31 Oktober 2020
Penulis — Mekiver
Malam terasa dingin menusuk tulang, hembusan angin yang bertiup terasa basah di lengan Joko yang tidak tertutup oleh sarung yang di pakai untuk membungkus tubuhnya. Malam ini malam ketiga sejak perselingkuhanya dengan bu Atikah dan selama 3 hari ini ibunya diam dan acuh sekali sikapnya. Joko sendiri tidak tahu apa sebab ibunya bersikap demikian.
“Apa mungkin ibu tau ya, kalo aku ngentot bu Atikah?” pikir Joko, pertanyaan itu selalu muncul berulang di kepalanya. Joko sudah bertanya pada ibunya tentang sikap diamnya, tapi Sumini malah selalu menghindar dan akibatnya jatah ngentotpun tak didapatnya lagi, ini sudah 3 hari dan itu sungguh menyiksa buat Joko.
Malam ini entah mengapa seakan tak ada makhluk hidup di sekitar rumah Joko. Hening. Sunyi. Pohon beringin tua di seberang jalan nampak mengerikan ditimpa cahaya redup sang bulan. Dahan dahanya yang rimbun nampak seperti sarang hitam dari ribuan demit. Joko bukan penakut ia tahu pohon itu angker, semua warga kampung juga tahu kalau pohon itu angker.
Joko sendiri juga sering melihat dan mendengar di malam malam tertentu penghuni pohon itu menunjukan keberadaanya. Kadang suara suara menggeram atau sekelebat penampakan ngeri dari gendruwo berbulu di pohon itu. Joko menatap pohon itu dengan acuh, ia sedikit bergidik ketika angin dingin berhembus kencang yang membuat sekujur bulu di tubuhnya berdiri.
“pett” lampu di teras rumahnya padam. Joko tersentak kaget. Ada perasaan ngeri yang menyuruhnya lari masuk rumah dan menutup pintu rapat rapat, tapi Joko bertahan dan tetap bertahan ketika 2 titik merah muncul di kerimbunan pohon itu. Antara ngeri dan penasaran Joko menguatkan nyalinya terus menatap 2 titik merah di gelap rimbun pohon tua itu.
2 titik merah itu perlahan lahan mulai jelas menampakan wujudnya. Itu mata. Mata merah dari sosok raksasa berbulu, rambut gimbal, hidung besar, bibir tebal dengan seringai sangar menampakan deretan gigi sebesar genteng dengan susunan yang tak beraturan. Joko tersenyum kecil, begitu ia melihat wujud demit di depanya rasa takutnya malah sirna bersama rasa penasaranya, meskipun demit itu menjulang tinggi di depanya.
Joko meraba raba meja di sebelahnya mencari rokok eceran yang tinggal sebatang. Sedetikpun pandanganya tak lepas dari demit itu, gendruwo besar di seberang jalan nampak gelisah, mungkin karena salting manusia yang coba ditakut takutinya cuek saja. Dengan santai Joko menyulut rokoknya, pelan dihembuskanya asap rokok itu.
“Maumu apa?” tanya Joko pelan dan datar tanpa nada mengintimidasi atau ketakutan. Gendruwo itu menggeram.
“Aku melu koe ndoro (aku ikut kamu tuan),”
“Gak kuat mbayari aku.” jawab Joko santai tapi tetap tak sekejappun matanya berpaling dari gendruwo itu. “Aku gak jaluk bayaran Ndoro (aku gak minta bayaran tuan),” gendruwo itu menunduk memberi hormat, dan perlahan memudar dalam gelapnya malam.
“leep” lampu teras itu tiba tiba menyala. Joko tersentak seperti tersadar dari alam mimpinya. Pohon beringin di seberang jalan nampak kokoh dalam kegelapan. Joko clingak clinguk matanya tertumbuk pada sebuah benda kecil yang tergeletak di meja. Sebuah cincin putih, perak, nampak kusam tergeletak begitu saja di atas meja.
“Apa ini jelmaan gendruwo tadi?” pikir joko, ia memungut cincin itu ada aliran hawa aneh yang keluar dari cincin itu ketika joko meletakkanya di telapak tangan.
“Masa bodolah,” pikir Joko ia memasukan cincin itu di saku celana kolornya, masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu depan. Jam dinding sudah pukul 11 malam, iseng iseng joko menuju kamar ibunya yang terlihat pintunya tertutup rapat.
“Asem.. Dikunci lagi,” sungut joko kesal dengan pintu kamar ibunya yang terkunci. Dengan gontai Joko menuju kamarnya. Diluar sangat dingin tapi karena memang terbiasa tidur telanjang dada Jokopun melepaskan kaosnya, narsis dulu depan kaca lemari sambil bergaya ala Ade Ray yang mamerin ototnya, Joko cengengesan sendiri, orang badanya kerempeng macam seng karatan.
“Aku keren ternyata.. Kerempeng Entek entek’an.. Hihi.. Woy apa neh?” keasyikanya di depan kaca terganggu dengan getar lembut di celana kolornya. Joko mengambil cincin di sakunya yang terasa hangat.
“Kayaknya emang pas di jariku,” pikir Joko, ia memakai cincin itu di jari manisnya, dan memang pas dan nyaman sampai ia melihat kaca lemarinya.
“Astaga naga..” jerit Joko terkejut sampai terlonjak dan jatuh ke belakang dengan pantat mencium lantai kamarnya, Joko memegangi pantatnya yang terasa ngilu, pelan pelan ia bangkit dan mengintip ke kaca lemari, kosong… Tak ada siapapun, joko bangkit dan bersorak girang ketika melihat bayangan celana kolornya di dalam kaca lemari, hanya kolor yang ada di kaca itu, wujud joko tak nampak, cincin itu membuat Joko bisa menghilang.
Joko melepas kembali cincin itu, bayanganya muncul kembali, dipakai lagi, menghilang lagi, dilepas muncul lagi. Pake, lepas, pake, lepas sampai ia benar benar yakin. Sambil cengengesan ia membaringkan tubuhnya di kasur, cincin itu ditaruhnya dibawah bantal. Sebuah rencana muncul di kepalanya sampai rasa kantuk membawa pikiranya ke alam mimpi.
******
Pagi menjelang, ribut kokok ayam membuat Sumini harus terbangun dari lelap tidurnya. Seperti pagi pagi lainya ia akan segera sibuk dengan kegiatan di dapur, memasak air, mencuci beras. kemudian menyapu halaman depan, balik lagi ke dapur lalu menanak nasi. Asik dengan dapur tak terasa sudah jam 6.
“Joko belum bangun juga, dasar pemalas,” gerutu Sumini pada dirinya sendiri. Nasi telah siap tinggal bikin sambel, saatnya untuk bangunkan anak semata wayangnya. Sumini membuka pintu kamarJoko yang memang tak pernah dikunci, anak itu masih tdur dengan pulas dengan bertelanjang dada. Sumini sejenak terpaku di tonjolan besar di kolor anaknya, tapi pikiran kotornya segera dibuangnya, ia sudah mantap untuk menghukum anaknya karena sudah berselingkuh dengan Atikah.
“hei bangun udah siang!” ucap Sumini sambil menepuk nepuk pipi anaknya.. Joko menggeliat, membuka matanya yang masih terasa sangat berat.
“Masih ngantuk buk..” jawab Joko malas ketika dilihatnya ibunya masih berdiri di samping tempat tidurnya.
“ayo bangun nanti telat sekolahnya!” jawab Sumini galak, ia bergerak ke arah jendela dan membuka kelambu yang menutupi jendela kaca itu, Joko mengerjap karena tertimpa cahaya matahari yang masuk lewat jendela yang kini terbuka. Sejenak matanya menikmati lenggok pantat besar ibunya yang berjalan keluar kamar.
Begitu ibunya menghilang di balik pintu Joko bergegas bangkit mengambil cincin yang tergeletak dibawah bantalnya. Ia berjalan ke kaca lemari. Dengan berdebar debar ia menatap kaca itu dan pelan pelan ia memakai cincin jelmaan gendruwo dan… cling.. Muka mesumnya hilang di bayangan kaca itu. Joko tersenyum puas melepasnya lagi, lalu menyambar handuk yang tergantung di paku yang menancap di pintu kamarnya.
Usai mandi mereka sarapan berdua., nasi, sambel dengan lauk telur dadar, Sumini heran juga melihat Joko yang terlihat tergesa gesa makannya.
“Kamu kenapa kok buru buru jok?”
“Gak papa buk, janjian mau bonceng Dirgo, takut dia lupa nanti ditinggal.”
“Lha kamu gak bawa motor sendiri?”
“Gak buk, Joko berangkat dulu”
“Iya hati hati” jawab Sumini, ia lalu membereskan meja makan, mencuci piring dan peralatan dapur yang tadi dipakainya. Setelah selesai ia ke ruang tengah menyalakan tv dan bersantai sejenak, tubuhnya masih berkeringat jadi ia menunda dulu keinginan untuk mandi. Sumini berselonjor di sofa sambil menikmati berita di tv ketika sebuah usapan lembut terasa hangat di pipinya.
“eh…!” pekik sumini kaget, clingak clinguk ia melihat sekeliling barangkali ada orang lain dalam ruangan itu.
“Sum..” bisikan itu begitu jelas di telinga Sumini, tak ada orang lain disitu, bulu kuduk Sumini meremang, ia serentak bangun dan berdiri dengan punggung merapat ke tembok, matanya nanar dan ngeri menyapu seisi ruangan itu, dan memang tak ada siapa siapa.
“Si.. Siapa??” ucap Sumini terbata, tubuhnya serasa kaku tak bisa digerakkan akibat teror ketakutan yang melandanya. Hanya hening di ruangan itu, sampai sebuah remasan lembut di payudaranya membuat Sumini menggigil ketakutan.
“ja.. Jangan ganggu aku.. si.. siapa kamu?” tanya Sumini dengan suara bergetar, sejenak hening sampai sebuah hembusan angin hangat menerpa telinga Sumini.
“Aku Parno suamimu Sum.. Apa kamu lupa dengan suaraku?” makhluk tak berwujud itu berbisik lirih di telinga Sumini.
“Ka kamu kan sudah mati lama kang, kenapa kembali?” bisik Sumini menguatkan hati.
“Aku selalu disini Sum.. aku mengawasimu.. Aku tahu perbuatanmu dengan anak kita,” bisik suara itu lagi, Sumini terkesiap, wajahnya pucat dan mendadak perasaan bersalah menderanya membuat lututnya goyah, ia terjatuh terduduk di lantai dengan mata sembab, ia terisak.
“Ampuni aku kang.. Aku khilaf.. Ampuni aku kang..” Sumini terisak isak, bersalah dan ketakutan. Ia takut sekali apabila arwah suaminya marah dan menghukumnya.
“Kamu istri setia Sum, aku juga gak marah kamu ngentot dengan Joko, kenapa menangis? Anggaplah Joko adalah aku suamimu ini”
“Ta.. Tapi dia kan anak kita kang?” tanya Sumini sambil menunduk, dalam hatinya terasa plong karena arwah suaminya tidak marah. Sumini merasakan tangan lembut di dagunya membuat ia harus menengadahkan wajah.
“Joko darah dagingku Sum, layani dia seperti kau melayani aku, kamu bisa Sum?” bisik suara itu lagi. Sumini mengangguk, berbagai perasaan berkecamuk di hatinya. Sejenak hening lagi di ruangan itu sampai suara iklan tv mengagetkan Sumini dari lamunanya. Sumini nanar memandang sekeliling.
“Kang Parno..” bisik Sumini memanggil makhluk tak berwujud itu, tapi tak ada sahutan. Ia bangkit dan mematikan televisi sekali lagi matanya menyapu seluruh ruangan itu, ia masih tak percaya demgan kejadian yang baru dialaminya. Sumini amat mencintai Parno suaminya, sejak kematian suaminya bertahun tahun yang lalu Sumini tak pernah berpikir untuk mencari pengganti.
“Terima kasih kang Parno..” bisik Sumini pelan, tak ada takut lagi di benak Sumini, walaupun ia makhluk halus, tapi dia kan suamiku, pikir Sumini, langkahnya ringan melangkah ke belakang, menyambar handuk di jemuran dan masuk ke kamar mandi.
“Bruanggkk!” Sumini keheranan ketika menutup pintu sedikit keras terasa seperti membentur sesuatu, daun pintu itu terbuat dari kayu dengan lapisan seng dan suara benturan itu cukup keras, ia mencari cari di bawah pintu barangkali terganjal batu, ternyata tidak ada, ia mencoba menutup pintu itu lagi ternyata mudah.
******
Joko mengusap usap jidatnya yang merah terbentur pintu, maksud hati ingin melihat ibunya mandi tapi kalah cepat masuknya dan kejedot pintu kepalanya.
Ya benar, dari semua kejadian tadi Jokolah pelakunya, ia tadi tidak sungguhan berangkat sekolah, hanya ngumpet di samping rumahnya dan begitu ibunya di belakang ia masuk kamarnya, melepas baju seragamnya dan memakai cincin gendruwo untuk mengerjai ibunya.
Sejenak joko memeriksa benjol di jidatnya akibat terantuk pintu kamar mandi lalu keluar rumah. Joko menunggu sebentar sampai ia mendengar suara pintu belakang terbuka dan tertutup, lalu masuk rumah dengan pura pura kepanasan.