3 November 2020
Penulis —  kurawa100

Akibat Vacuum Cleaner

Aku pulang dalam keadaan senang, percaya diri, tapi bima tak ada dirumah. Bima datang sekitar jam 6 memakai baju basket, terlihat berkeringat dan kotor. Rambutnya basah. Kubayangkan beginilah dia ketika selesai ngewe wanita dengan kontolnya. Sial, aku berdiri di depannya. Marah.

“Ke mana saja jam segini baru pulang?”

“Huh? Habis main basket mah.”

“Apa kau lupa? Kau lagi mama hukum.”

“Mama serius?”

“Tentu saja. Vacuum mama malah kau rusakkan.”

Anakku menyeringai padaku.

“Aku juga menyakiti tenggorokan mama, apakah akan dihukum juga?”

“Dasar nakal. Pergi ke kamarmu!”

“BIma hanya bercanda mah. Santai saja.”

“Tidak, itu bukan bahan candaan.”

“Terserah”

Aku terkejut. Kukira menghisap kontol anakku bakal membuatku lebih dihormati. Ternyata tidak. Setidaknya sekarang aku tahu, seks tidak bisa merubah sifat orang.

Kuikuti bima, kuketuk pintunya.

“Bima. Kamu harus minta maaf sama mama.”

Bima membuka pintunya… telanjang. Ya, aku telah melihatnya telanjang, tapi aku tak mengharapkannya lagi.

“Kenapa tak dibaju?”

“Bima mau mandi mah. Baiklah maafkan bima mah.”

Kukepal tanganku mencoba mengalihkan mataku dari kontolnya. Sungguh besar, menggantung di antara pahanya.

“Mama ingin kamu serius.”

“Baiklah. Bima minta maaf atas kata-kata bima barusan. Bima hanya bercanda. Bima kira mama takkan menanggapi serius.”

“Tentu saja. Mama tak bangga melakukan itu dan bima memaksa mama. Mama hanya mencoba menolong dan tak ingin dijadikan bahan candaan. Kamu harus menghormati mama.”

“Bima memang menghormati mama. Maaf bima maksa mama hisap kontol bima. Bima kira mama menginginkannya.”

“Mengapa kau berpikir begitu?”

Aku masih pura-pura marah padanya. Kuusahakan agar mataku tak menatap kontolnya. Memekku tahu itu. Otakku mengirim sinyal hingga memekku basah.

“Kelihatannya mama menikmati mengocok kontol bima, dan mama terus menatap kontol bima, dan hisapan mama. Jadi kukira mama mengingkannya.”

“Mama kasih tahu, mama tak ingin.”

“Benarkah? Karena saat mama menghisap kontolku, kurasa mama menginginkannya.”

“Mama hanya berusaha agar kamu cepat kluar. Karena mama mahir bukan berarti mama menyukainya.”

“Uh huh. Bima mau minta mama menghisap kontol bima lagi sehabis mandi.”

“Apa kamu gila? Mama sudah bilang hanya sekali dan takkan terulang.”

“Nah, bima rasa tidak. Bima rasa mama menginginkannya.”

Bima mendekat, meraih tanganku dan membawanya ke kontolnya. Kucoba menarik tanganku tapi pegangannya kuat.

“Bima, lepaskan mama.”

“Jangan melawan.”

Tanganku ditekannya. Menempelnya tanganku membuat kontolnya semakin membesar.

“Hentikan. Mama takkan melakukan ini lagi. Ini salah. Mama ibumu demi tuhan.”

“Mah, bima mau bilang sesuatu. Bima ingin ngewe mama.”

“Bima!”

“Sejak lama bima ingin ngewe mama. Mama sangat seksi.”

“Bima! Ini sungguh tidak pantas. Aku ibumu nak. Mama tak mau melakukan ini lagi. Lepaskan mama nak.”

Dia buka paksa jariku, hingga kontolnya tergenggam, ia kocok tanganku hingga kontolnya terkocok. Tangannya yang lain memegang pinggulku dan menariknya hingga. Kucoba menghidar tapi kalah kuat. Lalu ia memajukan mulutnya, menciumku. Ini terlalu dekat dan salah. Sesaat, aku kehilangan kontrol. Ciumannya tak seperti ciuman yuni yang hangat, pelan.

“Oh, sial.”

“Jangan pernah lakukan itu lagi!”

“Lalu? Mama bisa menyepongku tapi bima tak bisa mencium mama?”

“Ada apa denganmu? Aku mamamu! Lepaskan mama sekarang juga!”

“Sini.”

Bima membawaku ke ranjangnya.

“Tidak. Apa kamu mau mama hukum?”

Kutarik tanganku. Bima mendorongku hingga terduduk di dekat ranjangnya. Ternyata posisiku menguntungkannya. Mataku sejajar dengan kontolnya yang makin mengeras. Tangannya melepaskan tanganku lalu memegang kepalaku. Tangan satunya memegang kontolnya dan mengarahkannya. Kucoba menggeliat menghindari kontolnya.

“Tidak! Takkan mama hisap lagi.”

Tercium bau kontolnya, penuh keringat setelah dia basket seharian.

“Buka mulutnya mah, bima tahu mama menyukainya.”

Dia tekan kontolnya ke bibirku. Kugelengkan kepala mencoba menghindar. Kutatap matanya.

“Bima, tolonglah. Aku ibumu nak. Mama merasa dipermalukan. Jangan paksa mama.”

Dia menyeringai.

“Akui mama suka menyepong kontolku.”

“Mama tak menyukainya.”

“Akui atau kupaksa sampai ke tenggorokan mama.”

“Bima, mama perempuan. Menyukai dan menginginkan adalah hal yang berbeda. Baiklah, mama memang suka menyepong kontol, tapi aku ibumu, jadi mama tak menginginkannya. Tolong jangan paksa mama lagi nak!”

“Bima ingin keluar. Seharusnya mama bawa bima ke rs jika mama tak mau menolong bima.”

“Mama tahu mama salah. Tapi mama tak mau melakukan ini lagi.”

“Buka mulutnya mah.”

“Bima”

“Buka”

Kugelengkan kepalaku.

“Buka. Atau… atau… Bima entot mama.”

Aku terkejut.

“Kau takkan bisa…”

“Coba saja mah, tantang bima.”

Bibir bawahku bergetar, lalu kubuka mulutku. Helm kontolnya langsung masuk diantara gigiku. Kulebarkan lagi rahangku. Anakku terus menusukan kontolnya hingga mentok di tenggorokanku. Aku tersumpal, kucoba mendorongnya agar bisa bernafas. Kontolnya ditariknya, basah oleh liurku. Kuhirup nafas dan ia masukkan lagi kontolnya.

Gerakan kontolnya mulai pelan. Ia mulai menukkan kontolnya hingga mentok. Aku terus muntah. Air mata jatuh tak tertahankan. Aku sudah tahu berapa lama sampai ia keluar. Aku takkan pernah bisa bertahan. Kupegang kontolnya mencoba mencabutnya dari mulutku agar aku bisa bernafas. Air liurku menetes.

“Tunggu. Mama gak tahan. Pelan-pelan nak.”

“Ayolah. Bima pingin lagi.”

Kontolnya mulai menekan mulutku lagi.

“Biar mama kocok agar bisa bernafas.”

“Oke. Lakukan mah.”

Ia angkat kedua tanganku dan mendaratkannya di kontolnya. Aku mulai mengocok sambil bernafas dalam-dalam. Rahang dan tenggorokanku sakit tapi memekku mulai basah. Aku terangsang. Aku sungguh ingin memainkan klitorisku sambil memainkan kontolnya, tapi jika kulakukan, mungkin dia pikir aku ingin diewenya.

“Enak?”

“Tak seenak mulut mama.”

“Bima, kamu tak boleh kasar sama mama. Mama bukanlah lubang tempat kontolmu.”

“Bima gak tahan kalau terangsang. Rasanya bima jadi gila.”

“Mama tahu memang sulit nak. Tapi kamu mesti hormati mamamu, dan saat mama bilang tidak, ya tidak.”

“Kenapa mama mesti bilang tidak?”

Kontolnya mulai mendekati mulutku lagi. Aku tau keinginannya, tapi aku tak siap. Namun, kucium helmnya dan kujilat.

“Sebab mama mencintaimu, dan kita tidak boleh begini.”

Ia mengerang saat kujilat kontolnya. Kumainkan lidahku di batangnya, helmnya. Terhirup bau tubuhnya. Kucium pangkal batangnya. Dia benar-benar mesti mandi. Kucium testisnya, ternyata lebih bau. Kubuka mulutku agar testisnya masuk. Erangannya makin menjadi saat kukocok kontolnya dan kuhisap testisnya.

“Enak mah. Bima hampir keluar. Hisap lagi mah.”

“Bima, rahang mama sakit.”

“Ayolah mah, hisap lagi. Takkan bima tekan hingga mentok.”

Aku takut ia akan memaksa kalau aku menolak.

“Baiklah. Tapi mama ingin kamu hormati mama.”

“Oke mah.”

Kepalaku dipegangnya. Kupegang batangnya agar bisa kukontrol hingga tak mentok. Kumasukan helmnya saja, kumainkan lidahku. Kuhisap dan kugerakan mulutku. Dia mengerang.

“Nikmat. Bima keluar mah… oh… oh…”

Kusiapkan mulutku hingga saat spermanya muntah, kutelan sebanyak mungkin. Tapi tetap saja, mulutku tak cukup menampung. Spermanya keluar dan memenuhi bibir dan daguku. Helmnya tetap di mulutku sementara batangnya kupijat agar tak ada sperma yang tertinggal.

“Selesai?”

Kukeluarkan kontolnya. Kujilat bibirku agar bersih.

“Ya. Makasih mah.”

Aku berdiri, kutatap anakku.

“Sama-sama. Lain kali bima mesti bisa mengontrolnya. Bima tak boleh maksa mama melakukan hal yang tak mama inginkan. Mengerti?”

Ia mengangguk. Seperti kalau ia berbuat salah.

“Dan mama ingin kamu cari pacar. Agar bisa membantu kebutuhan seksualmu. Karena itu bukan tugas mama, oke?”

“Bima tahu mah.”

“Oke. Bima masih mama hukum.”

Bima tetap di kamarnya semalaman. Kuharap ia menyadari betapa salah kelakuannya, memaksaku menghisap kontolnya sepertii itu, mengancam mengeweku. Kuharap dia hanya menggertak, tapi perasaanku mengatakan ia tak menggertak. Aku harus berbicara dan meluruskannya. Semuanya mulai kacau. Kurasa lebih baik kuberitahu yuni semuanya.

Kuberbaring jam 11an. kunikmati gosokan tanganku di memekku yang kelaparan memikirkan kontol anakku. Ya, memang salah, tapi aku tak bisa menyingkirkan pikiranku. Tapi aku tak salah. Dia yang memaksaku. Aku hanya bisa menjadi ibu yang baik dan melayaninya, meski ia bilang ingin mengentotku. Aku bangga pada diriku, kubayangkan kontol anakku saat kumainkan memeku, aku berhak menikmatinya.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan