2 November 2020
Penulis — blackmore
“Engkos… Tolong ambilin kursi yang tadi ada dikamar…” perintah Rusli kepada Engkos. Yang segera dituruti oleh Engkos dengan ngeloyor pergi kearah tempat dari mana mereka tadi datang.
Beberapa detik kemudian Engkos telah kembali dengan menyeret sebuah kursi mebel berbahan busa yang dilapisi kulit. Tampilan kursi yang terlihat usang, dan pada bagian tengahnya telah membentuk cekungan karena sering diduduki.
Dengan mudahnya tubuh mungil Nanda diangkat oleh Rusli yang tinggi besar. Pada kursi usang itulah putriku diletakan. Namun tidak dengan posisi yang semestinya. Dudukan kursi yang seharusnya untuk menghempaskan bokong, justru digunakan untuk bertumpunya kepala putriku. Sedangkan kedua kakinya berada diatas dengan mengait pada sandaran kursi.
Sebuah posisi berbaring yang tak lazim. Entah apa yang akan diperbuat oleh satpam tengik itu.
“Digeser sedikit kepalanya ya manis…” Ujar Rusli, sambil menarik kepala putriku hingga mencapai bibir dudukan kursi. Sehingga kepalanya kini menjuntai kebawah dengan rambut nyaris menyentuh lantai.
“Ayo, diisep lagi kontol om… Aeeemmm…” Sial, ternyata dia memasukan kembali batang penisnya itu kedalam mulut putriku. Dan sambil masing-masing tangannya berpegangan pada kedua payudaranya. Bokongnya mulai bergerak maju mundur.
“Wah, ide ente boleh juga tuh… Boleh juga nih untuk dicoba’in..” ujar Pak Kasman.
“Ia, tapi tunggu dulu sebentar boss..” jawab Rusli, sambil bokongnya semakin kuat membombardir mulut putriku.
“Ghlaagghh… ghlaagghhh… ghlaagghh…” Suara erangan yang terdengar aneh keluar dari mulut putriku. Bercampur dengan dengus nafas yang memburu dari mulut Rusli. Air liur kental mulai membanjiri pipi, dan turun terus hingga kemata dan keningnya. Bahkan sampai mengenai rambut, yang akhirnya jatuh menggenangi lantai.
“He.. he.. he.. Gimana neng… sedap enggak?” tanya Rusli, setelah menarik keluar batang penisnya dari mulut putriku.
“Enak om… nikmat.. Ayo terus om… entotin lagi mulut aku..” Sudah kuduga, anak itu memang menyukai aksi oral seks yang sebetulnya cukup terbilang brutal itu.
“Oh, tentu saja anak manis… Sekarang giliran kontol Pak Kasman yang akan memanjakan mulut kamu yang imut ini he.. he.. he..” ujar Rusli, sambil menepuk-nepuk pipi Nanda.
“Oke lah kalo begitu… sekarang kamu rasakan nih, kontol papi.. he.. he.. he..” Sial, enak saja tua bangka itu meyebut dirinya papi pada anakku.
Gila, si tua bangka ini lebih ganas lagi menghujamkan batang penis panjangnya itu kemulut putriku. Bila si Rusli tadi berpegangan pada kedua payudara Nanda. Sedang kedua tangan Pak Kasman memegang kepala putriku. Posisinya yang membelakangi membuatku melihat dengan jelas bokong teposnya yang hitam bergerak maju mundur dengan irama yang cepat dan bertenaga.
*********
“Sekarang kita mulai permainan yang sesungguhnya ya anak manis…” ujar Pak Kasman, diikuti dengan mengangkat tubuh Nanda, dan mendudukannya diatas kursi dengan posisi normal. Lalu kedua kakinya disangkutkan pada masing-masing lengan kursi. Praktis dirinya kini mengangkang lebar memperlihatkan vaginanya yang tampak menantang.
Kini lelaki setengah baya itu mulai bersiap melakukan aksinya. Posisi tubuhnya kini telah berada diatas putriku. Dengan tangan kanannya membantu menuntun batang penisnya kearah liang vagina Nanda.
“Siap-siap ya manis… satu… dua… tiga…” bless… bokongnya bergerak maju, bersamaan dengan batang rudalnya yang juga telah berhasil membobol liang vagina putriku. Kulihat Nanda menggigit bibir bawahnya. Namun itu hanya beberapa saat. Sebelum akhirnya wajah itu mulai menggambarkan ekspresi nikmat yang tengah dirasakannya.
“Oooggghhhhh… goyang yang kenceng dong papi…” sial, ternyata putriku juga menyebutnya dengan sebutan “papi”. Dianggapnya apa aku ini.
Kedua tangan Putriku merangkul punggung Pak Kasman, sedangkan kedua kakinya menjepit pinggulnya.
Ruangan yang tertutup rapat, dengan tanpa AC, bahkan tanpa kipas angin listrik. Membuat suhu didalamnya pengap dan panas. Sehingga aktifitas yang dilakukan oleh putriku dan juga Pak Kasman sudah barang tentu membuat mereka harus bermandi peluh.
Dengan rakus Pak Kasman menciumi wajah Nanda yang telah dilumuri oleh air ludah. Bahkan sepertinya memang sengaja dijilati dan dihirupnya. Hingga wajahnya yang sebelumnya dipenuhi oleh cairan kental dari udahnya sendiri, kini mulai terlihat bersih
Sekitar lima menit Pak Kasman menggenjot liang vagina Putriku. Yang selanjutnya digantikan oleh Rusli. Tak berbeda jauh dengan apa yang dilakukan Pak Kasman, Rusli juga menyetubuhi Nanda dengan cara dan gaya yang sama.
Hingga lima menit berselang, giliran Engkos yang juga mengambil jatahnya. Lengkap sudah ketiga bajingan tengik yang batang penisnya tak bisa dijamin kesehatan dan kebersihannya itu telah mengobrak-abrik liang vagina putriku dengan sedemikian rupa.
*********
“Eh, Engkos… berenti dulu lu..” perintah Pak Kasman pada Engkos.
Tak sampai tiga menit Engkos menikmati tubuh putriku. Batang penisnya yang ukurannya paling kecil diantara mereka itu harus rela untuk dicabut dari liang vagina Nanda.
“Sekarang Neng Nanda nungging dulu ya..” ujar Pak Kasman. Sambil mengangkat tubuh Nanda untuk diposisikan berlutut diatas kursi menghadap kebelakang dengan kedua tangannya berpegangan pada sandaran kursi. Praktis posisinya kini menungging. Sehingga pantatnya yang putih mulus menyembul menantang kearahku.
“Sekarang papi mau mau main-main sama lobang ini nya Neng Nanda. Boleh enggak?” tanya Pak Kasman, sambil jari telunjuknya menekan-nekan anus Nanda yang masih mengerucut.
“Tentu boleh dong papi… Nanda paling suka kalau lobang anus Nanda dientotin..” jawab Nanda. Diikuti dengan mengemut sejenak jari telunjuk dan tengahnya, seraya dimasukannya kedalam liang anusnya untuk kemudian dikocok-kocok beberapa saat.
Lubang yang sebelumnya menguncup dengan kerutan-kerutannya yang khas, kini tampak mrerekah menganga memperlihatkan rongganya yang berwarna kemerahan.
“Emangnya Neng Nanda udah pernah maen anal?” tanya Pak Kasman.
“Udah dong..” jawab Nanda.
“Sama siapa sih? Pasti sama pacarnya..”
“Ah, Pak Kasman sok tau nih… Pokoknya ada aja. Rahasia dong…” Ah, untunglah dia tak mengaku. Bagaimana kalau orang-orang ini sampai tau kalau aku pernah menyetubuhi anak kandungku sendiri. Pasti mereka akan memerasku dengan ancaman akan mempublikasikannya.
“Ah, Dasar anak cewek jaman sekarang, masih sekolah udah pada kagak perawan. Bukan cuma memeknya, bo-ol nya juga udah jebol… Tapi, masa bodo’ deh.. Emangnya gua pikirin. Yang penting sekarang gua mau nikmatin nih lobang WC. he… he.. he…” oceh Pak Kasman. Sambil mengarahkan ujung jakarnya dimuka liang anus putriku.
“Ayo Pak Kasman… Langsung tancep dong, dah gak sabar nih… Kebanyakan omong..” pinta Nanda.
“Wah, nantangin nih… Iya deh, nih rasakan..” blesss… batang penis panjang dan besar, yang pada permukaannya dipenuhi dengan urat-urat yang menonjol, kini telah menerobos masuk kedalam liang pelepasan putriku, dan tanpa ampun bokong tepos Pak Kasman langsung bergerak maju mundur dengan cepat dan bertenaga.
“Wah, gile nih anak… Banci Taman lawang” aja, kalo udah gua sodok bo’olnya paka’ batang kontol gua, langsung pada ngejerit… Eh, ini anak udah gua genjot sekuat tenaga masih tenang-tenang aja… hegghhh… hegghh.. hegghhh…” sial, si brengsek ini rupanya juga sering menyodomi psk banci kelas pinggir jalan.
Beberapa menit kemudian Rusli yang mengambil giliran untuk menyodomi putriku. Berbeda dengan Pak Kasman yang langsung menghujamkan penisnya. Rusli lebih memilih untuk “bermain-main” dulu dengan liang anus putriku. Dengan berjongkok kedua ibu jarinya menyibak anus didepannya. Untuk beberapa saat dirinya memandangi rongga besar dengan dinding-dindingnya yang berwarna kemerahan itu.
“Engkos… tolong ambilin pentungan gua..” pinta Rusli, setelah puas menjilati liang anus putriku. Pentungan? Apa yang ingin diperbuatnya dengan pentungan… Jangan-jangan?
“He… he.. he… Sebelum kontol gua yang nyoblos… Pentungan gua dulu yang ngambil jatah..” Sial, dugaanku tak meleset. Sepertinya dia memang ingin memasukan benda dengan panjang sekitar setengah meter berbahan karet itu kedalam liang anus putriku.
Seolah pentungan karet itu adalah sebuah dildo, benda itu digerakannya maju mundur secara berirama. Sekitar lebih dari separuh dari panjang benda itu yang dimasukannya, sebelum akhirnya ditariknya lagi, lalu dimasukannya lagi. Begitu seterusnya untuk beberapa saat.
Entah didapat dari mana, tiba-tiba Engkos membawa sebuah botol Bir yang disodorkannya kepada Rusli.
“Bang, coba dimasukin pake’ ini… he.. he.. he… Pasti lebih mantep tuh..” saran Engkos, dengan ekspresinya yang cengengesan. Benar-benar kurang ajar tukang kebun ini. Awas seandainya aku bisa bebas nanti, biar kumasukan pantat teposnya itu dengan buah nanas utuh.
“Ah, kampret lu… Ini Bir gua, masih ada isinya ******..” sewot Rusli, seraya merebut botol dari tangan Engkos, lalu menenggak habis sisa Bir yang hanya tinggal seperempat bagian itu.
“He… he.. he.. Tapi ide lu cukup brilian juga kos… Sekarang kita coba masukin nih botol kelobang bo’olnya…” bersamaan dengan itu, ujung botol yang diameternya kecil dengan mudahnya masuk keliang anus putriku. Namun disaat telah mencapai pada badan botol yang berdiameter jauh lebih besar, gerakan mendorong Rusli tertahan sejenak.
“Wah, kalo badannya ini bisa masuk juga gak ya? Gua gak yakin nih…” ragu Rusli.
“Kenapa berhenti… Dorong terus sampai masuk semuanya bang..” pinta Nanda.
“Wah, yang bener nih… Oke deh kalo begitu…” ujar Rusli, seraya mendorong botol bir ditangannya hingga separuh bagian berhasil masuk.
“Terus bang, sampai habis…” pinta Nanda. Yang segera diikuti oleh Rusli.
“Wah, bener-bener gile…” herah Rusli, sambil menyentil-nyentil pangkal botol yang hanya merupakan lingkaran berwarna hijau. Sebelum akhirnya lingkaran itu hilang sama sekali tertelan kedalam liang anus putriku.
“Wah, gelo… ilang euyy..” heran Engkos, sambil berjongkok menatap anus putriku yang telah menutup.
Namun hanya beberapa detik setelah itu botol yang tadi “menghilang” tiba-tiba melesat keluar tepat mengenai kening Engkos, yang membuat mereka tertawa terbahak-bahak termasuk juga putriku itu.
“Wah, sialan eeuyy… benjol dah jidat aing…” keluh Engkos, sambil megusap-usap keningnya.
*********
Rusli yang baru saja bersiap hendak memasukan penisnya keliang anus putriku, terpaksa harus kecewa karena dengan tiba-tiba Pak Kasman mengangkat tubuh Nanda.
“Anak manis, sekarang papi gendong ya…” ujar Pak Kasman, sambil mengangkat tubuh putriku kedalam pelukannya. Lalu menggendongnya dengan posisi saling berhadapan. Kedua kaki Nanda melingkar pada pinggul Pak Kasman, sedang tangannya merangkul pada leher bagian belakang.
“Sambil digendong… Sambil dientot juga ya neng… he.. he.. he..” ujar Pak Kasman, diikuti dengan menelusupkan batang penisnya kedalam liang vagina putriku.
“Iya papi… Zzzzzz… Aaaggghhhhhh…” desah Nanda, saat batang penis Pak Kasman menembus liang vaginanya dengan posisi tergendong seperti itu.
“Sekarang Om Rusli juga ngentot pantat kamu ya manis…” oceh Pak Kasman.
“Wooww… Ayo dong om Rusli. Buruan…” pinta Nanda, sambil wajahnya menoleh kebelakang pada Rusli yang sebelumnya merengut kecewa karena niatnya untuk menyodomi putriku harus tertunda.
“Wah, oke deh kalo begitu…” ujar Rusli, dengan wajah yang kembali berseri. Yang dengan tergopoh-gopoh segera berdiri, seraya mengarahkan batang penisnya pada liang anus Nanda.
Sambil berdiri Rusli mulai menggoyangkan bokongnya maju mundur, dengan kedua tangannya meremas bokong putriku.
Aksi double penetration sambil berdiri, dilakukan oleh dua orang bertubuh tinggi dan dengan batang penis yang luar biasa besar pula, terhadap putriku yang bertubuh imut. Sehingga terlihat bagaikan seekor kelinci yang dihimpit oleh dua ekor kambing.
“Enak ya neng… dientot dobel kayak begini?” tanya Pak Kasman.
“Uuuuggghhhhh… sedap banget papi… aagghhh..” jawab Nanda, dengan ekspresi yang begitu menikmati momen itu. Yang langsung dibalas oleh Pak Kasman dengan melumat bibirnya. Untuk beberapa saat mereka saling berpagutan dengan hot.
Hantaman penis Rusli yang cukup bertenaga dan cepat, membuat tubuh putriku ikut bergerak-gerak naik turun. Tubuhnya yang telah basah oleh peluh membuatnya terlihat sensual. Ah, mengapa birahiku justru mulai bangkit melihat putriku diperlakukan sedemikian rupa oleh orang-orang ini. Bahkan benda dibalik celanaku ini terlihat mulai mengalami perubahan bentuk.
*********
Sekitar lima menit sudah mereka beraksi. Engkos yang duduk diatas kursi, kini hanya beronani dengan mengocok-ngocok batang penisnya sendiri, dengan pandangan menatap nanar pada tiga insan yang tengah memacu birahi itu.
“Aaggghhhh… gua udah hampir mau keluar nih… uuugghhh…” oceh Rusli, sambil terus memompakan bokongnya dengan semakin bertenaga.
“Sama nih rus, gua juga udah mau ngecrot..” sambung Pak Kasman, yang langsung diikuti dengan mundur beberapa langkah, sehingga batang penis Rusli harus tercabut dari liang anus Nanda. Lalu tubuh putriku itu diturunkannya diatas lantai.
“Aaaaaggghhhhhh… makan nih peju guaaaa…” lenguh Pak Kasman, sambil mengarahkan ujung penisnya kewajah putriku yang saat itu duduk bersimpuh dilantai.
Crootttt… crooottt… crrooooottttt… Semburan sperma dari Pak Kasman menyemprot deras di wajah putriku. Hingga wajah imutnya itu dipenuhi oleh baluran cairan kental berwarna keputihan.
Tak beberapa lama giliran Rusli yang datang tergopoh-gopoh sambil tangan kanannya memegang batang penisnya.
“Keluarin disini aja om… Aaaakkkkk..” pinta Nanda, yang langsung menawarkan mulutnya yang menganga lebar.
“Uuuggghhhhhhh… Mantaaaappppp…” lenguh Rusli, dibarengi dengan semburan sperma yang mengarah masuk kedalam mulut putriku.
Crrootttt… crooottt… Cukup banyak semburan sperma yang mengisi mulutnya itu. Hingga terlihat gumpalan putih memenuhi rongga mulutnya.
Belum lagi tuntas Rusli memberikan “pasokan gizi” kepada puttiku. Dengan setengah berlari Engkos menuju kearah Nanda.
“Waduuhh… Saya mau keluar juga ini…” ujar Engkos.
“Udah, langsung dikecrotin aja kemlutnya kos… Biar dia kenyang sekalian” saran Pak Kasman, yang masih berdiri disitu.
Menuruti apa yang disarankan Pak Kasman, Engkos segera mengarahkan ujung penisnya kedepan mulut Nanda yang menganga. Dikocok-kocoknya beberapa saat batang penisnya itu lalu… crrooott…
“Aaaaggghhhhhh… nikmaattt… eeuuyyy…” bertambah lagi pasokan sperma yang mengisi mulutnya itu, hingga mulutnya itu mulai tampak penuh.
Setelah dirasakannya tak ada lagi tetesan sperma yang keluar dari penis Engkos. Sepertinya putriku mencoba untuk berdiri. Dan dengan mulut masih terbuka dia melangkah kearahku. Ah, entah apa yang akan dilakukannya sehingga dia harus duduk dan mendekatkan wajahnya kearahku.
Ah, Sepertinya memang anak ini sengaja ingin menunjukannya padaku isi didalam mulutnya itu. Dan mengapa aku hanya terdiam. Terutama saat dia bagaikan anak kecil yang memainkan isi didalam mulutnya itu. Lalu dikumur-kumurnya beberapa saat seperti seseorang yang tengah membasuh tenggorokannya. Sehingga cairan kental itu terlihat bergejolak bagai air mendidih.
“Mmmmm… sedap pa… nikmaaaatttt…” ujarnya, sambil mengacungkan kedua ibu jarinya padaku.
“Ih… papa sampai ngaceng nih… hi.. hi.. hi..” godanya, sambil meremas tonjolan diselangkanganku.
*********
“Pa… papa… bangun pa… bangun…” kudengar suara putriku memanggil-manggil namaku, bersamaan dengan sesuatu yang meremas-remas penisku.
“Aaaaaahhhhhh… Dimana aku…?” kagetku, dengan nafas yang terengah-engah. Sambil menatap nanar pada sesosok wajah imut yang tengah mengacungkan sesuatu ditangannya.
“Dimana aku? Dihutan kali… Pagi-pagi udah pakai baju kerja malah tidur lagi dikursi.. Mana kontolnya ngaceng lagi… Pasti abis ngimpi gituan ya? hi.. hi.. hi.. Ayo ngaku..” Ah, sepertinya aku memang baru saja bermimpi.
Ya, aku baru ingat. Tadi seusai sarapan aku duduk disini menonton tv, sambil menunggu Nanda untuk berangkat bareng. Hmmm… sepertinya aku memang ketiduran. Tapi apa yang diacungkannya itu? Sepertinya aku tak asing lagi dengan benda itu. Ya, itu adalah test pack, alat untuk uji kehamilan.
“Eh, pa… lihat nih.. Nanda positif hamil.. hi.. hi.. hi…” ujarnya.
“Apa? Kamu hamil?” kejutku.
“Iya, hamil.. Kenapa?” tanyanya.
“Ya… Ya enggak apa-apa sih.. Bagus deh kalo begitu..” hanya itu yang bisa aku katakan. Meski sebenarnya aku merasa kurang nyaman mendengar kabar itu. Namun aku juga tak ingin menunjukan sikap gundahku ini padanya.
Ah, anak ini masih terlalu hijau. Apa dia tidak memikirkan apa artinya kehamilan itu bagi dirinya. Kehamilannya itu tentu saja penuh dengan konsekuensi yang harus ditanggung olehnya.
“Papa gak suka ya? Papa gak seneng?” rujuknya.
“Suka… papa suka… Tentu papa juga seneng… Ya sudah, kamu harus jaga baik-baik kandunganmu itu..” ujarku, diikuti dengan memeluk dan mengecup keningnya.
Ah, aku jadi ingat saat istriku dulu hamil dia. Waktu itu aku bermimpi istriku diperekosa oleh kawanan perampok. Dan keesokan paginya aku mendapat kabar dari istriku kalau dia positif hamil. Dan saat itu aku jadi over protektif pada istriku. Yang berbuntut pada keputusanku untuk memintanya berhenti kerja.
Bukan maksudku untuk menghambat karirnya yang saat itu tengah menanjak. Semua semata-mata karena aku kawatir akan terjadi hal-hal buruk menimpanya. Pekerjaannya disalah satu tv swasta sebagai reporter lapangan, rasanya cukup berat untuk dijalani dalam kondisi hamil. Apalagi yang biasa diliput pada saat itu adalah aksi demo massa menjelang reformasi. Yang tentunya itu adalah pekerjaan berbahaya dan penuh resiko.
Apakah mimpiku barusan tadi juga adalah suatu isyarat agar aku lebih protektif lagi padanya. Hmm.. bisa jadi. Kupeluk dengan erat tubuh darah dagingku itu. Yang kini tengah mengandung, dan kuyakini secara naluri, bahwa ayah dari bakal si jabang bayi itu adalah aku adanya.
Dari jendela kulihat Pak Kasman sedang duduk dikursi taman. Seperti biasa lelaki setengah baya itu selalu sibuk mengelapi dengan sapu tangan, batu akik dijari manisnya. Sedang tak jauh darinya Engkos tengah asik menyirami tanaman.
Hmmm… orang-orang itu terlalu lugu untuk dapat melakukan hal seperti yang ada didalam mimpi konyolku tadi. Mereka hanyalah orang-orang kecil yang sudah merasa bersukur bisa bekerja dan mendapatkan gaji untuk menyambung hidupnya dan juga keluarganya.
Pagi terus merambat, dan semakin mendekati siang. Dengan cahaya mentarinya yang menembus melalui celah-celah jalusi jendela. Hangat dikulit, namun sekaligus juga menyilaukan saat menerpa mataku. Sehangat tubuh wanita muda dipelukanku ini. Yang telah menyilaukan mata hatiku, hingga harus berbuat yang tidak sewajarnya sebagai ayah kandungnya.
Namun aku tetap yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dan aku harus yakinkan pula pada diriku, bahwa tak ada yang salah dengan semua ini.