1 November 2020
Penulis — thealfonso
Setelah kematian putriku dalam kecelakaan lalu lintas, aku sangat bersedih. Suami putriku yakni menantuku juga sangat sedih. Dia tak mau meninggalkan rumah.
Alasannya, siapa yang mengasuh anak mereka yang masih berusia 1 tahun sementara keluarganya nun jauh di Kalimantan? Akhirnya, menantuku Hasan tinggal bersama dengan kami. Sebagai putri bungsu yang meninggal, tentu tiga anakku yang lain sudah berumah tangga semua sudah berpisah dari kami.
Tinggallah aku, suamiku dan menantuku serta cucu yang ditinggal pergi oleh putriku. Kami sudah membujuk Hasan untuk menikah lagi dan kami mengikhlaskan agar dia menikah lagi agar ada yang mengasuh anak mereka. Tapi menantuku Hasan mengatakan, dia takut, kalau ibu tiri nanti anaknya akan tersia-siakan.
Dia bersedia menduda sampai anaknya SMP dan sudah bisa dimasukkan ke asrama untuk sekolah dan sekali dalam seminggu bisa dijemput dari asrama sekolah. Kami pun senang mendengarnya, karena dia menantu yang setia dan sayang pada anaknya, yakni cucu kami. Terlebih suamiku sangat sayang pada cucu kami. Semakin lama menantuku tinggal di rumah kami, aku sendiri tak mengerti entah setan mana yang membuatku jadi tertarik padanya.
Tubuhku yang mungil, kecil mampu melahirkan anak-anak yang sedikit lebih tinggi dariku, karena mereka mengikuti gen papanya. Tapi menantuku Hasan jauh lebih tinggi dari suamiku. Aku juga kasihan melihatnya yang selalu termenanung dan menyibukkan diri dengan pekerjaan agar dia bis amelupakan almarhumah putri kami Saya dan suami akhirnya menyayangi Hasan seperti anak kandung kami sendiri, terlebih sikap sopan santun Hasan yang begitu baik dan lemah lembut, baik dalam bertutur kata maupun bersikap. Saat suamiku memeriksa perkebunan sawitnya, dia biasanya pergi dua hari dalam dua minggu sekali. Saat itu, Hasan olahraga di pekarangan rumah kami yang dipagar tembok tinggi. Dia membuka pakaiannya dan memakai celana pendek yang ketat. Biasa dia melakukan itu, tapi selama ini tidak membuat getaran dalam hatiku. Kali ini, ketika aku meletakkan air putih di meja kecil dekat taman, aku melihat semua oitot-ototnya dan aroma keringatnya membuat diriku jadi bernafsu.
Hasan pun melap tubuhnya dengan handuk sampai bersih. “Bentuk tubuhmu baguis sekali San,” kataku memuji, karena memang benar demikian. Hasan tersenyum.
“Mama juga cantik,” katanya memujiku pula dan membuat aku merasa melambung tinggi. Aku merasa pujiannya sangat benar, karena aku baru saja luluran dan merawat wajahny dan tubuhku di saloon. Kai duduk di taman sementara baby sitter menjaga cucu kami dan bermain di lantai atas.
Sebentar-sebentar dengan nakal matanya meliirik ke pahaku dan sesekali ke dadaku. Aku jadi risih sebenarnya, tapi lirikannya entah kenapa membuatku senang dan banga. Aku yakin dia sedang mengagumi tubuhku. Sementara suamiku tidak pernah lagi mengagumi tubuhku, sementara aku begitu menjaga kebudatran tubuhku walaupun usiaku sudah 51 tahun. Aku semakin yakin, saat aku melihat ke selangkangannya, jelas terlihat olehku ada benjolan besar. Aku yakin dia sedang ereksi. Aku semakin bangga, karena Hasan bisa ereksi karean tubuhku yang masih cantik dan seksi. Aku pun tersenyum. Eh.. taunya Hasan juga tersenyum menatapku.
“Mama masih tetap cantik,” katanya.
“Ah kamu ini ada-ada saja. Kan mama sudah tua,” kataku.
“Tapi mama tetap cantik. Andaikan mama bukan mertuaku, akyu masih mau menikahi mama, katanya dengan penuh santun. Dadaku bergetar mendengar ucapannya. “Ah… kamu…” kataku seperti mengatakan pada diriku sendiri.