uuuuhhhhh…” Desahan dari mulai terdengar, sambil kedua tangannya menjambak pelan rambutku, sesekali matanya melihat kearahku, kearah ayah kandungnya yang kini tengah menggelitikan lidahnya didalam liang vaginanya.

Srrruuuufffffkusedot agak kuat daging lembut yang mulai mengeluarkan cairan bening yang sedikit asin itu. Sepertinya dia agak sedikit terkejut, yang ditandai dengan gerakan bokongnya yang menyentak sesaat. Kelentit yang letaknya sedikit agak diataspun tak luput dari sedotan mulutku, yang membuat erangannya semakin keras.

Papaaaaaaa. aaaauugghhhenak paaa. teruuuss.. paaNanda sayang papa.. aaaahh jambakan pada rambutku semakin keras, terkadang ditarik-tariknya yang membuatku sedikit nyeri.

Hingga akhirnya terdengar erangannya yang keras, yang kuyakini itu adalah puncak kenikmatannya yang telah dia capai.

Aaaaaaaauuuhhhhh. papaaaa.. sebuah pekikan yang panjang, dibarengi dengan bokongnya yang terangkat keatas sehingga mulutku terbenam didalam liang kewanitaannya yang basah oleh cairan nikmat.

Setelahnya, gadis itu terdiam. menyisakan nafasnya yang kembang kempis, kutatap wajahnya.. wajah yang kini tersenyum kearahku.

Makasih paudah puasin Nanda ucapnya, sepertinya sebuah ucapan yang tulus. Yang kubalas dengan senyum.

“Papa.. sun dulu dong… mmmm..” pintanya manja, sambil memonyongkan bibir, dan sedikit memejamkan matanya. Kukecup bibirnya dengan lembut, namun tak kusangka justru dibalasnya dengan lidahnya yang menelusup kedalam rongga mulutku, leherku ditarik hingga kami bergumul untuk beberapa saat.

Hingga akhirnya kami berhenti, dengan masih bebaring berdua, merebahkan diri kami dalam satu bantal.

“Enak ya pa… kita akan sering-sering begini lagi kan pa?”

“Sering-sering? Iya.. iya… kita lihat saja nanti…” jawabku gugup, tanpa sempat berpikir. disamping diriku tentunya juga tengah dilanda birahi yang memuncak.. dan belum tertuntaskan.. alias masih nanggung, sehingga aku hanya menatap wajahnya dengan penuh nafsu.

“Koq pake kita lihat saja nanti? Berarti belum pasti dong…” protesnya dengan wajah cemberut

“Oke deh… papa janji. Tapi kamu juga harus janji untuk merahasiakan semua ini… jangan sampai orang lain tau.. terutama mama..”

“Oke deh pa deal… tos dulu dong..” setujunya, diikuti dengan mengangkat telapak tangannya keatas yang kubalas dengan membenturkannya dengan telapak tanganku.

********

“Eh, papa belum puas ya..? Papa mau Nanda puasin lagi?” tawarnya, sambil memegang benda keras yang masih terbungkus celana pendeku.

“Iya nih.. tolong dipuasin papa ya sayang…” pintaku, sambil mengusap-ngusap bibir kewanitaannya yang telah basah.

“Oke deh… sekarang Nanda mau sayangin dedenya ya pa…?”

Dirinya kini bangkit, seraya menarik lepas celana pendekku, lalu mencampakkannya kelantai. Batang penisku kini didalam genggamannya.

“Sayang… kamu buka bajumu dong… sekalian sama BHnya juga…” pintaku, sebelum dia meneruskan aksinya.

“Owwhhh… papa mau liat Nanda telanjang ya?”

“iya dong sayang… kalau kamu telanjang kayaknya lebih seksi deh…” pujiku, yang langsung diturutinya. Kini dirinya benar-benar bugil dihadapanku, seperti yang kuduga, buah dadanya yang ranum dan baru mulai tumbuh itu memiliki puting berwarna merah jambu dengan bentuk yang masih kuncup belum terlalu bulat.

“Nih pa… Nanda udah telanjang… sekarang papa telanjang juga dong… baju papa juga dibuka…” aku segera menuruti keinginannya, kulepas t-shirt yg masih membalut tubuhku, hingga kami berdua benar-benar bugil.

Kini dia duduk diatas pahaku dengan posisi menghadap kearahku, tubuhnya yang telanjang membuatku merasakan hangatnya vagina menempel dipahaku, vagina yang baru saja kucicipi dengan mulutku.

“Dijilat dulu ya pa…?” yang kujawab hanya dengan mengedipkan mataku. Lidah yang lembut itu kini menyisiri sekujur batang penis dan topi bajaku, yang membuatku mendesah nikmat.

“Sekarang Nanda emut ya pa…?” pintanya, beberapa saat kemudian.

“Iya sayang… kamu memang pinter… si dede’nya jadi keenakan nih…” kini batang penisku benar-benar dikulumnya walau tampak kesulitan. Sepertinya batang jakarku terlalu besar untuk mulut mungilnya itu, sehingga hanya sepertiga bagiannya saja yang mampu masuk kedalam rongga mulutnya.

“Aaaahhh… Susah pa… dede’nya gede banget sih… mulut Nanda gak muat…” keluhnya, saat sejenak melepaskan kulumannya.

“Gak apa-apa sayang… makanya pelan-pelan… nanti juga kamu terbiasa.. papa percaya kamu anak yang cerdas, pasti kamu bisa… ayo sayang diemut lagi dede’nya…” paparku, sekedar memberinya motivasi.

Dalam beberapa menit kemudian memang kurasakan kemajuan yang cukup signifikan, gerakannya lebih rileks dan batang penisku yang berhasil ditelan kedalam rongga mulutnya lebih dari separuhnya.

Ah, mengapa menurutku begitu seksi dan menariknya dia dalam keadaan seperti itu. sungguh betapa konyolnya aku sebagai ayah… Ah, peduli setan.. yang penting aku tak memerkosa anakku.. ini kulakukan atas dasar suka sama suka, sama sekali tanpa adanya pemaksaan… dan, sekarang… yang penting happy…

Aaahhhh… betapa nikmatnya ini.. kalau begini terus, tak perlu susah-susah aku “jajan” diluar dengan abg-abg yang hanya menginginkan uangku itu. bukan masalah uangnya… tapi sensasi yang kuterima tidak seberapa bila dibandingkan dengan anak gadisku ini.. darah dagingku.

“Pa… Nanda jadi kepingin lagi nih…” pintanya, sambil meraba-raba liang vaginanya, setelah melepaskan kuluman penisku.

“Kepingin apa sih sayang..? Kan papa belum puas.. belum keluar itunya, seperti tadi malam.. ayo sayang diemutin lagi dede’nya…” rayuku.

“Tapi Nanda kepingin dipuasin lagi pa… Gimana kalau dede’nya dimasukin kedalam sipuss… boleh ya pa?” glek.. dia ingin aku menyetubuhinya.

Aku berpikir sejenak.

“Kamu sebelumnya sudah pernah melakukannya?” tanyaku

“Belum pa… makanya Nanda pingin coba… Ayo pa..” rengeknya, kali ini sambil telentang dan membuka kedua pahanya. Ah, dasar.. belum lagi aku memberi persetujuan, dia sudah memposisikan diri siap tempur seperti itu, glek..

“Baik.. baik.. itu artinya kamu masih perawan sayang… nanti saat dede’nya masuk kedalam sipuss, kamu akan merasa sakit..” jelasku.

“Iya pa… Nanda juga tau, kalau melepas keperawanan itu sakit.. itu kata temen-temen Nanda yang sudah melakukan sama cowoknya.. tapi katanya lagi, itu cuma sekali saja.. besok-besok kalau melakukannya lagi udah enggak sakit, malah enak dan bikin ketagian… gitu katanya.. Makanya pa ayo cepetan..” Sok tau nih anak, bapakmu ini lebih pinter soal beginian tau, pikirku.

“Oke deh sayang… kamu siap-siap ya…” kini posisi batang penisku telah mengarah pada liang vaginanya yang mungil namun menganga, sebenarnya aku tak tega membayangkan batang penisku yang besar ini menembus liang perawannya tapi..

“Pa.. papa..” panggilnya lagi

“Apa lagi…?”

“Pa.. inikan namanya ngentot pa… hi.. hi.. hi..” sial, aku sudah tau.. tapi mengapa perkataan vulgarnya itu terdengar begitu seksi bagiku.

“Ayo pa.. cepet entotin Nanda pa.. hi.. hi.. hi..” Ah, tak kuasa aku mendengar kata-kata yang menggoda itu, dan akhirnya blessss…

“Aduh… paaaaaa… sakiiiiittt…” pekiknya, seolah menghapus tawa yang beberapa detik lalu masih menghias wajahnya.

“Enggak apa-apa ya sayang… tahan ya… dulu mamamu juga begini…” ujarku, sekedar menenangkannya.

“Aaaaaahhh… ya deh pa… enggak apa-apa.. besok-besok udah enggak sakit lagi kan pa… uuuhhhh…”

“Iya sayang… besok kamu pasti ketagian…”

“Iya pa kalau begitu entotin Nanda terus aja pa… sampai papa puas.. sampai keluar spermanya ya pa… nanti spermanya dikeluarin didalam sipuss aja…”

“Iya sayang.. Papa akan keluarin peju papa didalam sipuss, biar sipussnya kenyang… besok juga pasti papa akan entotin kamu lagi…” hiburku, seraya kulumat hibir mungilnya dengan rakus, yang dibalas dengan tak kalah rakusnya, kuhirup air liur dari mulutnya sebanyak-banyaknya namun seolah tak jua meredakan rasa dahaga ini.

Hingga akhirnya kurasakan getaran nikmat melanda sendi-sendi tubuhku dan…

“Aaaaahhhhhhh… peju papa keluar sayang… aaaaggghhhhh…”

Crottt.. croott… croottt… Beberapa kali semburan spermaku menyirami rahimnya… rahim darah dagingku sendiri.

Hingga akhirnya aku ambruk diatas tubuh anakku, masih sempat kulihat cairan merah mengalir dari sela-sela bibir vaginanya.. cairan darah.. darah perawan.. yang telah direngut olehku, ayah kandungnya sendiri.

Papeju itu apa sih? tanyanya disela-sela diriku yang menghimpit tubuhnya.

Peju itu sperma sayangsperma yang baru saja menyirami rahim kamu ini

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan