31 Oktober 2020
Penulis —  perjoko

Dari liburan sampai ke ranjang

Santi tak menjawab, hanya mengangguk kecil lalu masuk ke kamar. Dan sekarang Santi kembali membuka matanya. Bis sudah memasuki tol dalam kota, sebentar lagi ia akan sampai di rumah. Dia masih bingung harus bagaimana, satu hal tak mungkin ia memberitahu suaminya mengenai masalah ini. Bisa runyam urusannya.

Memang ia seharusnya marah besar pada adiknya Ratmi. Tapi ikatan di antara mereka juga membuatnya tak mampu marah secara berlebihan. Selain itu ia memakai rasionya juga… urusan ini terlepas dari masalah Ratmi adalah bibi sedang Aku keponakan, sebenarnya simpe… sangat simple… ini semata karena masalah kont01 dan m3mek saja.

Yang pria yaitu anaknya, memandang dan menilai Ratmi dengan segala daya tariknya, yang Alita yaitu Ratmi memandang dan menilai Aku dengan segala daya tariknya. Waktu dan tempat mendukung. Ketika segala rangsangan dan nafsu sudah bicara maka yang namanya etika, adat, moral, tidak boleh, tidak pantas dan sejenisnya akan masuk tong sampah.

Memang ia menyalahkan Ratmi juga, tapi juga tetap ada bagian dalam diri Santi yang membelanya, biar bagaimanapun andil Aku pasti besar. Dia tahu anaknya punya adat dan kemauan. Santi yakin sekali Ratmi yang walaupun menyimpan hasrat dan gairah yang terpendam pasti di awalnya menolak, dan anaknya pasti akan membujuk dan berusaha terus samapi akhirnya Ratmi tergoda.

Menjelang sore Santi sudah di rumah, istirahat. Aku, di kamarnya masih ngambek. Santi memutuskan tak akan membicarakan hal itu hari ini terlalu lelah. Sabtu siang, ia mengajak Aku ke mall, menyenangkan hati anaknya. Malamnya Santi masih berusaha membujuk anaknya untuk sekolah dan tak usah pindah sekolah, tapi ya itulah Aku masih berkeras.

Minggu siang dia melihat Aku sedang menonton TV. Dia pikir dia akan coba bujuk anak kesayangannya itu lagi.

“Al, besok kamu sekolah ya sayang…”

“Bu, ngapaon sih bahas hal itu lagi. Kan sudah jelas, Aku nggak mau. Aku baru akan sekolah lagi kalau pindah sekolah di kampung. Bosan deh ibu terus saja begitu padahal sudah tahu maunya Aku.”

Ya.. sudah, anak ini terlalu keras kemauannya… sudah waktunya anak ini diberi terapi, Santi membatin.

“Ibu tahu itu, dan ibu belum rela kamu tinggalkan. SMP ya di Jakarta saja. Alasan kamu pindah sekolah juga terlalu mengada-ada.”

“Nggak. Memang itu alasannya.”

“Al.. dengar ya, kemarin ibu 3 hari itu bukan dinas kantor. Ibu pergi ke kampung mencari tahu kenapa kamu sampai berniat sekali pindah sekolah.”

Aku agak kaget mendengar hal ini, tapi masih PeDe kalau ibunya tak akan tahu alasan sebenarnya. Dia masih kukuh sama kemauannya.

“Terus kenapa? Nah, Aku rasa setelah ibu ke kampung, ibu akan setuju sama alasan Aku kan? Sekolah di sana lebih enak, juga sekolahnya bagus, hawanya sejuk, orangnya bersahabat, pemandangannya bagus, nggak sumpek kayak di Jakarta.”

Aku memandang ibunya dengan menantang. Yakin akan mampu membuat ibunya mengabulkan keinginannya. Ibunya menghela nafas, memndang wajahnya sejenak sebelum berbicara…

“Dan kamu bisa ngewek sama bi Ratmi, begitu kan alasanmu yang sebenarnya?”

Duaaarrr… Aku membisu, wajahnya pucat. Ibu… ibu tahu… gimana caranya? Masa sih bi Ratmi bisa membocorkan hal kayak gini. Hei… hei tunggu, tadi ibu hanya berkata bi Ratmi. Nampaknya ibu tak tahu soal bi Lastri. Baik… jadi aku harus waspada, jangan sampai ibu tahu hal itu. Tapi kenapa sampai bi Ratmi bicara…

“Nah betul kan…? Al.. kok kamu sampai begitu sih..? Apa yang kamu pikirkan?”

“Bi Ratmi. Ya… Aku memikirkan Bi Ratmi. Aku suka kepadanya.”

“Al, sudah… sudah, ibu tak akan membahas apa, kenapa, bagaimana hal itu sampai terjadi, sudah percuma, sudah terlambat, lagipula ibu sudah banyak bicara panjang lebar sama bibimu. Sekarang sudahi semua ini, alasanmu sudah jelas, besok kamu sekolah lagi. Mengerti.”

Aku hanya diam, tak tahu musti bicara apalagi. Santi memandang anaknya. Tahu anaknya pasti kaget karena dirinya mengetahui semua ini. Tapi ia yakin anaknya besok pasti sudah akan sekolah lagi. Tak ada lagi alasan Aku untuk berkeras hati. Hanya satu hal lagi yang harus ia bicarakan.

“Al… ibu juga tak nyaman membicarakan ini, tapi ibu harus bicarakan. Kenyataannya adalah seharusnya belum saatnya kamu melakukan dan belum waktunya kamu merasakan eh… berhubungan seks, tapi kamu sudah terlanjur melakukan dan merasakannya. Nah ibu hanya bisa bilang… anggaplah semua yang sudah terlanjur terjadi itu hanya gairah sesaat juga romansa sesaat saja.

Seiring waktu akan terlupakan. Juga ibu harap kamu sekarng konsentrasi saja belajar dan berbuat sesuai usiamu. Jangan sampai kamu mencari kenikmatan dengan pelacur ya. Jangan… kalau sudah waktunya kamu juga akan merasakan. Sekarang yang penting, sibukkan dirimu maka dengan sendirinya eh… keinginan untuk…

Santi meninggalkan anaknya, membiarkannya berpikir, proses pendewasaannya. Santi merasa tak perlu membahas lagi soal Ratmi dan Aku, semua sudah terjadi, juga dia tak mau membuat Aku makin terkenang hal itu, sebisa mungkin menjauhkan anaknya dari memikirkan hal itu. Santi sendiri juga sudah tahu semua penyebab dan alasan semua itu dari Ratmi.

Besoknya Senin, Santi bersiap berangkat kerja, biasanya dia dan suaminya berangkat terlebih dahulu. Aku belakangan, karena sekolahnya dekat. Aku sudah memakai seragamnya. Santi tesenyum melihatnya. Sudah normal kembali. Begitupun esoknya dan esoknya lagi. Memang Aku jadi diam saja, tapi itu wajarlah, mungkin anak itu butuh waktu untuk merenungi semua ini pikir Santi.

Maka alangkah terkejutnya Santi ketika pada hari Jumat HP-nya berbunyi, dari sekolah Aku, mereka menanyakan kenapa Aku sudah 2 minggu ini tak masuk sekolah. Santi dengan cepat berlasan kalau anaknya sedang sakit, setelah basa-basi sebentar, percakapan selesai. Karena masih jam kerja maka Santi sulit buat memikrkan hal itu.

Menjelang sore pekerjaannua sudah selesai, Santi di ruangannya hanya menunggu jam pulang. Dia mulai memikirkan anak kesayangannya ini… duh, Aku apa sih maumu kali ini? Santi teingat sudah lama tak menghubungi suaminya, ia mengambil HP-nya menelepon suaminya, menanyakan kabar dan bagaimana pekerjaannya di daerah.

Suaminya menanyakan apakah Aku sudah sekolah lagi, juga kenapa sampai kemarin anak itu minta pindah sekolah. Santi berbohong saja, dia bilang anak mereka sudah bersekolah, kemarin itu hanya karena masih terbawa suasana menyenangkan liburan di kampung saja, makanya Aku bilang mau sekolah di sana. Setelah bercakap-cakap beberapa lama lagi, Santi mengkhiri pembicaraan.

Santi melirik jam di dinding ruangan kerjanya, masih belum jam pulang. Akhirnya ia memilih menunggu sambil mencek email, lalu membuka accout FB-nya. Saat melihat halaman FB-nya wajahnya berkernyit, pada bagian recent comment dia melihat apa yang Aku posting: Kangen sama R di Tasikmalaya. tentu saja itu inisial untuk Ratmi.

Lalu sebenarnya kemana dan ngapain saja Aku selama seminggu ini? Memng setiap pagi ia memakai seragam sekolah, menunjukkan siap berangkat sekolah. Tapi ketika ibunya berangkat kerja, Aku akan segera menukar seragamnya dengan baju biasa. Menghabiskan waktu di luar. Entah ke teman dekat rumahnya yang sekolahnya masuk siang atau paling sering ia nongkrong di Warnet dekat rumahnya, browsing sambil ngobrol sama teman-temannya di sana.

Setelah terbiaa melakukan hubungan seks, tentunya saja tubuhnya mulai terbiasa dan menuntut melakukannya lagi. Seminggu di awl ia pulang hal itu belum terlalu terasa, setelahnya baru lumayan nyusahin. Belum lagi ia selalu memikirkan bi Ratmi. Memang ia mencoba mengatasinya dengan bermasturbasi, tapi jelas rasanya beda dan kurang memuaskan.

Santi duduk di ruang tamu, melirik jam, jam 7 lewat, kemana anaknya itu? Waktu pulang, rumah sepi. Dicoba menelepon dan SMS anaknya, tak ada jawaban. Tak lama terdengar suara pagar dibuka. Saat Aku masuk, Santi menyuruhnya duduk.

“Darimana kamu Al?”

“Main…”

“Al, kamu bohong ya sama ibu. Ternyata seminggu ini kamu juga tak sekolah. Apa sih maumu?”

“Ibu sudah tahu kan mau Aku, jadi tak perlu tanya lagi.”

“Dan jawaban ibu tetap sama… tidak.”

“Ya sudah… Berhentikan saja Aku sekolah. Aku juga akan pergi ke kampung. Percuma ibu larang.”

“AKU!! Kamu itu berpikir dengan otakmu atau tidak sih…?”

“Bu, dengar ya, Aku sebenarnya sudah tak masalah untuk tetap sekolah di sini. Sayangnya Aku punya kebutuhan bu… buat ngewek sama bi Ratmi.”

PLAK… Santi tak bisa menahan amarahnya, menampar pipi Aku. Aku hanya diam, lalu ke kamarnya membanting pintu dan menguncinya. Santi duduk berdiam diri. Belum pernah ia menampar anak kesayangannya itu. Tapi kali ini Aku sudah kelewatan, bagaimana mungkin anak itu bisa sesantai itu mengatakan dia butuh ngewek sama bibinya.

Ini yang paling Santi khawatirkan, sebenarnya walau Aku bicara tentang ngewek sama bi Ratmi, bukan itu inti permasalahan anak itu. Aku HANYA MERASA di kampung ada bi Ratmi yang siap memenuhi kebutuhannya. Yang jadi masalah adalah lebih pada kebutuhan ngeweknya sendiri. Membawa nama bibinya karena perwujudan emosinya semata.

Saat Santi terbangun, hampir jam 9 pagi. Dia terkejut, langsung duduk melihat kamar anaknya, sudah terbuka, panik jadinya… lalu lega, Aku nampak sedang duduk di meja makan, sudah mandi, nampaknya baru selesai makan mi. Kini anak itu sedang merokok. Santi kembali terkejut ketika Aku bicara.

“Bu… maafin Aku ya. Semalam sudah buat ibu marah.”

“I.. iya, ibu juga minta maaf sudah menamparmu.”

“Nggak itu memang salah Aku, ngomong seenaknya. Pantas ditampar. Maaf juga membuat ibu khawatir sampai seperti ini. Aku kaget waktu tadi membuka pintu kamar melihat ibu tidur di sofa. Maafin Aku bu.”

“Ya sudah kalau kamu menyadarinya. Ibu mau mandi dulu sudah jam 9.”

Santi lalu berdiri, masuk ke kamar mandi. Untunglah sepanjang siang itu Aku nampaknya sudah mulai tenang, sekarang sedang nonton TV. Santi saat ini sedang duduk di kamarnya, wajahnya serius. Akhirnya ia menghela nafas, ia memanggil Aku. Tak lama Aku masuk ke kamarnya, duduk di pinggir ranjang, siap mendengar apa yang mau ibunya katakan.

“Al, ibu langsung saja ngomongnya, nanti kalau kamu mau jawab, jawab saja sejujurmu. Dari omonganmu semalam, ibu akhirnya yakin, masalah kamu sampai tak mau sekolah sebenarnya karena kamu sudah terbiasa dan butuh dengan eh.. hubungan seks. Sampai mau pindah sekolah segala. Intinya sebenarnya hal tadi.

“Eh.. itu benar bu.”

“Bagaimana kalau ibu katakan kalau ibu memahami dan akan membiarkan kamu memenuhi hal itu supaya sekolahmu bisa lancar lagi?.”

“Maksud ibu… ibu akan mengijinkan Aku sekolah di kampung?”

“Tidak.”

“Lalu.. kenapa ibu mengatakan akan membiarkan Aku memenuhi kebutuhan seks Aku? Kalau tidak pindah sekolah di sana, bagaimana bisa ketemu bi Ratmi?”

“Siapa bilang kamu boleh melakukan hal itu dengan bibi kamu?”

“Maksud ibu? makin nggak ngerti jadinya nih.”

“Kamu akan kembali sekolah. Tidak di kampung, tapi di Jakarta. Kebutuhanmu juga akan terpenuhi. Bukan dengan bi Ratmi. Tapi dengan ibu.

“APA? MAKSUD I… IBU…?”

Ya, Santi memang sudah berpikir matang. Adat Aku yang sangat keras tak akan bisa dilunturkan. Karena semuanya sudah jelas, akar permasalahannya sudah ditemukan. Anak itu harus menyalurkan hasratnya. Dan kalau dibiarkan berlarut akan parah, anak itu bisa mencari kepuasan secara sembarangan, dengan pelacur misalnya.

“Kamu sudah dengar. Kamu bisa memenuhi kebutuhanmu ke ibu. Ibu sudah pikirkan hal ini baik-baik. Jika hal ini akhirnya bisa membuatmu benar-benar bersekolah kembali, maka ibu siap.”

Aku terdiam, tak menyangka ibunya sampai sejauh itu memikirkan dan menyayanginya. Tentu saja Aku terkejut, bahkan tak tahu harus bagaimana. Tapi dorongan keinginan, juga kesadaran bahwa dirinya memang sering membayangkan ibunya telah menggelitik gairahnya. Diliriknya ibunya yang mengenakan daster biasa itu.

“Ibu Yakin…?”

Hanya anggukan kepala saja sebagai jawaban. Aku segera mendekati ibunya, bersandar di bahu ibunya, memeluknya erat, lama hanya memeluknya, tetap memiliki keraguan. Ia mendongakkan kepalanya, matanya beradu dengan mata ibunya. Aku melihat mata ibunya, ibunya juga melihat matanya. Mata ibunya telah menjawab keraguannya.

Mata ibunya nampak penuh keyakinan dan juga keseriusan akan ucapannya. Aku melepaskan pelukannya, mengangkat kepalanya yang bersandar di bahu ibunya. Ia segera memiringkan tubuh ibunya, berhadapan dengannya. Aku mendekatkan wajahnya ke wajah ibunya, ia mulai menciumi pipi ibunya, lalu bibir ibunya, ibunya hanya menutup rapat mulutnya tak membalas ciumannya.

Aku diam terpesona, apa yang biasa hanya bisa ia lihat saat mengintip ibunya mandi, kini di hadapannya. Ia mendorong pelan ibunya, membaringkannya. Aku masih menatap tubuh ibunya itu, teteknya besar dan sekal, bulat keras. Belum lagi pentilnya. Aku segera memakai tangannya untuk meremas tetek ibunya.

Perlahan, menikmati rasa kenyal dan lembutnya. Kedua tangannya meremas tetek ibunya itu. Telapak tangannya merasakan pentil ibunya yang mulai mekar dan mengeras, terasa menggelitik telapak tangannya. Jarinya mulai menelusuri pentil itu dan lingkaran coklat di sekelilingnya, terasa nyaman. Pentil itu kini dijepitnya menggunakan ujung jari telunjuk dan ujung jari jempolnya, ia pilin-pilin, makin mekar dan mengacung jadinya pentil itu.

Ibuny masih diam saja. Aku membuka kaos dan celana pendeknya, hanya menyisakan kolor yang menonjol besar. Ibunya hanya diam saja melihat Aku tanpa komentar. Aku mendekatkan mulutnya, mulai menjilati kedua pentil yang sudah besar mengacung itu, menggelitiknya dan menggoyang-goyangnya dengan lidahnya, menghisapnya lembut, mengemutnya, lalu menghisapnya lagi kuat.

Tubuh ibunya sedikit bergetar, juga sedikit mendesah. Aku masih terus menghisap pentil ibunya, tangannya juga kembali meremas-remas tetek ibunya. Sambil menghisap pentil itu, lidahya beraksi mengoyang-goyangkan pentil itu, ibunya mendesah kecil. Cukup lama ia fokus di tetek dan pentil ibunya, kont01nya sendiri sudah ngaceng sekali.

Aku mengangkat lengan Santi, tampaklah rimbuan hiam yang menggoda, tangannya segera mengelus dan memainkan bulu ketek itu, menariknya lembut. Lalu Aku menciumi dan menjilatinya. Harum juga menebarkan rangsangan tersendiri yang menggelitik nafsu Aku. Lama ia menjilati kedua pangkal lengan ibunya, sesekali ibunya menahan rasa geli saat lidah Aku terasa sangat menggelitik.

Aku lalu menciumi belahan tetek ibunya, turun ke bawah sampai ke perut yang rata… ia elus-elus dengan tangannya, lalu diciuminya perut ibunya, makin ke bawah, kini matanya memandang CD putih yang tebal. Tangannya diletakkan di sana merasakan rasa hangat. Terasa sekali jembut tebal di baliknya.

Tangannya mengelus CD itu sebentar. Lalu mulutnya menciumi permukaan Cd itu. Tangannya segera menarik turun CD ibunya itu, ibunya mengangkat sedikit pantatnya, memudahkan Aku meloloskan CD itu. Aku diam, meneguk ludahya, matanya menatap keindahan m3mek ibunya itu, jembut yang lebat nan hitam menghiasinya sampai belahan pantatnya, sangat kontras dan menambah pesona m3mek itu.

Belahannya nampak dalam mengundang. Tangannya mulai meraba dan mengelus jembut itu, Tebalnya terasa di telapak tangannya. Lalu dengan ujung jari telunjuknya ia mengelus belahan m3mek itu, naik turun, belahan itu mulai merekah, makin lama makin lebar, nampak kemerahan isi di baliknya, juga mulai basah.

Mulutnya mulai menciumi belahan m3mek itu dengan penuh gairah dan perasaan. Aroma harum yang khas memenuhi rongga hidungnya. Diciuminya seluruh permukaan m3mek ibunya. Lobang m3mek ibunya nampak kemerahan dan rapat. Aku mulai menjulurkan lidahnya, it1l ibunya agak besar, lidahnya mulai menyapu dan mengelus it1l itu, menggoyangkannya, perlahan lalu makin cepat, pantat dan tubuh ibunya mulai kerap bergoyang.

Desahannya mulai sering terdengar. Jari tengah Aku segera menyodok lobang m3mek yang sudah basah itu. Disodokkan dengan sangat cepat, dengan cepat jari itu terasa licin dan lengket. Hampir 5 menit sudah ia memainkam m3mek itu. Ibunya makin sering menggoyangkan pantatnya, kakinya menekuk dan mengangkang lebar.

“Ahhh… Alllll…”

“Sudaaahhh… Ohhhhh”

“Arghhhhh… Ughhhhh”

Santi mengejang, badannya bergetar, pantatnya terangkat tinggi. Terasa hangat cairan orgasme yang baru saja ia keluarkan. Anak ini sudah mahir memainkan lidahnya pikir Santi. Tubuhnya masih lemas merasakan kenikmatan. Aku berdiri, menurunkan kolornya, kont01nya mengacung. Mata Santi menatap ke kont01 anaknya itu…

“Eh… bu.. hi.. hisapin ya.”

Santi mengangguk, Aku mendekat, duduk di tempat tidur, Santi yang tadi terlentang, memutar tubuhnya menjadi tengkurep, mendekat ke selangkangan anaknya. Jarinya mulai meremas dan mengelus kont01 anaknya ini. Biji Pelernya ia mainkan sesaat, diremasnya lembut. Saat tangannya menggenggam batang kont01 Aku, terasa batang kont01 itu berdenyut.

Ia masih memainkan tangannya pada kont01 Aku, mengocoknya bergantian pelan lalu cepat. Lidahnya mulai menjilati kepala kont01 Aku, lalu batangnya, gerakannya sangat cepat dan penuh tekanan yang kuat. Aku mendesah sambil merem-melek. Mulut ibunya mulai menelan kont01nya, mengemut, menghisap, mengulum, saat menarik kont01nya keluar, ibunya selalu melakukannya samapai batas leher kepala kont01nya lalu menelannya lagi, sangat cepat.

Batas leher kepala kont01nya sangat geli bersentuhan dengan bibir ibunya yang basah dan sensual. Ampuuunnn… enak sekali pikir Aku. Ibunya masih lama mengulum dan menghisap kont01nya, terakhir ibunya menelan sedalam mungkin kont01nya. Lalu mengemutnya dengan kuat, bikin Aku kelojotan. Ibunya menghentikan Oral nya, segera turun, berlutut di pinggir tempat tidur, ditariknya kaki Aku hingga menjuntai ke bawah.

Tangan ibunya menggenggam kont01 Aku, ditaruhnya kont01 itu di belahan tetek besarnya. Kedua tangannya lalu mengapit erat pinggiran teteknya, menjepit erat kont01 itu di tengahnya. Aku melihat ibunya sedikit meludahi kont01nya dan belahan teteknya. Ibunya lalu menaik turunkan badannya, juga menggoyangkan teteknya, mengocok kont01 itu.

Uffff… Sangat Enaaaakkk… belum pernah Aku merasakan hal seperti ini, kont01nya sangat nyaman dikocok di antara tetek ibunya yang besar dan kenyal. Aku mengerang penuh kenikmatan. Tetek yang besar itu terasa membelai lembut sekaligus menekan erat kont01nya, kombinasi rasa nikmat yang tiada tara bagi Aku.

“Bu… su… sudah duluuu… Aku sudah nggaaakk tahan mau masukkin.”

“Ya sudah kalau begitu maumu.”

Ibunya menghentikan kegiatan tadi. Segera naik dan berbaring, melebarkan kakinya. Aku segera menindih ibunya, Aku mengangkat sedikit pantatnya, mengarahkan kont01nya, lalu blessss… gilaaa… saat kont01nya sudah amblas seluruhnya Aku diam dan merasakan rasa nyaman dan nikmat di sekujur tubuhnya, m3mek ibunya terasa sangat hangat, sangat rapat dan nyaman.

Aku ulai bergerak, memompa kont01nya perlahan, cairan di m3mek ibunya terasa pas dan memudahkan pompaannya. Kont01nya ia tarik keluar sejauh mungkin dan ia tekankan sedalam mungkin. Saat ia menyodok sedalam mungkin, ibunya mendesah penuh kenikmatan. Perlahan namun pasti gerakan memompa dan menyodoknya makin cepat.

Tetek ibunya bergoyang-goyang dengan sangat seksi, ibunya mendesah, matanya merem melek, kedua tangannya terangkat ke atas. Aku terus menyodok, sambil sibuk kembali menciumi ketek Santi. Lalu ia jilati leher dan telinga ibunya, membuat Santi kegelian. Aku memompa dengan penuh nafsu, desahan dan wajah ibunya makin membuatnya terpacu, ibunya samapi kelojotan menahan sodokannya…

“All… pelaaannnn… Ughhh…”

“Ssssstttt… Yeaaahhhh… Ooo ohhh…”

“Ampuuunnnn… Aaaahhhh… Aww ww…”

Ibunya mendapatkan orgasme, dan Aku malah menjadi semakin nafsu. Tak memperdulikan ibunya yang lemas, ia makin asik menyodok. Santi sendiri sampai kelojotan, rasa nikmat yang tak henti menghantamnya, ja… jadi inikah yang telah membuat Ratmi tak bisa menolak Dini, kini Santi paham sepenuhnya. Godaan ini terlalu sulit dan juga terlalu enak buat ditolak.

Pantat ibunya nampak bergoyang liar mengimbangi sodokan Aku. Terasa membetot kont01nya. Tangan Aku mulai meremas kuat tetek ibunya itu. Sodokannya juga tetap stabil. Dua minggu tanpa ngewek membuatnya benar-benar disalurkannya sekarang. Bibir Aku mencium bibir ibunya, kini ibunya membalas, mereka berciuman dengan panas.

Setelah itu Aku mulai menghisap pentil ibunya kuat-kuat, sodokannya mulai agak berkurang kecepatannya, sudah maksimal ia bertahan… denyut nikmat terasa pada kont01nya. Kembali ia mencium ibunya, memeluknya erat, dan dengan sodokan yang kuat… crooot… crooot… cr oott… kuat dan banyak sekali pejunya, membuat ibunya bergetar saat pejunya menyemprot kuat.

“Bu terimakasih ya sudah muasin hasrat Aku.”

“Ya… sekarang sudah mau sekolah lagi kan…?”

“Iya.”

“Kalau kamu nanti sedang kepengen bilang ke ibu ya. Tapi jangan sampai ayahmu tahu.”

Dan akhirnya memang Aku kembali ke sekolah. Nilainya bahkan meningkat. Kini setiap ia ingin, ibunya akan memenuhinya. Ayahnya akhirnya sudah menyelesai proyeknya dan kembali pulang, namun mereka tetap melakukannya. Waktu terus berjalan…

Santi merasa sudah melakukan solusi yang paling tepat. Kini anaknya dapat memuaskan hasrat yang merongrongnya. Tahu kini ibunya selalu ada untuk membantunya. Bersekolah seperti sediakala dan tak pernah membicarakan lagi niat untuk pindah sekolah ke kampung. Santi bahkan amat menikmati melakukan hubungan seks dengan Aku, bisa sangat mengerti dan sangat memahami kenapa adiknya sampai tak kuasa menahan diri dari godaan Aku.

Santi bahkan bisa toleran saat Ratmi datang menginap ke Jakarta (Ucil dititipkan ke abahnya. mungkin Ratmi kangen sama Aku pikir Santi). Rumah mereka hanya memiliki 3 kamar. Jadi Ratmi tidur di kamar Aku. Suaminya tentu saja tak curiga dan berpikiran macam-macam. Tapi Santi tahu bahwa di kamar itu setiap malam Aku dan Ratmi bukan hanya sekedar tidur.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan