1 November 2020
Penulis — Pemanah Rajawali
Hebatnya ibu tidak menyadari tali gaun tidurnya terjatuh, karena payudara kanan ibu masih tertutup berhubung dada ibu besar sehingga gaun bagian depan kanan masih nyangkut di bongkahan indah tetek kanan ibu, sebenarnya aku tinggal menarik sedikit gaun tidur ibu dari pinggang kanan ibu, maka payudara kanan ibu akan terlihat, namun aku punya rencana lain.
Secepat aku menarik tangan kanan ibu ke atas sehingga tangan itu bersandar di sofa seperti halnya kepala ibu, maka secepat itu pula aku kembali membenamkan wajahku di ketiak ibu dengan bulu-bulu yang pendek itu. Gerakan ini membuat aku menindih ibu terang-terangan. Tahu-tahu saja kontolku kini menekan memek ibu, walau masing-masing masih terbungkus celana.
Sambil menjilati ketiak ibu, aku mulai menekan-nekan selangkangan ibu. Ibu sudah dapat menguasai nafasnya, berhubung aku cukup lama menjilati pangkal lengannya itu, sehingga ibu tampaknya sudah tidak lagi geli, namun malah menikmati nafsu yang mulai menjalar dirinya. Sementara, aku sambil meremas-remas payudara ibu yang besar yang masih tertutup gaun tidurnya, asyik menjelajahi ketiak seksi ibu terus-menerus dengan lidahku.
Lidahku tidak hanya menjilat seperti anjing menjilati piring makanan, terkadang lidahku memutar-mutar, bahkan kadang-kadang bibirku mengenyot ketek ibu sehingga bulu-bulu halusnya masuk ke dalam mulutku untuk kemudian kuhisap-hisap bagaikan sedang menghisap permen. Iya, bulu ketiak ibu bagiku semanis permen lollipop.
Terkadang pula bagian tengah keteknya kukenyot sampai ke kulitnya. Saat itu ibu langsung mendesis bagaikan sedang kepedesan…
“sssssh… Kenapa, Mbak? Oh… Iya… ini si Ari sudah mijitin bahuku lagi…”
Lalu perlahan aku mulai beringsut ke bawah. Sambil mengenyot terus, aku sedikit demi sedikit mengenyoti bagian bawah keteknya, lalu berpindah ke bawah lagi, hingga sampai ke kain atas gaun tidurnya yang terletak di samping payudara ibu. Tangan kiriku ku lepas dari dada ibu dan ku taruh di ketiak ibu untuk mengelus-elus rambut ketiak, terkadang memilin-milinnya perlahan.
Dengan hidung dan pipiku aku mendorong sedikit demi sedikit gaun tidur ibu, sementara lidahku terus mengenyot dan menjilati samping payudara ibu. Kini mulutku telah mencapai bulatan samping tetek ibu, dengan tak sabar aku melepas tangan kanan dari payudara kiri ibu yang tadi terus kuremas, untuk menyingkap bagian kanan gaun tidur ibuku sehingga tahu-tahu buah dada ibu sebelah kanan menjadi telanjang.
Ibu membuka matanya terbelalak melihat ke payudara kanannya yang telanjang, mata kami bertemu sejenak, aku melihat sekejap payudara ibu yang besar yang tampak tumpah ke kanan karena ibu sedang tiduran, dan melihat pentil tetek ibu sudah mengacung. Pentil itu seukuran jempol bayi, namun sedikit lebih panjang dan mengacung bagaikan ujung belakang pensil, sementara areola ibu yang menjadi bagian bawah putingnya, ukurannya hampir sebesar pantat botol aqua kecil 330 ml.
Beberapa detik kami tertegun, ibu lalu bagaikan terjaga karena dengan cepat berbicara lagi di telpon.
“Oh.. enggak, Mbak… Bukan ngantuk… Aku diam karena tadi sedang mikirin masakan besok… Enggak, Mbak… Aku enggak bosen kok ngobrol sama Mbak… Cuma tahu-tahu kepikiran masak besok… Terus… gimana ceritanya sama Mas Hari?”
Mas Hari adalah suaminya Tante Hani. Rupanya tanteku lagi curhat. Ibu berbicara di telpon sambil terus menatap mataku. Sambil menatap mata ibu dalam-dalam, aku perlahan mendekati pentil ibu yang tegang itu dengan kepalaku. Nafas ibu mulai berat kembali. Kulihat dadanya naik turun mulai cepat.
Kucium gundukan samping kanan tetek kanan ibu yang dihiasi urat-urat halus itu secara pelan. Ibu memandangiku sambil terus berbicara dengan tante Hani. Matanya memancarkan sinar aneh. Bukan marah, bukan Bahagia. Tetapi sinar mata lain. Saat itu aku tak tahu, namun belakangan aku menjadi hafal. Itulah tatapan seorang wanita yang sedang birahi.
Berhubung ibu tidak melarang, aku mulai berani menciumi lingkar areola payudara ibu. Buah dadanya begitu kenyal dan lembut. Bau tubuh ibu yang lembut membelai-belai indera penciumanku. Entah hanya di pikiranku atau tidak, namun kuperhatikan puting ibu tampak membesar. Kukecup perlahan puting ibu yang menantang itu.
Kulihat dada ibu naik dan turun tanda menghela nafas, desahannya lirih terdengar.
“iya… Mbak… Pundakku rasanya enak dipijit Ari… terus ceritanya gimana kok bisa Mas Hari begitu?”
Mata ibu menatap tajam mataku selama bibirku mengecup puting kecoklatannya, sementara aku tetap menatap matanya untuk mencari-cari apakah ada tanda kemarahan di balik sinar matanya yang indah itu. Tetapi aku tidak menemukan seberkas tandapun baik dari matanya maupun dari raut wajahnya yang menyatakan bahwa aku sedang melakukan sesuatu yang tidak ibu sukai.
Kukecup lagi puting susunya, kali ini agak lama. Kami masih saling menatap lekat-lekat. Aku lalu memberanikan diri untuk mengeluarkan lidahku dan perlahan mendekati pentil tetek ibu itu dengan lidah tersebut. Kulihat sorot mata ibu berkilau, sorot mata yang memancarkan harapan. Seakan ibu menunggu-nunggu momen lidahku menyentuh puting indahnya.
Ketika lidahku menyapu puting susu kanan ibu itu, ia menggigit bibir bawahnya. Kini ia bernafas lagi tapi lebih berat dibanding sebelumnya. Perlahan dengan ujung lidahku aku menyapu puting yang kini sangat tegak dan tampak lebih besar dari sebelumnya. Pentil ibu kurasa keras di lidahku. Aku mulai menjilati pentil ibu lebih cepat.
Akhirnya aku tak tahan dan memasukkan pentil ibu ke dalam mulutku dan mulai mengenyot dengan gemas.
“Mmmmmphhhhhhhh…” Tak sadar kini ibu mengeluarkan suara walaupun bibir bawahnya terkatup dan sedang digigit oleh gigi atasnya. Suara ibu sungguh sensual, suara wanita yang berusaha menahan gejolaknya dengan menutup mulut, namun gejolak birahi itu tak mampu ditutupi secara penuh. Gumaman nikmat meluncur tak dapat ditahannya.
“mmmm? Iya mbaaaakkk… ada… Ada… ada uratku yang pegal yang… yang pas dipijit.. ariiiiiii…”
Kulihat kini ibu mengernyit bagai menahan sakit dan ia berusaha menutup mulut dengan melipat bibir ke dalam. Tangan kiri ibu kini memegang belakang kepalaku. Aku terus mengenyoti tetek ibuku dengan hebat. Terkadang aku jilati juga.
Di lain pihak, selangkangan kami menempel. Tak direncanakan, aku mulai menggoyangkan pantat maju mundur tapi sambil tetap menggeseki selangkangan ibu, dan ibu mengimbangi juga dengan gerakan yang sama, tiap kali aku tekan ibu juga tekan, tiap kali sedikit renggang, ia akan renggang, tapi tak pernah sampai selangkangan kami berpisah.
Celana pendekku kini kurasa sudah menempel dengan celana dalam ibu. Dapat kurasakan pinggiran rok gaunnya tersangkut ke bagian atas. Tangan kananku masih meremasi payudara kiri ibu. Tangan kiriku sedang menahan tubuh dengan memegang sofa. Aku mengangkat tangan kiriku sehingga badanku kini penuh menindih ibu.
Ketika terbebas aku menekan lagi selangkangan ibu. Kini dapat kurasakan celana dalam ibu dan celana dalam itu ternyata sudah basah. Tahu-tahu tangan kanan ibu memegang pantatku. Ketika ia merasakan pantat telanjangku, ibu tiba-tiba membelalakan matanya dan menatapku. Saat itu aku takut ia akan marah, namun kurasakan tangan ibu malah menekan pantatku kuat-kuat.
Kurasakan selangkangan ibu menekanku dalam-dalam dan tangannya mencengkeram kedua pantatku kuat-kuat. Kepala ibu tertarik ke arah belakang dan dengan mata terpejam dan wajah meringis ia mengeluarkan suara…
“Aaaaaaahhhh”
Kontolku yang terjepit merasakan sakit karena terjepit. Namun saat itu juga aku sudah tidak tahan lagi memendam birahi yang dari tadi menggelegar di dada. Apalagi kini kurasakan kontolku basah kena lendir yang menembus celana dalam ibu yang tampaknya tipis karena tak dapat membendung cairan kenikmatan ibu.
Dalam masa orgasme itu, ibu menegakkan kepalanya lalu menggunakan tangan kirinya menjambak rambut belakangku sehingga aku mendongak, lalu ia mencium bibirku kuat-kuat. Lidahnya menyapu-nyapu liar sementara bibirnya menyedot-nyedot. Aku berusaha mengimbangi dengan lidah dan bibirku pula.
Beberapa menit kemudian, ibu kembali rebah dengan lemas. Aku masih duduk di selangkangannya tak tahu harus berbuat apa. Kulihat celana dalam ibu yang berwarna putih kini sudah gelap karena basah di bagian memeknya. Sementara celana dalam itu dihiasi cairan putih milikku.
Beberapa saat kemudian ibu baru sadar lalu mengangkat telepon.
“Maaf Mbak… tadi ada kucing berantakin dapur. Aku check dulu ke sana. Iya… Berani benar tu kucing…”
Kini ibu duduk di sofa dan memegang telpon dengan tangan kanan. Tangan kirinya bebas. Gaunnya terbuka di bagian kanan, sementara tali bahu gaun kirinya masih terpasang. Aku yang sudah mulai berani, tanpa pura-pura segera meraih tali gaun tidur itu lalu menariknya turun. Ibu tampak tidak terpengaruh dan terus berbicara dengan tanteku.
Setelah aku mencopot tali itu dari tangan ibu, kini gaun tidur ini sudah tidak menyangkut apapun. Aku tarik gaun tidur ibu kebawah sambil melihat wajah ibu. Ibu terus berbicara dan hanya menatapku saja tanpa ada reaksi.
Keberanianku kini menjadi nekat. Aku terus menarik gaun itu sampai pinggangnya dan berusaha meloloskan gaun yang kini nyangkut di pantat. Ibu mengangkat pantatnya dan dengan cepat gaun tidur itu kuloloskan. Dengan gaun tidur itu aku menyeka celana dalam ibu yang penuh mani dan juga selangkanganku.
Tak henti mataku menjelajahi tubuh ibu yang sedang duduk dengan hanya celana dalam yang basah di selangkangan. Di mataku, semua wanita di dunia ini kalah seksi. Ibu bagaikan penjelmaan dewi Venus yang mengundang maksiat di kepala semua lelaki, bahkan anaknya sendiri. Dengan tubuh yang tidak gemuk atau kurus, ibu memiliki tubuh wanita sesungguhnya.
Kedua payudara ibu begitu bulat dan indah, dengan lembah payudara yang hanya sedikit di bagian tengah agak ke atas, dekat dengan pusat tulang dada. Kulit yang putih itu tampak begitu kontras dengan puting buah dada yang coklat muda. Puting itu duduk di bagian tengah payudara namun sedikit ke bawah dan agak ke samping.
Perutnya tidak rata, namun tidak buncit. Agak sedikit berlekuk yang menambahkan keindahan seorang perempuan sejati. Pinggulnya melebar, tanda bahwa perempuan yang adalah ibuku ini adalah perempuan yang diciptakan untuk melahirkan anak. Jembut ibu terlihat membayang di tempat mana yang basah sehingga bagaikan sedikit transparan.
Baru aku mau mendekati dewi sensual ini lagi, tahu-tahu telpon ditutup. Aku terpaku. Mata kami menatap satu sama lain. Aku bingung harus bagaimana. Akhirnya ibu duluan yang berkata.
“sudah malam. Waktunya tidur.” Dan ibu berlalu dari hadapanku…
Paginya ibu bangun seperti biasa. Kali ini dengan baju mandi yang seperti kimono, dengan tali untuk mengikat. Ia menyapaku seperti biasa. Aku menunggu tanda-tanda dari ibu, apakah tanda kemarahan, kekecewaan atau bahkan kebahagiaan. Namun tidak ada yang terlihat. Aku semakin bingung.
Ketika berangkat ke sekolah aku nekat mencium bibir ibu lama. Tidak ada tanda kemarahan, namun tidak pula ada balasan ciuman dari ibu. Aku coba mengeluarkan lidahku dan menyapu bibirnya. Tiba-tiba ibu mendorongku sambil tertawa dan menyuruhku ke sekolah.
Dengan penuh kebingungan aku berangkat.
Waktu pulang sekolah, ibu tidak ada di rumah. Aku menunggunya hingga senja turun. Ketika ia masuk rumah aku bermaksud menciumnya lagi, namun ibu hanya mengijinkan sebentar, berhubung ia membawa banyak belanjaan dan juga Ibu membeli makanan di luar.
Ketika makan malam, ibu mengajakku bicara seperti biasa dan tidak ada sedikitpun menyinggung malam kemarin. Aku benar-benar bingung sebenarnya mau ibu itu apa. Apakah ia senang dengan kemarin, ataukah tidak menyukainya?
Setelah makan ibu bergegas ke kamar dan aku menonton TV dengan penuh pikiran. Sekitar sejam kemudian ibu turun menggunakan baju mandi tadi pagi yang seperti kimono. Sehingga aku hanya melihat sedikit pahanya saja. Mungkin ibu tidak mau mengulang kemarin malam. Aku menjadi sedih.
Sekitar jam Sembilan ibu meraih telepon lalu memutar nomer. Tak lama ia berbicara.
“Ayah… Telpon rumah dong… Ibu kangen… Satu jam lagi ya… aku lagi kangen… jangan… jangan sekarang… sejam lagi ya… nanti ibu angkat dari kamar…”
Telponnya begitu singkat sehingga aku belum sempat duduk dekat ibu. Apalagi ibu bilang bahwa ia minta ayah telpon sejam lagi dan akan diangkat di kamar. Hmmmm, aku berpikiran ngeres… Apakah ibu akan melakukan phone seks dengan ayah?
Aku cemburu dan sebal dan bingung. Apakah yang harus aku lakukan? Aku belagak tidak mendengar, dan wajahku pasti terlihat jutek. Tapi ibu tampaknya cuek saja dan ikut menonton denganku. Ketika satu jam hampir sampai, ibu bergegas ke atas.
Lama-lama aku penasaran, apa yang akan dilakukan ibu di telpon? Aku mulai horny lagi dan akhirnya memutuskan untuk ikut ke atas dan melihat situasi.
Ternyata kamar ibu dibuka. Ibu sedang duduk di samping kanan tempat tidur, di samping kanan ada meja tempat telpon. Ibu sedang menunggu telpon. Ibu melihatku ketika aku di depan kamar, dan hanya tersenyum. Perlahan aku masuk kamar, namun ibu tampak tidak bereaksi apapun.
Akhirnya aku naik tempat tidur dan beringsut mendekati ibu. Aku pura-pura bertanya.
“Ayah mau telpon ya? nanti Ari mau ngomong ya?”
“Kamu tunggu ya… biar ibu ngomong dulu seperti biasa…”
Ibu sedang bersandar di kepala tempat tidur dengan diganjal bantal. Aku menyelusupkan tangan kananku ke belakang tubuh ibu dan tangan kiriku mendekap perutnya. Ibu hanya terdiam. Baru aku mau cium pipinya ketika telpon bordering…
“Iya ayahhhh…” ibu mengeluarkan suara yang manja. Aku menjadi horny dan kucium pipinya perlahan. “ih… ayahhhh… kok pura-pura ga tau sih? Aku kan kangen… ini lo… aku mau coba kayak temanku dan suaminya… itu loh ayah… phone sex… ayah mau kan? Aku udah kangen loooo…
Aku agak terkejut. Ternyata dugaanku benar. Hmmm, ini nih… kayaknya bakal seru, batinku sambil tertawa dalam hati.
“Aku yang mulai ya, Yah… abis ayah kok kayak malu-malu…” Suara ibuku begitu manja bagaikan anak perawan saja. Kontolku sudah mulai mengeras hanya karena suaranya itu.
“cium dong yah…” Kucium pipi ibu.
“kok enggak ada suaranya? Cium bibirku dong, yah… coba pakai tangannya jadi suaranya kedengaran kayak asli… Aku contohin ya…”
Tahu-tahu bibir ibuku mengecup bibirku berkali-kali sehingga memperdengarkan suara orang berciuman.
“mirip dong… Soalnya ibu pura-puranya pakai penghayatan, coba ayah…”
Aku mau cium ibu lagi tapi ia berkelit. Terdengar suara ayah yang pura-pura ciuman, bibirnya mengecup sesuatu, mungkin pakai tangannya sendiri seperti yang disarankan ibu tadi. Lalu ibu berkata.
“nah… gitu dong anak baik… hihihi” ibu terkikik bagai gadis saja. “ibu balas ya…”
Lalu ibuku menciumku lagi kini sambil memainkan lidah. Terkadang bibir kami menimbulkan suara kecupan, dan terkadang lidah kami bertautan. Saat itu ibu mengeluarkan gumaman nikmatnya.
“mmmmphhhh… mmmmmmpppphhhhhh”
“kenapa yah? Ayah jadi horny? Ibu juga… sekarang ayah jamah aku dooonnggg…”
Aku mulai menikmati permainan ini.. ibu beringsut sehingga tiduran telentang, kedua kakinya sedikit terbuka. Aku segera memposisikan kedua kakiku di sela-sela kaki ibu, dan berhubung ibu suruh aku nenen, maka kepalaku sejajar dadanya, sementara kontolku kena tempat tidur, karena ibu lebih tinggi dariku.
Kedua buah dada putih ibu tampak mengacung menantang. Bulir keringat mulai muncul perlahan-lahan. Ibu menatap mataku, lalu meloloskan kedua tangannya dari gaun mandi kimono itu. Dengan tangan kiri ditaruh di bibir, tanda bahwa aku tak boleh bersuara, ibu menekan tombol speaker. Lalu perlahan ibu menaruh telepon itu di meja samping.
“Ibu… aku ngaceng nih…”
“jangan dulu, Yah… coba belai dada istrimu dulu…”
“aku belai ya…”
Sementara ayahku yang bersuara, aku yang mulai menggenggam kedua payudara ibu dengan kedua tanganku. Kedua gundukan nikmat ibu begitu besar sehingga telapakku tak bisa menutupi seluruh payudaranya…
“Iya… Begitu, sayangku… shhhhhhhh… coba remas sedikit dong yah…”
“ini aku remas, dik… kerasa ndak?”
Sementara tanganku mulai meremasi payudara ibu yang tambah berkeringat. Begitu lembut dan kenyal di tanganku yang coklat. Jempolku berkali-kali mengusapi puting ibu yang mulai mengeras, sama seperti kontolku yang mengeras perlahan.
“terus, Yaaah… Nenen dong, yahhhhh…”
Sebelum aku mendengar balasan suara ayahku, aku menyerbu pentil kiri ibu dan aku sedot dalam-dalam. Ibu mendesah keras dan hampir berbarengan dengan suara ayahku yang pura-pura mmperdengarkan suara orang sedang netek, ibu berkata.
“Terus yaaaah… iyaaaa, begituuuuuu”
Suara kecipakan mulut ayahku berpura-pura masih terdengar, sementara kini aku secara buas menjilati, menciumi dan mengenyoti seluruh toket kiri ibu. Bahkan aku mulai juga mencupangi kulit putih berhiaskan urat-urat biru halus gundukan tetek ibuku. Tak lama kulit putih payudara kiri ibu sudah dihiasi bercak cupang di sana-sini.
“sebelah lagi yah… sshhhhhhh…”
Aku menggerakkan kepalaku ke sebelah, dan kini buah dada kanan ibu yang menjadi sasaran mulutku. Kugagahi seluruh jengkal tetek ibu yang besar itu sampai seluruhnya berlumuran air liurku. Sampai saat itu aku mulai hafal bau tubuh ibu yang memabukkan.
Selama penjelajahan mulut dan lidahku di dada ibu, aku telah menanggalkan celanaku diam-diam dan aku menunggu kesempatan untuk dapat menggeseki selangkangan ibu lagi.
“aku ga tahan, diiiik…” tahu-tahu ayahku setengah berteriak,” aku mau masukkin burungku ke sangkar kamuuuuuu…”
Aku segera beringsut ke atas, mulutku tak lagi menggauli tetek ibu, aku lihat kesempatan untuk menggeseki selangkangan ibu lagi, maka sambil terus meremas kedua payudara ibuku, aku tergesa bergerak maju tepat saat ibu sedang membuka kedua kakinya untuk ngengkang sehingga memudahkan kedua kakiku yang tadi masih terjepit di antara kaki ibu.
Ibu sedang terpejam sambil mendesah-desah. Untuk dapat menggesek kontolku di selangkangan ibu dengan mudah, aku harus agak duduk lalu menaruh kontolku di selangkangan ibu untuk kemudian menindih ibu. Namun ketika kulihat selangkangan ibu yang sedang ngangkang, kulihat baju mandinya sudah tertarik ke perut karena kedua paha ibu yang merapat ke atas, dan ternyata ibu tidak pakai celana dalam!
Dengan tiba-tiba kulihat jembut ibu yang dicukur rapi menjadi segitiga terbalik dengan belahan memek di bagian bawahnya. Kiri kanan memek ibu tercukur rapi sehingga bibir memek merah muda ibu terlihat jelas. Bibir itu sedikit merekah terbuka namun hanya memperlihatkan warna bagian dalam merah muda sedikit saja di bagian agak bawah.
Semua terjadi begitu cepat. Aku lihat kesempatan. Segera dalam hitungan detik tangan kananku menuntun kontolku ke rekahan kecil lubang memek ibu. Detik kepala kontolku bersandar di depan lubang kemaluan ibu itu, mata ibu melotot, namun detik berikutnya aku dorong pantatku keras-keras ditolong dengan tangan kiriku yang aku taruh di pinggul kanan ibu sebagai pegangan dan secara cepat juga tangan kananku memegang pinggul kiri ibu.
Kurasakan kontolku tiba-tiba diselimuti gua yang sangat basah dan hangat. Dan secara cepat aku tindih ibu sehingga seluruh kontolku amblas dan selangkangan kami bertemu.
“kontol ayah masuuuuuuukkkkkk!” teriak ibu sambil membelalakan matanya padaku.
Kudengar ayahku di telpon sedang mendesah-desah juga sambil mengeluarkan kata-kata kotor mengenai persetubuhan virtual-nya dengan ibu. Kurasa ia sedang ngocok, tanpa mengetahui bahwa desahan dan erangan ibu bukanlah pura-pura melainkan sungguh karena vaginanya sedang ditusuk oleh kontol anak mereka sendir.
Aku menindih ibu sambil secara buas menghujami lubang memek ibu yang basah, licin dan hangat yang menyelimuti batang kontolku. Dinding vagina ibu bagai mencengkeramku. Aku tahu bahwa ukuran kontolku masih ukuran anak remaja. Panjangnya hanya 13 senti saja. Namun dibanding dengan teman-teman sekelasku, aku termasuk yang terpanjang dan tergemuk.
Selama ini aku di kala aku membayangkan bersetubuh dengan ibu, aku selalu membayangkan bahwa kontolku yang tidak terlalu besar ini, mungkin tidak akan sama rasanya dengan kontol ayah, dan mungkin agak susah bagi ibuku untuk menikmatinya. Selain itu, aku juga membayangkan bahwa memek ibu akan longgar bila kuentoti.
Aku serasa di surga. Baru beberapa saat kemudian aku menyadari kini kepalaku sejajar dengan dada ibu, dengan kepalaku yang hanya mencapai hidungnya dan mulutku yang beberapa senti di atas leher ibu. Dengan sedikit menekuk, mulutku mencapai puting kanan ibu dan mulai menyedot-nyedot.
“iyaaa terusss yahhhh… Entotin ibu teruuuus… sambil sedotin tetek ibu… Ayo yahhhh… jangan berhenti…”
“Iya sayaaaang… Kuentot kamu keras-keras… itu yang kamu suka, kaaaan…” terdengar jawaban ayahku di speaker phone ditingkahi erangan dan desahannya.
Bergantian pentil kiri dan kanan ibu aku sedoti dan jilati, terkadang aku juga menjilati dan menyedoti bagian dada ibu yang lain. Kini tubuh kami sudah bermandikan keringat akibat persetubuhan kami yang sudah hampir sepuluh menit berjalan. Asin peluh ibu kunikmati di lidahku, dan seluruh dada ibu kini sudah habis kucupangi juga.
Makin lama memek ibu yang sempit itu kurasakan semakin licin dan juga semakin hangat. Kini ibu hanya mengerang-ngerang tanpa ada satu kata pun terdengar.
“aaahhhhh… Aaahhhhhhhhh… ahhhhhhh…” Dalam suara yang baru kudengar, yaitu suara ibu yang melengking sementara kedua matanya setengah terpejam dan yang terlihat hanya bagian putihnya saja. Ibu sudah tenggelam dalam kenikmatan surgawi.
Kutarik kepala ibu agar menunduk dan kuserang bibirnya dengan buas. Kami berciuman dengan ganas dan liar. Bahkan kurasakan air liur ibu keluar membasahi kedua bibir kami. Kini suara ibu yang menggumam nikmat namun cukup keras terdengar sampai ke telepon di samping tempat tidur.
Makin lama gerakanku makin cepat, dan ibu juga menggoyang pantatnya makin cepat. Kami berdua sedang berpacu menuju puncak kenikmatan. Kontolku sudah merojok-rojok lubang kemaluan ibu dengan cepat dan hampir tak ada hambatan sama sekali karena kelamin kami berdua sudah basah kuyup oleh cairan pelumas yang keluar dari dalam vagina ibu.
Ibu melepas ciumannya dan mendongakkan kepalanya ke atas sambil mengerang keras.
“Aaaayaaaahhhhh… ibu sampaaaiiii… aaaahhhhhhhh!!!!”
Kurasakan memek ibu berdenyut-denyut keras mencengkram melepas dengan cepat berkali-kali. Cengkraman ini membuat kontolku dijepit-jepit dengan keras membuat aku membabi buta merojoki vagina ibu dengan sekuat tenaga, tahu-tahu hidungku mendarat di ketiak kiri ibu yang basah, karena aku tak menyadari gerakan sendiri.
Kami terdiam beberapa saat. Baru kemudian kami tersadar ketika kami mendengar ayah berteriak di telepon.
“aku juga sampaaaaiiiiiii”
Aku dan ibuku berpandangan sebentar lalu tersenyum nakal satu sama lain. Saat itu kami berdua tahu bahwa segala sesuatunya akan menjadi berbeda.
***