2 November 2020
Penulis — Pemanah Rajawali
Akhirnya kami sampai juga di rumah Tante Hani. Saat itu sudah pukul 8 lewat. Mbak Vidya yang membukakan pintu. Mbak Vidya itu tinggi seperti Om Hari. Tingginya sekitar 170 cm. Kulit Mbak Vidya putih dan hidungnya mancung, namun matanya sedikit sipit. Walaupun dadanya tidak sebesar ibu atau Tante Hani, tapi dada itu mancung dan proporsional untuk tubuh langsingnya.
Tak beberapa lama kami semua makan. Tante Hani dan ibu asyik berbicara, sementara ada keheningan di antara aku dan Mbak Vidya. Setelah kami selesai makan, ibu dan Tante Hani beranjak ke sofa dan menyuruh kami untuk jangan mengganggu mereka karena ada yang ingin dibicarakan. Mbak Vidya menemaniku dan mengajakku ngobrol di kamarnya sementara aku dengan malu-malu menjawab sedikit-sedikit.
Sedari dulu, Tante Hani dan Ibu memang dekat. Seringkali di akhir pekan saling mengunjungi sehingga aku dan Mbak Vidya juga lumayan dekat. Aku sudah naksir Mbak Vidya jauh sebelum aku mulai terobsesi dengan ibu. Pertama-tama aku hanya merasakan sangat sayang selayaknya seorang adik kepada kakaknya. Namun semenjak kelas 6 SD tiga tahun yang lalu, saat pergaulanku di sekolah mulai membuat aku tahu mengenai pacaran dan ciuman, aku mulai melihat Mbak Vidya secara lain.
Saat itu aku dan ibu sedang menginap di rumah Tante Hani. Masih teringat jelas olehku saat itu aku sedang menemani Mbak Vidya yang mengerjakan tugas di komputernya. Komputer itu ditaruh di meja yang rendah sehingga tidak perlu menggunakan meja. Mbak Vidya saat itu memanggilku karena ia hendak mengajariku cara menulis dokumen menggunakan Microsoft Word.
Aku bersimpuh menyamping di belakang Mbak Vidya namun agak ke kanan agar aku bisa melihat layar computer. Saat itu sore hari, Mbak Vidya baru saja mandi dan menggunakan daster bertali tipis. Bukan daster tembus pandang, hanya daster anak remaja biasa bermotif kotak-kotak. Namun dengan posisiku saat itu, kepalaku tepat di sebelah kanan pundaknya namun dari belakang.
Sambil bekerja, Mbak Vidya menjelaskan banyak hal yang sedikit sekali kudengar. Yang jelas, entah kenapa aku mulai berani mendekatkan kepalaku sedikit demi sedikit ke pundaknya. Kehangatan badan Mbak Vidya mulai kurasakan selain panasnya suhu tubuhku sendiri yang dipacu oleh debaran jantungku yang mulai menggila.
Sedikit demi sedikit hidungku mendekat. Akhirnya dalam gerakan cepat, hidungku bersentuhan dengan pundak lengannya yang halus, namun secepat itu pula aku menarik kepalaku. Mbak Vidya Nampak sedikit terkejut dan menoleh ke arahku, sementara aku pura-pura manggut-manggut dan melihat layar computer.
Mbak Vidya kembali menatap layar dan aku menjadi lega. Namun di lain pihak, aku menjadi horny dan ingin kembali merasakan kehalusan kulit kakak sepupuku itu. Aku mendapat ide. Aku segera mendoyongkan badan kedepan sehingga daguku menempel di pundaknya sedikit sambil menunjuk layar monitor dan bertanya.
Itu yang namanya kursor ya? yang kelap-kelip itu?
Mbak Vidya kemudian mengangguk dan menjabarkan kegunaan kursor kepadaku. Sementara aku hanya berfokus kepada daguku yang menempel di pundaknya. Mbak Vidya tidak curiga apa-apa. Ia terus bekerja sambil kadang menjelaskanku mengenai office. Lama-kelamaan aku beringsut ke samping Mbak Vidya dan menggelayutkan daguku di pundaknya.
kenapa dek? katanya sambil menoleh ke belakang yang membuat pipinya hampir tabrakan dengan hidungku.
Ari kan pendek, Mbak. Kalo ga berjingkat ga kelihatan. Cuma kalo naruh dagu di pundak gini jadi pegel juga. Soalnya harus berlutut. Gimana kalo Ari peluk dari belakang aja terus nyender ke Mbak Vidya?
Ada-ada saja, kamu. Terserah gimana enaknya aja, jawabnya tanpa menaruh curiga.
Aku dengan senang hati merubah dudukku. Kini kedua kakiku mengangkang mengapit tubuhnya dari belakang, namun tidak sampai kena. Malu juga kalau batangku yang sudah keras dirasakan Mbak Vidya menekan tubuhnya. Namun kedua tanganku melingkari perutnya dari belakang dan karena aku pendek, maka kini hanya mataku yang melewati pundaknya.
Tubuh Mbak Vidya harum sekali. Aku menjadi lupa daratan, sementara aku tidak dengar lagi suara indah Mbak Vidya sedang berbicara padaku sambil mengetikkan essay yang adalah pekerjaan rumahnya. Sedikit demi sedikit hidungku mendekati pundaknya. Ini berarti bibirku juga mulai mendekat. Entah berapa menit aku tidak menyadari hingga akhirnya hidungku menempel pundak kanan Mbak Vidya dan bibirku perlahan menyentuh juga pundak belakang Mbak Vidya.
Mbak Vidya menggigil pelan.
Ih Adek. Geli tau.. katanya. Tapi ia tidak melarangku melainkan meneruskan pekerjaannya.
Aku menikmati wangi tubuhnya dan betapa halusnya pundak Mbak Vidya. Selama beberapa saat aku asyik terdiam dengan hidung dan bibir menempel di pundaknya sampai baru menyadari bahwa Mbak Vidya tidak lagi berbicara melainkan hanya mengetik saja.
Ingin sekali aku membenamkan wajahku dalam-dalam di pundak Mbak Vidya namun aku tidak berani. Kami terdiam beberapa lama dengan Mbak Vidya yang mengetik sambil dipeluk olehku dengan pundak yang tempel dengan hidung dan bibirku. Aku kini bernafas di pundak Mbak Vidya dan Mbak Vidya tampak tidak terganggu.
Hari itu kami tidak saling berbicara. Ada keanehan yang menggantung. Namun, semenjak saat itu, Mbak Vidya menjadi obsesiku dan rasanya aku ingin sekali bertemu dengannya setiap hari. Minggu depannya aku bujuk ibu untuk menginap lagi di rumah Tante Hani dan ibu setuju.
Ketika aku datang, Tante Hani bilang Mbak Vidya baru saja naik ke kamarnya untuk mengerjakan PR Komputer. Aku senang sekali. Entah kenapa sebagai anak kecil aku tidak ada rasa takut saat itu, tapi itulah yang terjadi. Aku bergegas ke kamarnya dan mendapati dia sedang asyik mengetik. Betapa bahagianya aku ketika melihat Mbak Vidya mengenakan tank top dan celana pendek, rambutnya yang sebahu diikat melingkar di belakang kepala.
Lagi ngapain Mbak?
Ini lagi main Friendster (saat itu belum ada Facebook).
Friendster? Aplikasi baru ya? ajarin donk.
Mbak Vidya tertawa pelan dan berkata, sini Mbak ajarin. Duduk di belakang Mbak kayak kemarin.
Aku segera memposisikan diri seperti kemarin dan memeluknya. Tak lama aku mulai bernafas di pundaknya lagi. Sejak saat itu kami selalu belajar computer. Dan aku sungguh amat senang menginap di rumah Tante Hani.
Tentu saja terkadang mereka menginap di rumah kami, dan berhubung aku juga punya computer, maka aku selalu meminta ia mengajariku dan ia selalu bersedia.
Pada mulanya aku hanya berani bernafas di satu tempat, namun setelah beberapa bulan, aku mulai berani memindahkan hidungku ke samping. Hanya sesekali. Session kami biasanya berlangsung sejam. Dalam sejam itu aku mungkin hanya pindah lima kali. Setelah enam bulan lebih aku berani pindah ke pundaknya yang kiri.
Satu bulan setelah itu, aku mulai berani memindahkan hidung dan mulutku beberapa kali secara perlahan dalam waktu yang agak lama. Pada bulan ke delapan aku mulai tidak sabar dan akhirnya memutuskan untuk mulai memindahkan mulut dan hidungku lebih banyak lagi sehingga akhirnya mulai terlihat seperti orang yang menciumi pundak.
Masuk bulan berikutnya, ketika kami masuk kamar, Mbak Vidya duduk di pinggir tempat tidur, membuatku merasa lebih berani dan tentunya lebih horny lagi. Lalu aku mulai mengendusi dan mengecupi pundak Mbak Vidya. Aku hanya berani mengecup perlahan. Namun kecupan pertamaku membuat Mbak Vidya menarik nafas karena terkejut, namun ia tidak marah.
Lucunya, kami tidak bertindak lebih jauh. Aku tidak berani lebih jauh karena sebenarnya aku takut Mbak Vidya akan marah lalu menghentikan kegiatan kami. Namun kami berduapun tahu menyadari bahwa hubungan kami ini sudah lebih dari hubungan saudara sepupu. Hubungan kami kini dihiasi oleh sensualitas terlarang.
Terakhir kami melakukan itu adalah ketika sekolah telah berakhir dan liburan sekolah sudah dimulai.
Kala itu kami sudah masuk ke kamar Mbak Vidya. Ia memakai baju you can see yang mini sehingga tak hanya pundak dan bagian atas tubuhnya yang terbuka, namun baju itu sangat pendek sehingga memperlihatkan pusarnya. Aku langsung mengambil tempat di belakang Mbak Vidya di atas bantal sehingga kini daguku sejajar dengan pundaknya dan memeluknya lagi seperti tempo hari.
Baru aku sedikit memposisikan kepalaku miring kearah pundak, Mbak Vidya bersender ke belakang sehingga tahu-tahu hidungku dan leher Mbak Vidya bergesekkan. Ada suara lirih dari mulutnya. Kedua tangan Mbak Vidya mendekapku perlahan. Baru kali ini ia mendekapku dan bersandar. Aku saat itu horny berat, apalagi Mbak Vidya terlihat sudah pasrah.
Tanpa menyadari, aku mengenyoti leher jenjangnya. Mbak Vidya mendesah-desah. Aku asyik mencupang dan menjilati lehernya yang halus itu. Beberapa saat kemudian Mbak Vidya mulai menoleh ke arahku dan kemudian menciumi jidatku yang kini sejajar bibirnya. Tangan kanannya tiba-tiba mendekap kepalaku dari belakang.
Tangan kananku yang tadi didekapnya kini terbebas, sementara tangan kiriku masih didekap tangan kirinya. Aku meremas toket Mbak Vidya dari luar bajunya dengan tangan kananku. Tahu-tahu Mbak Vidya memutar badannya lalu menindih aku secara cepat.
Aku untuk sementara terkejut dan terdiam, namun Mbak Vidya tak menunggu lama untuk mencium bibirku. Ia mengecupi bibirku beberapa waktu sebelum kurasakan lidahnya menyapu bibirku berkali-kali.
Dek katanya, kamu belum pernah ciuman?
Aku hanya menggeleng. Lalu Mbak Vidya mengajariku berciuman. Setelah kursus singkat yang hanya sekitar dua menit, ia menyerang bibirku lagi. Kali ini aku membuka mulut seperti yang dia ajari dan menjulurkan lidahku.
Kami melakukan French kiss dengan penuh nafsu. Kami saling berpelukan erat sementara bibir dan lidah kami bertarung bagaikan dua ular yang berusaha saling melibat satu sama lain. Ludah kami saling bertukaran dalam badai asmara kami berdua. Aku menyusupkan kedua tangannya ke balik baju Mbak Vidya dan mencari pengikat BHnya.
Pada saat Mbak Vidya melepaskan ciumannya dan mengangkat tubuhnya untuk duduk di kedua pahaku, ia meraih ke belakang tubuhnya untuk membuka bra yang ia miliki. Saat itu tiba-tiba terdengar suara Tante Hani memanggil Mbak Vidya dan dari suaranya Tante Hani, Tante Hani sudah di depan pintu.
Secara cepat Mbak Vidya meninggalkan tubuhku yang ia duduki untuk kemudian duduk di pinggir ranjang. Dan benar saja, pintu terbuka dan Tante Hani masuk.
Vid, pacarmu Indra telpon tuh.
Aku kaget sekali mengetahui bahwa Mbak Vidya sudah punya pacar. Aku selama ini mengira Mbak Vidya dan aku sudah pacaran karena kami begitu dekat. Ternyata aku salah. Perasaanku langsung galau dan kecewa.
Setelah Tante Hani keluar kamar, aku segera meninggalkan kamar itu juga tanpa bicara apapun pada Mbak Vidya.
Ari. Panggil Mbak Vidya lirih, namun aku tidak menjawab dan keluar kamarnya tergesa-gesa.
Hari itu aku tidak mau bicara dengan Mbak Vidya. Lalu aku memohon untuk pulang. Ibu menurut saja. Sorenya kami pulang. Ibu berusaha mengorek keterangan dariku mengenai sebab aku murung seperti itu, aku hanya terdiam saja. Akhirnya ibu tidak memaksaku bicara.
Semenjak saat itu aku selalu tidak setuju bila ibuku mengajak ke rumah Tante Hani. Dan obsesiku beralih kepada ibuku. Berkali-kali Mbak Vidya telpon namun aku tidak mau bicara dengannya. Aku sudah punya inceran baru yaitu ibuku sendiri.
Kembali kepada saat aku untuk pertama kalinya datang ke tempat Tante Hani semenjak insiden dulu, seperti yang diceritakan di awal, Mbak Vidya mengajakku ke kamar. Aku menurut saja, lagian aku juga sudah mulai horny.
Dek, kamu kok jahat? Ga mau ke sini lagi. Juga ga mau terima telpon dari Kakak?
Aku hanya terdiam tak tahu harus buat apa.
Kakak tahu kamu cemburu. Dulu Indra memang pacar Kakak. Tapi sudah kakak putusin kok.
Melihatku yang masih terdiam Mbak Vidya berkata.
Kakak sama Indra hanya ciuman saja. Paling dipegang-pegang. Ga lebih kok. Kakak kan lebih sayang sama kamu.
Mbak Vidya saat itu memakai tank top putih. Tali dasternya tidak menunjukkan tali BH di baliknya, tapi pentilnya tidak terlihat. Jadi mungkin ia memakai BH tanpa tali. Namun melihat belahan dadanya yang terlihat di antara kedua payudaranya yang terlihat lebih besar dari tahun lalu, mau ga mau kontolku menjadi maksimal kekerasannya.
Aku tak tahu harus bicara apa, namun melihat cara Mbak Vidya berbicara, aku tahu bahwa ia juga memiliki perasaan yang sama denganku.
Aku segera memeluk Mbak Vidya dan melumat bibirnya. Mbak Vidya awalnya terkejut, namun tak menunggu lama, ia balas memeluk dan menciumku. Lama juga kami saling ber silat lidah. Setelah beberapa menit bertukaran ludah, aku menyelusupkan tanganku ke balik tank topnya dan mengusap-usap punggungnya. Sedikit terkejut aku mendapati tidak ada BH di punggungnya.
Aku mendorong tubuh Mbak Vidya sehingga ia duduk di perutku lalu aku menarik tank topnya ke atas di bantu Mbak Vidya. Mataku membelalak menatap dua buah gunung kembar yang walaupun lebih kecil dari ibuku, tetapi begitu tegak dengan areola yang kecil juga. Yang hebatnya lagi, puting Mbak Vidya begitu kecil sehingga tampak agak rata dengan areolanya karena pentilnya hanya menyembul sedikit sekali.
Dengan buas aku mengenyot payudara kiri Mbak Vidya. Wangi kulitnya yang sudah kukenal menambah birahiku yang sudah di puncak. Payudara itu begitu kenyal namun lembut. Tak lama payudara itu sudah berlumuran ludahku dan berhiaskan cupangan di sana-sini.
Segera aku beralih ke payudara satunya lagi dan kembali menggarapnya dengan mulutku. Sementara, tangan kananku meremas-remas payudara kirinya yang sudah aku selomoti sebelumnya. Mbak Vidya mendesah-desah nikmat.
Aku sudah tak tahan, maka segera aku mendorongnya lagi hingga kini ia telentang di tempat tidur. Aku segera menarik celana pendeknya sedikit bernafsu sehingga agak kasar. Aku terkejut lagi melihat ia juga tidak memakai celana dalam. Memeknya tidak ditutupi sehelai benangpun! Tampaknya Mbak Vidya rajin mencukur jembutnya.
Memek Mbak Vidya tampak bagai garis dengan sedikit labium mayora menyembul. Tampak rapat sekali. Aku berharap ia masih perawan. Secara cepat aku lempar celananya ke lantai, lalu aku segera melebarkan kedua kakinya sehingga mengangkang dan kemudian menjilati memeknya itu.
Kini Mbak Vidya sedikit mengerang-erang. Bibir vaginanya begitu rapat sehingga aku menggunakan jemariku untuk membukanya. Kulihat lobang memeknya yang berwarna pink Nampak begitu kecil bila dibandingkan dengan memek ibuku. Dengan Bahagia lidahku menjelajahi seluruh dinding kemaluan Mbak Vidya dan untuk akhirnya setelah beberapa menit kujulurkan masuk ke dalam lobang kecil itu.
Memek kakak sepupuku itu kini sudah basah oleh cairan birahi miliknya dan ditambah dengan ludahku. Bau memek Mbak Vidya cukup menyengat namun dalam artian yang menyenangkan. Bau yang sedikit berbeda dengan ibuku, namun tak kalah wanginya bagi hidungku.
Setelah daerah mahkotanya sudah benar-benar licin, aku membuka jeans dan celana dalamku sambil terus menjilati dan merogoh-rogoh lubang kenikmatan Mbak Vidya.
Setelah kontolku bebas, aku berlutut dengan lutut masuk di antara paha dan betisnya yang membentuk segitiga dan menaruh ujung kontolku di lubang memeknya. Kulihat dada Mbak Vidya naik turun sementara matanya menatap kontolku.
Dengan tangan kanan memegang batang penis, sementara tangan kiri menekan pelan paha kanannya, aku mendorong pantatku maju perlahan. Lingkar vaginanya begitu sempit sehingga beberapa detik ujung kontolku bagaikan ditolak sehingga tak dapat masuk, namun akhirnya lobang itu menyerah karena aku terus mendorong secara pelan tapi pasti.
Mbak Vidya mendesis dengan kening mengerut. Aku kemudian beringsut sehingga aku maju ke arah kepalanya. Mbak Vidya saat itu mengangkang dengan kedua siku tangan membentuk segitiga sehingga tubuh atasnya membentuk sudut tumpul agar dapat melihat kelamin kami.
Mbak Vidya lebih tinggi dariku, namun posisi ini membuat aku dapat meraih bibirnya dengan bibirku. Kami berciuman penuh nafsu. Perlahan tanganku kulingkarkan di pinggangnya, lalu aku mendorong lagi pantatku. Liang surgawi Mbak Vidya begitu sempitnya sehingga membuat kontolku ngilu. Mbak Vidya sendiri merintih dengan muka menahan sakit.
Pelan dek.
Kontolku baru setengah masuk ketika membentur pelan sesuatu di liang vaginanya. Tampaknya ini adalah selaput dara Mbak Vidya. Aku perlahan memaju mundurkan batangku. Lama kelamaan Mbak Vidya terlihat mulai dapat menahan sakitnya dan kerutan di keningnya tidak separah tadi. Ia kini merintih terus-menerus.
Aaaauuuuuuuu! teriak Mbak Vidya keras. Badannya menengang dan memelukku erat-erat, lalu perlahan ia jatuh ke belakang sembari menarikku. Kedua tanganku kini memeluk punggungnya. Bibirku hanya mencapai lehernya. Kedua kakinya kini menjepit kedua pahaku erat-erat, sementara dinding memeknya yang sempit mencengkram dengan kuat batangku.
Perlahan kugoyang pantatku maju mundur sedikit, sehingga penisku mengocok memeknya namun selangkangan kami tetap menempel. Mbak Vidya merintih lagi, kini lebih keras suaranya dibanding sebelumnya namun tetap tidak terlalu keras. Ia menahan suaranya karena takut kedengaran dari luar.
Lama kelamaan pantat Mbak Vidya bergoyang pula. Ia sudah siap bersetubuh dengan benar karena memeknya yang sudah tidak lagi perawan sudah beradaptasi sedikit dengan kontolku. Maka aku kini mulai mengentoti Mbak Vidya dengan lebih cepat dan kuat. Kontolku kini bergerak maju mundur lebih jauh lagi. Setiap tarikan pantatku, kontolku akan keluar dari vagina Mbak Vidya sebatas kepala kontol lalu aku dorong pantatku sehingga terbenam seluruhnya ke dalam mahkota kehormatannya.
Mbak Vidya perlahan dapat mengikuti irama kocokanku sehingga akhirnya suara selangkangan kami beradu terdengar dari perlahan menjadi cukup keras.
Peluh kami sudah keluar deras. Mbak Vidya kini menyandarkan kepala di tempat tidur semenjak aku membobol keperawanannya. Satu tangannya yang kiri memegang pundakku sementara yang kanan di taruh ke samping atas sehingga ketiaknya yang bersih terlihat. Ketiak itu begitu putih tanpa rambut, namun kulihat ada sedikit daki di tengah-tengah, hasil dari keringatnya yang membanjir selama aktivitas terlarang kami.
Aku segera menjilati ketiak itu sambil terus mengocok memeknya yang sempit. Keteknya begitu asin dan gurih membuatku akhirnya mengenyoti daerah itu penuh nafsu. Bau tubuhnya begitu indah membuatku kecanduan.
Tak lama sambil menggigit bibir, Mbak Vidya memelukku begitu eratnya, sehingga kurasakan badanku sakit. Sambil sedikit menekuk tubuh, ia membenamkan wajahnya ke leherku dan suara erangannya yang tertutup leherku kudengar begitu panjang durasinya mengiringi memeknya yang mencengkram kontolku lagi.
Beberapa saat kemudian ia terjatuh ke belakang dan terdiam. Dengan kedua tangan membuka kulihat dadanya naik turun bagai baru saja berlari 10 KM.
Kubiarkan beberapa saat, lalu aku melepas kontolku. Ia pasrah ketika kakinya kutarik sehingga jatuh kelantai sementara tubuh atasnya masih di tempat tidur. Kubalikkan badannya sehingga ia tengkurap di tempat tidur sementara kedua kakinya menjejak lantai. Posisi doggy yang pasrah.
Aku menghujamkan lagi kontolku di memeknya yang masih basah. Kedua tanganku menyelusup sehingga kedua teteknya yang seksi itu kugenggam, lalu kuentot Mbak Vidya lagi kini dengan keras sehingga bunyi selangkanganku menumbuk pantatnya membahana seisi kamar.
Punggung putihnya yang mengkilap karena keringat yang disinari lampu kamar segera aku jelajahi dengan lidahku. Kujilat-jilat punggungnya bagaikan anjing minum air. Rasa kulit Mbak Vidya begitu gurih di lidahku, apalagi digarami dengan air keringatnya. Tubuh Mbak Vidya adalah es krim bagi birahiku.
Setelah puas menjilat aku mulai mengenyoti punggung seksi kakak sepupuku itu dengan keras. Pelan-pelan punggungnya dihiasi oleh cupangan merah keunguan akibat sedotan mulutku. Tentu saja, selama itu pula pantatku asyik bergoyang sehingga kontolku berkali-kali merojok-rojok memek Mbak Vidya yang baru saja berhasil dibobol.
Lama-kelamaan Mbak Vidya menjadi nafsu lagi. Ia mulai mengangkat tubuh atasnya dengan kedua tangan di sisi badan, dan kepalanya menoleh ke belakang. Matanya menatap mataku dalam-dalam.
Aku berkata padanya setelah menyadari tatapan matanya,
Memek Mbak emang ga ada duanya. Memek perawan yang sempit. Nikmat banget ngejepit kontol Ari. Badan kakak juga seksi banget. Putih. Harum. Sekarang udah Ari nikmatin. Udah Ari jilatin. Udah Ari cupangin. Memek Mbak udah Ari gagahin. Sekarang Mbak jadi milik Ari.
Mata Mbak Vidya mengeluarkan kilatan birahi. Ia berkata,
kontol kamu juga enak, dek. Memek Mbak jadi penuh. Mbak sayang Ari. Cinta sama Ari. Ari jangan nyakitin Mbak ya.
Ari ga bakal nyakitin Mbak selama memek Mbak Cuma buat Ari aja.
Mbak udah kasih kamu segalanya, Ri. Mbak udah milik kamu. Terus gagahi Mbak. Terus setubuhi Mbak. Terus entotin Mbak.
Aku hampir tak tahan lagi. Aku segera menindih tubuh atasnya lalu mengenyot punggungnya keras-keras lalu menghujami memek Mbak Vidya keras-keras dengan kontolku. Suara tubuh kami beradu aku yakin kedengaran sampai ke luar kamar. Untung saja kamar ini letaknya di lantai 2. Suara selangkanganku menumbuk-numbuk pantat Mbak Vidya tak akan sampai ke ruang tamu di bawah.
terus sedot punggung Mbak, Ri. Minum keringat Mbak. Hujami memek Mbak dengan kontolmu yang gede itu, Ri. Mbak udah ga tahan lagi. Sebentar lagi Mbak mau orgasme kayak sebelumnya. Terus ngentotin Mbak, de. Ngentoooot enakkkk teruuussss entooooottt..
Tak tahan ucapan jorok kakak sepupuku, aku berkata,
ngentot lu Mbak gue akhirnya bisa ngentotin elo.. elo milik gue sekarang Mbaaaaakkkkk.. memek lo miliki gueeee. Aaaaaaaaahhhhhhhhh
Pada saat bersamaan kami melenguh dan berteriak. Spermaku di lepas di dalam tubuhnya. Dan untuk beberapa saat kami tertidur lemas dengan aku yang menindihnya dari belakang.