2 November 2020
Penulis —  blackmore

Keluarga Pak Trisno

Tiga hari sudah semenjak aku memerawani putri kandungku, dan semenjak itu pula kami belum pernah lagi mengulanginya. Mungkin dia masih merasakan nyeri pada kemaluannya akibat efek dari luka selaput daranya yang aku bobol. Disamping juga karena istriku yang kini telah berada dirumah, sehingga aku dan Nanda tak mungkin bisa melakukan affair dengan bebas.

Pagi ini kami tengah sarapan, seperti biasa kami makan bersama dimeja makan belakang rumah. Tempat makan outdoor bernuansa taman, dengan rumput gajah terhampar rapi dibawahnya, dan ditanami dengan berbagai jenis tumbuhan tropis yang membuatnya tampak rimbun dan asri. Tak jauh dari situ terdapat kolam hias dengan sehuah air terjun buatan, walau itu hanyalah air terjun buatan, namun memiliki kesan alami, bagai berada dialam pegunungan.

Untuk bangunan rumahnya, aku padukan antara gaya tradisional dan modern, dengan nuansa rumah joglo khas jawa-tengah, sebagaimana leluhurku. namun pada bagian dalamnya aku beri sentuhan modern agar lebih nyaman dan praktis.

Itulah sedikit gambaran tentang hunian tempat kami tinggal, hunian yang artistik dan indah.

Berbicara tentang keindahan, aku memang pecinta keindahan sejati, dan kondisiku memang kebetulan cukup memungkinkan untuk mendapatkan keindahan-keindahan itu semua, yang aku maksud memungkinkan disini adalah kondisi keuanganku. karirku yang cukup menjajikan dengan posisiku yang strategis di departement membuatku begitu mudahnya memperoleh uang hanya dengan membubuhkan tanda tanganku.

Salah satu keindahan paling berharga yg aku miliki adalah termasuk wanita disampingku ini, Rike veronica, 37 tahun, istriku.. Kurang apa dia bila yang diberi penilaian adalah keindahan dan kecantikannya. Sosok yang menjadi pusat perhatian teman-teman sejawatku saat kubawa bila sedang ada acara undangan, atau beberapa acara pertemuan.

Sosok dengan tinggi 170cm, dengan lekuk tubuh tak kalah dengan artis-artis seksi tanah air. hidungnya yang bangir, mata lebar bercahaya, dengan kulitnya yang putih. darah jerman yang mengalir dari ibunya membuatnya sekilas mirip artis sophia latjuba yang kini berganti nama menjadi sophia moler.. maksudku muller.

Ah, tapi tidak.. aku rasa artis itu masih belum sepadan bila dibandingkan dengan istriku. buah dada sophi terlalu kendor dan jatuh, serta kulitnyapun sudah mulai mengendur, berbeda dengan istriku yang berbuah dada padat berisi serta kencang, asli tanpa suntikan silikon, serta kulit masih kencang dan bercahaya.

Sedangkan bocah lelaki diseberang meja tepat dihadapanku itu adalah Doni, putra keduaku. pemuda tampan berusia 14 tahun yang tekstur wajah dan sinar matanya mirip ibunya. walau baru duduk dikelas 2 SMP namun tinggi badannya hampir menyamai diriku, bocah yang kerap aku pergoki sedang mengakses situs-situs dewasa dikamarnya, dan disaat secara diam-diam aku buka file-file dilaptopnya, isinya sebagian besar hanyalah film-film porno belaka, sepertinya untuk kegemarannya yang satu itu diwarisi dari diriku.

Lalu untuk gadis muda disampingnya itu.. Ah, untuk gadis bengal dan manja, serta sikapnya yang kekanak-kanakan itu, tak perlu lagi aku memperkenalkannya.

“Pa.. kayaknya mama harus berangkat sekarang deh…” ujar istriku seraya meneguk orange juice digelasnya.

“Sekarang? Sepagi ini? jam setengah tujuh saja belum..” balasku, sedikit memprotes

“Papaaa… Mama kan ditunjuk sebagai salah satu anggota tim panitia untuk acara itu.. tentunya mama harus hadir pagi-pagi benar dong..”

“Ya sudah.. Papa paham… Hati-hati dijalan.. dan salam sama ibu-ibu pengurus yayasan..” setelah apa yang aku katakan itu, sepertinya istriku bersiap meninggalkan meja makan.

“Oke deh, kalau begitu mama berangkat duluan ya pa.. mmmmuaahh..” ucapnya, diakhiri dengan mengecup pipi kananku.

“Kamu bener mau nyupir sendiri? Gak perlu diantar pak Somad?”

“Gak usah lah pa… lagian kayaknya dia hari ini gak masuk, katanya sih ada acara sunatan anaknya gitu..”

“Ya sudah kalau begitu.. Oh ya, jadi si Doni berangkat sekolah naik taksi nih.. atau aku antar saja..”

“Ah, gak usah repot-repot pa… biar sekalian aja dia berangkat sama Mama…”

“Iya pa… biarin aja dia pagi-pagi udah sampai sekolahan.. biar sekalian bantuan ngepel sama nyapu disana.. hi.. hi.. hi..” celetuk Nanda dengan mulut masih penuh dengan makanan. yang pagi itu masih mengenakan gaun tidur tipisnya. sepertinya gaun yang sama yang dipakai saat aku memerawaninya tiga hari lalu.

“Iya mah.. apa enggak kepagian tuh untuk Doni..” ujarku, yang langsung dipotong oleh Doni.

“Enggak apa-apa koq pa… sekalian Doni mau nyelesaikan PR yang belum sempat Doni selesaikan..”

“Ya sudah kalau begitu… Tapi lain kali, yg namanya PR itu harus digarap dirumah, dan harus kamu sempatkan.. Kenapa enggak tadi malam sih?” Paparku, sedikit mengomel.

“Maaf pa.. semalem Doni ketiduran..”

“Udah lah pa… Mama keburu ditungguin sama ibu-ibu yang lain nih.. kan gak enak.. Ayo Doni, langsung kita berangkat…”

*********

Sepeninggalan istriku dan Doni, praktis hanya menyisakan Nanda yang menemani sarapan pagiku. Putriku yang kini tepat duduk dihadapanku dan hanya dibatasi oleh meja makan. Dan senyumnya itu.. aku hafal benar arti senyumnya yang seperti itu, kekonyolan apa lagi yang akan dia tunjukan padaku.

“Papaaaaa… coba tengok kebawah meja pa…” Apa kubilang… Dan tanpa basi-basi lagi segera kutundukan kepalaku kebawah maja. Astagaa… kulihat dia tengah menyingkapkan gaunnya, sambil kedua pahanya mengangkang lebar, mempertunjukan liang vaginanya yang sudah tak lagi mengenakan celana dalam.

“Hi.. hi.. hi… kaget ya pa..?” godanya

“Ih, dasar kamu.. koq enggak pake celana dalem sih…”

“Biarin aja, sengaja koq… Eh, pa.. Entotin Nanda lagi dong… Udah kangen nih…” glek.. sebuah ajakan yang diucapkan dengan lugu namun bernada vulgar keluar dari bibir imutnya, yang membuat syahwatku meronta seketika.

“Dasar kamu anak nakal… emangnya papa enggak kangen apa…” balasku

“Kangen apa hayo…?” tanyanya lagi, hmmm.. aku tau jawaban yang dia inginkan.

“Rindu ngentotin kamu dong sayang…” Ah, tampaknya dia menyukai jawababku itu, terlihat dari ekspresinya yang tampak berbunga-bunga.

“Ih, papa… Ayo pa, kita ngentotnya dikamar Papa dan Mama aja ya…” Bagai tak sabar, ditariknya tanganku menuju kearah kamar tidur utama.

*******

“Pa… langsung dientot aja ya pa… Nanda udah gak nahan nih..” Deretan kata pertama yang diucapkannya begitu tiba didalam kamar.

“Koq buru-buru, Nanda enggak mau mainan sama dede’nya dulu?”

“Nanti aja deh pa… plis pa.. entotin Nanda dulu dong, dah gak tahan nih dari kemarin.. Abis, mau minta takut ketauan Mama..” mohonnya, seraya melepaskan gaun dan bhnya, lalu menghempaskan tubuhnya berbaring telentang diatas ranjang dengan mengangkangkan pahanya.

“Duh… kasian anak papa… iya deh, papa langsung entotin kamu ya sayang…” seraya kulucuti seluruh pakaian yang kukenakan. Kukecup bibir ranumnya yang merekah, yang dibalasnya dengan permainan lidahnya.

“Ayo pa.. langsung masukin dede’nya…” desaknya, sambil menyibak bibir vaginanya dengan kedua tangan.

“Iiihh… anak papa gak sabaran amat sih… oke deh.. siap-siap ya… satu.. dua.. tiga.. hap..” bless.. batang besarku amblas kedalam liang memeknya yang telah basah oleh cairan nafsu. diikuti dengan desahan lembut dari bibirnya.

“Udah enggak sakit lagi sayang?” tanyaku, kawatir bahwa rasa sakit akibat luka sobekan selaput daranya tiga hari lalu masih membekas.

“Enggak pa… udah enggak sakit pa.. Sekarang malah enak pa… enak banget pa.. Benar kata teman-teman Nanda yang permah dientotin sama cowoknya.. pertamanya saja yang sakit.. setelah itu enak…” paparnya sambil sesekali mendesah lembut.

“Koq Nanda enggak ikut-ikutan ngentot sama cowok Nanda…” pancingku

“Enggak mau ah… enakan ngentot sama papa aja…”

“Ihhh.. kamu memang anak pinter… Papa entotin yang kenceng ya sayang…” rasa gemas membuatku menghujamkan batang penisku dengan kecepatan tinggi, hingga tubuhnya ikut terguncang-guncang secara berirama..”

“iya pa.. yang kenceng pa.. Hgghh… hgghh.. hgghh…” racaunya, sambil kedua tangannya meremas bokongku, sementara kedua kakinya melingkar pada pinggulku.

Beberapa menit kemudian terdengar lengkingannya yang keras, diikiti dengan remasan tangannya pada bokongku yang semakin kuat, hingga kurasakan perih karna cakaran kukunya yang sedikit melukai buah pantatku.

“Papaaaaaaa… Nanda sampai paa… aaaaahhhggghhhhhh…” mulut yang memekik itu kusumbat dengan mulutku yang memagutnya dengan rakus, hangat kurasakan desahan nafasnya, pertanda memang nafsunya yang sedang tinggi, nafsu yang pada akhirnya tertuntaskan.

Kuhentikan sejenak kayuhanku, lalu kucabut penisku yang tertancap didalam liang vaginanya. Kutatap sejenak wajah yang terlihat sayu namun tergambar sebuah kepuasan pada dirinya.

Kuangkat keatas kedua pergelangan kakinya, lalu kutekuk hingga kedua telapak kakinya nyaris menyentuh kepalanya, tubuhnya yang masih ramping dan lentur memudahkannya untuk diperlakukan seperti itu.

“Koq kaki Nanda ditekuk-tekuk gini pa… kayak pemain sirkus aja…” herannya.

“Gak apa-apa sayang… biar kalau nanti peju papa keluar tertampung semuanya didalam rahim kamu…” jawabku dengan alasan sekenanya, walau sebenarnya hanya sekedar menikmati sensasinya saja menyetubuhinya dengan posisi akrobatik seperti itu.

Dengan posisi seperti itu, segera kutancapkan kembali batang penisku, dan kugenjot dengan kuat.

Hanya beberapa menit setelahnya, aku melenguh keras, merasakan nikmatnya orgasme dari persetubuhan sedarah ini, bersamaan dengan semburan sperma kedalam liang vaginanya.

“Aaaaaahhhh… papa keluar sayaaang… aaagghhh… aagghhh.. aaagghhh…” crott.. crott… croott.. Beberapa kali semburan spermaku mengisi liang rahimnya, hingga aku lemas dan terdiam untuk beberapa saat.

*********

Setelah orgasme yang kami dapati berdua, dan masih dalam keadaan bugil, kami hanya berbaring sambil diselingi oleh obrolan-obrolan ringan, atau sesekali dengan candaan-candaan konyolnya yang menggodaku.

“Pa.. Nanda bolos aja ya pa… cuma sekali iniiii aja… Papa juga, enggak usah masuk kerja dulu.. kita ngentot aja sampai siang ya pa… Gimana pa…? oke ya pa…?” Rajuknya, Ah, dalam lain hal pasti aku akan melarangnya dengan tegas, tapi untuk sebuah kenikmatan yang ditawarkannya, tentu itu lain cerita, dan kebetulan hari ini tak ada urusan yang terlalu penting dikantor, sehingga aku tinggal angkat telpon, minta ijin dengan alasan kurang enak badan.

“Oke deh… tapi sekali ini aja lho…” setujuku

“Horeeeeee… yess.. yess.. yesss…” soraknya kegirangan.

Sudah hampir setengah jam kami beristirahat setelah permaianan pertama kami tadi, hingga..

“Papa…”

“Apa..”

“Papa pernah melakukan anal seks sama Mama..?” Ah, mengapa pula dia menanyakan itu.

“Pernah.. memangnya kenapa?” jawabku, lalu dia terdiam sejenak

“Nanda di anal juga dong pa… mau ya pa… plis dong pa..” Ah.. Sebenarnya aku tak tega bila harus menghujamkan batang penisku yang besar ini kedalam liang anusnya itu.. tapi sepertinya dia begitu berharap.

“Iya deh, kalau memang kamu kepingin banget sih…” setujuku, yang langsung dijawab dengan ciuman pada pipiku.

“Mmuaahh… papa memang baik deh… Ayo pa kita mulai..”

“Sekarang…?”

“Enggak, Taun depan… ya sekarang lah.. Anus Nanda kan udah kepingin banget ngerasain ditoblos sama si dede’” sial, maksudku hanya ingin memastikan, sekarang juga atau beberapa menit lagi.

“Nanda nungging ya pa?” ujarnya, seraya memposisikan dirinya menungging diatas ranjang, mempertontonkan bokongnya yang mulus tanpa cacat, yang pada bagian tengahnya terdapat liang yang mengerucut, dengan guratan-guratan garis yang tertumpu pada satu titik pusat.

Kutarik bokongnya ketepi ranjang. Sepertinya lebih baik kalau aku menikmatinya dari bawah ranjang. Seraya aku melompat kebawah dan berjongkok diatas lantai. Pandanganku tertuju pada bokong yang menantang ditepi ranjang, terutama pada liang kerucutnya yang imut. Kuciumi sekujur pantat mulusnya dengan gemas, barulah lidahku terkonsentrasi pada liang berkerut itu, yang memberikan reaksi berkedut-kedut saat menerima gelitikan lidahku.

“Aaaaahhhhhhh… sedap paaa.. enaaaaakkkkk…” erangnya, menikmati sapuan lidahku pada liang anusnya.

Lidahku semakin lincah menari-nari disekitar area lubang pelepasannya, bahkan hingga kutelusupkan ujung lidahku memasuki rongganya, aroma khas anus justru semakin membuatku bernafsu, ditambah lagi ekspresi yang diberikan olehnya, dengan pekikan-pekikan nikmat bernada manja yang membuatku semakin gemas dibuatnya.

Tak sampai lima menit aku memberinya rangsangan. Kini aku berdiri dengan posisi batang penis mengarah pada liang anus anak gadisku. Sementara kedua tanganku meremas bokongnya yang putih bersih tanpa cacat itu.

“Bagaimana sayang… siap ya.. Sidede’nya udah minta masuk kedalam lubang anusmu nih…”

“Iya pa… langsung dimasukin aja pa… toblos pa..” pintanya, seolah tak sabar.

“Tapi sakit lho sayang…”

“Enggak apa-apa pa… udah toblos aja”

“Oke ya… siaaaappp… haapp…” kutekan batang penis yang telah kubaluri dengan sedikit air liur untuk pelumasan, agak seret memang, namun berhasil juga batang jakarku masuk hingga separuhnya.

“Gimana sayang? Sakit?” Tanyaku untuk memastikan.

“Enggak pa.. enggak sakit.. enak malahan pa… ayo pa… masukin yang lehih dalem lagi pa…”

Agak heran juga aku dengan apa yang dikatakannya itu, karna sebagian besar orang saat baru pertama kali melakukan anal seks, biasanya mereka akan merasa sakit, begitu pula saat pertama kali aku melakukannya terhadap istriku, yang merintih menahan perih, walau setelah itu justru malah ketagihan, dan selalu memintanya padaku untuk menyodominya setiap kali kami berhubungan badan.

Mungkin saja putriku ini memiliki elistisitas yang tinggi pada otot-otot anusnya, sehingga saat benda memasukinya, otot-otot itu akan melar dan menyesuaikan diri dengan ukuran benda yang memasukinya itu. Itu yang pernah aku baca disebuah rubrik kedokteran. Ini dapat kurasakan pada batang penisku yang sepertinya yang tak terlalu tercekik, bahkan sepertinya mudah saja untuk berpenetrasi didalamnya.

“Genjot yang kuat dong pa…”

“Bener kamu enggak sakit sayang…” kembaliku memastikan

“Ih, papa nih.. dari tadi nanya itu terus… enggak sakit, malah aku enak banget… ayo cepetan genjot yang kuat…” pintanya, dengan nada sedikit mengomel.

Apa boleh buat kalau memang itu kemauannya, seraya kupacu bokongku dengan kuat, yang membuatnya terguncang-guncang maju mundur seiring gerakan kayuhan bokongku.

Plok.. plok.. plok.. Suara benturan pahaku dengan bokongnya terdengar cukup riuh, bercampur dengan bunyi berkecipak dari gesekan antara penisku dan otot-otot anusnya, bahkan sesekali terdengar suara seperti kentut akibat rongga udara didalamnya yang tertekan. Namun diantara semuanya itu yang paling riuh justru adalah ocehannya itu, yang terkadang disertai erangan atau pekikan dalam mengekspresikan rasa nikmat yang dia rasakan.

“Auugghhh… asik pa.. enak pa… hajar lebih kuat pa… nikmaaatt…” Sepertinya memang dia sungguh menikmati hantaman batang penisku pada anusnya itu. Padahal aku pernah membaca juga bahwa sebagian besar wanita tidak menemukan kenikmatannya dalam anal seks, tapi kesimpulan itu tidak bisa disama ratakan secara keseluruhan, ada beberapa wanita yang justru lebih menikmati anal seks ketimbang seks melalui vagina, walaupun itu dalam sekala yang kecil.

Semakin kuat dan bertenaga bokongku bergerak maju mundur, semakin riuh pula erangan dan racauan dari mulutnya, untuk seketika putriku yang imut dan kekanak-kanakan berubah begitu liar dan binal, nafasnya memburu, pipinya yang putih dan licin bak patung lilin kini mulai memerah, kata-katanyapun sudah tak terkendali.

“Ayo pa.. terus pa… entotin anakmu ini pa… entotin lubang pantat Nana pa… papaaaa… aku sayang papaaa…”

Hanya beberapa menit setelah itu, pecahlah lengkingan yang keras, yang membuatku sedikit kawatir kalau itu akan terdengar oleh orang lain yang berada diluar, karna dirumah itu masih ada pembantuku yang terakhir aku lihat berada didapur, dan tentu saja aku tak ingin dia mengetahui hubungan terlarang kami ini.

“Aaaaaaaaagghhhhhhhhh… Nanda sampai paaaa…” Baru kali inilah aku mengalami wanita yang sedang kuanal mengalami orgasme, bahkan istrikupun belum pernah, apalagi abg-abg penjaja seks yang hanya menginginkan uangku, mereka hanya orgasme saat batang jakarku membombardir liang vaginanya.

Tubuh yang sebelumnya dalam posisi menungging kini ambruk hingga tertelungkup, dan saat dirinya tertelungkup seperti itu, samasekali tak kuhentikan aksiku, batang penisku masih terus menghujami liang duburnya.

Hingga beberapa saat kemudian kurasakan diriku akan mencapai kimaks, namun entah mengapa tiba-tiba timbul ide liar dalam pikiranku.

Pluupp.. kucabut batang penisku dari liang anusnya, lalu dengan tergopoh-gopoh kuarahkan pada mulut anakku yang masih tertelungkup.

“Ayo sayang… dimakan peju papa ya sayang ya… buka mulutnya sayang… buka yang lebar… aaaakkkk” gayung bersambut, obsesi liarku itu mendapat sambutan yang cukup hangat darinya, yang segera membuka mulutnya dengan lebar tepat dibawah ujung penisku. matanya menatap kearahku, seolah tengah mengamati ekspresi wajahku.

Crottt… crottt.. crottt…

“Aaaaaahhhhhhhh… makan peju papa sayang… aaaaaaaaahhh… aaaahhhh.. aaaahhhh..” cukup banyak cairan putih kental yang tertampung didalam mulutnya, namun masih belum ditelannya. Baru setelah tak ada lagi tetesan sperma yang keluar dari ujung penisku, tiba-tiba mulut yang sebelumnya menganga itu terkatup, disusul dengan gerakan menelan pada lehernya.

“Aaaaaaahhhhh… enak pa.. Lezaaaaaattt…” ujarnya, lalu mulut itu menghampiri penisku, menjilati sisa-sisa sperma yang masih melekat.

“Pa, nanti kalau kita ngentot lagi, pejunya Nanda makan lagi ya…” pintanya dengan manja, sambil mengurut-urut batang penisku berharap masih tersisa setetes dua sperma yang masih keluar.

“Nanda suka, makan peju papa? enggak jijik sayang..?” tanyaku, sambil mengusap-usap rambutnya yang lurus dan agak pirang.

“Enggak pa… Nanda enggak jijik tuh… enak koq pa..”

Akhirnya, setelah berbincang-bincang sebentar sambil bermesra-mesraan dengan anakku, untuk pagi itu kami menyudahi dulu permainan ini.

******

Sudah dua jam berlalu permainan terlarang antara aku dan Nanda, setelah itu aku bersantai-santai diruang keluarga sambil menonton tv, kini hanya duduk seorang diri menikmati indahnya warna-warni punggung ikan koi yang berwira-wiri didalam kolam, entah dimana Nanda, terakhir tadi aku tinggalkan dia dikamar utama sedang sibuk dengan ponselnya, sedang pembantuku baru saja pergi kepasar setelah kuperintahkan untuk membeli udang segar.

Sedang asik duduk, kurasakan sesuatu menepuk pundakku, ternyata adalah Nanda yang berdiri dengan seyum penuh arti, aku sudah mulai hafal dengan arti seyumnya itu, seraya kuputar posisi kursiku menghadap dirinya, dan membelakangi kolam yg sebelumnya menjadi perhatianku.

“Ada apa sayang?” tanyaku, dirinya masih berdiri tersenyum.

“Nanda punya kejutan untuk papa…”

“Kejutan apa lagi sih sayang?”

“Buka aja sendiri.. kejutan itu ada dibalik gaun Nanda..” Ah, paling-paling dia hanya ingin menunjukan vaginanya yang sudah tak lagi tertutup celana dalam, itu dapat kulihat dari balik gaunnya yg transparan.

“Ayo pa.. buka.” pintanya lagi

“Iya ayah buka… apaan sih emangnya..” setelah gaunnya kusingkap keatas, memang kulihat vaginanya yang sudah tak memakai celana dalam itu, namun aku tetap berpura-pura terkejut, sekedar untuk meyenangkan hatinya.

“Lihat yang dibelakangnya dong pa…” dibelakangnya? mungkin yang dia maksud adalah bokongnya.

Astaga… kali ini aku benar-benar terkejut dengan apa yang aku saksikan. Bagaimana aku tidak terperangah, disitu kulihat dildo milik istriku tertanam didalam lubang anusnya, dan hanya menyisakan buah pelirnya yang terhambat diluar. Aku tau betul ukuran dildo itu, diameternya cukup besar, bahkan lebih besar dari penisku, dan panjangnyapun sekitar 20cm.

“Hi.. hi.. hi… papa kaget ya.. seksi ya pa…?” ujarnya sambil sambil menggoyang-goyangkan pantatnya dihadapanku.

“Ih, dasar anak nakal kamu.. itukan punya mama..”

“Ada banyak dilaci pa.. Macam-macam lagi..” memang kami kadang sering memesan aksesoris sex-toy semacam itu melalui internet, yah.. sekedar untuk koleksi, dan tentunya juga kami gunakan sebagai variasi seks dengan istri agar tidak jenuh. Yang semuanya itu kami simpan didalam laci dikamar kami, dan rupanya anak nakal ini berhasil menemukannya.

Gairahku mendadak bangkit melihat aksi konyolnya, seraya kugenggam buah pelir dari dildo berbahan karet itu, dan kukocok-kocokan didalam anusnya beberapa kali, lalu kucabut dan kumasukan kedalam mulutnya untuk dikulum.

“Diemut dede-dedeannya sayang… aaeemmm…” rasa gemasku pada bocah itu membuatku terpancing untuk memasukan lebih dalam dildo itu kedalam mulutnya, lalu kukocok-kocok beberapa kali, kuyakini ujung dildo itu menyentuh sampai pangkal tenggorokannya, hingga matanya mulai tampak berair seperti orang menangis, yang membuatku mengeluarkan dildo dari mulutnya.

“Kamu enggak apa-apa sayang…?” tanyaku, dengan sedikit kawatir.

“Enggak apa-apa pa… Asik pa.. Ayo. lagi pa.. Lebih dalam lagi.. Dikocok-kocoknya yang lebih kuat ya pa…” Lega hatiku mendengar perkataannya itu, seraya kumasukan lagi dildo itu kedalam anusnya, kukocok beberapa saat, lalu kembali kumasukan pada mulutnya. Kali ini kulakakukan seperti apa yang diinginkannya tadi, yaitu untuk lebih dalam dan lebih keras.

Ghlogh… Ghlogh… Ghlogh… Air matanya mulai menetes dari ekor matanya, sementara dari sela-sela bibirnya mengalir cairan ludah kental hingga memenuhi dagunya.

“Kamu mau yang lebih keras dan lebih dahsyat lagi sayang…?” tanyaku, setelah melepaskan dildo dari mulutnya.

“Iya pa… Nanda mau pa.. plis pa…” mohonnya dengan wajah yang telah belepotan air liur pada dagu hingga pipinya.

“Papa akan ajari kamu sebuah permainan, namanya cappuccino… Kamu tau kan cappuccino?”

“Ya tau lah… itukan nama minuman… kenapa enggak bajigur aja sekalian…”

“Eiit… jangan ngeledek dulu.. cappuccino itukan minuman yang mengandung busa karna dikocok-kocok..” terangku

“Lalu apa hubungannya dengan kita yang lagi sik asik begini…?”

“Papa akan buat mulut kamu berbusa-busa seperti cappuccino itu.. Mau enggak?”

“Wooww.. kedengerannya asik tuh pa… mau dong.. mau.. Pasti dikocok-kocoknya pakai si dede, iyakan? wah, pasti asik tuh… ayo pa.. cepet pa…”

“Baik, sekarang kamu duduk dikursi ini sayang…”

Setelah dirinya duduk, kulepas celana pendekku, seraya kuposisikan batang penisku yang telah berdiri tegak mengarah pada mulutnya.

“Siap- siap ya sayang… kamu teriak cappoccino yang keras ya.. satu.. dua.. tiga…”

“Cappuccino..!” teriaknya.

Bersamaan dengan teriakan itu, kusumbatkan batang bazokaku pada mulutnya, dan tanpa ampun kugenjot dengan sekuat tenaga sambil kedua tanganku menjambak rambutnya. Kerasnya hantaman bokongku, ditambah dengan jambakan rambutnya yang kutarik kedepan, sehingga memberikan penekanan dari kedua arah pada mulutnya.

Belum sampai satu menit aksi kami berlangsung, telah begitu banyak air liur yang menetes memenuhi dagu dan pipinya, kocokanku yang kuat dan berkecepatan tinggi menghasilkan gelembung-gelembung ludah disela-sela bibirnya. Air matanyapun semakin deras menetes akibat sodokan batang jakarku yang menghujami tenggorokannya.

“Kamu enggak apa-apa sayang…” kawatirku lagi

“Enggak apa-apa pa… lagi pa.. lanjutin lagi pa… ayo pa…” mendengar jawaban itu, perasaanku kembali lega, dan kembali aku lanjutkan aksi ekstrimku itu.

Hampir lima menit aku membombardir mulutnya, pegal juga rasanya pinggangku dibuatnya, hingga keringatpun mulai membasahi tubuhku. Akhirnya kusudahi juga permainan itu, seraya kuberjongkok mensejajarkan diriku dengannya.

“Bagaimana permainannya sayang? Asik kan?” tanyaku, wajahnya tampak dipenuhi dengan cairan kental yg beberapa bagiannya seperti berbusa, terutama pada dagu, pipi dan hidungnya.

“Mantap pa… luar biasa.. papa memang hebat…” jawabnya, dibarengi dengan mengacungkan kedua ibu jarinya.

“Wah, cappuccinonya udah banyak tuh… papa cicipi ya?”

“Oke pa… silahkan pa…” ujarnya, seraya menyodorkan wajahnya yang telah dipenuhi “busa cappiccino spesial” itu.

Srrroootttt… srroott… Dengan rakus kuseruput cairan-cairan ludah kental yang menuhi wajahnya hingga bersih, yang diakhiri dengan kulumat bibir mungilnya.

“Pa… ayo dong, Nanda dientot lagi…” pintanya, setelah kami menyudahi france-kiss yang full of saliva itu.

“Oke deh sayang… sekarang kamu berdiri..” Yang segera diikuti olehnya. Setelah terlebih dulu melucuti gaun yang masih dikenakannya, sehingga dirinya kini benar-benar bugil ditempat yang sebetulnya terbuka ini, namun dinding pagar rumah ini cukup tinggi, sehingga tak mungkin orang lain dapat melihat aktifitas kami dari luar.

“Pegangan kursi.. oke, agak nungging sedikit… begini… iya, perfect..” sesuai dengan yang kuarahkan, posisinya kini berdiri membelakangiku dengan agak menungging, sambil kedua tangannya berpegangan pada sandaran kursi, sehingga bokongnya menyembul kearahku.

Posisiku telah berdiri membelakanginya, dengan batang penis berdiri tegak mengarah pada bokongnya yang menungging.

“Mau dimasukin dimana nih dedenya? Mau dimasukin ke sipuss atau anus?” tanyaku

“Anus dong pa…”

“Ih, dasar kamu nakal ya… Nih, rasakan..” blesss… seperti yang dimintanya, kuhujamkan penisku kedalam anusnya, dan langsung kupompa dengan kuat.

Sekitar lima menit aku menggenjot lubang duburnya. Kucabut sementara batang penisku.

“Diisep dedenya dulu sayang…” pintaku, yang segera dituruti olehnya mengoral batang penis yang baru saja berpenetrasi didalam liang anusnya.

“Pa.. Nanda mau jilat anus papa dong… boleh ya…” pintanya, hanya beberapa saat setelah dia mengoral penisku.

Aku berdiri dengan mengangkat sebelah kakiku keatas kursi, dengan posisi sedikit menungging untuk mempermudah aksesnya mengoral liang duburku.

“Ayo sayang… papa udah siap nih.. katanya mau jilatin anus papa…” ujarku, sambil meyibak belahan bokongku dengan kedua tangan.

“Oke pa…” dengan lincahnya lidah itu mengelitik-gelitik liang anusku, bahkan kurasakan ujung lidahnya seperti berusaha untuk menerobos masuk lebih kedalam. Ah, merem melek aku dibuat oleh aksinya itu, hingga mataku sepatuh terpejam menikmatinya. Kini tanganku tak perlu lagi menyibak belahan pantatku, karna kedua tangannyalah yang telah mengambil alih, sehingga kedua tanganku kini berpegangan pada sandaran kursi.

“Aaaauggghhhhh… terus sayang… kamu pinter sekali sih… Adauuoowww…” Sial, sedang asik-asiknya aku menikmati sensasi jilatan lidahnya, dengan iseng dimasukan jari telunjuknya kedalam liang duburku yang membuatku terpekik kaget.

“hi.. hi.. hi.. kaget ya pa..?”

“Ih, iseng amat sih kamu… sini kamu, biar papa entot lagi nih lubang pantatmu…”

Kembali kugenjot anusnya dengan batang penisku, dan tak sampai beberapa menit kurasakan puncak kenikmatan pada diriku yang diikuti dengan sebuah lenguhan panjang.

“Aaaaahhhhhhhh… papa keluar sayaaaang…”

“Pa… keluarin dimulut Nanda aja pa…”

“Tanggung sayang… aaahhh.. aaahh.. aaahhh.. huuhhh…” Tak sempat lagi aku mengikuti kemauannya, rasa nikmat ini sepertinya tak kuasa lagi untuk ditunda, hingga kutumpahkan seluruh spermaku didalam liang anusnya.

“Ih, papa gimana sih… kan mau Nanda makan lagi pejunya paaa…” keluhnya dengan wajah cemberut.

“Aduuuhh… maaf ya sayang… papa gak tahan sih.. udah nanggung banget tadi.. jadinya gak kepikiran..”

“Ah, dasar… papa sih..” gerutunya lagi. Yang membuatku berpikir sejenak untuk dapat mengobati rasa kecewanya itu.

“Ah, begini saja deh…” kuangkat tubuhnya dengan masih penisku berada didalam liang anusnya. Dan dengan masih dalam keadaan seperti itu, aku langkahkan kakiku kearah meja makan kayu tak jauh dari tempat itu. Lalu kudekatkan posisi pantatnya tepat diatas meja. Sepertinya anak ini masih belum mengerti dengan apa yang akan aku lakukan.

“Oke sayang.. sekarang papa cabut ya dedenya… satu… dua.. tiga… ya…” pluup.. Begitu penis terlepas, mengalirlah cairan kental dari dalam anusnya, yang jatuh tepat diatas meja makan.

“Kamu ngeden ya sayang… biar peju papa yang didalam anusmu keluar semua… iya ngeden, kayak kalo kamu e’ek itu lho…” terangku.

Benar seperti yang aku perkirakan, saat dia mengedan, semakin banyak air maniku yang menetes keluar diatas meja makan.

“Udah ya sayang… Tuh peju papa udah keluar lagi kan?”

“Ih, papa memang jenius deh… iya pa.. Nanda makan dulu pejunya ya pa…”

Dirinya yang kini berada diatas meja mulai menundukan kepalanya kearah gumpalan cairan kental diatas meja.

“Mmmmm.. baunya sedap pa…” ujarnya saat menghirup aromanya.

Srrruuuffffttt… hanya beberapa detik dihirupnya tanpa sisa, bahkan masih dijilatinya dipermukaan meja untuk sekedar mendapatkan sisa-sisa yang melekat.

“Mmmmm… sedap pa…” komentarnya, yang kubalas dengan mengecup mesra bibir yang masih menebarkan aroma sperma bercampur dengan aroma khas lubang anus.

*****

Dan semenjak saat itu, kami sering melakukan hubungan seks dengan anak kandungku ini. Bahkan saat istriku dirumahpun kami sempatkan pula untuk melakukannya disaat malam hari ketika istriku sedang terlelap, yang secara diam-diam aku memasuki kamarnya, menemui dirinya yang sedang menunggu untuk sebuah permainan seks yang mengasikan, dengan berbagai gaya dan cara yang belum pernah aku dapatkan dari siapapun termasuk istriku.

Kami melakukannya tidak selalu dirumah, terkadang juga dihotel saat dirinya pulang sekolah dan aku pulang kantor. ada saja alasan yang sepertinya masuk akal yang kami berikan pada istriku.

Dan sukurlah.. semua baik-baik saja, berjalan mulus dan lancar, dan kehidupan seksku dengan istripun biasa-biasa saja, kami tetap melakukannya walaupun terkadang hanya seminggu sekali. dan untuk pelajaran sekolahnya sama sekali tak terganggu, prestasi akademisnya disekolah masih tetap menonjol, karna pada dasarnya anak itu memang cerdas, secerdas ide-idenya untuk melakukan eksperimen-eksperimen seks yang mendebarkan, namun mengasikan, dan yang pasti…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan