2 November 2020
Penulis —  blackmore

Keluarga Pak Trisno

Sabtu pagi yang cerah, dan memang selalu cerah semenjak tiga bulan terakhir ini, karna selama tiga bulan itu pula kota Jakarta ini nyaris tak diguyur hujan.

Dan dipagi itu pula kami tengah sibuk mempersiapkan diri untuk pergi keluar Jakarta ini.

Rencana yang telah kami sepakati bersama adalah berkemah di daerah pegunungan disekitar Jawa barat, sekedar refreshing menikmati segarnya udara dipegunungan untuk melupakan sejenak kota Jakarta yang semakin panas dan berdebu dimusim kemarau ini.

“Gimana don, udah masuk semua barang-barangnya?” tanyaku kepada Doni yang semenjak tadi sibuk memasukan segala keperluan untuk berkemah yang kami putuskan selama satu malam itu, dan pada minggu malam rencananya kami akan sudah berada dirumah.

“Entar dulu pa, sepeda Doni belum…”

“Macem-macem aja kamu itu, emangnya mau taruh dimana?”

“Diatas lah..” Ah, dasar anak ini, sepertinya barang-barang miliknyalah yang paling banyak memenuhi ruang bagasi, masih ditambah pula sepeda gunung yang katanya akan diletakan diatas mobil.

“Jangan lupa segala kebutuhan memasak tin, pastikan semuanya terangkut, ingat disana gak ada restoran, semua harus kita masak sendiri” pesanku pada Tini pembantuku, yang bertugas mempersiapkan segala kebutuhan perut, termasuk kompor listrik ukuran kecil yang sengaja kami bawa sendiri, bahkan juga Rice cooker, dan mau tidak mau Genset portable sebagai sumber tenaga listrik juga harus kami angkut, Ah, sungguh bawaan yang cukup merepotkan untuk berkemah yang hanya satu malam, tapi tak apalah, bukankah itu bagian dari seni berpetualang.

“Tinggal minyak goreng sama panci pak..” jawabnya, lalu kembali kedalam rumah dengan setengah berlari.

“Gak usah tergesa-gesa tin, Oh iya.. jangan lupa kopi..” ujarku lagi, seraya kembali mengatur barang-barang dibagasi agar lebih efisien peletakannya.

Hmm… sementara kami bertiga tengah sibuk, dua orang perempuan itu malah dengan santainya duduk dikursi beranda sambil asik dengan perangkat getgetnya, siapa lagi kalau bukan Nanda dan Mamanya, ah, biar sajalah toh barang-barang kebutuhan pribadi mereka memang telah mereka persiapkan semenjak tadi malam, berbeda dengan Doni yang segalanya serba dadakan.

“Hey… Nyonya-nyonya besar, ayo kita berangkat sekarang…!” teriakku, pada istriku dan Nanda yang masih duduk diberanda rumah, setelah semua barang bawaan telah kami yakini kumplit dan tak ada yang tertinggal, sehingga siap untuk berangkat.

********

Fuhhhh… Benar-benar sial, seperti yang kuduga sebelumnya, diakhir pekan seperti ini jalan dikawasan puncak benar-benar macet, sudah hampir satu jam mobil yang kami kendarai ini hanya merayap lambat bersama dengan ratusan kendaraan lainnya.

“Ma, gantiin sebentar dong… capek nih” pintaku kepada istriku agar berganti memegang kemudi.

Ah, lumayanlah paling tidak aku bisa rileks sebentar setelah lebih dari tiga jam aku menyetir mulai dari Jakarta tadi.

“Aduh pak.. celaka, berasnya ketinggalan, bagaimana ini?” ujar Tini, setelah beberapa saat memeriksa tumpukan barang dibagian paling belakang mobil.

“Waduh, bisa kelaperan nih kita… gimana sih mbak Tini..” protes Nanda yang berada didepannya.

“Tadi kamu bilang sudah lengkap semuanya, koq masih ada yang tertinggal, gimana ceritanya tuh?” ujarku, sebetulnya itu bukanlah masalah yang berarti, toh disepanjang jalan yang akan kami lalui nanti banyak toko yang menjual segala kebutuhan pokok, termasuk beras.

“Iya, tadi malam sudah saya siapkan sekitar lima kilo, tapi saya lupa memasukkannya kemobil…” jawab Tini dengan nada menyesal.

“Wah, kalau begitu harus diberi hukuman nih..” ujar Nanda.

“Huss, apaan sih, sudahlah… nanti dipinggir jalan juga banyak warung sembako atau mini market, kita bisa mampir sebentar untuk beli beras..” belaku, karena kasihan juga melihat Tini yang sepertinya begitu menyesal telah melakukan kelalaian.

Dari kaca depan, kulihat Nanda tengah membisikan sesuatu kepada adiknya, entah apa yang direncanakannya, sampai-sampai Doni sepertinya menahan tawa setelah mendengar bisikan Nanda.

“Oke, siiip deh..” ujar Doni, sepertinya telah setuju akan rencana kakaknya itu.

Tiba-tiba Nanda menarik lepas celana pendek berbahan kaos yang dikenakan adiknya, termasuk celana dalamnyapun dilucutinya pula.

Tanpa basa-basi batang penis yang masih loyo itu dikulumnya. Tak sampai setengah menit benda loyo tadi telah berdiri tegak memenuhi mulut mungil Nanda.

Sllluuufffttt… sllluuurrrfff… slluuurrrffff… kepala gadis itu bergerak turun naik mengoral penis adiknya yang bersandar dikursi sambil kedua tangannya meremasi kepala kakaknya.

SementaranTini yang berada dikursi paling belakang hanya menyaksikan sambil sesekali menelan air liurnya.

“Udah don, langsung tancep…” pinta Nanda, setelah melucuti celana pendek yang dikenakannya, lalu mengangkangkan kedua pahanya dengan lebar.

Sang adik yang batang bazokanya telah sepenuhnya tegak, segera bangkit, sleepp… batang penisnya yang berkilat oleh baluran air liur kakaknya itu langsung dibenamkan kedalam liang vagina yang merekah menganga.

Pok… pok.. pok… Suara benturan paha dari keduanya mulai mengisi ruangan dalam mobil berjenis city-car dengan kapasitas besar itu.

“Dasar, dalam keadaan macet begini, masih barani-beraninya mereka begituan… Bisa jadi tontonan nih kalau begini…” keluhku, pada istriku yang masih memegang kemudi.

“Biarin aja lah pa… Itung-itung mengusir rasa suntuk karena macet, sekaligus menguji adrenalin…” jawab istriku santai, terpaksalah aku hanya pasrah, seraya menghempaskan kepalaku disandaran kursi

sambil menyaksikan aksi putra putriku dari kaca depan.

Kini mulut mereka mulai saling berpagutan, saling pilin dan saling mengemut lidah, tanpa terasa benda dibalik celana blue jeansku mulai menegang melihat aksi mereka yang semakin hot.

“Ngaceng nih…? Kepingin..?” goda istriku, sambil tangan kirinya meremas batang penisku yang masih terbalut celana jeans.

“Ih, mama ini… lagi nyetir masih sempet-sempetnya remes-remes kontol papa..” ujarku, sambil meremas payudaranya yang terbungkus t-shirt.

“Aww… papa jangan gitu deh, nanti mama gak konsen nih… Ya udah, nanti abis Doni selesai ngentotin Nanda, papa gantian… Atau sama si Tini aja tuh, kan dia nganggur…” godanya lagi.

“Enggak ah, papa gak berani kalau ditempat umum kayak gini…”

“Eeh, papa belum pernah ngerasain sih begituan ditempat umum… Sensasinya itu lho pa..” sambung istriku, aku hanya diam saja menanggapi ocehannya itu.

Hampir sepuluh menit mereka berpacu dalam birahi, dan masih dengan posisi misionery seperti tadi. Kusetel sejenak posisi kaca agar bisa lebih fokus pada selangkangan mereka. Hmmm.. Aku rasa ini yang paling pas, dimana aku bisa melihat batang penis Doni yang keluar masuk didalam liang vagina kakaknya itu.

Wah, dari gelagatnya sepertinya Doni hampir KO, itu dapat dilihat dari goyangannya yang semakin kuat dan cepat, dan nafasnya semakin memburu.

“Uuuuuuuugggghhhhhhh… Doni mau keluar kaaaaakkkkk…” lenguhnya, sambil tangannya mencengkram bahu kakaknya itu.

“Cepetan cabut… Inget, apa yang tadi kakak bilang… cepetan nanti keburu keluar didalem…” ujar Nanda,, setengah panik, kini justru aku yang mengernyitkan dahi, karna tak mengerti apa yang sebetulnya akan mereka lakukan.

Seperti yang diperintahkan kakaknya, Doni segera mencabut batang penisnya, seraya mengarahkannya kewajah Tini yang duduk dibelakang mereka.

“Aaaaagggggghhhhhh… terima nih mbak… uuuuuuggghhhhhh…” pekiknya, sambil tangan kirinya memegangi kepala Tini, sedang tangan kanannya mengocok batang penisnya sendiri.

Croottt… crooott… crooottt… Beberapa kali tumpahan sperma menyembur memenuhi wajahnya

“Aaawwwww… Mas Doni bikin mbak kaget aja, koq gak bilang-bilang sih…” protes Tini, sambil sesekali menutup matanya.

Setelah tuntas dan tak ada lagi semburan sperma yang keluar, Doni kembali duduk dengan merebahkan tubuhnya bersandar malas diatas kursi, sesekali nafasnya turun naik bagai habis melakukan kerja berat.

“Awas lho mbak, jangan dibersihkan pejunya… biar begitu saja dulu, sebelum ada perintah selanjutnya…” ujar Nanda, sambil masih duduk mengangkang dengan liang vagina menganga lebar.

“Kalau saya makan boleh enggak mbak?” tawar Tini

“Enggak boleh, pokoknya biar begitu saja…” jawab Nanda

“Aduuuhhh… Saya gak betah nih Mbak Nanda, kan risih…” rajuk Tini

“Masa bodo’… Ini hukuman karna kamu lupa bawa beras, beras itukan penting… kalau kita kelaparan bagaimana…?” terang Nanda.

“Iya deh kalau begitu… tapi jangan lama-lama ya…” melas Tini, yang pipi, dagu, kening, bibir, bahkan bagian pinggir matanya dipenuhi oleh cairan kental berwarna bening keputihan.

Kulihat Nanda tersenyum menggoda kearahku, tentunya masih dengan posisi mengangkang seperti tadi.

“Papa mau ngentotin Nanda juga?” tawarnya, sambil mengusap-usap bibir vaginanya. Ah, birahiku yang sedari tadi mulai naik kini bertambah meletup-letup melihat pemandangan itu.

“Udah pa, tunggu apa lagi… Nanda udah siap tempur tuh, tinggal toblos… Ayo sana..” sebuah anjuran yang tentunya bernada provokasi dari istriku.

Sepertinya aku memang sudah tak dapat lagi membendung godaan birahi ini, seraya kulucuti celana blue jeansku, dan langsung melompat kebelakang, masih kurasakan tangan istriku menepuk bokongku dari belakang disertai dengan kata-kata yang bernada menggoda.

“Kamu pindah kebelakang dulu don, sekalian awasin Mbak Tini jangan sampai dia mengelap peju dimukanya..” ujar Nanda kepada adiknya, yang langsung dituruti oleh Doni.

Baru saja akan kutancapkan batang penisku kedalam liang vaginanya, namun tangannya menahan perutku.

“Eeeiiit… tunggu dulu, ada syaratnya pa…” ujar Nanda.

“Syarat apa lagi?” kesalku, karna hasratku yang menggebu-gebu harus tertunda.

“Nanti, papa harus keluarin pejunya dimuka Kak Tini… Janji?”

“Iya deh, iya… Papa janji”

“Kalau gitu oke deh, papa boleh entotin Nanda… Ayo cini papa cayaaang…” semakin gemas aku dibuat oleh gayanya yang memang menggemaskan itu. Dan langsung kutancapkan batang penisku kedalam liang vagina yang baru saja dijelajahi oleh penis anak laki-lakiku.

Tanpa ampun, langsung kupacu pinggulku dengan kecepatan tinggi, yang membuat tubuh mungilnya tersentak-sentak hingga kepalanya sesekali membentur kaca jendela.

“Hegghhh… hegghhh… hegghhhh… papa… papa jahaaattt… kepala Nan.. da sak.. it keje.. dot.. jen.. delaa.. hegghhh… hegghh… heggghhh…” erang Nanda, sebuah erangan dengan nada yang manja, dan justru membuatku semakin tergoda untuk lebih keras membombardir liang vaginanya.

“Biarin… habis kamu nakal sih.. Anak nakal harus dientotin yang kasar ya… Sampai memeknya lecet..” godaku, sambil terus memacu batang penisku.

“Aaaaeeeeeng… papa koq gi.. tu si. iihh… Papa… gak sa… yang Nan.. da… ya..? Hegghhh… hegghhh.. hegghh…” rengeknya

“Tentu sayang dong Nanda… kamu kan anak papa… anak kandung papa… darah daging papa.. kalau enggak sayang masa’ sih papa mau ngentotin memek kamu…” paparku, tentu saja itu hanyalah perkataan vulgar yang konyol, yang hanya mampu kuucapkan disaat birahiku tengah terbakar seperti saat ini.

Goyanganku sengaja kuperlambat, aku berharap akan keluar kata-kata konyol dan mesum dari bibir mungilnya itu tanpa terganggu oleh goyangan tubuhnya.

“Ih, papa bisa aja.. Emangnya kalo ngentotin anak sendiri itu tanda sayang ya pa?”

“Sudah tentu dong sayang…”

“Tanda cinta juga?”

“Tentu papa cinta sama Nanda..”

“Cinta sama apanya pa?”

“Cinta sama memek Nanda, sama tetek Nanda, bibir Nanda… semuanya deh…”

“Sama lubang pantat Nanda juga?”

“Tentu dong sayang… apa lagi lubang pantat kamu… papa sukaaaa banget..”

“Ih, papa… Nanda suka sekali dengernya…”

“Papa…”

“Apa lagi sayang?”

“Ludahin mulut Nanda dong… Aaaaakkkk…” pintanya, seraya membuka mulutnya lebar-lebar, kali ini kuhentikan sama sekali genjotan bokongku, namun dengan batang penis tetap tertanam didalam liang vaginanya.

“Nih, untuk anak papa tersayang… mmm… plleehhhh..” cairan bening kental dengan sedikit berbusa beberapa kali kutumpahkan kedalam mulut menganganya, yang langsung ditelannya tanpa tersisa.

“Sudah ya sayang… mulut papa sudah kering nih…”

“Oke deh pa… Terima kasih ya pa…”

“Sama sama.. Nanda sayang…”

“Ayo pa, sekarang entotin Nanda lagi.. Yang kuat ya pa..”

“Yang kasar boleh enggak?”

“Terserah papa deh…”

“Sampai memek kamu lecet?”

“Sampai memek Nanda bonyok juga boleh pa…”

“Ih, dasar kamu anak nakal… Nih, rasain..” kembali kugenjot pinggulku dengan kekuatan penuh hingga tubuhnya juga ikut bergoyang-goyang, namun bedanya kali ini kepalanya tak sampai terbentur kaca jendela, bantal kecil telah kuganjal diatas kepalanya agar dirinya lebih nyaman.

“Hegghhhh… hegghhh… hegghhh… Nah.. ini.. ba.. ru.. e.. nak pa… ke.. pa.. la.. Nan.. da gak ke.. je.. dooott.. Hegghhh.. hegghhh… hegghhh…” gumamnya, walaupun dengan kalimat yang terpatah-patah karena guncangan tubuhnya yang cukup keras.

Plok.. plak.. plok.. plak.. Brroottt.. prroott.. brruuttt… sleepp.. Suara seperti itulah yang menambah semangatku semakin menggebu untuk membombardir liang vagina putriku ini, kulihat Doni dan Tini hanya menyaksikan dari kursi belakang, terutama Tini yang terlihat mulai bernafsu walau wajahnya masih dipenuhi baluran sperma, sesekali dia melirik kearah Doni sambil tersenyum, saat dirasakannya Doni tak memberikan reaksi, wanita itu mulai meremas batang penis Doni yang telah mengendur.

“Maaf nih mbak, Doni udah capek… kan Doni barusan ngeluarin… Nanti aja ya mbak?” kilah Doni, yang tentunya langsung ditanggapi dengan wajah cemberut Tini.

Sedangkan istriku yang memegang kemudi, sesekali memberikan komentar yang tentunya dengan nada yang menggoda, seperti “Aduuuuhhhh… romantisnya..” “waduuuuhhh… bisa robek tuh memek anaknya, kalau cara ngentotnya kasar begitu sih… hi… hi… hi…” “rasain deh, benjol benjol tuh kepala…” itulah beberapa komentar iseng istriku yang tentunya diucapkan sambil perhatiannya masih tertuju kedepan lalu lintas yang masih juga macet.

“Pa… papa… se.. stop du.. lu pa… Nanda.. mau anal pa… Nan.. da.. mau.. papa.. ent.. totin.. nus Nanda.. plis.. pa.. hegghhhh… hegghhh… heggghhhh…” mohonnya, aku hafal betul kebiasaan anak ini, kalau sudah minta dianal seperti ini, itu artinya dia hampir orgasme, seraya kuhentikan genjotanku dan kucabut batang penisku dengan maksud langsung akan kubenamkan kelubang anusnya, namun rupanya anak itu segera merubah posisi menungging dengan wajah mengarah kejendela.

“Ayo pa… genjot yang kuat ya pa… Yang kuaaaaattt banget.. Full speed…” pintanya, setelah kutancapkan batang penisku kedalam anusnya.

“Bussssett deh.. Udah minta digenjot yang kuat.. full speed pula… Seperti apa tuh… Apa masih kuat tuh papanya mengabulkan permintaan putri tercintanya..” goda istriku lagi, wah, benar-benar pandang enteng nih istriku, biar usiaku sudah kepala empat, tapi kalau soal genjot menggenjot dengan kekuatan penuh dan kecepatan tinggi, aku masih sanggup.

Brratt… brroott.. brraatt… brrooottt.. Plak.. plek.. plok… plak.. plek.. plok… Seperti yang diinginkannya, pinggulku bergerak dengan kuat dan cepat, tak sampai satu menit tubuhku telah tampak berkilat oleh peluh, pendingin ruangan dimobil ini sepertinya masih belum mampu meredam panasnya pembakaran kalor didalam tubuhku.

“Aaaaggghhhhhh… aasssiiikkkk paaaa… Papa emang jagoan dehh… aaaaggghhhhhh…” racau Nanda, dengan kedua tangannya bertumpu pada kaca jendela.

Dan tak beberapa lama kemudian anak itu melenguh panjang yang menandakan dirinya telah mencapai puncak, dibarengi dengan tangan kirinya menggosok-gosok vaginanya.

“Mmmmmmmuuuuuuuggggghhhhhhh… Nanda sampai paaaaaaaa…” lenguhnya, dari kaca jendela kulihat ekspresinya yang unik, dengan bola mata yang hanya putihnya saja terlihat, sedang mulutnya menganga sambil mengerang tak jelas.

Beberapa saat kemudian dia mulai terdiam, sepertinya orgasme yang didapat telah tuntas, dan akupun mulai menurunkan tempo goyanganku, disamping diriku kurang bisa menghayati dan menikmati sentuhan otot anus yang menjepit batang penisku, genjotan yang keras seperti tadi juga terlalu cepat menguras tenagaku.

Dalam goyanganku yang santai, sepertinya Nanda hanya dingin menanggapinya, mungkin memang karena dirinya telah klimaks, yang dilakukannya hanya menyaksikan pemandangan diluar jendela, seolah tak peduli dengan diriku yang masih menggenjot anusnya.

Satu ketika, tepat sejajar disamping kanan kami sebuah mobil jenis fan, seorang anak balita perempuan menatap kami yang tengah berasik masuk, entah apa yang ada didalam pikiran anak perempuan itu, hingga tampak terpana seperti itu, betuntung seorang pria disampingnya yang memegang kemudi tak memperhatikan kami, sepertinya pria itu adalah ayahnya.

“Hallo adeeeekkkk…” sapa Nanda, sambil melambaikan tangan kanannya, tentu saja ucapannya itu tak dapat didengar oleh sang bocah, namun sibocah tetap melambaikan tangannya seperti yang dilakukan Nanda, Ah, ada-ada saja putriku ini, bagaimana kalau ayahnya itu melihat, memang sih kaca film dijendela ini tak begitu jelas terlhat didalamnya kalau hanya sekilas, namun bila diamati lebih teliti sudah pasti terlihat juga, seperti yang dilihat oleh anak itu.

“Adek sudah pernah dientot sama papanya belum? Nanti kalau adek sudah SMP minta ya sama papanya itu… pasti adek ketagihan deh…” Ah, dasar anak ini, ada saja yang dibicarakannya, sibocah yang dimobil seberang sana hanya tersenyum sambil terus melambai-lambaikan tangannya.

“Lubang anus Kak Nanda aja sekarang lagi dientotin sama papanya… enak lho dek… Nanti kalau adek sudah SMP, adek jangan lupa minta juga sama papanya ya… atau kelas 6 SD juga enggak apa apa koq, tapi kalau sekarang jangan dulu ya…” Ah, entah mengapa ocehannya itu membuat syahwatku semakin bergairah, dan akhirnya membawaku kepuncak kenikmatan.

“Aaaaaggggggggghhhhhhhh… papa mau keluar ndaaaaa…” racauku, sambil meremas bokongnya

“Eeehhh… papa… ingat janjinya dong… keluarin dimuka Mbak Tini..” Oh, iya. aku hampir lupa, sukurlah belum terlanjur muncrat, sehingga langsung kucabut, dan kuarahkan kewajah Tini yang juga telah dipegangi kepalanya oleh Doni.

“Aaaagggggghhhh…” lenguhku, bersamaan dengan semburan sperma yang membuat wajah Tini semakin belepotan oleh sperma setelah sebelumnya juga telah disemprot oleh Doni.

“Horeeeeeee… Mbak Tini tambah cantik lho kalau begitu hi… hi.. hi…” goda Nanda, dengan bertepuk tangan, sambil menghadap kebelakang dengan lutut bertumpu pada kursi.

“Jangan dielap dulu lho mbak… nanti ada waktunya..” ujarnya lagi.

“Aduuuhhh… tapi kalau kelamaan baunya amis Mbak Nanda…” protes Tini

“Gak apa apa, tahan dulu kenapa sih…”

*******

Sekitar sepuluh menit setelah itu, kami telah keluar dari kawasan puncak yang macet, jalan telah mulai lancar, dan akhirnya kami menjumpai mini market dipinggiran jalan.

“Kita stop disini dulu ma, biar papa cari beras disitu…” pintaku kepada istriku agar menepikan mobilnya sejenak.

“Biar Mbak Tini aja yang beli pa… kan dia yang teledor, jadi dia dong yang harusnya beli… kasih aja uangnya, nanti biar dia sendiri yang beli, Mbak Tini kan lebih tau mana beras yang bagus, iya enggak Mbak?” papar Nanda.

“Iya, tapi saya harus bersihin muka saya dulu dong…” ujar Tini

“Eeehh, enak aja… Enggak la yaw… Mbak Tini harus dengan keadaan seperti itu kedalam minimarket, dan setelah berasnya sudah dibeli, Mbak Tini harus kembali kemobil dengan wajah masih dalam keadaan seperti ini juga, kalau ada yang dielap sedikit saja, maka kita akan tinggalkan Mbak Tini disini sendirian, biar jadi gelandangan disini, iya enggak pa…

“Ah, apa apaan sih kamu ini, kasian kan Mbak Tini, malu dong dia… udah biar papa saja yang beli..”

“Enggak… pokoknya kalau papa yang beli, Nanda bakalan mogok bicara sampai pulang nanti…” Ah, dasar anak ini kalau ada maunya, dan kebiasaan anak ini memang paling suka menggoda, dulu waktu adiknya masih kecil juga sering sekali digodanya sampai menangis.

“Ya sudah terserah kamu lah, nih uangnya…” pasrahku, sambil menyerahkan uang seratus ribuan kepada Nanda, yang langsung diberikannya kepada Tini.

“Sudah Mbak, tunggu apalagi… Kalau enggak mau, mbak Tini bakal kami tinggal disini…” paksa Nanda, yang dengan berat hati akhirnya dituruti juga oleh Tini.

“Iya deh, iya… tapi jangan ditinggal lho..”

“Iya enggak, tapi ingat, saat nanti kembali, pejunya harus masih seperti itu, gak boleh berkurang…”

“Dah tau ah, cerewet..” kesalnya, seraya ngeloyor masuk kedalam mini market. Sepeninggalan Tini kami semua tak kuasa menahan tawa, walau sebenarnya aku tidak tega.

“Kamu itu ada ada saja sih, dia itukan lebih tua dari kamu… kamu gak bisa seenaknya ngerjain kayak gitu dong…” omelku

“Gak apa apa pa… inikan cuma main-main aja… lagian disini gak mungkin ada orang yang kenal dia koq…” sanggah Nanda.

“Iya, tapi kalau nanti dianya ngambek bagaimana?” kali ini istriku yang bicara.

“Alaaaaah… paling ngambek sebentar… kalau memeknya udah disodok kontol papa sama Doni, paling -paling dia sudah senyum-senyum lagi… percaya deh…” Ah, bisa aja putriku ini, tapi apa yang dikatakannya itu sepertinya memang ada benarnya juga.

******

Beberapa menit kemudian Tini tampak keluar dari mini market, langkahnya begitu terburu buru dengan wajah hanya menatap kebawah, ditangannya telah menenteng bungkusan plastik, dan Ah, wajahnya tampak tak bersahabat, wah, gelagatnya sih ngambek nih..

“Nih berasnya…” ujarnya, sambil meletakan bungkusan plastik berwarna putih dan beberapa lembar uang kembalian.

“Nih, liat muka saya… gak ada yang berkurang kan? Puaaasss?” bentaknya pada Nanda, seraya menghempaskan tubuhnya kembali kekursi belakang, tepat disamping Doni.

“Maaf deh mbak… kita kan cuma bercanda…” mohon Nanda.

“Bercanda? Mbak Nanda tau enggak sih, betapa malunya saya tadi… semua orang disana memperhatikan saya, malah ada yang sampai menutup hidung, karna baunya yang mulai amis…” paparnya, matanya tampak mulai berkaca-kaca.

“Sekali lagi maaf deh, lagian disanakan enggak ada yang kenal sama Mbak Tini, jadi untuk apa malu… iya enggak don?” bela Nanda.

“Iya mbak, paling-paling sekarang mereka juga sudah melupakannya, ngapain malu…” kali ini Doni yang membela kakaknya, dan hanya ditanggapi diam oleh Tini.

Istriku kembali menstater mobil, dan kembali menyusuri jalan yang sudah tak lagi macet seperti sebelumnya

“Ya sudah, kalau gitu biar Doni bantu bersihkan… Tolong tisu mbak..” tawar Doni, seraya menyuruh kakaknya untuk mengambilkan tisu yang ada didepan.

“Gak usah, biar saya bersihkan sendiri..” betapa gelinya aku, saat kulihat Tini yang masih dengan wajah ngambeknya namun masih memiliki minat mencicipi air maniku dan Doni diwajahnya, sepertinya dia tak rela dan merasa sayang bila cairan kental itu harus terbuang si-sia. Jari telunjuknya bergerak menyeka sperma diwajahnya dan digiringnya kearah bibir, seraya dikulumnya jarinya itu, hal itu diulanginya beberapa kali hingga wajahnya benar-benar bersih dari cairan kental tadi.

“Enak mbak?” tanya Doni iseng

“Tau’ ah..” jawab Tini, dengan nada jutek.

“Jangan ngambek terus begitu dong mbak… Mbak mau ini?” Ujar Doni, sambil meunjukan batang penisnya yang sebenarnya masih belum berdiri tegak. Dalam cemberutnya Tini masih sempat melirik kearah selangkangan Doni, lalu kembali menatap kedepan. Namun pemuda itu tak menyerah, seraya diraihnya pegelangan tangan kiri Tini dan ditempelkan pada penisnya, wajah yang semula cemberut itu berangsur tersenyum walau masih malu-malu dan terkesan ditahan.

“Ayo dong mbak, dikocokin dede’nya yang masih tidur, biar dia bangun dan kembali menjadi super dede’, sipembela kebenaran.. he.. he.. he..” goda Doni, dan sungguh manjur, wajah Tini berubah sumringah mendengar banyolan Doni.

“Ih, dasar kamu anak nakal… paling bisa deh meluluhkan hati mbak… iiiihh, bikin gemes nih titit…” gemas Tini, seraya tangannya mulai mengocok-ngocok batang penis Doni.

Sementara Tini mengocok penisnya, tangan kanan Doni mulai merangkul pundak Tini, seraya dilumatnya bibir perempuan itu dengan hangat, dan untuk beberapa saat mereka saling berpagutan dengan hot.

“Celananya dibuka dong mbak, Doni kangen nih sama memek mbak Tini…” ujar Doni, setengah berbisik.

Seperti yang dipinta Doni, Tini mulai melucuti celana jeans pinsilnya sekaligus celana dalam.

“Nungging mbak…” kembali Tini menurutinya, menungging diatas kursi dengan wajah menghadap kejendela samping, bokongnya yang padat mengacung keatas, sehingga tampak menggoda dan menantang.

“Aaaawwwwwww… mmmmmmhhhh…” gumamnya manja, saat Doni mulai mengoral bibir vaginanya dari arah belakang.

“Slaappp… slaappp… srrryyuuuffff… cllaapp… cllaapp… nyemmm…” dengan lincah lidahnya bergerilya hingga keliang vagina, yang membuat Tini semakin blingsatan tak karuan menahan nikmatnya.

“Uuuuuuuuuuggghhhhhhh… nikmat mas Doni.. jilatin yang dalem memek embak… aaaagghhhhhh…” ocehnya.

Entah capek atau bosan dengan cara menunduk dibelakang Tini, kini Doni memposisikan tubuhnya berbaring telentang dengan kepalanya masuk kekolong selangkangan Tini, sehingga posisi wajah Doni kini berada tepat dibawah vaginanya.

Lidahnya kembali menjulur dengan kedua tangannya merangkul paha Tini, mendapat sentuhan dari bawahnya, wanita itu justru menduduki sekalian wajah Doni, seraya bokongnya diguncang-guncangkan dan diputar-putar dengan gemas.

Ibarat membuat sambal, wajah Doni adalah wadahnya, sedang bokong Tini merupakan alat penguleknya yang terus bergerak seolah ingin melumat hingga halus. Tentu saja aksi yang dilakukan Tini itu membuat Doni gelagapan bukan kepalang, sepertinya anak itu sulit bernafas dibuatnya.

“Mmmm… mmmmffffhhhh…” hanya suara seperti itu yang keluar dari mulutnya yang terhimpit selangkangan, sesekali tangannya ditepuk-tepukan pada bokong montok Tini sebagai isyarat agar perempuan itu mengangkat bokongnya.

Untuk beberapa detik perempuan itu mengangkat bokongnya, sekedar untuk memberikan nafas, lalu kembali vaginanya itu menyumbat mulut Doni, dan seperti semula diuleknya dengan gerakan memutar atau maju mundur.

“Uuuggghhhhhhhh… rasain tuh anak nakaaaaaalllll… makan tuh memekku… aaaaggghhhhh…” racaunya, dengan penuh emosi

Beberapa saat kemudian Tini beringsut dari posisinya, seraya menarik tangan Doni supaya bangkit.

“Ayo, udah Mas Doni.. Mas Doni duduk disini aja, biar Mbak Tini yang ngentotin kontol kamu..” pintanya.

Kini Doni duduk dikursi yang langsung ditumpangi oleh tubuh Tini, sehingga Doni kini memangku perempuan itu. Sepertinya Tini menginginkan posisi woman on top, sehingga dirinya bisa sepenuhnya memegang kendali permainan.

Bokongnya diangkat sesaat, seraya diludahi telapak tangan kirinya sendiri, untuk kemudian dioleskan pada vaginanya. Kini giliran tangan kanannya yang menggenggam batang penis Doni, lalu diarahkan ujungnya keliang vaginanya, blessss… Setelah dirasakannya telah pas bokongnya kembali diturunkan, dan tentunya dengan liang vagina telah terisi batang penis Doni.

Brooottttt… broootttt… broootttttt… Bokong Tini mulai bergerak naik turun, dengan kedua telapak kakinya bertumpu pada jok kursi, sedang kedua tangannya berpegangan pada pundak Doni.

“Aaaaagghhhh… Hugghhhh… hugghhhh… huggghhhhh… Isep tetek embak Don, emut pentilnya… uuuhhhhhh..” Dengan sedikit kesulitan Doni mulai mengulum puting susu Tini, gerakan perempuan itu yang begitu agresif membuat puting susu yang dikulumnya terlepas beberapa kali.

“Asssuuuuuuuu… Aku keluar maaaassss… Aaaaagggggghhhhhhh…” sudah kuduga, posisi, WOT seperti itu, ditambah lagi birahinya yang memang tengah meletup-letup, tak perlu waktu lama pasti perempuan itu sudah mencapai klimaks, itu terbukti, hanya sekitar satu menit, dia langsung mengejang menikmati puncak birahinya.

Setelah beberapa saat tubuh perempuan itu hanya duduk terdiam dipangkuan Doni. Tentu saja Doni tak juga tinggal diam, dirinya belum klimaks untuk permainan keduanya itu, dan butuh usaha yang aktif, diam tak akan dapat membawanya menuju puncak kenikmatan keduanya, mungkin itu yang ada dalam pikirannya.

Sehingga tubuh wanita dipangkuannya itu didorongnya kebawah hingga terjungkal dengan bagian kepalanya menyentuh dasar mobil, diikuti dengan menekuk kedua paha Tini kebawah, hingga kedua lututnya sejajar dengan buah dada. Sebuah posisi yang cukup akrobatik, dan bila dilihat dari kursi tempatku duduk ini, hanya bokong dan bibir vaginanyalah yang terlihat menyembul keluar, plus dengan sebagian pahanya yang terlipat sehingga menutup liang vagina, sedangkan bagian perut kebawah tentunya terhalang oleh sandaran kursi tempatku duduk.

“Saya masukin dipantatnya aja ya mbak? Soalnya memeknya susah dimasukin, lobangnya jadi menyempit nih…” papar Doni.

“Terserah Mas Doni aja deh…” pasrah Tini.

Blesss… batang penis Doni telah terbemam seluruhnya didalam anus Tini, dengan duduk bertumpu pada lututnya yang ditopangkan diatas jok kursi, pinggulnya mulai bergerak turun naik, seirama dengan batang penisnya, beberapa kali diludahi batang penisnya sendiri dengan maksud untuk memperlancar proses penetrasi.

Beberapa menit kemudian, Doni mengalami klimaks, menumpahkan spermanya didalam liang anus Tini, dan untuk beberapa saat setelah itu, pemuda itu hanya terdiam, kecuali nafasnya saja yang terlihat kembang kempis, sepertinya posisi yang barusan dilakukannya tadi itu benar-benar menguras tenaga mudanya.

“Gimana mbak, udah gak ngambek lagi kan?” tanya Doni, sambil tangan kanannya merangkul pundak perempuan itu.

“Ya enggak dong, masa’ sih mau ngambek terus-terusan… Kan udah dikasih obat ngambeknya yang paling ampuh… Ini dia nih.. l” ujar Tini, diikuti dengan meremas batang penis Doni.

Benar juga kata si Nanda tadi, ngambeknya Tini dengan sendirinya akan hilang setelah mendapatkan kepuasan seksual dariku atau Doni. Kini dua insan berlainan jenis dan usia itu saling berangkulan bagai sepasang kekasih, kepala Tini disandarkan pada dada Doni, sedang Doni masih merangkul tubuh wanita itu.

Selang beberapa saat keduanya tertidur pulas, dengan bagian bawah tubuhnya masih tanpa penutup. Begitupun dengan diriku, kurangkul gadis muda disampingku ini, gadis muda yang beberapa saat lalu kusetubuhi, gadis muda yang adalah darah dagingku sendiri, buah hati pertama kami dengan wanita yang kini tengah memegang kemudi, yang membawa kami menuju kekawasan perkemahan keluarga dikawasan pegunungan di Jawa-barat ini, yang sepertinya masih akan menempuh waktu sekitar satu jam lagi.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan