1 November 2020
Penulis — kurawa100
Kupacu motorku dengan cepat agar tiba sampai di rumah. Aku sudah tak tahan untuk menyalurkan hasratku kepada putri bungsuku. Entah sejak tadi siang aku terbayang-bayang akan kemolekan tubuhnya, kedua gunung kembarnya yang besar; ugh dapat kurasakan kenyalnya payudaranya saat kuremas seperti sedang meremas adonan roti; jeritan-jeritan kecilnya; pipinya yang memerah saat kutempelkan batangku ke alat kelaminnya.
Aku ingin melakukannya lagi malam ini.
Saat sudah tiba di rumah, kubuka pintu depan, dan disitu aku langsung bertemu dengan putri bungsuku di ruang tamu, Rani namanya. Ia langsung terkejut dan menutupi dadanya. Ia menundukkan kepalanya yang berjilbab.
“A.. ayah sudah pulang?”
Kudekati telinganya dan berbisik, “Apa kabar… sa… yanghh..?” sambil tanganku meraih pinggangnya dan perlahan turun ke pantatnya seraya meremasnya. Bongkah pantatnya langsung menegang dan tubuhnya menjadi kaku, ia terlihat gelisah menoleh ke kiri dan ke kanan.
“Kamu pake CD warna apa hari ini?”
Dia diam saja.
“Jangan-jangan gak pake yah…” ucapku dengan nada menggoda dan hendak menjamah derah kewanitaannya.
Sayangnya kudengar langkah orang datang mendekat.
“Ayah sudah pulang?”
Aku segera melepas pelukanku dari Rani dan bercipika cipiki dengan istriku yang menyambut kedatanganku. Rani buru-buru pergi dari situ, melewati diriku sambil meninggalkan aroma wangi shampoo yang menggairahkan.
Aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diriku.
Pada jam 6 soe, istriku memanggil diriku dan Rani untuk keluar makan malam. Aku dan istriku telah duduk di meja makan, menanti kedatangan Rani.
“Ranii! cepet kemarin, nanti masakannya jadi dingin,” panggilku.
Tak lama kemudian Rani datang dengan langkah enggan seolah ia tidak ingin hadir disana.
“Rani, ayo duduk disini di sebelah ayah…” panggilku lembut.
Putriku berjalan tertunduk, menarik kursi di sebelahku dan duduk mengambil posisi agak menjauh dariku. Sementara itu istriku berada disisi lain berseberangan dengan kami.
“Ayo kita makan… Rani bagikan nasinya untuk ayah dan ibu,” pintaku.
Rani tak berkata apa-apa seraya berdiri mengambil bakul berisi nasi putih mengepul dan membagikannya untuk kemi bedua dan terakhir dirinya. Saat ia berdiri kuperhatikan kedua bongkah pantatnya yang tertutup jegging berpola floral hitam putih. “Luar biasa,” pikirku. Kulihat garis tipis membentuk segitiga tercetak di celananya.
Setelah setiap piring kami terisi nasi putih, aku mengambilkan sepotong ayam untuk istriku dan Rani serta diriku.
“Terima kasih sayang,” ucap istriku. Aku menjawab dengna senyuman.
“Rani, kamu gak bilang terima kasih ke ayah?”
“Terima kasih, ayah,” ucapnya pelan.
“Kamu sakit, Ni?” Tanya istriku.
“Gak apa-apa, bu. Ayo makan yuk,” jawabnya sambil menyendok sayur asam dari mangkok putih besar untuk mengalihkan perhatian.
Pada saat kami mulai bersantap dan istriku bercerita tentang tetangga sebelah yang baru saja membeli mobil. Tangan kiriku bergerak merayapi paha putriku dan mengelusnya perlahan. Baru sebentar ia kujamah, Rani berdiri dan berjalan menjauh pura-pura mengambil botol air dingin yang ada di kulkas di belakang istriku.
Saat ia sedang tidak ditempat, kutarik bangkunya agar duduknya semakin dekat denganku. Ketika ia kembali ke bangkunya, ia berdiri diam sesaat melihat bangkunya sudah berada tepat di sebelahku. Mau tak mau ia pun terpaksa duduk tepat di sampingku.
Kami kembali melanjutkan menyantap makanan.
“Terus, katanya sepupumu masuk rumah sakit?” tanyaku kepada istriku agar ia lanjut berbicara. Sementara itu tanganku kembali beraksi. Kali ini yang kuselipkan diantara pangkal kedua paha putriku dan menyentuh daerah bawahnya, Kutekan dan kuelus perlahan.
Rani mengernyitkan dahinya sambil menoleh ke arahku. Kelihatanya sekali ia tak mengizinkan perbuatanku. Ia berusaha kembali melanjutkan makannya. Tapi jelas ia kesulitan berkonsentrasi.
Saat kupercepat gerkan jari tengaku di daerah kewanitaannya, kain jegginngnya terasa makin lembab, dan lama-lama terasa cairan licin menembus keluar.
“Istriku bisa tolong ambilin pisau di dapur, aku mau potong buah apel ini.”
“Oh.. biar aku saja yang potongin,” balas istriku seraya mengambil dua buah apel dan membawanya ke dapur.
Saat istriku sudah tidak diruang makan, aku langsung mengangkat kain jilbab putriku yang menutupi dadanya dan meremas-remas payudaranya kiri dan kanan bergantian.
Raut wajah Rani menunjukkan kegelisahan, ia terus menggeleng-gelengkan kepalanya memintaku untuk berhenti. Ia tampak menggairahkan sekali. Namun bukannya berhenti, aku malah melumat bibirnya yang mungil dan kumasukkan tanganku ke dalam CDnya dan langsung memasukkan jari tengahku ke lubangnya. Ternyata sudah basah dan licin.
Rani berusaha menarik tanganku keluar, tapi tak bisa. Kalah tenaga. Bahkan kupelorotkan jengging dan CD putihnya hingga lepas melewati mata kakinya. Aku jadi terangsnag melihat Rani setengah bugil.
Tiba-tiba kami mendengar suara langkah istriku yang kembali ke ruang makan. Buru-buru Rani memasukkan bagian bawah tubuhnya yang tdiak bercelana ke bawah meja makan, bersembunyi di balik telapak meja yang agak panjang.
Aku pun kembali kembali ke posisi menyantap sisa makanan di piring. Istriku meletakkan sebuah pring dengan apel yang sudah terpotong-potong di atas meja, dan kembali duduk.
“Rini kok makanan kamu masih banyak di piring, lagi gak nafsu, ya?”
Rani menggeleng menunduk. Terdengar suara ia menyedot cairan di hidungnya.
“Kamu pilek, Ni?” tanya ibu.
“Gak kok bu,” jawabnya lirih seraya mengambil tisu di meja makan dan membersihkannya.
“Kamu gak apa-apa kan, Ni,” Tanyaku berpura-pura memberikan perhatian, padahal cuma alasan agar bisa meletakkan tanganku di atas kulit pahanya di bawah meja.
Rani cuma menggeleng sedikit. Ia tak bisa melanjutkan makannya.
“Ngg.. ya sudah kamu istirahat saja, istriku kamu beresin meja ya,” ujarku.
“Ya sudah, kalau ada apa-apa ngomong loh, Ni.”
“Iya bu.”
Istriku segera merapikan piring-piring di atas meja dan membawanya ke dapur. Saat ia sedang tidak di ruang makan. Aku ambil celana jeggingnya dari lantai dan kutarik anakku itu ke kamarnya segera.
Di dalam kamar kunyalakan lampu. Kupeluk tubuh anakku dari belakang dan kuremas dadanya dengan gemas.
“Dada kamu besar banget sih, hmm…” pujiku.
“Ayah, jangan.. please…”
Penolakakannya justru membuatku bergairah. Kuciumi kepala dan lehernya dengan bernafsu.
“Jangan… jangan… Jang… aahh.. ahh.. ahhh”
Penolakannya berubah menjadi lenguhan saat kuselipkan jariku ke selangkangannya dan mengusap-usapnya. Ia menggeleng-geleng dan mencoba meronta.
“Penis ayah dah tegang nih, mau kayak kemarin…”
“Gak mau… jangan… Rani teriak nih, biar ibu tahu…”
Kudorong tubuh putriku dengan mudah ke atas kasur, hingga badannya terpental di tas kasur springbed. Di hadapannya kubuka celanaku dan kukeluarkan penisku yang langsung bangkit memangjang dan mengacung tegak sampai 30 cm.
“Yakin, kamu mau bilang ibumu?”
Putriku langsung menutup wajahnya dengna kedua tangannya. Kudekati dirinya dan kuraba-raba bagian bawah tubuhnya. Kukecupi kedua pahanya bergantin, dan kujilat hingga ke ujung pangkal paha, dan perlahan lidahku menggapai belahan vaginanya yang tidak berbulu.
Awalnya sedikit-sedikit kusentuh ujung lidahku ke kemaluannya. Perlahan kusapu dari ujung bawah belahannya hingga ke atas, hinnga akhirnya kutemplekan seluruh permukaan lidahku ke bibir labianya, dan kusapu keatas sambil menembus masuk ke dalam perbatasan vaginanya.
Rani langsung merengut kain tempat tidurnya dan melenguh, “Uggh…!”
Kudekatkan mulutku dan kunikmati kemaluan putriku dengan jilatan-jilatan di bagian klit-nya. Badan putriku bergerak-gerak merespon permainanku di bagian tubuh yang paling privat itu.
“Ayah.. jangan.. ayah…”
Saat ia memanggilku dengan sebutan ayah, kutindih badannya, hingga kami saling bertatapan. Kuperhatikan wajahnya yang sungguh manis nan cute. Matanya berkaca-kaca.
“Hentikan ayah please… Rani kan anak ayah…?”
Kubelai lembut kepalanya yang berjilbab itu.
“Tadi kamu bilang apa?”
“Rani kan anak ayah…?”
Ucapannya itu justru entah bagaimana malah menambah gairah di dalam diriku. Kuarahkan penisku ke lubang putriku. Perlahan kutekan masuk hingga menyentuh ujungnya. KUrasakan Rani mencoba meronta saat batangku menembus daerah kewanitaannya, tapi tubuhku yang berat tetap menahannya.
“Bilang apa sayang?”
“Rani kan anak ayah…” ulangnya sambil agak terisak. Saat dia berkata itu, aku mulai memompa tubuhnya. Badan Rani pun bergerak ke atas ke bawah terdorong-dorong oleh gerakan pinggulku.
“Sebut lagi, sayang…”
“Rani kan anak ayah… jangan diteursin.. sudah ayah… sudah…”
Hmmm… kamu sengaja ingin bakar gairah ayah ya… ujarku dalam hati seraya menarik tepi ujung kaosnya hingga ke atas dada. Tuh kan… dasar anak nakal… tidak pake BH…
“Dada kamu besar banget sih nak… ayah cicipi yah…”
“Gak… gak…”
Kuhisap putingnya meskipun ia tidak mengizinkannya, kujilat-jilat ujungnya dengan lidahku memberikan anak kandungku kenikmatan seks.
Clep… clep… cleppp… terdengar bagian bawahnya suara becek, tanda vaginanya basah karena menerima berbgai rangsangan.
“Tuh kan… kamu suka ayah giniin… buktinya bawahnya kamu basah…”
“Gak… Rani gak suka… ayah…”
Setiap kali ia menyebutku ayah, makin kupercepat gerakan pinggulku, hingga penisku menghujam-hujam dengna cepat kemaluan putriku.
“AAhha ahh ah ahh ah ahh” racau Rani.
Mungkin suaranya yang terlalu keras membuat istriku curiga dan membuka pintu kamar.
“ASSTAGGAAA AYAHH!!! RANNI!!!”
Istriku sampai lemas duduk di lantai.
Tiba-tiba saja sebuah pikiran melntas di benakku. Kuhampiri istriku dan kutenangkan dirinya.
“Hei, tenang… ini bukan apa-apa…”
“R.. Rani… a.. ayah…”
“Shhh… dah tenang-tenang dulu ambil nafas dalam-dalam…”
Istriku menghirup nafas banyak ke dalam paru-parunya lalu menghembuskannya lagi. Beberapak akli ia lkuakukan itu. Saat ia sudah menjadi tenang, kutarik dirinya ke tempat tidur dan kuajak tiduran di samping putri kami.
“Sayang… kita bertiga akan senang-senang malam ini yah…”
Istriku menoleh ke arahku dengan pandangan tak percaya bercampur terkejut.
Kukecup bibirnya sambil kubelai dan kuremas bokongnya yang semok dari luar roknya yang terutup gamis. Lalu aku beralih ke bagian kemaluannya dan mengusap-usapanya.
Sementara Rani hanya memperhatikan kami kedua orang tuanya melakukan pemanasan.
“Kamu istri yang baik kan…”
“Tentu saja ayah, bukan aku sudah membuktikannya hingga saat ini, melyanimu dan menjadi orang tua yang baik untuk Rani…?”
Aku mengangguk, “yah kamu sudah lakukan itu…”
“Sekarang ayah mau ibu mastrubasiin Rani, pakai jari, yah… ayah mau lihat…” pintaku kepada istriku seraya meremas-remas dadanya.
“Tapi…”
“Ayo sayang…”
Kubantu istriku yang masih dalam keadan syok untuk meletakkan tangannya di kemaluan putri kami, dan menggerak-gerakkannya.
“Iya begitu…”
Rani tampak lebih menerima, kalau ibunya yang menyentuh dirinya, meski ia masih menggeleng-geleng, tapi ia tak menepis tangan istriku di daerah privatnya.
“Oh yes, kalian memang menggairahkan,” ucapku seraya menganggka rok gamis istriku dan mulai mencari lubangnya untuk kuentot dari belakang.
“Ahhh.. ahhh… aahhh…” saat batangku menancap dan keluar masuk di vaginanya. Dia pun mulai mau mengelus-elus vagina Rani dengna lebih intens.
“Mmhh… shhh… ibu… ah…”
“Lebih merapat, sayang,” pintaku ke istriku. Istriku menurut dan merapatkan tubuhnya dengan Rani hingga kedua dada mereka menempel satu sama lain.
“Oh… yes… gesek-gesek dadamu ke Rani, yang…”
Istriku memeluk Rani dan melakukan keinginanku. Rini memadang wajah ibunya dengan raut wajah canggung dan kikuk.
Kupompa tubuh istriku dengan cepat, “AAhh… ahh…” dibakar gariah, sungguh rasanya nikmat sekali bersenggama. Istriku menyelipkan pahanya di antar kedua paha Rani, sehingga saat tubuhnya terdorong oleh ku, kakinya menggesek kemaluan Rani.
“Aaahhh ahhh,” Rani, istriku dan aku melenguh bersamaan menikmati seks bersama.
“IStriku, arahin tititku ke lubang Rani.”
Dengan panjang 30 Cm, aku dapat menacapai kemaluan putriku melwati kemaluan istriku dan masuk ke dalamnya.
Istriku mencabut batangku yang masuk begitu dalam di lubangnya, dan mengarahkan ujunyg ke lubang kewanitaan putri kami.
“Ini batang ayahmu, nak…”
“Kalau ibu mengizinkan, Rani terima disetubuhi ayah…”
“Gak apa-apa nak, ibu izinkan,” ucap istriku seraya memasukkan ujungnya. Rani menngagnkat kakinya dan seketika itu aku tekan dan melesak masuk.
“Ciumanlah kalian berdua.” Dua kepala yang berjilbab itu pun mulai mendekat dan bibir mereka berpagutan.
“Shh… gitu donk…” seraya memompa tubuh anakku. Sementara istriku mendapakan gesekan batang luarku. Tanganku pun tak sabar untuk meremas-remas lagi dada putriku dan begarntian meramas payudara istriku.
“Akh aku keluar!” Istriku tahu-tahu menjerit, batangku terasa disemprot oleh cairan panas.
“Rini.. juga… Rini… dikit lagi… ayah…”
Kupercepat gerakanku, tahu-tahu Rani mengejang dan batangku seperti disiram air hangat di dalam lubangnya.
Aku berganti posisi dan kembali menindihnya seperti di awal, aku ingin melihat wajahnya saat kusetubuhi dirinya.
“SEkarang kalau ayah mau gituin kamu, kamu gak akan nolak kan, Rani..?”
Rani tersenyum dengan tulus dan mengangguk.
“Ibu sudah merestui… Rani juga rela…”
Ia memeluk leherku dan membisikkan di telingaku, “Rani anak ayah…”
Entah kenapa aku langsung turn on, seperti tegangan listrik yang melonjak tiba-tiba. Baru beberapa sentakan, cairan laki-lakiku langsung serasa melompat dari buah zakar ke lubangnya Ran. Begitu banyaknya sampai-sampai keluar dari bibirny vaginya.
“Iyah… Rani anak ayah…” ucapku sambil memberikan ciuman yang mesra.