1 November 2020
Penulis —  Pemanah Rajawali

Surga dunia

Surga Dunia

Namaku eri. Ayahku bowo berusia 60 tahun dan Ibuku sari berusia 35 tahun. Aku sendiri kini berusia 17 tahun. Aku mempunyai seorang adik perempuan yang berusia 3 tahun dan adik laki-laki berusia 1 tahun. Aku akan bercerita kisah unik yang terjadi di keluargaku tiga tahun yang lalu.

Ibu menikah dengan Ayah yang usianya 25 tahun lebih tua ketika berusia 17 tahun. Selama 15 tahun, aku adalah anak tunggal sampai tiga tahun yang lalu ketika Ibuku hamil untuk kedua kalinya. Ayah adalah pegawai negeri dan ia sebelum menikah dengan Ibu, pernah menikah dengan perempuan lain, namanya Tante dona.

Pertama kali Ayah menikah, usianya 30 tahun. Ia menikah dengan Tante dona yang kala itu berusia 18 tahun. Dari pernikahannya, Ayah dan Tante donna mempunyai 3 anak perempuan bernama maya, tina dan yeni yang lebih tua dariku 9 tahun, 6 tahun dan 4 tahun. Ketika Ayah berusia 41 tahun, ia bercerai dengan Tante donna.

Cerita ini dimulai ketika aku berusia 14 tahun. Ketika aku duduk di kelas 3 smp. Saat itu Ayah berusia 57 tahun dan Ibu 32 tahun.

Jabatan Ayah lumayan tinggi, sehingga mampu menghidupi dua keluarga. Berhubung Tante donna tidak menikah lagi, maka kehidupan keluarga mereka ditanggung sepenuhnya oleh Ayahku juga. Namun tetap saja, Ayahku seringkali dinas luar kota, yang menyebabkan kesehatannya terganggu. Ayah telah beberapa tahun divonis terkena penyakit komplikasi gula dan jantung.

Kisah ini dimulai pada suatu hari yang cerah di rumahku. Saat itu menjelang sore. Aku sedang asyik menonton tv ketika Ayah masuk ruang keluarga dan berbicara padaku.

“ri. Ayah mau ngomong.” katanya.

Aku mematikan tv dan duduk menghadap Ayah. Dari tampangnya aku tahu bahwa ia ingin menyampaikan sesuatu yang serius.

“ada apa, yah? Kok serius banget?” tanyaku dengan heran.

Ayahku kemudian duduk di sampingku, dan dengan wajah serius ia berkata.

“begini, ri. Kamu ingat nggak sekitar dua tahun lalu Ibumu jatuh dari motor ketika pulang belanja naik ojek?”

“eri masih ingat, yah. Kenapa?”

“kamu tentu juga masih ingat bahwa untuk setahun, Ibumu memakai korset kesehatan penahan tulang punggungnya?”

“iya, Ayah. Eri masih ingat.”

“nah, kamu juga pasti masih ingat, bahwa setelah setahun itu lewat, Ibumu masih harus terapi ke dokter.”

Aku mengangguk. Bulan-bulan pertama Ibu berkali-kali ke dokter. Namun akhir-akhir ini, jarang sekali Ibu pergi ke dokter.

“nah, dokter melakukan terapi pijat di punggung Ibumu selama setengah tahun. Lalu setelah itu, dokter merasakan bahwa terapi itu tidak perlu lagi dilakukan olehnya. Tetapi, ia menyarankan agar seminggu sekali Ayah memijat punggung Ibumu. Sekarang sudah tiga bulan berjalan, seperti kamu tahu, Ayah seringkali harus pergi ke luar kota, jadi, terapi pijat itu tidak selalu dilakukan seminggu sekali, berhubung Ayah tidak ada di rumah.

Aku hanya mengangguk, namun aku masih belum dapat menebak arah pembicaraan Ayah. Maka aku hanya terdiam menunggu penjelasan lebih lanjut.

“nah,” kata Ayah lagi,“setelah berembuk dengan Ibumu, kami memutuskan agar untuk sekarang, terapi ini harus tetap dilakukan seminggu sekali. Berhubung Ayah tidak dapat terus-menerus melakukannya, maka sebaiknya mulai sekarang eri yang melakukan terapi itu kepada Ibu.”

“tapi Ayah,” jawabku,” eri tidak pernah memijat punggung orang. Apalagi pijat terapi segala. Kalau salah gimana?”

“tenang saja, ri. Untuk permulaannya, Ayah akan mengajari kamu. Kalau kamu sudah bisa, tentu sudah bisa dilepas. Tapi sebaiknya kamu mempelajarinya secara cepat, karena dalam tiga hari, Ayah harus pergi ke luar kota lagi.”

Aku hanya mengangguk. Berbagai pikiran melintas di otakku. Tiba-tiba saja aku jadi ingat Ibu. Usia Ibu 32 tahun, belum terlalu tua. Selain itu, Ibu memiliki badan yang ramping semampai. Dadanya tidak terlalu besar, ukurannya sedang saja, tetapi bila ia memakai kaos, akan terlihat gundukan mancung yang membuat laki-laki berandai-andai, apakah bentuk asli payudara Ibu.

“bagaimana?” tanya Ayah.”kamu mau menolong Ibumu?”

Aku mengangkat bahu dan mengangguk, untuk menunjukkan bahwa seakan-akan aku agak malas melakukannya, tetapi aku menunjukkan bahwa aku bersedia. Ayah tersenyum. Katanya.

“kalau begitu ayo ke kamar Ayah, Ibumu sudah menunggu di sana.”

Dengan dada berdebar aku mengikuti Ayahku masuk ke kamarnya. Ketika aku sampai di kamar Ayah, aku mendapati Ibu telah tiduran telungkup di tempat tidur pijat yang bisa dilipat yang telah dibeli oleh Ayah ketika ia harus memijat Ibu untuk terapi. Aku kaget ketika melihat bahwa daster kuning Ibu sudah dIbuka dan kini bagian atasnya telah ditarik ke bawah sehingga berjumbel di pinggangnya.

Namun, melihat punggung Ibu yang putih dan mulus sontak membuat kontolku perlahan menegang. Ayahku lalu menyuruh aku berdiri di samping Ibu. Tempat tidur lipat itu lebih rendah dari selangkanganku, sehingga Ayahku dapat melihat gundukkan kemaluanku yang menonjol. Tetapi, Ayah sepertinya tidak memperhatikan, sehingga lama kelamaan aku menjadi sedikit lebih santai.

Ayah berdiri di sisi kiri Ibu, sementara aku di sisi kanan. Ia mengambil lotion lalu mulai berbicara mengajarkan aku cara memijat Ibu. Aku berusaha memperhatikan dan mendengarkan pengajaran Ayah, walaupun seringkali pikiranku teralihkan melihat punggung putih Ibu yang sedang dipijit itu. Apalagi setelah diberi lotion yang menyebabkan kulit Ibu tampak begitu mengkilat.

Setelah sekitar lima menit yang penuh siksaan birahi bagiku, tiba-tiba Ayah berhenti, lalu berkata.

“sekarang kamu coba pijat Ibu, ri.”

Aku meneguk ludah lalu memberanikan diri memegang punggung Ibu. Kulit Ibu begitu halus dan licin. Aku mulai memijat punggung Ibu, perlahan-lahan namun dengan sedikit menekan, seperti yang kulihat Ayah lakukan sebelumnya. Pijatan yang dilakukan Ayah lebih mirip pijat siatshu di mana penggunaan telapak tangan yang membuka lebih sering diterapkan, berbeda dengan pijitan ala indonesia yang lebih mengutamakan kekuatan jari.

“ingat ya, ri. Pijatnya harus sekitar setengah jam. Lebih juga boleh. Tapi kamu jangan memaksakan diri kalau pegal.”

Aku mengangguk namun terus konsentrasi, berusaha menikmati tiap usapan dan pijatanku di punggung wanita yang seksi di depanku ini. Lalu Ayah berkata bahwa ia akan keluar dari kamar untuk melakukan sesuatu (aku tidak terlalu konsen mendengar perkataannya), dan ia akan kembali sekitar setengah jam lagi.

Aku sedang asyik memijat punggung Ibu sekitar sepuluh menit, ketika Ibu berkata.

“jangan terlalu keras, sakit.”

Aku mengurangi sedikit tekananku, namun Ibu tetap berkata aku terlalu keras. Beberapa kali aku mengendurkan tekanan telapakku, hingga akhirnya Ibu bilang bahwa pijatannya sudah pas. Aku amat senang dengan perkembangan ini, karena kini aku bukan memijat, melainkan lebih mengelus-elus punggung Ibu. Ibupun tampak beberapa kali menggumam, tampaknya ia menikmati elusan tanganku.

Ketika setengah jam berlalu, kudengar pintu terbuka, entah kenapa aku menjadi takut dan kembali menekan punggung Ibuku agak keras, sesuai dengan cara Ayahku sebelumnya. Ayahku melihatku masih memijat Ibu lalu berkata.

“oke. Sudah cukup. Bagaimana, bu? Pijatannya cukup enak?”

Ibu kini memalingkan wajahnya yang agak memerah dan berkata.

“ari sudah bisa, kayaknya, yah.”

Ayah mengangguk-angguk senang, lalu menyuruhku keluar. Aku tak menunggu lama-lama segera bergegas ke kamarku untuk segera masturbasi ketika sampai di kamarku, sambil terus memikirkan punggung Ibu yang seksi, putih dan halus itu.

Keesokan harinya kembali Ayah memanggil aku untuk memijat Ibu. Ibu telah siap seperti kemarin juga, dengan daster kuning berjubel di pinggang, dan bh yang terbuka bagian belakangnya saja. Aku memulai memijati Ibu sambil berharap Ayah akan cepat keluar kamar agar aku dapat mengelus-elus Ibu seperti kemarin lagi, tetapi hari ini Ayah tetap di kamar.

Aku memberanikan diri untuk mulai memperlemah pijatanku di badan Ibu, sambil terus melirik ke arah tempat Ayah duduk. Aku mengelusi punggung Ibu dengan perlahan, karena aku memijati Ibu sambil memperhatikan Ayah, maka aku tidak sadar bahwa saat itu selangkanganku yang masih memakai celana menyentuh pantat Ibu.

Tak ada reaksi apapun dari Ibu, sementara aku menggerakan selangkanganku ke atas tubuh Ibu, berhubung aku memakai celana pendek tipis, maksudku aku ingin merasakan kulit Ibu telanjang dibanding hanya pakaiannya saja. Aku bergerak mengelus-elus pundak Ibu sehingga aku harus beringsut naik, kemudian aku sengaja agak mendoyongkan badanku maju sehingga selangkanganku mengenai punggung bawah Ibu bagian kanannya yang telanjang, hampir dekat pinggangnya.

Sekitar semenit aku tempelkan selangkanganku ke pinggir punggung Ibu itu, aku tak tahan lagi. Aku mulai menggoyangkan pantatku perlahan menekan punggung Ibu dan juga menggoyang pantatku hingga seakan selangkanganku mengebor punggungnya. Nikmat sekali menggeseki punggung halus Ibu sambil mengelus-elus punggungnya.

Sambil terus melihat koran Ayah yang masih menutupi mukanya, aku menarik selangkanganku dari punggung Ibu, dengan cepat aku tarik celanaku kebawah sehingga kontolku terbebas. Entah kenapa aku begitu nekat saat itu, tapi aku kemudian menempelkan kontolku ke punggung kanan Ibu, menggesekki punggung itu dengan bantuan tangan kananku sebanyak lima kali untuk kemudian aku mulai ejakulasi, aku arahkan semburanku ke tengah punggungnya.

Beberapa kali pejuku muncrat dan membasahi punggung putih dan halus Ibu sampai akhirnya spermaku habis. Aku kemudian membersihkan kepala kontolku dengan menekan kepala kontolku itu ke punggung Ibu dan menggesekkinya beberapa kali hingga tidak ada lagi sperma di kontolku. Setelah itu aku segera memakai celana lagi.

Lalu aku secepat kilat mengusapi punggung Ibuku yang penuh peju itu dengan kedua tanganku hingga lama kelamaan tidak terlihat lagi. Tiba-tiba saja bunyi koran diangkat, otomatis aku kembali memijit Ibu dengan serius. Setelah itu, aku memijit Ibu dengan serius karena Ayah sepanjang waktu memperhatikan pijatanku.

Ayah berangkat ke luar kota pagi-pagi keesokan harinya. Sementara aku masih harus sekolah. Ketika sore tiba, aku bersiap dengan memakai kaos longgar dan celana boxer saja. Baju yang santai dapat membuat burungku leluasa bergerak. Ibu kemudian mendatangi kamarku dan berkata.

“eri, kamu ke kamar Ibu lima menit lagi ya. Ibu mau siap-siap dulu.”

Aku mengangguk dengan antusias. Lalu menunggu selama lima menit yang serasa setahun di pikiranku. Kuperhatikan jam dinding dengan seksama, gerakkan jarum menitnya kurasakan amat lambat dikarenakan aku yang sudah tidak sabar. Akhirnya waktunya tiba dan aku bergegas ke kamar orangtuaku.

Ibu sudah berada di tempat tidur lipat untuk pijat itu. Ia kali ini memakai daster merah dengan bh krem yang terbuka di punggung, kuperhatikan kedua tangannya tidak terlalu rapat di sisi tubuhnya, sehingga terlihat sedikit tonjolan pinggir payudara Ibu. Aku cepat-cepat mengambil lotion lalu mulai mengelus perlahan punggung Ibu.

Punggung yang halus itu kini kuelus dengan perlahan dan pelan. Terkadang aku usap dari daerah bahu ke pinggang, terkadang dengan gerakan memutar. Pada suatu saat ketika aku mengusap punggungnya dari bawah ke atas, kuberanikan diri mengusap Ibu dengan ujung jari mengarah condong ke bawah sedikit sehingga ketika melewati bagian di mana ada tali bra-nya, ujung jari-jariku mengelus pinggir tubuhnya, tepat sebelum gundukan payudara Ibu.

Ini membuatku menjadi berani untuk terkadang mengusap pinggir tubuh Ibu. Sementara Ibu sudah mulai menggumam lagi. Saat itu kuperhatikan rambut Ibu disangul sehingga menampakkan lehernya yang jenjang. Secara otomatis ketika tanganku bergerak ke atas, kedua tanganku mengusap belakang leher Ibu. Untuk dapat menyentuh lehernya, aku harus mendoyongkan tubuhku maju.

Setelah beberapa saat aku baru mencopot celanaku dengan cepat, dan menaruh kontolku di pinggir punggung Ibu lagi. Maka kini sambil mengelusi punggung telanjang Ibu, kontolku menekan punggungnya dan mulai kugesek-gesek perlahan. Ibu hanya mengeluarkan suara desis perlahan ketika kedua tanganku mengelus-elus seluruh punggungnya yang putih dan halus itu.

Sambil terus menggesekkan burungku di bagian samping tubuh Ibu, aku kini mulai berkeinginan meraba pantat Ibu. Maka perlahan jemariku ketika mengusap punggung Ibu ke arah bawah, kususupkan di bawah daster. Aku tidak berani langsung ke pantatnya, melainkan hanya sedikit di bawah daster lalu kembali ke atas.

Makin lama jari-jemariku tidak hanya mengelus sedikit di bawah daster Ibu, melainkan bertambah sesenti demi sesenti. Entah berapa lama aku melakukannya, tetapi perlahan-lahan jari-jemariku merasakan karet celana dalam Ibu pada permulaan gundukan pantat Ibu yang kurasakan memiliki kulit halus namun otot yang cukup kenyal.

Proses penyusupan ke dalam celana dalam Ibu itu berlangsung cukup lama, perlahan-lahan jari jemariku menyusup semakin jauh ke dalam celana dalam Ibu. Tidak ada penolakan dari Ibu yang membuat tubuhku yang penuh dengan nafsu dan ketegangan mulai basah oleh keringat. Tubuh Ibu juga mulai mengeluarkan keringat sehingga lama-kelamaan licin sekali punggung Ibu karena lotionnya bercampur dengan keringat dari telapakku dan dari tubuh Ibu sendiri.

Melihat tubuh Ibu yang berkeringat sehingga tampak mengkilat sementara kontolku menggeseki pinggiran tubuhnya ditambah dengan tanganku yang sedang menjamahnya, membuat aku semakin bernafsu. Kedua tanganku sekarang asyik sekali mengelus-elus pantat Ibu, tanpa kembali ke arah punggung seperti tadi. Seluruh telapak tanganku sudah masuk ke dalam celana dalamnya.

Aku mulai menekan pinggir kanan tubuhku Ibuku dengan kontolku, bila tadi hanya menggesek naik turun, kini aku menusuk pinggir tubuh Ibu. Ibu menggelinjang dan berkata sambil mengikik.

“jangan di situ… Geli…”

Rupanya karena kontolku menusuk bagian atas pinggang kanannya, Ibu menjadi geli. Bila aku turun ke bawah, maka Ibu akan lebih geli lagi. Maka aku menggeser ke kanan, yaitu ke arah atas tubuh Ibu mendekati ketiaknya. Tahu-tahu kontolku menusuk bagian tubuh Ibu yang kenyal dan membulat. Tadinya aku tidak memperhatikan, karena aku sedang memikirkan cara yang tepat untuk menurunkan celana dalam Ibu tanpa mengagetkannya.

Saat itulah Ibu mulai memutar-mutar dan menekan pantatnya ke arah matras pijit. Ia mengerang lirih, tampaknya Ibu masturbasi dengan menggeseki memeknya ke matras pijat ini. Ibu tampak keenakan, sementara, aku merasa kurang bila hanya menggesek dan menusuk-nusuk tubuh Ibu dengan kontolku saja. Aku perlu yang lebih sekarang.

Akhirnya, aku mendapatkan ide agar dapat melihat pantat Ibu yang telanjang. Aku menghentikan gerakanku. Aku beringsut mendekat ke arah pantat Ibu. Ibu yang merasa tubuhnya tidak dielus lagi memalingkan wajah sehingga menatapku yang tak bercelana, matanya menunjukkan pertanyaan sementara pantatnya berhenti bergoyang.

Aku keluarkan tangan kiriku dari celana dalam Ibu, aku tarik karet celana dalam bagian pinggangnya, lalu aku selipkan kontolku di situ. Aku lalu mulai mengocok kontolku disitu. Begitu kenyal dan hangat pantat Ibu, apalagi pantat itu bergoyang-goyang juga beberapa saat kemudian. Ibu kembali mendesah kecil dan kembali menikmati aktivitas kami.

Setelah pantat Ibu licin, aku melumuri kontolku juga dengan lotion, lalu merubah posisiku ke bagian bawah lagi. Aku memasukkan kontolku ke dalam celana dalam Ibu dari lubang kaki celana dalamnya. Posisi ini mirip sekali dengan doggy style, dan aku penasaran rasanya. Hanya saja, ketika kontolku sudah masuk, aku hanya dapat menekan pantat kanan Ibu, sementara aku ingin merasakan belahan pantat Ibuku itu.

Harus merangkak keatas Ibu. Tak kupedulikan lagi apakah tempat pijit itu kuat atau tidak, karena nafsuku kini sudah membabi buta.

Setelah kontolku bertengger di belahan pantat Ibu dengan sukses, aku menindih Ibu. Bibirku sejajar dengan pangkal leher Ibu berhubung aku masih sedikit lebih pendek daripadanya. Namun saat itu Ibu sedang asyik menggoyang pantatnya keras-keras dan kini tubuhnya agak melengkung ke atas dengan kepala terangkat ke belakang karena sedang menikmati ketabuan aktivitas kami dengan ditopang kedua tangannya yang membentuk siku.

Ibu tiba-tiba saja mengerang lalu secara membabi buta menggoyang pantatnya. Dari mulutnya terdengar geraman demi geraman.

“heehh… heeeehhh… heeeeehhhh…”

Aku meremas payudara Ibu yang mancung itu dan Ibu semakin keras mengerang dan menggoyang pantatnya, membuat kontolku bergoyang mengikuti iramanya. Aku juga menekan kontolku di belahan pantat Ibu kuat-kuat. Tak lama Ibu mengejang-ngejang sambil menundukkan kepalanya. Aku yang sudah mau sampai juga melihat leher jenjangnya yang penuh keringat tampak begitu seksi sehingga aku menyedot leher belakang Ibu kuat-kuat dengan memiringkan kepalaku saat kontolku menyemprotkan pejunya ke dalam celana dalam Ibu.

Aku menindih Ibu selama beberapa menit sebelum Ibu minta aku turun dari badannya. Ia mengucapkan terimakasih kepadaku dan memasuki kamar mandi. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, sehingga akhirnya saat itu aku masuk kamar dan tertidur karena kecapekan.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan