1 November 2020
Penulis — Pemanah Rajawali
Inilah kisah hidupku. Namaku Ari. Nama Ibuku Irma dan Ayahku Asep. Ini adalah cerita mengenai hubungan kami yang berawal dari hubungan biasa ibu dan anak, yang berkembang menjadi sahabat, lalu tak direncanakan menjadi lebih dalam lagi dari itu.
Aku dilahirkan di keluarga berada. Ayahku adalah seorang koki yang bekerja di kapal pesiar di daerah Eropa. Itulah kenapa Ayahku jarang sekali pulang. Ayah pulang sekali setahun, biasanya untuk dua atau tiga bulan, untuk selanjutnya akan bertugas kembali ke kapal pesiar itu. Namun dari pekerjaan yang digelutinya selama 15 tahun itu, kami sudah mempunyai rumah ukuran 45/120 dan juga sebuah mobil sedan.
Ayah dan Ibu menikah 17 tahun yang lalu, ketika ayah berusia 20 tahun dan ibu berusia 17 tahun. Sekarang usiaku 16 tahun. Aku akan memulai kisah ini saat aku berusia 13 tahun. Saat aku baru saja setahun memasuki pubertas dan baru masuk SMP.
Sedari kecil aku sudah dekat dengan ibu. Dikarenakan ayah jarang pulang, kami berdua menjadi sangat dekat. Ibu dan aku sudah seperti sahabat. Kemana-mana kami selalu bersama. Sedari kecil, aku tidur bersama ibu, kecuali bila ayah pulang dan aku harus tidur di kamarku sendiri. Lama-kelamaan, kami bagaikan kawan seumur.
Semua berubah ketika aku sudah SMP. Sebelumya, bagiku ibu adalah seorang yang merawatku dan menyayangiku sepenuh hati, dan akupun menyayanginya sebagai anak. Namun, kala teman-teman SMPku datang ke rumah, mereka selalu berkomentar bahwa ibuku adalah perempuan yang cantik dan seksi. Pertama-tama aku marah terhadap mereka, karena menurutku mereka sangat tidak sopan terhadap ibuku.
Teman-temanku memperkenalkan aku video bokep, majalah dewasa, pornografi di internet dan berbagai hal yang membuka mataku mengenai perempuan. Akhirnya, aku membandingkan para wanita yang ada di video atau di majalah itu dengan ibuku sendiri. Dan menurutku, ibuku tidak kalah cantiknya.
Setelah pencerahan dari teman-temanku itu, aku menjadi melek mata mengenai keseksian ibuku. Ibuku memiliki tubuh yang seksi. Tingginya sekitar 165 senti. Pinggulnya agak lebar, bekas mengandung aku. Tubuhnya tidak kurus, namun berisi. Bukan pula gemuk, walau perutnya tidak rata, hanya sedikit menonjol tanda bahwa pernah melahirkanku.
Selain tubuhnya yang seksi, wajah ibu juga cantik. Hidungnya mancung dan tipis, dengan bibir yang agak tebal, mata yang lentik dan rambut yang dibiarkan tergerai sebahu, kulit ibu putih namun tidak pucat, seakan ada kilau yang memancar dari kulitnya. Rahang ibu tinggi sehingga tampak seperti peragawati di tivi.
Semenjak aku kelas 1 SMP, akibat bergaul dengan teman-temanku, aku mulai terangsang tiap kali ibu dan aku bermain-main di rumah. Entah waktu kami saling menggelitik satu sama lain, terlebih bila kami berantem-beranteman ala Smack Down. Dan untungnya, ibu tampak tidak sadar bila aku sedang ngaceng dan kala kami bergumul terkadang batangku yang keras menempel badannya.
Aku sangat tersiksa bila sudah bermain-main dengan ibu, kala kami berkeringat waktu bergumul satu sama lain, karena bau tubuh ibu jadi semakin jelas tercium olehku, membuat aku pusing tujuh keliling. Batangku sudah menjadi sangat keras minta disalurkan birahinya. Biasanya setelah merasa tidak kuat aku berteriak menyerah, ibu akan kegirangan dan meledek diriku.
Di rumah, ibu biasanya mengenakan daster atau baju kaos you can see dengan celana super pendek, memperlihatkan kulitnya yang kuning langsat. Ia tampaknya tidak sadar bahwa anaknya sudah mulai besar dan mengetahui mengenai seks. Ia masih menganggapku adalah anaknya yang kecil.
Karena kami sangat dekat, maka setiap kali aku bangun pagi dan menemui ibu di kamar makan, aku akan mencium kedua pipinya. Begitu pula setiap aku berangkat dan pulang sekolah. Bila aku ulang tahun, ibu akan mencium kedua pipiku dan kemudian mencium bibirku. Ciuman itu hanya ciuman sayang orangtua kepada anak.
Maka, ketika aku SMP itu, aku mulai ingin lebih dari ibuku. Ketika aku berulang tahun, aku sudah menyiapkan strategi matang. Pagi itu, aku bangun dan setelah gosok gigi, aku ke ruang makan dan melihat ibu sudah ada di sana.
Wuiiih yang ultah baru bangun jam segini mentang-mentang hari Sabtu. Sini kata ibuku membuka tangannya untuk memelukku.
Ibu memelukku lalu mencium kedua pipiku dan bibirku. Setiap kali mencium ia akan menambahkan kata muaah. Dan ciumannya agak lebih keras karena ini hari spesialku.
Ibu memakai gaun tidur dengan tali di pundak berwarna hitam model dua potong. Dengan rok yang selutut. Aku yang sudah mulai horny menjadi tegang karena mendapatkan ciuman darinya.
Setelah ibu melepaskanku untuk menyiapkan sarapan, aku bergegas bertanya, berusaha membuat suaraku wajar-wajar saja.
Bu, kok kalau ulang tahun saja, ibu mencium kedua pipi dan bibir Ari?
Karena hari ini special. Kamu kan ulang tahun. Ibu menjawab tanpa berpikir karena pikirannya sedang dipenuhi untuk mempersiapkan makanan.
oh, jadi kalau cium di bibir itu special ya?
Iya, menandakan bahwa ibu sayang sama Ari.
Oh, jadi Ibu Cuma sayang kalau hari Ulang tahun aja ya?
Aku sudah duduk di meja makan. Ibu sedang mengoles roti sambil duduk. Ia menghentikan pekerjaannya lalu menatapku. Katanya.
Ya tiap hari dong sayangnya. Emang kenapa sih?
Artinya harusnya tiap hari juga dong dicium bibirnya. Ya nggak?
Ibu tertawa. Aku senang melihat bahwa ibu tidak curiga apa-apa.
Ya udah. Kamu mau dicium bibir tiap hari? Boleh, kok. Wong kamu sendiri yang ga mau dicium bibir waktu kelas 3 SD. Kata kamu udah besar, ga boleh dicium bibirnya kayak anak kecil. Malu, kata kamu.
Aku sedikit terkejut karena baru ingat hal ini. Namun aku segera menjawab agar tidak ketahuan ada mau yang lain.
Ya maksudnya sih jangan di depan teman-teman. Kan malu. Tapi kan kalau di rumah lain ceritanya.
Ibu menyerahkan roti di tangannya kepadaku, lalu berjalan ke sampingku. Tiba-tiba ia mencium bibirku sambil tetap berdiri.
Muaaaah.. ini roti untuk anakku.
Lalu ia bergegas ke tempat cucian untuk mencuci perabot yang kemarin malam belum dicuci. Aku buru-buru melahap roti dan bergegas mandi, untuk melepaskan nafsuku yang sudah di ubun-ubun.
Kami melakukan banyak hal untuk merayakan hari ulang tahunku saat itu, yang tidaklah perlu kuceritakan. Yang jelas aku sangat Bahagia hari itu mendapatkan kasih sayang ibuku. Malamnya sebelum tidur dan setelah gosok gigi, aku mendatangi ibuku yang sedang beres-beres di dapur.
Bu, makasih ya. hari ini Ari senaaaanggg sekali. Jalan-jalan sama ibu dan senang-senang.
Ibu yang sedang memegang piring kotor hanya tersenyum. Aku mendekati ibu, memeluk dengan tangan kananku di pinggangnya, lalu jinjit, berhubung ibu masih ada hampir sepuluh senti lebih tinggi dariku, dan memberikan ibu ciuman di bibir agak lama.
Muaaaah. Ari sayang sama Ibu.
Ibu hanya tersenyum lalu berkata,
Ya udah tidur sana..
Mulai saat itu, kini setiap aku bangun atau mau tidur, berangkat atau pulang sekolah, aku mencium bibir ibu.
Bukan hanya itu saja yang menjadi rencanaku. Seperti kataku sebelumnya, kami suka saling saling menggelitik. Yang paling seru adalah, ketika Ayah telpon dari luar negeri, kami suka saling menggelitik. Dimulai ketika aku masih di SD. Suatu ketika aku ingin dibelikan mainan yang tidak ada di Indonesia, maka aku ingin bicara dengan ayah di telpon, namun Ibu sengaja tidak mau memberikan telponnya, maka aku segera menggelitiki ibu.
Akhirnya setelah beberapa saat ibu memberikan telpon padaku, giliranku yang bicara, ibu balas menggelitik. Ayah yang mendengar suara kami hanya tertawa saja. Ia senang bahwa di rumah isteri dan anaknya begitu akur dan harmonis. Ayah terkadang menelpon seminggu tiga kali. Kadang dua kali. Sehingga kami sering berkomunikasi dengannya.
Nah, kini aku juga berencana untuk menggunakan saat itu untuk memperjauh perhubungan antara aku dan ibuku. Ayah menelpon sehari setelah aku ulang tahun. Berhubung di Eropa terlambat sehari dari Indonesia, ayah lupa bahwa aku di Indonesia sudah ulang tahun sehingga baru menelpon. Aku saat itu sengaja hanya memakai celana pendek dengan alasan gerah.
Pertama ibu berbicara dengan ayah, aku belagak ga sabar dan minta telponnya.
Belum beli, Yah. belum sempet saat itu aku memberi kode ibu untuk memberikan telpon kepadaku, Iya sebentar dulu Ibu ngomong sama Ayah dulu nih.
Beberapa saat ibu masih berbicara dengan ayah di telpon. Aku berusaha menjangkau telponnya.
Ari, tar dulu ah kata ibu menghindar tanganku, Ibu belum selesai ngomong sama ayah
Lalu ibu melanjutkan pembicaraannya. Saat itulah aku mulai duduk di sebelah ibu di sofa, lalu perlahan tanganku menggelitik pinggang ibu perlahan. Ibu mengikik pelan.
Kenapa, Yah? Kata ibu di telpon kepada ayah, Oh, Si Ari ga sabar ngomong sama Ayah, jadi mulai deh ngelitikin Mamanya seperti biasa. Ibu kemudian menatapku lalu berkata, Kata ayah kamu jangan bandel.
Oke deh. Setelah ada perintah dari Si Boss, kataku dan kemudian mulai kembali mengelitiki pinggang ibu yang kenyal.
Udah ah. Ibu mau ngomong nih. Ibu tertawa, posisi saat itu ibu duduk sebelah kiri sofa, telepon di tangan kirinya yang menyandar lengan sofa, aku di sebelah kanannya, karena aku menghadap ibu, maka aku mengelitikinya dengan tangan kanan. Agar aku berhenti mengelitik, dengan tangan kanan ibu yang bebas ia memegang tanganku lalu menariknya sehingga tangan kananku melingkari perutnya ke pinggang kiri, lalu aku segera melingkari tangan kiriku yang satunya ke belakang ibu.
Aku menyukai posisi ini, tapi agar tidak mencurigakan, aku berkata.
lama banget sih.
Ibu hanya berdesis menyuruhku diam lalu kemudian kembali konsen ke telefon.
Aku pura-pura bosan namun menikmati pelukanku ke ibu. Lengan kananku merasakan bagian bawah tetek ibu yang lembut dan kenyal. Tapi tetap saja ibu berbicara dengan ayah. Lapat-lapat aku mendengar bahwa mereka membicarakan saudara ayah yang sedang dirundung masalah keluarga. Tapi aku tidak terlalu konsen.
Aku membisiki ibu,
gantian donk.
Tapi ibu tetap cuek dan asyik berbicara, mungkin karena lama tak berbicara dengan ayahku. Aku tahu ibuku gelian, terutama di leher, ketiak dan pinggang. Maka aku mulai meniupi lehernya yang sedikit doyong ke kiri karena sedang mendengarkan telpon, sehingga leher bagian kanan terbuka. Ibu hanya mendecakkan lidah walaupun dia sedikit merinding kegelian yang ditunjukkan dengan bahunya yang diangkat ketika lehernya kutiup.
Kudekati lehernya sehingga aroma tubuh ibu begitu dekat dihidungku lalu aku tiup perlahan. Ibu mengangkat tangan kanannya lalu mendorong kepalaku sambil mendelik melotot. Tapi wajahnya tidak marah. Ia terus berbicara. Aku kembali meniupi lehernya. Ibu mendorong kepalaku lagi. Aku kembali meniupi lehernya.
Melihat kesempatan terbuka, aku menggunakan bagian kiri kepalaku untuk menekan ketiaknya yang terbuka untuk mengelitik pangkal lengannya itu. Kupingku dapat merasakan bulu-bulu halus ketiak ibu yang agak lembab. Bau tubuh ibu terpancar kuat dari sana.
Ya udah, deh Yah ini Si Ari ga sabaran banget mau ngomong sama ayah. Lalu ibu memberikan telpon itu kepadaku. Aku belagak senang dapat bicara dengan ayah, namun dalam hatiku aku sebel juga, belum cukup rasanya merasakan tubuh molek ibu.
Mulai dari saat itu pula, setiap kali ibu bicara dengan ayah, aku akan selalu menggoda ibu dengan menggelitik, atau meniup lehernya, atau memeluknya sambil mengganggu pembicaraan ibu, untuk berpura-pura ingin ngobrol dengan ayah.
Dari dua aktivitas ini, aku berharap dapat mencapai sesuatu yang lebih dengan ibuku. Namun, berhubung aku tidak tahu reaksi ibu bila aku terlalu memaksa, maka yang kulakukan adalah bertahap tapi tidak terlalu mencolok.
Dua bulan pertama aku mencium pipi dan bibir ibu kala berangkat sekolah, pulang sekolah, bangun tidur maupun berangkat tidur. Bulan ketiga aku mencium satu pipi yang dekat denganku, lalu kucium bibir ibu dua kali.
Kok dicium dua kali bibirnya?
abis pipi yang satu jauh. Ibu lebih tinggi dari Ari, jadi Ari pegel. Cium di bibir dua kali, yang satu tolong sampaikan ke pipi yang sebelah lagi, ya bu?
Ibuku hanya tertawa saja.
Untuk menggelitik waktu telpon pun, dua bulan pertama masih sama seperti sebelumnya, namun bulan ketiga aku langsung memeluk ibu dan meniupi telinganya. Alasanku agar bisa lebih cepat ngomong ke ayah. Ibu hanya geleng-geleng saja sambil tersenyum. Namun, mungkin karena kebiasaan, jadi setelah lima bulan, ibu dapat menahan gelinya di leher dan tampak tidak terlalu terganggu.
Ini nih Ari ngelitikin Ibu lagi. Ya udah, ngomong sama anaknya deh. Udah ga sabar tuh..
Lalu aku mulai bicara pada ayah dengan Bahagia. Karena saat itu aku mulai berani menyentuh ibu dengan bagian dari bibirku. Yah kemajuan walau sedikit.
Bulan kedelapan aku mencium bibir ibu tiga kali dengan dalih menghemat waktu. Dan tolong sampaikan pada kedua pipi ibu yang lain. Ibu hanya mendorong kepalaku pelan sambil berkata, gelo!
Ibu makin lama berbicara di telpon. Biasanya hanya sepuluh menit, dengan aku mendapat jatah dua atau tiga menit terakhir. Namun semakin lama ibu berbicara makin lama. Bisa sampai dua puluh menit, sementara aku tetap saja dijatah sebentar. Aku biasanya langsung memeluk ibu dari samping dan menggelitik lehernya dengan kumis.
Pada bulan ke delapan, aku terkadang menggeseki leher ibu dengan bibirku juga. Pertama-tama hanya sebentaran saja. Ibu langsung menghela nafas. Lama-kelamaan aku berani menggeseki leher ibu dengan bibir selama beberapa detik.
Hmmmm, kata ibu tak sadar masih bicara di telpon kenapa, yah? Oh. Ini. Ee.. leherku pegal, Ari lagi mijitin leherku
Tepat setahun, waktu aku sudah berusia 14 tahun, di saat telpon, aku memeluk ibu di samping sambil mengelitik leher ibu dengan kumisku yang jarang. Ibu tampaknya senang. Ia terlihat kegelian dan kadang badannya menggelinjang dan tangannya sesekali mendorong kepalaku kalau kegelian. Ibu saat itu memakai gaun tidur warna krem tanpa bra.
Gaun tidur itu terbuka bagian setengah dada ibu, sementara bagian punggung terbuka sejajar dengan bagian depannya, gaun itu juga memiliki tali bahu yang tipis, sehingga memamerkan pundak dan leher ibu. Sudah beberapa minggu ia jarang pakai bra kalau sudah malam. Pertama kali aku lihat pentilnya menyembul di baju malamnya, sontak aku horny dan senang sekali.
Sesekali aku menggeseki lehernya yang jenjang dengan bibirku. Setahun ini, tidak hanya leher sebelah kanan yang telah aku garap. Kadang ibu duduk di kanan sehingga aku dapat menggarap yang sebelah.
Saat itu, aku tak tahan dan kukecup leher ibu.
ssshhhhhh.. kenapa, yah? Oh ini badanku nyeri mungkin kecapekan.. pembantu? Ah, nanti Ibu males di rumah.
Kemudian aku buka bibirku dan aku geseki leher ibu. Kedua bibirku yang terbuka itu ku tutup sambil terus ku tahan di leher ibu. Beberapa saat aku asyik mengatupi bibirku dileher ibu seakan ingin memakan leher itu, tak sadar aku mengeluarkan lidahku sehingga menjilat leher ibu yang jenjang itu.
Ohhhhh kenapa, yah? Oh, enggak ibu Cuma bilang Oh begitu.
Tahu-tahu ibu mendorong kepalaku, aku sedikit kecewa, namun ibu memindahkan telpon wireless itu ke kuping kanannya, lalu ibu ganti menelekan kepala ke kanan sehingga kini leher kirinya yang terekspos. Aku memposisikan diriku tepat di belakang ibu sambil terus memeluknya, kalau tadi dari samping, sekarang dari belakang tubuhnya, memaksa ibu agak maju duduknya.
Aku mulai melumati lehernya seperti tadi, dan dengan mengumpulkan keberanian, aku menjilat leher ibu secara cepat. Tubuh ibu mendadak doyong ke kanan sehingga perlahan tubuh kami rebah ke samping. Tangan kanan ibu membentuk siku untuk menahan kepala dan telpon, namun lehernya tetap terbuka. Gerakan ini tahu-tahu membuat kedua tanganku yang tadi melingkari perut ibu, kini memegang kedua dadanya yang masih terbungkus baju tidurnya yang tipis.
Nafas ibu tertahan, begitu juga denganku. Payudara ibu begitu besar sehingga tangan remajaku tak mampu menutupi semua lekuk bulat dada indah ibu. Aku memegang dada ibu dari arah agak bawah sehingga jemari telunjuk dan tengahku menempel pada pentil ibu yang mencuat. Tiba-tiba saja aku sadari bahwa kami berdua mulai bernafas agak berat.
Aku tak berani menggerakkan tanganku, takut kalau saja ibu marah bila kuusap kedua putingnya, bahkan aku tak bergerak sama sekali. Ibu tampak terdiam beberapa saat.
Demikian juga aku, namun, wajahku saat itu sedang menempel di leher ibu, terutama hidungku. Aku dapat mencium sisa bau parfum ibu yang disemprotkan pada pagi hari namun masih mengeluarkan wewangian halus, di tambah dengan bau tubuh ibu sendiri yang sekarang tiba-tiba saja kurasakan melembab.
Kenapa?… oh, ibu lagi ngelamun mikirin cucian yang belum dimasukkin, yah.. sori deh.. jadi ga konsen.. kata ibu pada ayah di telpon setelah beberapa saat terdiam. Lalu ibu mulai berbicara normal lagi. Tidak ada tanda-tanda kemarahan dari ibu. Aku menjadi bersemangat lagi.
Kukecup perlahan leher jenjang ibu. Tubuh ibu kurasakan membeku, namun ia masih berbicara dengan ayah walau suaranya sedikit bergetar. Kukecup lagi perlahan lehernya, kali ini ibu tidak membeku karena sepertinya sudah mengantisipasi. Aku tak tahu berapa lama aku dan ibu berbaring miring di sofa, karena aku sibuk mengecupi perlahan leher jenjang ibu.
Tadi Ayah tanya, kamu mau ngomong ga? Tapi ibu bilang kamu lagi sibuk.
Ibu berdiri sambil tertawa kecil melihat aku yang bagaikan orang bingung. Karena memang aku bagaikan linglung saja setelah tiba-tiba berhenti menikmati leher dan pundak ibu.
Kamu emang sibuk, kan? Kepalamu itu penuh dengan pikiran ngeres sampe-sampe lupa mau ngomong sama ayah. Kata ibu. Aku menjadi malu. Namun ibu tidak memarahiku. Suaranya tidak terdengar marah. Kemudian ibu langsung beranjak pergi ke kamar tidurnya.
Setelah aku di kamar dan selesai masturbasi membayangkan kembali kehalusan kulit leher dan pundak ibu, dan mengingat-ingat wangi tubuhnya, aku mulai berpikir, apakah ibu senang dengan aktivitasku kepadanya? Bila ia senang, kenapa ia tidak minta lebih? Bila ia tidak suka, mengapa ia tidak melarangku?
Paginya ketika aku bangun, ibu masih memakai baju tidur tipisnya. Pentilnya menyembul terlihat dari balik gaun kremnya. Aku horny sekali. Aku tak kuasa memandangi dadanya sepanjang waktu sarapan, namun ibu tampaknya tidak sadar bahwa payudaranya yang terhalang kain tipis sedang ditatap dengan nafsu oleh anaknya.
Sekitar lima detik aku cium bibir ibu dan ketika ciumanku lepas terdengar bunyi kecupan dua bibir kami.
Tumben kamu semangat begini, Ri?
Ibu cantik banget pakai baju tidur ini. Ari jadi gemas, kataku tak mampu menahan diri. Ketika kata-kataku telah meluncur, aku menyesal sekali. Aku takut ibu marah. Tapi
ibu hanya tertawa kecil sambil mendorong kepalaku, katanya,
pagi-pagi udah ngeres! Sana sekolah!
Hari itu di sekolah aku tidak dapat konsen. Tiada sesuatu di sekolah yang membuatku dapat mengalihkan pikiran dari ibuku yang cantik dan seksi itu. Aku telah menyimpulkan bahwa ibu senang dengan kelakuan kurang ajarku, namun tetap saja sebagai ibu, ia tidak akan membawa hubungan kami lebih jauh. Ini terbukti bahwa ibu selalu orang yang menghentikan kegiatan ngeresku kepadanya.
Pulangnya aku mendapati ibu selesai masak dan sedang menyiapkan makanan. Ia memakai tank top hitam dan rok hitam di atas lutut. Tank topnya tidak tipis, namun tetap saja menunjukkan dadanya yang besar, yang ternyata hari ini tidak terbalut bra juga. Pentil ibu terlihat membayang, dan dibalik tali bahu tank topnya, tidak terlihat bra.
Aku kembali memeluk ibu dan mencium bibirnya dengan gemas. Aku melepas bibirnya setelah kurang lebih lima detik seperti tadi pagi, namun aku kembali memagut bibir ibu. Kini lebih lama dari yang pertama. Kontolku tertekan pada paha ibu, kontol yang sudah mengeras tanda birahi. Setelah beberapa saat ibu melepaskan bibirku dan sambil tertawa menyuruhku cuci tangan dan kaki untuk kemudian makan.
Setelah itu aku tidak mendapatkan kesempatan lagi, karena ibu sibuk dengan pekerjaan rumah. Aku kemudian tidur siang (setelah masturbasi tentunya). Sorenya, aku mandi dan mengerjakan PR. Aku sedikit kecewa, karena ayah tidak pernah telpon berturut-turut setiap hari. Sehingga kini aku tidak bisa mengerjai ibuku lagi.
Namun, malam itu ada yang telpon. Aku tahu bukan ayah, tapi aku menggunakannya sebagai dalih saja. Malam itu ibu menggunakan gaun tidur yang sama seperti malam sebelumnya. Ibu mengangkat telpon, biasanya ibu mengangkat sambil menyender di sofa, sehingga aku hanya bisa memeluk dari samping, tapi malam itu ia duduk di pinggir sofa, menyisakan tempat di belakangnya, aku yang sudah siap segera duduk di belakang ibu sambil memeluknya.
Oh. Mbak Hani.. kata ibuku di telepon. Rupanya Kakak ibuku, Tante Hani telpon. Tante Hani dua tahun di atas ibuku, sehingga pada saat itu, Tante Hani berusia 34 tahun. Tante Hani seperti halnya ibuku, cukup tinggi untuk ukuran perempuan Indonesia. Ia sedikit lebih tinggi dari ibu, namun tubuhnya agak lebih gemuk dari ibu, apalagi ukuran dadanya yang selalu menonjol di balik pakaiannya.
Entah apa yang dibicarakan ibu, karena aku sudah mulai mengendusi dan mengecupi leher ibu. Tahu-tahu ibu kini merebahkan diri ke belakang, dengan kepala disandarkan ke belakang pula, menyender pada bahu kiriku. Kontolku yang sudah tegang dari tadi menjadi di tindih bagian atas pantat dan sedikit punggung bawah ibu, membuatku membalas tindihan ibu dengan tekanan pada bokongnya itu.
Bibirku mengecupi leher ibu dengan perlahan, namun nafsu membuat gerakanku makin lama makin cepat. Tak lama pundaknya kuciumi juga. Hampir seluruh bahu ibu kukecupi dan kuendus-endus. Akhirnya aku memberanikan diri memagut pangkal lengan ibu, tepat di sambungan antara lengan atas dan bahunya, dengan menggunakan sedikit lidahku untuk merasakan kulit ibuku yang licin dan berkilau menyilaukan semua lelaki yang melihatnya.
sssshhhhhh. Mmmphhhh. Ibu mendesah, namun dengan cepat ibu tersadar dan berkata di telepon, ohh. Nggak kenapa-napa, Mbak. Bahuku sedang dipijit Ari, soalnya sudah pegal dari tadi.. iya iya enggak, kok, Mbak. Aku belum mau istirahat masih bisa ngobrol sama Mbak
Lidahku merasakan begitu halusnya kulit ibu. Indera pengecap di lidahku mencicipi rasa kulit ibuku. Tentu saja bukan rasa seperti di kala makan buah-buahan atau makanan, bukan rasa yang membuat perut lapar, tetapi rasa dari kulit ibu menyebarkan sensasi sensual ke seluruh tubuhku, terutama kepada kejantananku yang mulai berkedut tak sabar.
Aku masih mengulum pundak ibu dan sedikit mengenyoti perlahan kulitnya yang halus dan licin. Setelah beberapa saat aku lepaskan pagutanku, lalu mulai memagut perlahan pundaknya yang lebih dekat ke leher ibu, sesenti demi sesenti. Tiap pagutanku berkisaran antara tiga sampai lima detik dengan kenyotan pada pundak ibu sepanjang itu.
Ketika aku sampai pada leher ibu bagian bawah, ibu tak sadar melenguh lagi.
sssshhhh Ariiiii. Iya.. disitu, kata ibu sedikit tercekat, kenapa, Mbak? Oh. Ari pinter mijit bahu Irma, Mbak enak sekali pijatannya. Kenapa?… Oh, boleh aja. Nanti kalau Mbak ke sini biar dipijit Ari..
Pada saat itu aku mulai melumat leher kanan ibu dengan mulut dan lidahku. Kini lidahku lebih berani kuulur, dan sesekali, bagaikan anjing, aku menjilat leher ibu dari pangkal leher sampai ke bawah dagunya. Saat itu tangan kanan ibu yang tadi diam saja, mendekap kepalaku dan sedikit meremas rambutku.
Aku menjadi lupa daratan. Tanganku reflex meremas payudara ibu yang besar, sementara bibirku menghisapi rahang kanan ibu.
aaahhhh.. mulut ibu terbuka, kulihat sederet air liur ibu tertarik dari bagian atas bibirnya sampai ke bawah di ujung lidahnya, bagaikan tirai air yang sedikit berbusa menghiasi mulutnya yang indah yang sedang terbuka itu. Aku menjadi gelap mata dan tanpa memikirkan konsekuensi apa-apa, aku segera menjulurkan lidahku memasuki mulutnya yang terbuka dan menjilat ludah ibu itu.
Tahu-tahu bibir ibu mengatup sehingga kini kedua bibirnya menjepit bibir bawahku. Aku mengatupkan bibir juga dan aku mengenyoti bibir atas ibu.
mmmmmm. Mmmpppphhhhhh. Ibu menggumam sambil mengenyot-ngenyot bibirku, sementara aku yang saat itu merasa bingung, senang, terkejut tercampur menjadi satu hanya bisa mendengus-dengus saja. Tiba-tiba ibu terdiam dan mendorong kepalaku dan duduknya bergeser sedikit sehingga tidak menyenderku lagi melainkan menyender di sofa, lalu ibu berbicara ke telepon yang hampir saja jatuh akibat gerakan tadi.
Ya, Mbak enggak kenapa-napa. Aku lagi ngemil lalu mulai ngobrol lagi dengan kakaknya di telpon seakan tidak terjadi apa-apa.
Aku sedang shock. Apakah ibu marah? Namun perlahan ketakutanku sirna, karena saat ini tanganku masih menggenggam sebagian payudara ibu yang besar, karena tanganku tak dapat menutup buah dada ibu yang besar itu. Bila ibu marah, ia tentu akan mendorong tanganku pula. Ia mendorong kepalaku tentu karena sadar bahwa bila diteruskan, kakaknya akan curiga bahwa ada sesuatu yang ga beres terjadi di sini.
Kulihat kini ibu duduk disampingku walau sedikit badannya masih menempel padaku, karena tangan kiriku masih melingkarinya dari belakang memegang tetek ibu sebelah kiri, sementara tangan kananku membentuk siku dan juga memegang buah dada kanan ibu. Posisiku agak miring menghadap ibu. Paha kiriku sekarang ditindih paha kanan ibu.
Tangan kiri ibu memegang telpon sementara tangan kanan ibu terbuka menghadap ke atas membentuk sudut 45 derajat membuka ketiaknya lebar-lebar, dengan lengan atas terangkat tegak sejajar kepala, dan lengan bawahnya melintang sehingga bagian belakang telapak tangannya mendekap kepala. Posisi ibu menunjukkan seperti ibu sedang lelah, apalagi dadanya sedikit tersengal.
Kenapa, Mbak? Aku tersengal? Iya. Ini tadi ada kucing di dapur jatuhin barang, aku jadi kaget. Iya. Tuh si Ari lagi ke dapur ngusir kucingnya. Kata ibu terus berbicara di telepon.
Ketiak ibu yang terbuka menunjukkan ketiak dengan sedikit sekali rambut. Rambut ketiak ibu tampak tipis, keriting dan pendek bagaikan hutan yang memiliki sedikit sekali pohon. Ketiak itu lebih putih dari bagian kulit lain ibu, sangat kontras dengan bulu-bulunya yang hitam sewarna dengan rambut ibu.
Posisi kepalaku tepat sekali di hadapan ketiak ibuku. Ketiak yang tercukur itu membuatku nafsu lagi, aku lalu membenamkan hidungku diketiak ibu dalam-dalam sambil memandang muka ibu. Ibu langsung memejamkan mata dan melipat bibirnya ke dalam mulutnya, seakan menahan sesuatu.
Bau tubuh ibu begitu nyata tercium dari keteknya yang lembab dan sedikit berkeringat, bulu-bulu pangkal lengan ibu yang sangat pendek itu menggelitik lubang hidungku seakan menyambut kedatangan mereka. Aku semakin horny, tak sadar aku menjepit paha kanan ibuku dengan kedua kaki dengan cara aku menindih paha kanannya dengan paha kananku.
Kurasakan ibu bergerak dan gantian paha kiri ibu kini menindih paha kananku. Sementara itu, kaki kiri ibu merangkul masuk kaki kananku, sehingga kini posisi kami saling membelit dari samping. Bagian rok gaun tidur ibu tersingkap ke atas karena gerakan kami tadi. Gerakan ini juga menyebabkan tangan kiriku lepas dari tetek ibu dikarenakan tubuh ibu menjadi makin miring menghadapku, aku menyesuaikan dengan menarik tangan kiriku dari belakang tubuh ibu lalu tangan kananku kupindahkan untuk memegang payudara kiri ibu dan tangan kiriku memegang yang sebelah kanan.
Aku mulai menjilati ketek ibu, ibu makin mengatupkan mulutnya, namun kurasakan ia bergerak sehingga kini tahu-tahu selangkangan ibu yang masih berbalut celana dalam menekan paha telanjangku, karena aku saat itu memakai celana pendek yang juga sudah tersingkap sehingga sebagian besar pahaku tidak tertutupi.
Aku masih menikmati ketek ibu yang memiliki bermacam rasa di lidahku. Ada rasa asin dan sedikit getir namun entah kenapa lidahku menikmati sekali rasa tubuh ibu ini. Selangkangan ibu, di lain pihak, mulai menekan-nekan pahaku. Aku juga mulai menekan-nekan paha ibu dengan selangkanganku, tanganku mulai berani sedikit meremas kedua payudara ibu yang dibalut gaun tidur tipis itu.
Kurasakan tubuh ibu mulai merosot ke belakang membuat badanku doyong ke kedepan. Lama kelamaan tubuh ibu seakan ingin tidur di sofa namun agak susah dengan posisi kami, aku otomatis melepaskan diri dengan mengangkat kepala dan tubuhku dengan kedua tanganku yang kutaruh di samping kanan kiri ibu, membuat jilatanku terhenti, kemudian kaki kiriku yang terhimpit sofa dan paha kanan ibu kuangkat juga.
Lalu, berhubung tangan kiri ibu masih memegang telpon, ibu memiringkan tubuh ke kanan dengan tumpuan tangan kanan agar lebih mudah memposisikan dirinya. Gerakan ini membuat tali gaun tidur yang sebelah kanan terjatuh dari bahu ibu. Ketika ibu sedikit mundur agar kepalanya menyender di tangan sofa supaya posisi badannya kembali lurus, tali gaun tidurnya sudah terjepit siku kanannya sendiri.
Dengan cepat pula aku tarik tangan kanan ibu itu keatas dengan mengusahkan agar tali bahu gaun tidur ibu tidak ikut tertarik, tangan kananku menarik tangan kanan ibu ke atas sementara tangan kiriku memegang tali itu dengan cara seakan aku sedang menopang tubuhku dengan tangan kiri. Bagusnya ibu tadi membuka mata hanya untuk melihat posisi gerakan, untuk kemudian memejamkan mata lagi dan melanjutkan pembicaraan dengan Tante Hani.