2 November 2020
Penulis —  kurawa100

Enaknya Menjadi Tulang Punggung Keluarga

Coba kalian bayangkan aku seorang diri harus memberi makan 10 mulut di dalam rumahku. Itu termasuk aku, istriku, ibuku, kakak perempuanku dan suaminya serta kedua orang anaknya, adikku laki-laki dan istrinya serta anak tunggalnya. Betapa kerja kerasnya aku setiap hari agar semua yang di bawah atap ini tidak mati kelaparan.

Suami kakak perempuanku sebenarnya pengusaha mebel. Tapi bangkrut habis-habisan dengan meninggalkan utang yang bermilyar-milyar. Sehingga kakak perempuanku, Rani yang notabene adalah wanita rumah tangga memohon kepadaku untuk membantunya.

Waktu itu segala harta bendanya, rumah, mobil hingga, terus terang aja nih… kolor-kolor yang ada pun turut disita, bisa dikatakan waktu para penagih datang dan mengambil segalanya mereka cuma menyisakan apa yang melekat di badan mereka.

Sementara itu adik laki-lakiku, Budi gak bisa menjaga pekerjaan. Selalu saja dipecat. Akibatnya dia gak mampu kasih makan keluarganya. Dia pun datang kepada diriku untuk bantuan.

Aku sih punya bisnis pengolahan tinja. Yah dari hasil sisa mencretnya orang, aku olah jadi energi gas dan aku ekspor ke luar negri, sehingga aku punya penghasilan yang lumayan.

Waktu mereka datang kepadaku dan memintaku untuk mengurus mereka. Aku selalu mengajukkan satu syarat kepada mereka, yaitu, mereka harus mau melayani kebutuhan seksualku. Karena aku memang memiliki hasrat yang luar biasa besarnya. Sampai-sampai istriku gak sanggup lagi melayaniku.

Karena alasan itulah, aku sampai suatu malam memaksa ibuku sendiri untuk melayani kebutuhnaku.

Mereka sih awalnya terkejut habis-habisan mendengar permintaanku. Bahkan kakak perempuanku mencaci maki diriku, mengatakan aku bejat dan lain sebagainya. Ibuku sampai menangis. Istriku sampai minta pisah ranjang. Adikku… ah dia mah diam saja, mau gak makan?

Akhirnya sekitar sebulan kemudian kami menggelar pertemuan untuk membahas hal ini. Waktu itu kami semua berkumpul di rumahku/

“Ya, sudah Iwan kami semua sudah berembuk dan memutuskan untuk menyetujui persyaratanmu, asal kamu mau menerima kami semua,” ucap suami kakak perempuanku.

“Iya kak, ok kami siap melayani kebutuhan kakak,” tambah adikku.

“Apakah kalian yakin, itu termasuk juga anak-anak kalian lho…”

Semuanya terdiam… Istriku adalah yang paling bermuram durja di ruangan itu.

“Kenapa? Apakah kalian berubah pikiran?”

“Sebenarnya itu yang ingin kami bicarakan,” kata istri adikku. Mirna namanya. “Apakah bisa kak Iwan biarkan anak-anak kami, biar kami saja yang melayani kakak,” ucapnya sambil membetulkan posisi kacamatanya yang sebenarnya tidak kenapa-kenapa.

“Ah tidak bisa… harus termasuk keponakanku yang cantik-cantik ini…”

Ruangan kembali jadi hening.

“Iwan, plis… mereka masih terlalu muda…” pinta kakak perempuanku.

“Kalau kak Ranti gak mau, gak apa-apa aku gak keberatan. Tapi yah jangan gantungkan nasib kalian sama aku.”

Kak Rani mengepalkan tangan di atas pahanya dan menggigiti bibir bawahnya mendengar jawabanku.

“Ya ok ok ok… yah… kami sekeluarga akan layani kebutuhanmu yang satu itu,” tampak suami kak Ranti, Farid sudah frustasi dan tidak mau berlarut-larut dalam masalah ini.

“Bagiamana dengan mu Mirna?”

Mirna tampak bingung dan tak bisa mengambil keputusan, alisnya mengernyit meminta suaminya alias adikku, Roni untuk mengambil keputusan. Adikku memandangi istrinyat dan anak tunggalnya, jelas ada keberatan yang sangat tergurat di wajahnya.

“Ya sudah… terserah kak Iwan…” ucapnya lemah.

“OK, sekarang tinggal istriku dan ibu… apakah kalian masih keberatan…?”

Mereka berdua saling pandang. Mereka tak kalah gundahnya dengan yang lain.

“Iwan… masak kamu mau ibu ngelayanin kamu juga… ibu kan sudah tua…”

Aku berdiri dari sofaku dan berjalan ke arahnya. Lalu duduk disampingnya.

“Jangan khawatir ibu, Iwan gak akan mintah yang aneh-aneh kok… ,” ucapku seraya menyampirkan kain baju pundaknya. Kuciumi pundaknya dan perlahan merambat ke lehernya. Ibu menggelinjang dan memiringkan tubuhnya menjauh dariku, sementara kedua tangannya menahan dadaku. Matanya yang sudah mulai terlihat keriput di pinggirnya menatapku dengan perasaan gelisah tak nyaman.

“Iwan! bisa gak nanti aja… jangan disini!” ucap istriku agak kesal.

“O… ok… hmm… apakah itu artinya kamu sudah setuju, sayang?”

”… Ah aku kan cuma istrimu bisa berbuat apa untuk nolak?” Jawabnya sambil berbalik memberikan punggungnya.

Aku pun berpindah posisi ke samping istriku dan memeluknya.

“Jangan marah donk sayang… kamu tetap yang paling aku cintai…”

“Aku lagi gak mau dirayu, mas,” tukasnya ngambek.

Meskipun di BT-in aku tetap memeluknya mesra dari belakang dan menempelkan hidungku ke punggungnya dan menghirup tubuhnya.

Kemudian aku bangkit.

“Ok berarti semua setuju ya…”

“Ya…” jawab mereka pelan.

Setelah itu dengan tak sabar aku memeluk kembali ibuku dan kutempelkan pensiku ke paha ibuku dan kugesek-gesekkan mencoba mencari kenikmatan.

“Oh ibu dah lama Iwan mau main sama ibu…”

Semua yang ada disitu langsung kaget mendengarnya.

“Aku tak dapat melihat atau mendengar ini semua,” keluh istriku dan dia beranjak pergi.

Yang lain pun segera hendak pergi meninggalkan rungan itu.

“Kak Rani, mau kemana…?” tanyaku dengan nada penuh arti.

“Aku mau meninggalkan kalian berdua… tunggu dulu… apakah kamu berpikir untuk… oh tidak…”

Aku hanya memberikan senyuman di pinggir bibir.

“Oh tidak… kamu mau aku… dan ibu…”

Aku mengangguk-angguk kecil.

“kamu memang bejat sekali, Iwan…”

Kulihat yang lain-lain pada geleng-geleng kepala mendengar permintaanku sambil melangkah pergi.

“Iwann… ibu gak bisa… ibu gak pernah begituan…” rengek ibuku. Raut wajahnya merengut.

“Shhhtt…”

Ku sampirkan kedua kain di pundak ibuku, dress yang lemas itu langsung jatuh memberikan tontonan payudara yang menakjubkan. Ibu langsung menutupi dadanya dengan kedua tangannya. Aku tersenyum melihat reaksinya.

Lalu aku berdiri.

“Kak Rani, ayo buka reseleting celanaku.”

Kakak gw tampangnya BT. Dia emang orangnya agak judes, paling gak suka kalau disuruh-suruh. Sukanya merintah.

Waktu jarinya yang lentik itu menggapai tepi celana pendekku. Langsung aja gw tarik tangannya hingga tubuhnya doyong dan terhuyung, terjatuh ke sofa di samping ibu. Secepat kilat gw tindih tubuhnya, gw sibak roknya dan tangan gw nyelip di antara pahanya dari belakang.

“Kyaa!! gak! GAK! Iwan bajingan kamu!”

Tapi gw gak peduli, gw gosok-gosok kemaluannya dengan cepat. Ibu langsung mencoba mencegahku..

“Iwaaan… jangan gitu sama kakakmu…”

Kaki kakak meronta-ronta, menendang-nendang, sambil tangannya mencoba menepis tanganku yang telah melanggar perbatasannya.

Kesal karena mereka melawan terus, aku bangkit berdiri.

“Baik… kalau kalian begini terus… aku akan…”

Aku diam… lalu aku naik ke lantai atas dan aku masuk ke sebuah kamar.

Gak berapa lama aku tarik keluar kedua keponakanku Nagita dan Murni yang masih duduk di bangku SD.

“Jangan… Wan.. Jangan Wan…” pinta suami kak Rani mencoba menahan kedua anaknya.

“Apaan sih… tadi kalian sudah setuju!”

“Iya… tapi…”

Aku tak peduli aku tarik keponakanku turun ke bawah.

“Masuk lo! Atau lo keluar dari rumah ini” perintah gw ke adik ipar gw itu.

“Wan.. jangan… Wan…”

Gw lihat yang lain pada ngintip dari kamar dari balik pintu kamar mereka masing-masing. Tanpa banyak bicara gw bawa turun kedua keponakan gw ke lantai bawah. Disitu kakak gw nangis.

“Wan… jangan anakku Wan…”

Ibu pun berusaha membujukku, gak kalah histerisnya, “Wan jangan Nagita dan Murni… ibu aja… ayo sini ibu turuti maumu…”

Kedua keponakan gw juga jadi ikut-ikutan mewek manggil-manggil ibunya, “Ibu… ibu…”

Gw cuek aja, dah nafsu mau nyicipi mereka berdua. Tangan gw menyelinap masuk ke dalam rok mereka dan masuk lagi ke dalam CD mereka, Uuhh.. gw bisa ngerasaain kemaluannya mereka yang mngil dan belm berbulu. PInggul mereka bergerak maju mundur saata tangan gw menekan dan menggosok daerah kewanitaan mereka.

“Ibu hu.. huu… hu…” tangis keduanya.

Kakak gw tiba-tiba maju dengan cepat dan mendorong gw sampai gw terjatuh ke belakang. Sementara ibu mengambil keduanya dan memeluk mereka erat-erat.

“Kakak turutin semua mau lo, Wan, hm.. kamu mau apa? mau oral?” tanya kakaku dengan mata berkaaca-kaca dan menggosok-gosok kemaluan gw dari luar celana.

Waktu aku mau bangkit berdiri kakak mendorongku lagi. Sementara itu ibu sudah menyuruh Nagita dan murni naik lagi ke atas. Belum sempat aku bicara, kakak dan ngeluarin penis gw dan mengulum dengan cepat. “Ahh! ahh… ahh!”

Terus ibu mendekati kami, dan menyuruh kakak untuk gantian. Kini wantia yang melahirkanku ini mengulum batangku dengan sangat cepat, dan lebih piawai dari kakak.

“Kamu mau apa lagi, Wan? Mau liat selangkangan kakak?”

Belum menjawab, kakak sudah mengangkangi gw dan mengangkat roknya. Sehingga bisa gw lihat CD mininya yang seolah cuma memnutupi belahan vaginanya saja.

Gw betot CDnya itu dan langsung copot. Gw masukin jari tengahku ke lubangnya. “Iwaaaan…”

Tiba-tiba saja gw berontak, gw dorong kakak ke samping sampai ia agak terjatuh.

“Ini bukan yang aku mau!”

Gw berdiri dan gw tarik ibu ke sofa, gw balikin badannya hingga membelakangiku. Terus langsung gw tusuk dari belakang kemaluannya dan gw entot dengan gaya Doggy style. dengan gemas kuremas kedua dadannya.

Ibu pun mengadah. Entah keenakan atau kesakitan. Soalnya gw gak pake pemanasan lagi.

“Kakak panggil Nagita dan Murni ke bawah. Kalau gak mau, ambil koper kalian dan keluar dari sini.”

Kakak tampak duduk lunglai di lantai, usahanya tidak berhasil, ia terisak-isak.

“Cepetan!”

Kak Rani dengan langkah gontai naik ke lantai atas dan menjemput kedua anaknya turun.

“Jangan lupa pakaikan seragam sekolah mereka!” teriakku.

Beberapa lama kemudian Nagita dan Murni turun lagi sudah lengkap dengan seragam merah putih mereka dan dasi. Kedua keponakanku keheranan saat melihat nenek sudah telanjang dan lubangnya dimasukin penis

“nenek diapain, bu?” tanya nagita.

Kakak tak dapat menjawab keduanya. Ia berjongkok dan memeluk kedua anaknya.

Tahu-tahu ibu memekik, “Ibu keluaar! aaah…”

Kucabut penisku dari lubangnya dan ia jatuh terkulai lemas di sofa. Aku pun turut rebahan di sofa itu dengan penisku sebesar pisang raja mengacung ke atas masih menuntut untuk dipuaskan.

“Ternyata ibu menikmati juga yah… buktinya klimaks,” godaku.

Ibu tidak berkata apa-apa matanya hanya menatap ke bawah.

“Nagita! Murni! Kemari sayang…”

Kakak tetap merangkul keduanya, menahan mereka, tidak mau melepaskan mereka. Aku bangkit dari sofa dan menarik mereka berdua dengan paksa.

“Iwan… Iwan… plis… jangan… jangan anak-anakku…”

“Lepas! lepasin tangan kakak!”

Dengan lemas dan berat hati kakak membiarkanku membawa keduanya ke duduk di sofa. Aku berada di tengah, keduanya di sampingku.

Kupeluk kedua tubuh keponakan yang terasa ringan dan kecil ini

“Gita…”

“Ya om?”

“Pegang penis om yah…”

Nagita memandang batangnku yang tegak menjulang, lalu meringkuk menggeleng.

Kuangkat dagunya dan kutatap matanya.

“Gak apa-apa. Nagita sekarang sudah gede, gak apa-apa kalau pegang penis om…”

Lalu ku kiss bibirnya yang mungil perlahan. Sambil tanganku mengusap-usap dadanya dari luar baju seragamnya dengan telapak tanganku.

Nafasnya perlahan mulai berat.

Kumasukkan tanganku ke dalam rok merahnya. Meraba pahanya perlahan naik ke atas, hingga jariku menyentuh kemaluannya dan kugosok-gosok tepat di belahan bibir vaginanya yang kecil dari luar CDnya.

Keponakan agak kaget dan mencoba menahan tanganku. Alisnya mengernyit.

Pertama ia mencoba menarik tanganku menjauh, tapi lama-kelamaan ia hanya mengikuti saja kemana tanganku bergerak.

“Ku jenjangi lehernya, perlahan naik hingga ke telinganya.

“Ngghhh… om…”

Mungkin dia sudah terangsang tanpa kusuruh lagi, Nagita menggenggam batangku. Tapi itu saja yang ia lakukan, karena ia belum mengerti.

“Gita, kocok batang om ya…”

“Gimana caranya om?” Tanyanya pelan.

“Gini…”

Lalu kubimbing tangannya naik turun mengurut penisku. Uuh enak sekali rasanya saat jemari yang kecil-kecil itu mengocok batangku. Aku jadi bergairah.

Aku mencoba membuka CD-nya Nagita. Tapi Nagita mencegahnya.

“Malu omm…” ucapnya sambil menggeleng.

“Gak apa-apa sayang…”

Nagita lalu mengangkat pantatnya agar aku bisa meloloskan CDnya, tapi hanya kuturunkan setengah paha.

Kemudian aku berlaih ke Murni.

“Murni juga buka ya… kolornya kayak kak Gita.”

Murni masih polos, jadi ia mengangguk saja. Maka kutarik CD-nya tapi sama seperti Nagita hanya setengah turun…

“Murni… masukin penis om ke mulut ya…” kataku sambil memberikan contoh dengan jariku.

Ia tampak ragu sebentar, lalu ia lakukan juga. Batangku yang besar, memaksanya harus membuka mulutnya lebar dan akhirnya terbenamlah ujung batangku di dalam mulut Murni yang mungil, walau hanya ujungnya. Sebab ada tangan Nagita yang sedang mengocokku.

“Ahhhh…” lenguhku.

“Ibu…” panggilku.

“Apa lagi, Wan?”

“Jilat vaginanya Nagita…”

Ibu mengernyit, “Iwaan…”

“Kakak juga, jilat itunya Murni…”

“Iwan… tega kamu… berbuat ini ke kakak…”

“Ayolah cepat…” pintaku yang sedang dilanda kenikmatan diservice oleh keponakanku.

Ibu dan kakak mengambil posisi berlutut di lantai dan mulailah mereka menjilati kemaluan Nagita dan Murni.

Gak berapa lama, bisa kulihat, mereka berdua merasakan kenikmatan di daerah bawah perut mereka. Kocokan Nagita menjadi agak cepat dan menyentak, sementara Murni, melenguh-lenguh tertahan.

Bisa kulihat dari posisiku, lidah ibu menyapu-nyapu dengan cepat klitnya Nagita, sementara kakak, lebih menenggelamkan daging tak bertulangnya di dalam kemaluan Murni dan bergerak-gerak disana.

Tidak berapa lama, mungkin karena Nagita masih baru, akhirnya ia mencapai klimaks. Tubuhnya mengejang beberapa kali.

“Duh.. apa yang terjadi om…“i

“Itu namanya orgasme, Git… enak kan…”

Ibu tampak merasa bersalah dengan apa yang sudah ia lakukan kepada cucunya.

“Kakak dan Murni, pelukan gih di sofa…” perintahku.

“Pelukan gimana?”

“Kakak nyandar di ujunga sofa, sambil pelukan dengan Murni…”

“Kamu memang mau apa…”

“Dah lakukan saja… jangan banyak tanya…”

Kakak menuruti peritnahku. Saat Murni berada di atas, kutarik lepas CDnya, kusibak rok merahnya ke atas pantat. Dapat kulihat pantat kecl dan gundukan yang merekah di bawahnya. Kuelus-elus daerah kemaluan Murni yang sudah terasa Jari tengahku, terasa tenggelam di belahan vaginanya. “Aahh… om… ahhh…

Sebelum akhirnya kumasukkan jari itu ke lubangnya yang segera menjepitnya dengna kuat.

“Ngghh ahahh… ahhh…”

Kakakku hanya memperhatikan raut wajah anaknya yang meraskan nikmat dengan prihatin.

“Iwan… kamu gak akan…”

“Gak akan apa he?” tanyaku seraya mulai mengusap-usapkan ujung pensiku ke kemaluan Murni.

“Iwan… kamu punya terlalu gedee…”

Saat kumulai memasukkan batangku ke dalam, Murni menangis… Huu… hu… hu…

“Sakit om…”

“Tahan ya, Murni…”

“Cup.. nak.. cup.. tahan dikit yah nak.. ya…” hibur kakakku sambil mengelus rambut Murni yang panjang dan terhias jepitan pita putih kupu2.

Benar-benar sulit masuk ke lubangnya Murni padahal sudah becek, maklumlah.

Kukeluar masukkan sedikit demi sedikit menerobos masuk.

“Huu.. hu… udah om… sakit…”

Kupegang pinggang murni, dan aku pun mulai memompanya di depan ibunya. Penisku tiak bisa masuk penuh. Paling hanya sepermpatnya saja.

“Sakit ibu…” tangis Murni… Kakak cuma bisa turut menangis bersama anaknya, “sabar yah nak…” Kakak memeluk Murni di dadanya.

“Oh.. oh.. oh yah… ahh ahh…” lenguhku keenakan.

Sekonyong-konyong Nagita berjalan mendekati adiknya dan berlutut, “Sakit yag dek? Kakak bantu yah.”

Murni hanya menatap kakaknya. Lalu Nagita menjilat-jilat leher adiknya dan menicumi telinganya. Aku rada heran juga ia melakukan itu, mungkin itu yang tadi ia pelajari dariku barusan.

Dan mungkin ia sebenarnya hanya ingin menolong adiknya saja dan memang berhasil meski mata Murni masih berkaca-kaca, ia tidak lagi menangis. Tapi dia terus melirik ke arah selangkanganku yang keluar masuk di lubang adiknya.

“Om…” panggil Nagita.

“Apa sayang?”

Nagita menghampiriku lalu menarik lenganku.

“Kemari om…”

Ia tarik berulang kali, sampai akhirnya penisku lepas dari kemaluan Mruni. Ia bawa aku ke sofa lainnya. Kemudian dia duduk.

“Emang enak yah om diginiin?”

Nagita mengocok batangku dan memasukkan ujungnya ke mulutnya. Kedua bola matanya tampak memperhatikanku dengan seksama.

“Uuuhh… yah… enak…”

Rupanya dia mengombinasikan apa yang dilakukan adiknya dan dirinya tadi. Nagita memang terkenal sebagai anak yang pintar di sekolah. Ia memiliki kecepatan dalam menangkap pelajaran.

Terus ia coba percepat gerakan tangannya.

“Ah… ah… ah. ah.. ahh.. ah…”

Terus ia pelanin lagi.

Tiba-tiba ia kocok batangnya dengan sangat cepat dan sekuat tenaga.

“Aw.. aw.. awh.. sakit, Gita…!”

“Maaf om, Gita gak tahu…”

“Ya.. gapapa..”

“Om… jilatin ininya Gita donk kayak nenek… enak om tadi…”

Ternyata Nagita ketagihan setelah merasakan kenimaktan seks pertamanya.

“Om kasih yang lebih enak lagi yah.”

NAgita melirik ke arah adiknya.

“Yang kayak Murni yah?”

“Iya..”

“Keliatannya sakit om.”

“Dikit, pertamanya aja… buktinya nenek suka tadi om gituin. Sampe klimaks kayak yang tadi Nagita rasain.”

“Ya udah GIta mau om…”

Kurebahkan keponakanku di atas sofa yang empuk. Kulebarkan dan kugantungkan kedua kakiny di pundakku. Penis pisang rajaku pun bersiap di ujung gua senggamanya. Kugosok-gosok dulu lubang Nagita yang belahannya masih kecil itu, sampai mulai basah, baru kutekan masuk dikit.

Nagita langsung menutup mulutnya. Matanya memejam saat kusodok perlahan, sedikit demi sedikit masuk ke dalam lubagnnya yang luar biasa sempitnya. Sebentar saja dapat kurasakan selaput daranya terkoyak oleh batangku.

Air mata tampak berlinang dari samping kelopak matanya.

Sebelum kemudian ia mulai mencengkram sofa, dan berkata, “Enak om… dah mulai enak…”

“Gita mau kalau om giniin tiap ari?”

”… mau om…”

Aku hanya tersyenyum dan membayangkan hari-hari indahku menjadi tulang punggung keluarga ini

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan