1 November 2020
Penulis — jrjoker
“The Amazing Mbak Ana part III”
“Ayo mbak,” aku sudah siap di atas motor.
Mbak Ana memboncengku. Sepanjang jalan kami hanya diam. Aku tersenyum masih terbayang urutan Mbak Ana. Aku tidak tahu apa yang Mbak Ana pikirkan dalam diamnya.
Senin. Hari yang ku tunggu-tunggu tiba, nanti malam Mbak Ana akan kembali mengurutku. Aku jadi tidak konsen bekerja, ingin segera pulang. Berputar-putar di kepalaku rasa penasaran. Penasaran dengan apa yang Mbak Ana rasa dan pikirkan waktu mengurutku dan penasaran mencari cara bagaimana cara mempengaruhi Mbak Ana karena aku juga ingin melihat, membuatnya terangsang hingga orgasme.
Sore hari aku telah menyelesaikan seluruh pekerjaanku. Yup beres semua, aku segera mengemas barang-barangku dan bergegas pulang. Tepat jam setengah enam aku meluncur ke rumah. Di luar mendung sepertinya akan hujan dan benar saja baru separuh perjalanan air mulai menetes dari langit, gerimis.
Sampai rumah aku buru-buru mandi, badanku basah oleh air hujan. Selesai mandi badan jadi segar apalagi sebentar lagi akan diurut Mbak Ana jadi tambah semangat. Rasa capek akibat seharian bekerja sirna sudah. Tepat setelah aku mengenakan baju terdengar ketukan pintu. Mbak Ana pikirku semangat bergegas menuju pintu.
“Masuk mbak,” ku bukakan pintu dan mempersilahkannya masuk.
Dia datang berjalan kaki dengan payung yang sudah usang dan reyot. Sebagian kaosnya basah terkena air hujan. Aku tadi sempat berpikir mungkin Mbak Ana tidak akan datang karena hujan atau mungkin mengurungkan niatnya untuk kembali mengurutku. Aku sedikit kecewa dengan pakaian yang dia kenakan petang ini.
Mbak Ana mengenakan kaos yang agak kebesaran, bergambar salah satu produk rokok. Warna merah kaosnya sudah pudar. Yang membuatku kecewa adalah Mbak Ana mengenakan celana pendek, ahh ini akan menghambat aktivitas tanganku di area pahanya. Padahal aku membayangkan akan kembali mengajak jemariku menari-nari dipangkuannya seperti sebelumnya.
Aku ajak Mbak Ana masuk ke ruang tengah. “Sudah makan mbak?”
“Sudah mas,” Mbak Ana sedikit menggigil kedinginan karena air hujan.
“Aku makan dulu bentar ya mbak.”
“Oh iya mas tidak pa pa.”
Aku menuju dapur mengambil piring. Ketika pulang tadi aku mampir beli makan, aku sudah memperkirakan mungkin Mbak Ana tidak mau aku tawarin makan atau memang dia sudah makan jadi aku membelikan camilan saja untuknya.
“Mbak ini ada pisang goreng masih anget, lumayan biar enggak kedinginan.” aku menyodorkan pisang goreng yang tadi aku beli. Ku taruh di meja kecil di samping tempat Mbak Ana duduk.
“Iya terima kasih mas,” dia mengambil satu, dan melahapnya.
Aku mengajaknya mengobrol sambil melahap makan malamku. Cepat saja aku sudah menyelesaikan makan malamku.
“Yuk mbak mulai, keburu malam,” aku berjalan menuju kamar diikuti Mbak Ana.
Karena di luar gerimis suhu di kamarku jadi dingin sekali. Mbak Ana mengusap lengannya, kedinginan ketika masuk kamarku. Aku meraih remote AC dan menaikan suhunya biar tidak terlalu dingin. Hanbody lotion sudah aku siapkan di atas ranjang.
“Mbak celanaku di buka sekalian aja ya, biar gak kena lotion,” aku langsung meurunkan boxerku tanpa menunggu jawabannya. Mbak Ana juga tidak menjawab hanya diam saja sambil meraih lotion.
Aku membaringkan tubuhku diranjang. Mbak Ana duduk di sampingku dan segera mengurutku. Mbak Ana melakukannya sama dengan sebelumnya. Ketika urutan Mbak Ana sudah sampai penisku aku pura-pura mengerang dan mengarahkan tanganku ke pahanya. Memang nikmat sih tetapi aku sedikit overacting agar terkesan pendaratan tanganku ke pahanya terlihat natural hehehee.
Well… kali ini aku memang tidak bisa merasakan halusnya kulit paha Mbak Ana. Dengan celana pendek yang dia pakai, dalam posisi duduk, tidak memberikan celah sedikitpun untuk tanganku dapat masuk ke dalam. Tapi aku aku tidak kehabisan akal, aku tetap mengusap-usap paha Mbak Ana dari luar celananya, menggeser sedikit tanganku ke sisi dalam pahanya dan meluncur menuju pangkal pahanya.
Prosesi urut yang dilakukan Mbak Ana sama persis. Pada sesi kedua aku berusaha mati-matian supaya aku tidak cepat keluar hingga Mbak Ana mengocok penisku dengan RPM tinggi. Bukannya keluar tapi penisku malah jadi sedikit perih dengan kocokan Mbak Ana yang brutal.
“ahh… ahh…” Mbak Ana terengah setelah akhirnya berhasil meledakan penisku.
Aku? lebih-lebih lagi “ahhh… ahh… makasih mbak.” aku berterima kasih karena sudah diberikan kenikmatan yang luar biasa.
“ahh… ah…” Mbak Ana masih mengatur nafas, “Mas Richie nakal banget sih… kan mbak sudah bilang jangan ditahan,” Mbak Ana sedikit cemberut karena kesusahan mengeluarkan spermaku.
“Ha.. habisnya.. enak banget mbak,” aku ngomong apa adanya, “bener-bener enak banget mbak.”
Mbak Ana diam saja, masih agak cemberut. Dia membersihkan ceceran spermaku. Ada sebagian spermaku mengenai celananya. Aku baru sadar tanganku masih berada di paha Mbak Ana, diam, aku tidak berani menggerakkannya. Mbak Ana duduk bersimpuh dengan tangaku di tengahnya. Jariku sudah menyentuh pangkal paha Mbak Ana.
Mbak Ana selesai melap sisa sperma di penis dan perutku, dia beralih membersihkan celananya.
“Duhh… mbak maaf kena celana juga. Jadi basah ya mbak,” sambil berkata seperti itu aku mengelus dan sedikit menekan pangkal paha Mbak Ana, sepertinya jariku menyentuh memeknya dari luar, “sampai sini basah juga mbak.”
“Arrhh… mass!!” Mbak Ana kaget dan melenguh, dengan cepat dia menarik tanganku.
“Ehh.. kenapa mbak?? maaf.. maaaff,” aku pura-pura tidak tahu apa yang aku lakukan, hehehe aku tersenyum dalam hati berhasil mengusili Mbak Ana.
Mbak Ana diam lalu segera keluar setelah selesai membersihkan celananya. Aku bangun mengenakan pakaianku, bersiap mengantar Mbak Ana pulang. Diperjalanan kami tidak banyak bicara. Aku hanya memastikan lusa dia akan kembali mengurutku. “Iya mas,” Mbak Ana hanya menjawab pendek.
Seperti biasa ketika hari pengurutan tiba aku selalu antusias hehehe. Tapi kali ini aku dibuat kecewa, Mbak Ana tidak datang. Aku menjadi berpikir, jangan-jangan aku bertindak terlalu jauh. Damn!
Semalaman aku jadi susah tidur, karena kecewa dan sedikit khawatir Mbak Ana marah padaku.
Karena banyaknya pekerjaan, keesokan harinya, aku tidak terlalu memikirkan Mbak Ana. Malamnya badanku terasa lesu dan lelah sekali. Pekerjaan hari ini sungguh menguras tenaga dan pikiran. Setelah mandi aku membaringkan badan di tempat tidur, suhu AC aku set cukup sejuk.
Tok tok tok. Aku mendengar suara pintu diketuk. Dengan malas aku berjalan ke luar kamar untuk membukakan pintu.
“Eh Mbak Ana,” aku kaget ternyata yang datang ke rumah adalah Mbak Ana.
“Iya Mas,” Mbak Ana menjawab, “hari ini mau diurut lagi mas?”
Deg! Aku masih tertegun dengan kedatangan Mbak Ana. “bo.. boleh mbak,” aku jadi salah tingkah, “ayo masuk mbak.”
Detak jantungku meningkat dan tanganku sedikit dingin. Perasaanku campur aduk antara kaget dan antusias. Aku segera mengarahkan Mbak Ana ke kamar, aku jalan duluan diikuti olehnya. Tanpa banyak bicara setelah sampai kamar aku langsung menyiapkan posisi, Mbak Ana duduk disampingku dan mulai memijat. Aku tidak menanyakan kenapa Mbak Ana kemarin tidak datang dan dia juga tidak membahasnya.
Mbak Ana tidak banyak bicara, aku juga hanya diam menikmati pijatannya. Meski diam, Mbak Ana tidak terlihat marah padaku, jadi aku juga tidak mau merusak suasana dengan menanyakannya, kehadirannya malam ini yang tidak terduga sudah cukup membuatku bahagia. Semakin membuatku senang, malam ini dia memakai daster.
Prosesi urut terus berlanjut, aku sudah berhasil mendaratkan tanganku di paha Mbak Ana. Langsung menyentuh kulitnya, menelusup dibalik daster Mbak Ana.
“Ahhhhhh mbaakkk…” aku mencapai orgasmeku yg pertama, tanganku kutekan masuk semakin ke dalam dan meremas paha Mbak Ana. Mbak Ana menekan batang penisku untuk menahan spermaku.
Setelah gelombang orgasmeku mereda Mbak Ana melepaskan jarinya dari penisku. Dia mengangkat tangannya mengusap keringat di wajahnya. Tanganku masih di dalam pahanya, aku merasakan kelembabpan di dalamnya. Mbak Ana melanjutkan mengurutku, aku melanjutkan mengusap pahanya. Ku geser tanganku ke sisi dalam, dengan sedikit tekanan ujung jariku sudah mengenai celana dalamnya.
“Ahh..” aku mendesah Mbak Ana sudah mulai mengurut penisku. Kurasakan celana dalam Mbak Ana sudah basah, aku meningkatkan kecepatan usapanku di memeknya. Ini sudah tidak terlihat natural lagi, jelas-jelas aku sedang merangsangya. Aku menekan-nekan jariku mencoba menemukan belahan memeknya meski masih dari luar celana dalamnya.
“Ahh.. ahh.. ahh…” meski pelan aku bisa mendengar desahan Mbak Ana.
Ku arahkan padanganku ke Mbak Ana, dia mengurut penisku sambil menunduk tapi aku bisa melihat raut mukanya yg memerah menahan rangsangan. Berhasil! Aku berteriak dalam hati.
Penisku sudah sangat tegang. Aliran sperma sepertinya sudah sulit untuk dibendung, namun aku masih bisa menahannya untuk tidak meledak karena urutan Mbak Ana mulai tidak konstan, kadang cepat, kadang lambat tapi kalo dia meneruskannya tidak akan lama sampai spermaku meledak.
Aku fokus mengatur nafasku untuk menahan klimaksku sembari meneruskan usapanku di memek Mbak Ana.
“Ahh… aghh… aghh…” desehan Mbak Ana semakin jelas.
Tanpa ku duga Mbak Ana mengambrukan tubuhnya di dadaku. Nafasnya tersengal, samar aku bisa merasakan jantungnya berdetak kencang. Meskipun tangaku menjadi tertahan oleh badannya tapi jariku masih dapat menggesek-gesek memeknya. Mbak Ana sudah tidak dapat menahan nafsunya. Kendali ditangaku!
“Aghh.. aghh…” nafasnya berat, “Mas… Richie… kok nakal sih…”
“Jangan dong mas…” Mbak Ana berbicara dengan nafas yang tidak karuan, “mbak jadi gak bisa ngurut ini.”
Meskipun berkata seperti itu tapi dia tidak menyingkirkan tanganku. Mbak Ana tersungkur lemah di atasku.
“Iya mbak… aku selesai dulu ya biar mbak bisa ngurut lagi.”
Mbak Ana tidak menjawab, hanya desahan yang ku dengar.
Tanpa melepas tangaku dari memeknya aku sedikit mengangkat badannya untuk aku baringkan disampingku. Begitu sudah kubaringkan Mbak Ana mengangkat tangan kanannya dan menutup mukanya dengan lengangnya. Nafasnya semakin memburu. Pergerakanku jadi semakin mudah.
Aku duduk di samping kanannya, sekarang posisi kami terbalik, aku yang akan mengurut Mbak Ana. Aku sibakkan dasternya ke atas hingga kini aku bisa melihat celana dalamnya dengan jelas. Tidak ada perlawanan.
Tampak bagian tengah celana dalam Mbak Ana sudah sangat basah. Begitu jelas karena celana dalamnya tipis dan sudah usang. Ada beberapa lubang dibagian pinggangnya. Bulu kemaluan Mbak Ana sepertinya cukup lebat karena beberapa terlihat mencuat dari samping celana dalamnya. Aku mengesek-gesek memeknya dari luar semakin kencang.
“ahh… aahh…” Mbak Ana tak berhenti mendesah.
Aku menyelipkan jariku dari samping celana dalamnya, langsung jariku menyentuh bulu kemaluannya yang lebat. Tangaku merayap mencari belahan memeknya. Kini aku bisa merasakan langsung memeknya yang sudah dibasahi dengan cairan cinta. Ujung jari tengahku menyusup lubang memeknya mencari klirotisnya.
“Arggghh… maaass…” Mbak Ana melenguh agak keras ketika jariku menyentuh dan kemudian menggesek klentitnya. Jariku basah sepeuhnya oleh cairan memek Mbak Ana.
Ku usap dengan lembut klirotisnya. Setelah beberapa saat kususupkan jariku masuk ke lubang memeknya lebih dalam.
“Ahh.. ahh… ahhh”
Karena pergerakan tanganku terganggu oleh celana dalam aku menariknya lepas dan tentu saja tidak akan ada perlawanan.
Lubang memek Mbak Ana masih terasa cukup ketat, aku menggerakan jariku keluar masuk. Setiap gesekan kupastikan mengenai klirotisnya. Selagi tangan kananku sibuk dengan memeknya, tangan kiriku menyusup melalui bawah daster menuju payudaranya.
“Aghhh…” Mbak Ana kaget dengan remasan tanganku di dadanya. Tangan kirinya menangkap tanganku tapi tidak menariknya. Ku usap dan remas payudaranya dari balik branya. Ku angkat dasternya semakin ke atas sehingga aku bisa melihat langsung payudaranya. Meskipun disangga oleh bra, yang sudah lawas, tidak dapat menyembunyikan bahwa payudara Mbak Ana sudah kendor.
Karena bra yang dikenakan Mbak Ana agak kedodoran, dengan mudah aku bisa mengeluarkan payudaranya dari cup branya. Yahh meskipun sudah mengendor tidak menurunkan minatku untuk terus bermain dengan tetek Mbak Ana hehehe. Aku mengusap dan meremas payudara Mbak Ana tapi menghindari menyentuh putingnya, sengaja aku lakukan untuk membangkitkan rasa penasarannya.
Putingnya terlihat mengacung menghiasi payudaranya yang menggelambir. Kutaksir ukuran payudara Mbak Ana adalah 32 A. Yup memang tidak terlalu besar. Apa yang kalian harapkan dari wanita yang tidak punya kesempatan untuk merawat dirinya? Tubuh Mbak Ana memang jauh dari sempurna, tetapi tetap memiliki daya tarik tersendiri.
“Aghh… ahh… ahh.” Mbak Ana mendesah semakin keras, nafasnya sudah sangat memburu. Kurasakan denyutan-denyutan memeknya dijariku. Sepertinya Mbak Ana medekati orgasmenya. Pergerakan jariku di memeknya semakin ku percepat.
“Crepp… crepp… cepp.” Memeknya semakin basah, cairan meleleh keluar dari lubangnya.
Tanpa diketahui Mbak Ana ku dekatkan kepalaku ke payudaranya. Dengan tiba-tiba ku kulum dan ku jilati putingya.
“Argghh… mass.. Rii.. chiie.. eghhh.”
Terus ku kulum dan ku jilati puting dan payudara Mbak Ana. Terus ku kocok semakin cepat memeknya.
Tidak lama Mbak Ana mengejang.
“Maaaaaaass… Arrrggggghhhhhh!” badannya membusung ke atas, pahanya mengapit tanganku, tangan kananya meremas bantal, dan tangan kirinya menekan dan meramas kepalaku tapi aku tak menghentikan jilatan dan kocokanku. Ledakan kepuasan melanda Mbak Ana. Tubuhnya mengejang berulang-ulang. “arghh… ahhh…
Ketika gelombang orgasmenya sudah mereda kuangkat kepalaku dari payudaranya. Perlahan kutarik jariku dari memeknya, jariku sangat basah, kuhirup jariku, aroma memek Mbak Ana sungguh nikmat. Karena fokus memuaskan Mbak Ana aku lupa kalo penisku masih tegang dan belum terpuaskan dengan tuntas hehehe.
Kutatap Mbak Ana. “Ahh… ah…” dia mulai mengendalikan nafasnya. Matanya masih terpejam tapi tangannya sudah diturunkan dari mukanya.
Ini baru permulaan, aku menyeringai, nafsu sepenuhnya sudah menguasaiku. Aku harus segera bertindak sebelum Mbak Ana bisa mengendalikan dirinya. Aku berbaring di samping Mbak Ana dan memeluknya. Tubuh Mbak Ana sedikit bergidik, kaget dengan pelukanku. Tanganku mengusap dari perut ke dadanya dan kuusap dengan lembut pipinya.
Ku raih tangan Mbak Ana dan ku arahkan ke penisku.
“Ayo mbak diurut dong.”
Tangannya menggenggam penisku dan mulai mengelus pelan. Kumiringkan sedikit muka Mbak Ana, dia masih memejamkan matannya. Ku arahkan mulutku ke mulutnya, kulumat bibir Mbak Ana. Mbak Ana kaget, dia membuka mata, berusaha memalingkan mukanya tapi aku menahannya. Meski Mbak Ana sepertinya menolak untuk ku cium tapi aku terus melumat bibirnya, dengan lidahku aku berusaha membuka mulutnya.
Tanganku merayap menyerang dadanya, kembali aku remas payudaranya dan ku pilin-pilin putingnya. Mbak Ana menurunkan perlawanannya. Ketika mulutnya sedikit terbuka langsung kususupkan lidahku. Aroma mulutnya menjalar ke rongga mulutku, aku hisap dan lumat mulutnya, aku mainkan lidahku menyentuh lidahnya.
“Mbak jangan berhenti dong.” Dia berhenti mengelus penisku karena ciumanku yang tiba-tiba. Kembali dia menggerakan tangannya.
“Ahh… terus mbak… enak…”
Kami masih saling menikmati bibir satu sama lain, lidah kami saling membelai. Tanganku merayap turun ke memeknya. Kembali jemariku bermain di klirotis dan lubang memeknya.
“Argghhh…” Mbak Ana menggelinjang. Aku terus merangsangnya tanpa henti, aku tidak mau Mbak Ana tersadar dan mengubah pikirannya jika rangsangannya mereda. Aku memegang kendali sepenuhnya.
“Cpeekk… cekk… cekk” bunyi jariku dimemeknya yang basah menggema di seluruh sudut kamarku. Mbak Ana mengkombinasikan kocokan dan elusan di penisku. Tanpa disadari tangannya yang satu telah memeluku, kami berusaha saling memuaskan satu sama lain.
“Aghhh… ahhh… ahh… mass…” desahan Mbak Ana semakin keras dan cepat. Aku merasakan kedutan-kedutan di memeknya. Sepertinya dia akan segera mencapai orgasmenya. Sebenarnya aku pun juga sudah mulai merasakan klimaksku tapi aku tidak mau selesai di sini. Aku menunggu waktu yang tepat untuk menghentikannya.
“Maaass… agghh…” hanya beberapa saat sebelum orgasmenya aku menarik jariku dari memeknya. Mbak Ana mengangkat pantatnya tidak mau melepaskan jariku tetapi jariku telah meninggalkan memeknya. Aku tahu dia kecewa dan memang itu yang aku harapkan.
Aku melepaskan kulumanku dari mulutnya. Dengan cepat aku raih kondom yang biasa aku simpan di samping tempat tidur dan segera memakainya sebelum Mbak Ana menyadari. Bagai manapun aku tidak mau terjun bebas.
Aku tarik kedua tangannya pelan dan aku letakkan di samping kepalanya, aku tahan tangannya namun tidak terlalu kuat. Aku mengangkat badanku menindih Mbak Ana, dia membuka matanya. Aku kulum bibirnya sebentar, dan menggeser mulutku ke arah telinganya, aku jilati dengan lembut telinganya. Aku arahkan penisku ke memeknya, aku usapkan kepala penisku ke memeknya.
“Ahh… jaa.. ngann mass…” Dia kembali menolaknya namun tidak melakukan perlawanan sama sekali.
“Bantuin aku ya mbak, sebentar aja.” aku berbisik pelan di telinganya. Aku lumat telinganya kemudian turun ke arah payudaranya, kujilati dengan gemas putingnya.
“Shhhh… aahh” desahan terus keluar dari mulutnya.
“Ahhh… enak banget memek Mbak Ana” Aku terus memainkan kepala penisku di lubang memeknya, ujung penisku sudah penuh dengan cairan memeknya. Aku menggesek dan terkadang memasukan ujung penisku ke memeknya dengan ritme yang random. Aku ingin Mbak Ana tetap bernafsu tapi aku ingin sedikit menurunkan rangsangan di memeknya sebelum ku amblaskan penisku di sana.
Setelah ku rasa pas, perlahan mulai kumasukan penisku ke memeknya. Aku masukan, aku tarik lagi, perlahan semakin dalam.
“Aghh… ahhh…” Desahan Mbak Ana lebih keras setiap aku tusukan penisku.
“Ahh… Mbak.. enak banget kontolku.” Aku sengaja bicara vulgar untuk memancing nafsu Mbak Ana. Ketika penisku sudah seluruhnya masuk ke memeknya aku diamkan beberapa saat.
“Ahh… ahh…” Hanya ada suara desahan nafas kami berdua. Aku lepaskan pegangan tanganku dari tangannya. Aku peluk Mbak Ana dan melumat bibirnya.
Setelah beberapa saat aku mulai menggoyangkan pinggulku. Ku lakukan dengan pelan dan kemudian menaikan temponya berlahan. Seiring dengan bertambahnya tempo Mbak Ana juga mulai memainkan pinggulnya mengikuti iramaku.
“Ahhh… aghh… mass… aghh.” Mbak Ana tak mengucapkan sepatah katapun dia hanya terus mendesah.
Entah apakah karena tadi aku menghentikan rangsangan ketika dia hampir orgasme, sekarang belum ada tanda-tanda dia akan mencapai klimaks tapi memang terlihat setiap saat Mbak Ana semakin bernafsu.
Aku memeluk Mbak Ana dan menggulingkan badanku tanpa menarik penisku dari memeknya sehingga kini dia berada di atasku. Mbak Ana membuka matanya menatapku.
“Gantian ya mbak.”
Mbak Ana tidak menjawab tapi mulai menggerakan pinggulnya.
“Teruss… mbak… ahh.” Memek Mbak Ana memang nikmat sekali. Memang memeknya sudah tidak sekencang punya istriku tapi cengkeramanya terasa pas di penisku. Dia mempercepat kocokan memeknya di penisku. Tangannya diletakkan di dadaku dan kemudian dia sedikit mengangkat badannya. Payudaranya yang menggelantung langsung menarik perhatianku.
“Arrghh… arghh…” Mbak Ana mendesah dan bergerak liar di atasku. Aku semakin terangsang melihatnya. Ternyata Mbak Ana bisa seliar ini kalo sedang bercinta, aku tersenyum sayu memandangnya. Dia memalingkan mukanya.
Sebenernya aku melakukan kesalahan dengan meminta Mbak Ana di atas sekarang ini. Penisku telah menerima rangsangan cukup lama dan Mbak Ana pegang kendali ritme permainan. Aku tidak bisa menahan lebih lama lagi. Aku di ujung tanduk.
“Teruss Mbak… jangan berhenti… kencengan.” Dan gilanya Mbak Ana memenuhi semua ucapanku, dia menggoyangkan pinggulnya semakain cepat. Aku merasakan kedutan-kedutan di memeknya sepertinya dia juga akan segera orgasme. Tapi dengan gerakannya yang seliar itu pertahananku hancur dibuatnya.
“ARRGHHHHH… Mbak ANNAAA… keluaaarr!!” aku menghujamkan penisku dalam ke memeknya. Letupan dahsyat air mani keluar dari penisku. Payudaranya aku remas kuat-kuat. Mbak Ana sama sekali tidak menghentikan kocokan memeknya.
Nikmat yang sangat luar biasa aku alami. Ingin rasanya aku berteriak sekeras-kerasnya.
“Aghhh… aghh…” Mbak Ana mengerang sangat liar sedang berusaha mengejar klimaksnya. Tapi sebelum Mbak Ana mencapai klimaks penisku sudah mulai melemah. Dia sepertinya menyadari dan memelankan gerakannya. Kulihat mukanya sungguh kecewa, tapi aku senang sekali melihat raut mukanya saat itu. Sexy. Sangat sexy.
Mbak Ana menarik pingganya sehingga penisku lepas dari memeknya. Entah apa yang akan dilakukannya tapi aku segera menarik badannya jatuh ke tubuhku aku memeluknya.
“Terima kasih ya mbak… enak banget” aku berbicara pelan di telinganya.
“Istirahat bentar ya mbak… habis ini giliran Mbak Ana.” Kemudian aku kecup bibirnya dan aku gulingkan Mbak Ana disebelahku. Aku buka kondomku yang penuh dengan sperma, mengikatnya, dan aku lempar di samping tempat tidur.
Mbak Ana hanya diam saja memandang ke langit-langit. Nafasnya masih terengah-engah. Aku ragu apakah dia ingin melanjutkan permainan ini atau tidak.
Aku kembali berbaring di sampingya. Kupeluk dan kukecup pipinya, dia memejamkan mata. Sebenernya aku sudah puas karena baru saja orgasme tapi aku harus menyelesaikan apa yang telah aku perbuat. Aku bangkit dan duduk di antara paha Mbak Ana, aku tundukkan kepalaku dan mulai melumat memeknya. Tidak ada respon dari Mbak Ana, apakah nafsunya telah turun?
“Ahh… ahh…” Tak berapa lama desahan kembali keluar dari mulutnya.
Sambil menjilati klirotisnya, aku selusupkan jariku ke lubang memeknya. Nafsu Mbak Ana mulai bangkit lagi. “Eghhh… Ahhh”
“Mass… ehh… pakai itu dong.” Aku kaget mendengar Mbak Ana bicara seperti itu. Aku menghentikan jilatanku. Kulihat mukanya merona, sepertinya dia malu tapi nafsu sudah merasukinya.
“Apa mbak?” Aku tidak yakin dengan yang aku dengar.
“Ehh…” Mbak Ana hanya memandangku sayu.
“Ini ya?” Aku tersenyum mengarahkan penisku ke pandangannya.
“Bantuin dong mbak biar keras dulu.” Mbak Ana langsung duduk meraih penisku dengan tangannya.
“Mbak diemut dong.” Aku ingin merasakan kulumannya. Ku lihat dia agak kaget dengan permintaanku.
Aku turun dari tempat tidur dan berdiri disampingnya. Aku tarik kembali tangan Mbak Ana ke penisku, kemudian ku arahkan kemulutnya. Aku melihat keraguan di mukanya.
“Ayo dong mbak, gantian.” bujukku, dan mendorong penisku hingga menyentuh bibirnya.
“Jilat mbak.” Meski ragu Mbak Ana mulai menjilat penisku.
“Ahhh… iya mbak gitu.”
Beberapa saat dia mulai mengulum kepala penisku.
“Ahhh enak banget mbak.” Penisku mulai mengeras.
Setelah penisku cukup keras aku menarik keluar dari mulutnya. Aku mengarahkan Mbak Ana untuk posisi doggy style. Dia sedikit bingung, sepertinya Mbak Ana belum pernah mencoba posisi ini dengan suaminya. Aku tidak lupa mengenakan kondom. Cap is a must.
Aku gesek-gesekan terlebih dahulu penisku ke memeknya sambil kuremas-remas pantatnya. Perlahan mulai ku benamkan penisku ke memeknya. Karena penasaran kutarik belahan pantatnya ke arah berlawanan sehingga terpampang lubang pantatnya yang ditumbuhi bulu halus. Samar tercium aroma lubang pantatnya.
Penisku sudah sepenuhnya masuk dalam memeknya. Mbak Ana sepertinya tidak sabar dia berinisiatif untuk menggerakkan pinggulnya terlebuh dahulu. Dalam hitungan detik kami sudah berpacu dengan RPM tinggi. Mbak dengan penuh semangat mengejar klimaksnya yang tertunda, gerakan menjadi liar.
“Argghh… aghhh… mass…”
“Iyaa mbakk… ahh… memek mbak enak banget.” Nafsuku sudah sepenuhnya kembali.
“Kontolku enak gak mbak?”
“Ahhh… ahh…” Mbak Ana tidak menjawab.
Aku memperlambat gerakanku tapi Mbak Ana terus menggerakkan pinggulnya dengan liar. Ku tarik kontolku, Mbak Ana menengok menatapku bingung. Aku rebahkan tubuhnya terlentang dan ku tindih tubuhnya.
“Kontolku gak enak ya mbak?” aku kembali bertanya.
“Mass… jangan gitu ah.” mukanya merona merah.
Langsung saja aku hujamkan penisku ke memeknya.
“Arghhhh…” Dia megelinjang. Aku gerakan pinggulku dengan cepat.
“Gimana mbak enak kan?”
Mbak Ana masih tidak mau menjawab, dia hanya mengangguk pelan dengan mata terpejam. Aku tersenyum menatapnya.
Aku sedang bercinta dengan seorang pembantu, dengan penampilan yang biasa aja setiap harinya mungkin bagi beberapa orang dianggap tidak menarik, bahkan dianggap beda kasta, namun dia juga manusia seorang perempuan yang harus diperlakukan dengan layak dan perumpuan ini, jika kamu melihat raut mukanya malam ini, sungguh menawan sekali.
Aku mampu bertahan cukup lama kali ini. Kami berpacu dalam kenikmatan. Aku mengulum bibir Mbak Ana, lidah kami saling menari. Keringat membasahi wajah dan tubuh Mbak Ana, begitu juga tubuhku. Meski kamar ini berAC tetap tidak dapat meredakan panasnya gairah kami.
“Aghh…” Mbak Ana menarik lepas mulutnya dari kulumanku.
“Teruuss maass…” Dia akan segera mencapai klimaks.
“Mbak keluarin bareng yaa.” Aku mempercepat gerakanku berusaha meraih kenikmatanku.
“Heeh.. ehh.. aghh… ahhh” Mbak Ana semakin keras mendesah.
“Tahann mbak..” Kedutan di memeknya mulai kurasakan. Mbak Ana menuruti permintaanku dia berusaha menahan klimaksnya meskipun penisku terus menghujam memeknya.
“Eghghhh… eghhhh… mass..” Dia sudah tidak mampu menahannya.
“Masss EGHHHHHHGAHH.” Mbak Ana mendapatkan orgasmenya. Tangannya mencengkeramku kuat sekali. Badannya membusung ke atas. Mengelinjang berulang-ulang.
Aku terus mengocok memeknya dengan penisku.
“Aghhhh… aghhhh…” Gelombang kenikmatan melandanya terus menerus.
“AGHHHHHHH.” Giliran ledakan kenikmatan menyerangku, ku amblaskan seluruh penisku ke dalam memeknya. Kami berdua hanyut dalam surga dunia.
“Ahhh… ahhh…” kami berdua masih terengah engah. Aku masih menindih Mbak Ana memeluknya, kubiarkan penisku di dalam memeknya, aku masih bisa merasakan kedutan di memeknya. Malam ini sungguh luar biasa.
Ketika aku mengangkat badanku menatapnya, dari sudut matanya yang terpejam keluar air mata. Ku usap lembut air mata di pipinya dan ku kecup keningnya, kembali ku peluk Mbak Ana. Aku tau mungkin dia kecewa, menyesal, atau marah.
Tanpa bicara sepatah katapun Mbak Ana mendorong badanku, aku menahannya.
“Maaf ya mbak… aku…”
“Sudah mas… sudah malam” Mbak Ana memotongku, suaranya bergetar.
Aku mengangkat tubuhku darinya. Mbak Ana meyaut pakaiannya dan keluar menuju kamar mandi. Aku membersihkan diriku alakadarnya dan mengenakan pakaian kemudian menunggu Mbak Ana keluar dari kamar mandi.
Mbak Ana keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap rambutnya diikat ke belakang, mukanya basah, sepertinya dia habis membasuhnya. Aku mendekatinya dan langsung ku peluk sebelum dia menghindar.
“Mbak maafin aku ya sudah kayak gini sama Mbak Ana. Aku yang salah mbak, mbak boleh marah sama aku, mbak boleh pukul aku sepuasnya.” Aku mencoba meredakan apa yang sepertinya disesalinya.
“Tapi bagai manapun, aku juga terima kasih sama mbak. Mbak Ana sungguh luar biasa.”
Mbak Ana mendorongku pelan. Meski raut mukanya sedih dia tersenyum simpul.
“Mbak pulang dulu ya mas.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya.
Aku mengantarnya pulang.
Sejak saat itu dalam waktu yang lama aku tidak bertemu dengan Mbak Ana. Beberapa hari kemudian istriku pulang, aku sedikit khawatir. Aku khawatir jika ada perubahan sikap dari Mbak Ana atau lebih parah lagi Mbak Ana bercerita. Tapi aku tidak mendengar cerita apapun dari istriku tentang Mbak Ana.
Sekitar satu bulan kemudian aku bertemu dengan Mbak Ana ketika dia datang ke rumah dan kebetulan aku juga sedang di rumah. Dia menyapaku ramah seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Aku sedikit lega.
-TAMAT-
_“Akhirnya berhasil juga saya menyelesaikan cerita ini. Terima kasih yang sangat besar saya ucapkan kepada sahabat semprot sekalian. Terima Kasih atas cacian, komentar, dan dukungannya. Sampai bertemu lagi dicerita berikutnya.”
Salam._