2 November 2020
Penulis —  blackmore

Keluarga Pak Trisno

Fuuhhh… Urusan pekerjaan yang cukup sibuk, hingga hampir pukul sepuluh malam aku baru tiba dirumah. Biasanya tak sampai jam lima sore sudah berleha-leha dirumah sambil memanjakan putriku yang tengah hamil, yang sepulangku malam ini bahkan belum kulihat batang hidungnya, begitu pula Doni. Hmm.. mungkin mereka telah tidur, seraya kumenoleh kearah jam dinding yang telah menunjukan pukul setengah sebelas.

Walau dengan agak malas, kusantap juga barang sesendok dua, hidangan yang tersaji diatas meja makan. Sebenarnya aku sudah makan malam saat rapat dikantor tadi, tapi tak sampai hati juga jika aku harus mengesampingkan jerih payah istriku ini yang tentunya sudah dengan susah payah menyiapkan itu semua.

“Pada kemana yang lainnya ma? Apa sudah pada tidur?” tanyaku, sambil mengunyah malas makanan yang tak terlalu kunikmati.

“Anak-anak sepertinya sudah tidur, kalau Si Tini barusan sih masih melek. Tadi mau membantu menyiapkan makananmu, tapi aku larang, aku kawatir kandungannya akan bermasalah lagi. Yah, paling tidak bulan depan lah dia baru bisa kembali beraktifitas. Setidaknya itu yang disarankan dokter..” terang istriku.

“Eh iya ma, ngomong-ngomong kandungan Nanda sudah memasuki bulan yang kesembilan ya?” ujarku, seraya kuteguk segelas air putih, setelah kuselesaikan makan malam yang hanya kusantap sedikit.

“Iya, dan kalau normalnya sih, kemungkinan ya minggu-minggu ini dia sudah melahirkan” terang istriku, sambil melirik lesu kearah sisa makanan dipiringku.

“Maaf ya ma, bukannya papa gak doyan.. Tadi sebelum pulang, kami makan malam bersama dikantor, sehingga perutku rasanya masih kenyang. Mmmm.. mama gak perlu rapikan dulu makanannya, besok pagi masih bisa aku makan untuk sarapan, oke?” jelasku, yang dijawabnya dengan senyuman sambil mengangguk pelan.

“Gak apa-apa pa, mama ngerti koq. Keliatannya papa udah capek banget tuh. Yuk, kita langsung tidur aja..” ajak istriku.

************

Saat kami melangkah hendak menuju kamar tidur utama, kudengar suara yang tak asing lagi ditelingaku. Tepatnya suara itu berasal dari dalam kamar Doni. Tapi, kenapa itu seperti suara Nanda? Ya, suara Nanda sedang mendesah, berpadu dengan suara tepukan tubuh yang sedang bertumbukan. Untuk sesaat aku dan istriku saling bertatapan.

Benar seperti apa yang aku duga. Dari sisi hordeng jendela yang tersingkap kulihat Doni tengah menggenjot Nanda dengan posisi doggy style. Ya, Nanda yang tengah hamil besar menungging dibibir ranjang, ekspresinya begitu menikmati sodokan penis doni yang menghujami liang analnya. Tangan kanan Doni menjambak bagian belakang rambut putriku layaknya kekang kuda, yang membuat wajah Nanda menjadi agak mendongak keatas.

“Wah.. Ternyata istri dan suami kita lagi asik selingkuh ma..” ujarku sambil tersenyum.

“Hi.. hi.. hi.. Dasar. Biarin aja deh pa, mungkin Nanda dah gatel kali kelamaan nungguin papanya pulang. Trus kebetulan juga, tadi sekitar jam delapan aku sudah ketiduran didepan tv..” terang istriku.

“Tapi kayaknya seru juga tuh mereka, kita nimbrung sebentar yuk pa, trus nanti kita langsung tidur..” usul istriku, yang segera kusetujui.

Pintu kamar yang memang tak terkunci langsung dibuka oleh istriku, diikuti kami berdua yang langsung menghambur kedalam.

“Eh.. eh.. eh… Bagus ya, rupanya lagi pada enak-enakan disini… Kamu tuh Doni, gak boleh ngeliat mama meleng sedikit ya, langsung deh main toblos aja istri papa kamu. Udah gak setia sama mama ya, istrimu ini..” goda istriku, sambil berdiri tolak pinggang dibelakang Doni.

“Ah, abisnya mama dari sore udah molor duluan sih, kebetulan tadi kak Nanda ngajakin, ya udah…” jawab Doni, sambil terus menggenjot liang anal kakaknya itu.

“Iya, lagian papa juga lama amat sih pulangnya… Nanda kan udah gatel, kebetulan Doni lagi nganggur, langsung Nanda tarik aja kekamarnya..” jawab Nanda, sambil menungging diatas ranjang menikmati sodokan penis adiknya.

“Papa ada rapat sayaaang..” terangku.

“Rapat apa rapet…” ketusnya.

“Huusss… Gak boleh ngomong gitu dong Nanda, kasian tuh papa capek, cari duit sampai malem… Kan masih ada Doni. Ya udah, kamu puas-puasin deh ngentot sama Doni, biar mama sama papa liatin aja disini..” terang istriku.

“Iya Nanda, lagian papa juga udah capek banget…” sambungku, seraya menghempaskan tubuhku diatas sofa mini diruangan itu.

“Tuh, apa mama bilang… Ayo Doni, kamu puasin kakakmu.. Hajar terus lubang bo’olnya, itu memang yang paling dia suka… hiaa… hiaa..” ujar istriku, diikuti dengan menampar-nampar pelan bokong putra kami itu.

“Nih, biar kamu lebih semangat, mama beri suport dari belakang.” ujar istriku. Yang dimaksudnya suport dari belakang itu ternyata adalah dengan memberikan jilatan pada liang anus Doni, yang dilakukannya sambil berjongkok dilantai, dengan kedua tangan menyibak liang anus pemuda tanggung itu.

Aku hanya tersenyum menyaksikan bagaimana dia terlihat kerepotan karena gerakan bokong Doni yang semakin cepat, sehingga beberapa kali wajahnya harus terbentur-bentur bokong Doni.

Selang beberapa menit. Entah karena merasa kesulitan atau memang bosan, istriku menghentikan aksinya itu, seraya bangkit berdiri, lalu naik keatas ranjang. Sejurus kemudian dia telah duduk dihadapan Nanda dengan menggunakan bantal sebagai alas bokongnya. Bagian bawah dasternya diangkat hingga mencapai pinggang, hingga terpampanglah celana dalamnya yang berhadapan langsung dengan wajah Nanda.

“Kamu jilatin memek mama sayang…” pinta istriku, yang hanya menyingkap kesamping pinggiran celana dalamnya dengan tangan kanan. Sehingga terpampanglah keratan daging merah yang merekah.

Tanpa diminta dua kali, putriku itu langsung menjulurkan lidahnya pada belahan vagina mamanya itu.

“Hayo.. Mamaaa… Katanya cuma mau liat aja, koq malah ikut gabung sih.” sindirku.

“Enggak koq pa, mama bukannya mau ikut gabung.. Yang mama lakukan ini cuma sekedar memberi suport aja koq. Sebagai bentuk dukungan orang tua kepada anak-anaknya gitu lho.. Uuuugghhhh… terus sayang.. Mmm.. Itilnya dong.. Yeeesss…” jawab istriku. Diikuti dengan tangan kirinya yang menjambak rambut Nanda.

“Ah, bisa aja kamu.. Emangnya mendukung anak-anaknya dalam kegiatan apa?” pancingku.

“Ya mendukung kedua anak kandung kita yang sedang saling ngentot ini..” terangnya. Sambil mempermainkan lidahnya yang digerakan memutari bibirnya, lalu menjulurkan lidah itu dengan gerakan menggelitik seolah sedang menjilat sesuatu. Sepertinya dia memang sengaja memberikan pemandangan yang hot bagi putranya itu.

“Liat tuh Don. Kak Nanda aja gak jijik koq jilatin memek mama, padahal kita sejenis kan. Malah keliatannya dia suka banget… Liat tuh, itil mama aja diemut-emut begitu… Aaauuuh… terus Nanda sayang.. Uuuuhhhh… nikmatnya, makin pinter aja kamu… mmmmmhhh..” Ekspresinya yang mengerang sambil matanya setengah terpejam sungguh membuat istriku itu terlihat seksi sekali, ditambah dengan lidahnya yang menari liar.

“Mmmmmmhhhhh… Mama jadi bayangin kalau kamu saling isep-isepan kontol sama papamu… Pasti hot kali ya… uuuhhhhhh…“ocehnya.

“Mamaaaa… mulai deh. Jangan dengerin don.. Jangan mau terprovokasi..” celetukku.

“Ih, enak aja.. Emangnya mama provokator apa?” omel istriku, sambil melempar guling kearahku, yang langsung kutangkap.

“Mama bilang kan cuma membayangkan. Emangnya salah membayangkan kalian saling… mmm.. isep-isepan kontol… Salah gitu?” sewotnya, walau tak serius.

“Ah, terserah mama deh” ujarku, seraya kuberbaring diatas sofa mini dengan berbantalkan guling yang barusan dilempar istriku.

Selang beberapa saat setelah itu.

“Aaaaaagghhhhhh… Gue keluar don… uuuuuhhhhh…” pekik Nanda.

Beberapa detik kemudian tubuh wanita muda itu ambruk, namun masih tetap dalam posisi menungging, mungkin dikarenakan perutnya yang buncit sehingga dirinya kawatir untuk berbaring dengan posisi tengkurap. Sehingga hanya kepala dan tangannya saja yang direbahkan diatas ranjang, mengabaikan vagina istriku yang masih mengangkang didepannya.

“Don, tahan sebentar dong… kamu lepas dulu. Aku mau telentang dulu. Tar kamu boleh entotin aku lagi deh..” pinta Nanda, yang segera dituruti oleh adiknya itu. Pluupp.. tercabutlah sumbatan batang penis Doni dari liang anal kakaknya. Kesempatan itu digunakan istriku untuk mengulum batang penis yang pastinya telah beraroma “semerbak mewangi” karena baru saja keluar dari lubang pelepasan putri kami.

“Ayo, kamu hajar lagi tuh kak Nanda… cmon. baby.. Hiaa..” perintah istriku, setelah beberapa saat mengulum penis Doni, diikuti dengan menampar bokongnya.

Bless.. kali ini liang vagina Nanda yang dihajarnya, dan langsung digenjot maju mundur.

“Jangan kuat-kuat genjotnya don, ingat kakakmu sudah hampir melahirkan tuh..” ingatku, pada Doni.

“Iya pa, Doni paham..” ujarnya.

Dengan posisi telentang seperti itu, kusaksikan perut buncitnya juga ikut bergoyang-goyang seirama hantaman bokong Doni. Dan vaginanya yang merekah itu seperti menyedot batang penis Doni saat batang jakarnya bergerak masuk, dan seperti ikut tertarik saat jakarnya bergerak kebelakang. Hmm.. sangat erotis, ditambah lagi batang penis Doni yang tampak berkilat licin oleh cairan vagina kakaknya itu.

“Aaaaaaggghhhhhh… Doni keluar kaaaakkkk… sedaaaaaaapppppp…” lenguh bocah itu, diikuti dengan gerak bokongnya yang tersendat sendat, dan akhirnya diam.

“Aduuhhh… aaahhh… aduuhh… muleeessss… aduuuhhh..” Kali ini yang merintih adalah Nanda, tapi itu bukan rintihan nikmat, melainkan rintihan kesakitan. Ekspesi wajahnya sungguh-sungguh tengah mununjukan rasa kesakitan, sedang kedua tangannya memegangi perutnya.

“Doni, kamu apakan kakakmu… Papa udah bilang, jangan keras-keras…” panikku, seraya bangkit dari posisi berbaringku.

“Enggak koq, Doni enggak keras-keras pa…” belanya, seraya mencabut batang penisnya itu. Masih sempat kulihat tetesan sperma disela-sela bibir vaginanya.

“Tenang pa… tenang… Tak perlu ada yang disalahkan.. Itu kontraksi, pertanda kalau Nanda sudah waktunya mau melahirkan… cepat papa siapkan mobil, kita langsung ke rumah sakit malam ini juga… Kamu Doni, siapkan pakaian kakak kamu seperlunya, masukan kedalam tas, cepat. Biar mama yang menuntun Nanda turun…

************

Bayi laki-laki yang sehat dan tampan telah lahir secara normal dari rahim putriku dengan bobot 3,9kg. Walau baru saja berjuang sekitar dua jam hingga sang bayi berhasil keluar melihat dunia ini dengan selamat, namun senyuman putriku tak pernah sirna dari wajahnya selama sang jabang bayi diletakan disampingnya.

“Bapak Trisno.. Silahkan kedepan untuk menemui dokter Indra..” pinta seorang perawat. Segera kuikuti perawat itu, meninggalkan Nanda, Doni dan istriku yang tak henti-hentinya menimang-nimang cucu pertamanya itu.

“Silahkan duduk pak..” pinta seorang pria setengah baya berkepala plontos pada bagian tengahnya, mengenakan pakaian putih khas seorang dokter.

“Bapak yang in charge atas pasien dengan nama Ananda SekarNingrum?” tanyanya.

“Betul, saya sendiri. Saya ayahnya”

“Proses kelahiran anak bapak berjalan baik, tak ada masalah yang berarti selama proses tadi, baik kondisi bayi maupun ibu semuanya sehat, sehingga besok sore kemungkinan putri dan cucu bapak sudah bisa pulang..” terangnya.

“Sukurlah kalau begitu dok..”

“Mmm.. Anak bapak ini baru berusia 17 tahun ya, masih sangat muda sekali” sebuah pertanyaan yang sudah kuduga bakal terlontar.

“Ya, begitulah dok. Dia memang menikah muda.. Apa karena usianya itu, ada yang menyulitkan pada proses persalinan tadi?”

“Oh, tidak sama sekali, seperti yang tadi saya katakan semua berjalan lancar, kondisi putri bapak sudah cukup mumpuni untuk menjalani proses persalinan.”

“Lalu?” tanyaku, dengan nada yang sedikit ketus. Sejujurnya aku agak kurang nyaman dengan pertanyaannya tentang usia anakku itu. Apalagi setelah dia jelaskan bahwa putriku dapat menjalani proses persalinan dengan lancar. Mengapa pula dia masih menyinggung soal usia muda putriku.

“Ah, tidak, tidak mengapa..” jawabnya, sepertinya dia agak salah tingkah dengan pertanyaanku tadi. Ah, seharusnya aku tak perlu menunjukan sikap yang kurang bersahabat seperti tadi.

“Oh ya, suaminya dimana ya pak. Sebenarnya ada yang harus saya bicarakan kepada suaminya secara langsung. Ya, semacam penyuluhan kepada pasangan yang baru memiliki anak, semacam penerangan tentang bagaimana memperlakukan bayi, tentang hubungan suami istri dan beberapa hal lainnya. Semacam prosedur standar pasca melahirkan..

“Sayang sekali dok, suaminya sedang berdinas diluar kota selama satu minggu kedepan. Mmm.. Dokter bisa menerangkannya itu kepada saya, kemudian nanti saya akan sampaikan kepadanya” terangku..

“Yah, baiklah kalau memang begitu..” seraya dia menulis pada selembar kertas entah apa itu.

“Tadi saat proses persalinan ada saya temukan sperma yang masih segar pada rahimnya..” terangnya, sambil dirinya masih tetap menulis. Namun kulihat dia melirik sejenak kearahku untuk melihat reaksiku atas pertanyaannya itu. Ah, apa perlunya dia menanyakan hal seperti itu, sungguh dokter usil. Aku rasa tak ada korelasinya pertanyaan itu dengan proses persalinan.

“Oww begitu.. Ah, dasar pasangan muda. Malam tadi, hanya sekitar satu jam sebelum putriku itu menunjukan tanda-tanda melahirkan, manantu saya itu baru saja berangkat kebandara.. Yah, mungkin sebelum itu… Dokter tau sendirilah. Pasangan muda yang akan berpisah selama satu minggu..” karangku. Fuuhh..

Tak lama setelah itu, sang dokter memberi sedikit penyuluhan padaku. Lalu memberikan beberapa buku kecil semacam panduan bagi orang tua yang memiliki bayi, tentang bagaimana memperlakukan bayi, dan lain sebagainya.

“Buku-buku ini bisa bapak berikan pada putri dan menantu bapak.. Selebihnya, biar saya yang akan terangkan sendiri kepada putri bapak nanti. Dan ini, resep beberapa vitamin yang bisa bapak tebus di Apotik depan..” terangnya.

************

Malam itu rumah kami bertambah seorang lagi penghuninya, setelah sore tadi kami kembali dari rumah sakit bersalin, menjemput Nanda bersama dengan bayi mungil yang adalah darah dagingku.

“Iihh… si dedeknya koq gak ada kenyang-kenyangnya sih ma.. semenjak di rumah-sakit tadi netek terus gak ada berentinya.. betek deh kalo begini sih..” keluh putriku, sambil berbaring diranjang kamarnya menyusui sang buah hati kami.

“Bayi laki-laki memang begitu sayang.. kamu harus sabar ya..” nasehat istriku, yang dengan telatennya mendampingi dan memberikan arahan-arahan dalam merawat bayi.

“Merawat bayi itu enggak gampang sayang. Disitulah akan diuji kesabaranmu sebagai seorang ibu. Tak lama lagi mama juga akan melahirkan dan tentunya juga akan memiliki kesibukan sendiri, sehingga kamu harus belajar mandiri.”

“Iya kak, merawat bayi itu tak semudah membuatnya..” celetuk Doni, yang saat itu juga duduk dibibir ranjang tepat disamping istriku.

“Ah, kamu tuh tau apa sih… Kamu tuh yang taunya cuma bikin anak doang..” Sewot Nanda.

“Ya sudah, kalau dikasih tau…” acuh Doni, sambil merabahkan kepalanya dipaha istriku, seraya mengecup perut buncit ibunya yang adalah bakal anaknya kelak.

“Eh, ma.. Nanti biar suruh si Doni aja yang merawat anaknya, biar dia tau bagaimana rasanya ngurusin bayi..” Ujar Nanda.

“Yeee.. Gak bisa gitu lah, itu kan bukan tugas laki-laki” jawab Doni.

“Emangnya tugas laki-laki apa?” tanya Nanda.

“Mencari nafkah.. cari duit..”

“Emangnya kamu bisa cari duit..?” cibir Nanda.

“Ya nantilah, kalau sudah dewasa, sudah selesai kuliah, sekarang aja masih SMP”

“Masih SMP tapi udah punya anak.. Makanya karna kamu belum bisa cari duit, jadi tugas kamu yang urus bayi. Jangan disamakan dengan papa, kalo papa kan udah bisa cari duit. Iya enggak pa?” goda Nanda.

“Aduuuhh… Sudah.. sudah deh, kenapa jadi pada ribut begitu sih…” lerai istriku, sambil dengan cekatannya mengganti popok sang cucu yang baru saja diompoli.

************

Hanya berselang dua minggu setelah itu, kini giliran istriku yang melahirkan bayi perempuan yang cantik dan lucu. Sehingga kini Nanda terpaksa harus belajar mandiri untuk mengurus bayinya, karena istriku juga memiliki kesibukan yang sama. Aku pernah menyarankan untuk mempekerjakan saja seorang babysitter, tapi mereka menolaknya, alasannya kehadiran babysitter akan mengurangi keprivasian dikeluarga ini.

Dan semenjak itu pula praktis kegiatan memanjakan syahwat yang biasa kami lakukan menjadi tak sesering biasanya, bahkan bisa dibilang jarang, itupun hanya sebatas oral seks. Namun aku maklum itu, dan dapat memahaminya, serta tak ada sama sekali keinginan untuk mencari kepuasan diluar sana.

Tini? Hmm.. perempuan itu telah memasuki tiga bulan lebih usia kandungannya, dan mulai terlihat sehat. Itu dapat dipastikan pada setiap pengontrolan di dokter kandungan, perkembangan janinnya menunjukan grafik yang positif. Namun untuk menumpahkan hasrat birahiku kepadanya aku masih belum berani. Yah, paling tidak sekitar dua minggu lagi lah.

Seperti pada sore ini, tepatnya lima hari setelah istriku melahirkan. Doni yang sekitar satu minggu tak mendapatkan “jatah” dari sang bunda, kini tengah asik menetek pada puting susu sebelah kanan istriku. Rupanya dia tak mau kalah dengan anak pertamanya yang juga tengah menyusu diputing sebelah kiri.

“Iihh… dasar kamu ini, gak bisa ngalah sedikit ajaaa… Masa’ jatah anaknya diambil juga..” ujar istriku, yang saat itu tengah berbaring dikamar utama. Dan biasanya pada sore hari seperti ini, Nanda juga membawa serta bayinya kesana untuk sekedar menanyakan satu dan lain hal kepada istriku dalam mengurus bayi.

“Mmmm… nyemm.. nyemm.. srruufff. mmmuuahhh… Udah seminggu nih ma, Doni gak ngerasain ini..” ujar Doni, sambil tangannya mengelus-elus selangkangan ibunya itu.

“Memek mama masih belum bisa dimasukin sayaaaang… paling tidak satu bulan lagi deh..” terang istriku, yang memang sesuai standar kesehatan, selama sekitar satu bulan setelah proses persalinan barulah diperbolehkan untuk melakukan hubungan suami istri.

“Iya, tapi Doni lagi sange’ banget nih ma..” rengek Doni. Ah, dasar anak ini, benar-benar tidak pengertian.

“Ya udah, sini mama isepin..” tawar istriku, sambil tangannya merogoh kedalam celana boxer Doni.

“Nah gitu dong ma, gak apa deh, gak bisa ngentot memek, ngentot mulutpun jadi.. he.. he.. he..” girang Doni, seraya melepas celana pendeknya lalu dicampakkan begitu saja kelantai.

“Kamu netek aja aja ya anak manis, sambil mama puasin papa kamu. Abis papa kamu ini nafsunya gede banget sih. Nanti kalo udah gede, kamu juga bisa puasin papa kamu ini. Nanti kita keroyok dia berdua, kita bikin sampai dia gempor hi.. hi.. hi..” oceh istriku, kepada bayi yang tentunya masih belum mengerti apa yang diucapkan ibunya itu.

Sambil tetap menyusui sang bayi, istriku mulai mengulum batang penis Doni yang berlutut diatas ranjang sambil kedua tangannya meremasi kepala ibunya, sedang kedua matanya tampak separuh terpejam dengan mulut yang menganga.

“Aaaaaahhhhhhh… sedaaaaapp… uuuufffhhhhhh… udah seminggu nih. Rekor terlama enggak ngerasain ngentotin mama… zzzzzzzzz… uuuuhhhhh…” racaunya.

“Jangan berisik lagiii… Keponakanmu udah mulai tertidur nih..” protes Nanda, yang berbaring miring disamping istriku sambil mengeloni putra kami yang mulai terlelap itu.

Melihat aksi yang dilakukan istriku dan Doni, mau tidak mau aku yang duduk disofa sudut ruangan itu juga mulai gelisah. Kulihat Nanda menatap kearahku, sepertinya anak itu mengerti apa yang sedang kurasakan.

“Papa juga mau Nanda puasin..?” tawarnya, dengan setengah berbisik kawatir membangunkan anaknya. Ah, anak baik. Dia memang mengerti apa yang tengah aku rasakan.

Aku berpikir dia juga akan memberikan servis blowjob seperti halnya yang dilakukan istriku, namun dugaanku meleset saat kulihat dia melepas celana dalamnya lalu menarik dasternya hingga sebatas pinggang. Dengan masih berbaring miring, bokongnya ditunggingkan kearah bibir ranjang, sehingga dirinya seperti orang yang tengah meringkuk kedinginan.

“Gak usah sayang, kan masih satu minggu lagi..” ujarku, mengingat bahwa setelah proses melahirkan kemarin dulu, vaginanya itu harus dijahit, yang tentunya perlu waktu dalam proses penyembuhannya. Walau liang anusnya yang aku toblos, namun seberapa jauhlah jaraknya dengan dinding vagina, yang tentunya akan tetap bersinggungan saat terjadi proses penetrasi, aku kawatir luka jahitannya yang belum begitu pulih benar akan terganggu.

“Gak apa-apa koq pa, kayaknya bekas jaitannya udah mulai sembuh, jadi kalo yang dimasukin cuma lubang anusnya sih gak apa-apa kali..” terang putriku.

Nafsu birahiku yang memang tengah memuncak, ditambah pula sudah sekitar tiga minggu batang jakarku ini tak lagi merasakan penetrasi, kecuali hanya servis oral yang diberikan Nanda, itupun bisa dibilang jarang, dikarenakan waktunya itu lebih banyak dihabiskan untuk mengurus sang bayi. Tentu saja tawaran anal seks yang didepan mata itu tak akan aku sia-siakan, terlebih Nanda telah merasa yakin bahwa yang akan dilakukannya itu tidak akan berakibat buruk pada bekas luka jahitannya.

“Kalau menurut kamu memang seperti itu sih, papa tentu sangat bersukur sekali sayang..” girangku, diikuti dengan menarik lepas celana training sekaligus celana dalam yang membalut bagian bawah tubuhku.

Setelah terlebih dulu kukecup lembut bibirnya sebagai tanda terima kasih, kuarahkan ujung penisku yang telah menegang dimuka liang anusnya. Kuludahi pada topi bajanya untuk sekedar memberi pelumasan.

Bleesss… Diikuti dengan desahan lembutnya, pinggulku mulai bergerak maju mundur dengan posisi berdiri.

Tidak seperti biasanya dimana aku bisa membombardir liang anusnya itu dengan sekuat tenagaku, kali ini hanya aku goyang dengan kecepatan rendah dan lembut, namun itu tidaklah mengurangi sensasi nikmat yang aku rasakan, terutama dengan posisi miring seperti ini.

“Mmmmmhhhhh… iyaaaahhhh… enak pa.. uugghhhhh…” erangnya pelan, dengan mata separuh terpejam, sedang tangan kanannya masih mengusap-usap lembut kening bayinya yang tengah tertidur.

“Aaagghhhhhh… Udah tiga minggu enggak papa entotin, makin tambah legit aja bo’ol kamu sayang… uugghhh..” ocehku, dengan kedua tangan meremasi bokong sebelah kirinya.

“Iya pa, Nanda juga sebenarnya udah kangen ditoblos kontol papa… uuugghhhh… zzz.. Aaaahhh..” gumamnya, namun bersamaan dengan itu, sang bayi tampak bergerak-gerak hendak terbangun.

“Ssssstttttt… sssstttttt… bobo’ ya sayaaaang… Biarkan dulu mamamu dientot sama papamu… kali iniii sajaa.. plis deh.. ssssssshhhh… ssssshhhh.. ssssshhhh…” ajaib, sepertinya bayi itu mengerti apa yang diinginkan orang tuanya ini dan kini dia kembali terlelap.

“Sssshhhh… anak pinter… anak baik… anak ganteng… Anak kita emang pengertian ya pa, tau aja kalau kita ini lagi asik.. mmmmhhhhhh… goyangnya agak kuat sedikit kayaknya gak apa-apa deh pa…”

“Beneran nih?” tanyaku sekedar untuk meyakinkan.

“Iya pa, gak apa apa koq…”

“Emangnya udah gak sakit..”

“So far sih gak sakit…”

“Ya udah, kalo gitu papa goyang agak kuat ya?”

“He-em”

Bersamaan dengan itu pinggulku mulai bergerak lebih cepat, sehingga menimbulkan bunyi pok.. pok.. pok.. clapp.. claapp.. claapp..

“Nah, ini lebih enak pa… uuugghhhhhh… terus paaaa… Mmmhhhhh… Lama gak ngerasain kontol papa, kayaknya makin sedep aja nih pa… mmmmmhhhhh…”

Sementara itu istriku masih sibuk mengoral batang penis Doni sambil menyusui bayinya. Namun kali ini pandangan Doni lebih banyak tertuju pada bokong Nanda yang tengah kugenjot. Hmm.. sepertinya anak itu juga kepingin merasakan seperti yang seperti aku rasakan, sayangnya istriku baru satu minggu setelah proses melahirkan, sehingga tak mungkin istriku nekat untuk melakukan penetrasi.

Tak sampai lima menit aku menyetubuhi Nanda, kurasakan penisku mulai berdenyut, yang menandakan puncak kenikmatan telah hampir kucapai.

Hingga akhirnya…” Aaaaggghhhh… papa keluar sayaaaang… uuugghhhhhh…” erangku, fuhh.. nikmat sekali rasanya, sepertinya sperma yang kutumpahkan didalam liang anusnya begitu banyak, karena memang sudah cukup lama cairan kental itu hanya mengendap didalam tubuhku.

Belum lagi aku mencabut batang penisku dari dalam lubang pelepasannya, secepat kilat Doni melompat dari atas ranjang, yang langsung berdiri disampingku.

“Gantian pa… Ayo cepetan cabut…” pinta Doni, sambil tangan kanannya memegangi batang penisnya yang tegang mengkilat oleh cairan ludah istriku.

Aku yang masih menikmati sisa-sisa kenikmatan yang belum tuntas tentu saja sedikit terganggu, namun tetap saja kucabut batang penisku yang masih menancap didalam liang anus Nanda. Pluupp… bersamaan dengan itu mengalir keluar tetesan sepermaku dari sela-sela lubang pelepasannya. Namun itu tak berlangsung lama, karena dengan cepat batang penis Doni telah menyumbatnya.

“Awas lho don, jangan kasar..” peringatku pada Doni, seraya kuhempaskan tubuhku diatas sofa.

“Bereslah, Doni dah tau..” jawabnya, sambil pinggulnya mulai bergerak maju mundur.

Hanya beberapa menit Doni menggenjot anal Nanda, keduanya mencapai orgasme hampir secara bersamaan.

“Aaaaagghhhhhhhh… Aku nyampe don… Aaaaagghhhhhhh… “pekik Nanda, disertai dengan tangannya yang meremas sprei. Sungguh sial, pekikannya yang terlalu nyaring membuat si bayi yang sebelumnya tertidur menjadi terkaget, dan diikuti oleh tangisnya yang menambah riuh diruangan itu. Namun untuk beberapa saat Nanda tak menghiraukannya, sepertinya rasa nikmat yang tengah dirasakan tak reka jika harus terputus karena tangisan sang buah hati.

“Ngentooooootttttttt… Gua juga keluar niiihhh… Aaaaahhhgggg… enak bangeeeettt…” lenguh Doni, sambil meremas kasar bokong Nanda, disertai dengan pinggulnya yang menghentak-hentak kasar. Tentu saja aksinya itu membuatku kawatir.

“Doniiiii… Papa bilang apa tadi.. Jangan kasar, kakakmu belum pulih benar..” tegurku.

“Iiii… iiya… paa… uuugghhhh… kelepasan… Aaaahhhhh… Gak sengaja… ffuhhh…” ujarnya, dengan nafas tersengal-sengal.

Beberapa saat kemudian Doni telah tergolek duduk disampingku dengan nafas ngos-ngosan.

“Fuuuhhhh… Mantap pa..” komentarnya, seraya mengacungkan telapak tangannya diatas kepalaku. Ah, dasar anak muda, rupanya dia mengajakku beradu telapak tangan, yang langsung aku turuti.

Kini giliran Nanda yang harus menghibur bayinya yang masih menangis, sedang dari liang analnya mengalir cairan kental yang dapat kuyakini jumlahnya cukup banyak, karena baik aku maupun Doni sudah cukup lama tak menumpahkan sperma, dan kini tertampung didalam satu “wadah” yang baru saja membuat aku dan Doni merasa puas.

Cerita Sex Pilihan