1 November 2020
Penulis — jrjoker
“The Amazing Mbak Ana part II”
_Mbak Ana hanya tersenyum menanggapiku.
“Mbak minum sebentar ya mas, ntar mbak lanjutkan lagi,” Mbak Ana bangkit keluar dari kamar menuju dapur.
Aku tersadar, aku masih dalam prosesi urut, heran bercampur penasaran, dan ternyata ini belum selesai?_
Tidak lama Mbak Ana kembali ke kamarku, dia duduk disampingku. Aku mendapati dia melirik si Junior yang sekarang terkulai lemas, sadar aku memperhatikannya Mbak Ana membuang muka pura-pura mencari bodylotion.
“Mbak lanjut urut ya mas,” Mbak Ana meneteskan lotion ke tangannya.
“Iya mbak,” aku kemudian mengungkapkan rasa penasaranku, “Kirain dah selesai mbak.”
“Masak cuma gitu aja mas,” jawabnya sambil tersenyum.” Kata nenek yang tadi itu untuk mengecek apakah syaraf-syarafnya masih normal,” tangan Mbak Ana meluncur ke kedua pahaku, kemudian mengurut dari sisi luar ke arah tengah, nyaris mengenai pangkal penisku. Karena aku baru saja mencapai klimaks, maka si junior belum terlalu terpanguruh.
“Jadi punyaku masih normal gak mbak?” aku bertanya, “Tadi aku cepet banget langsung klimaks, padahal biasanya gak gitu. Apa memang karena ada yang salah ya mbak?”
Sesi kedua ini berbeda, rasa gugupku sudah hilang dan aku menjadi lebih santai menghadapi Mbak Ana makanya aku jadi blak-blakan aja ngomong ke Mbak Ana, mungkin karena pengaruh klimaks tadi.
“Bagus dan normal kok mas,” kembali Mbak Ana tersenyum, “Memang sengaja diurut pas syarafnya, kalo tidak ada masalah pasti langsung itu mas,” terangnya.
“Itu?” aku bingung.
“Itu mas.. langsung keluar.”
“Ohh..” aku paham.
“Mbak dulu juga kaget, waktu lihat suami diurut nenek, tahu-tahu dia mengerang kayak kesakitan, mbak kira dia kesakitan karena nenek salah urut,” dia berbicara sambil terus mengurut pahaku, “ehh ternyata…”
“ternyata keenakan ya mbak hehee,” aku menyahut. Geli juga aku membayangkan waktu suami Mbak Ana diurut oleh neneknya yang sudah tua, bisa keluar juga ya hehehee.
Mbak Ana tersenyum. Dia mengambil lotion dan melanjutkan mengurut. Kali ini perutku kembali diurut dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Si junior mulai merespon dan sedikit membengkak.
“Waktu itu suami mbak baru diurut juga langsung keluar ya mbak?” aku iseng bertanya.
“Iya mas baru sebentar, padahal biasanya juga gak secepat itu loh mas,” Mbak Ana juga jadi lebih terbuka mungkin terpengaruh olehku.
“Wahh.. biasanya lama ya mbak, enak dong hehehe,” aku mulai berani menggoda Mbak Ana.
“Ahh.. Mas Richie,” Mbak Ana menunduk malu, mukanya memerah.
Aku tersenyum, kembali memejamkan mata, sensai kenikmatan mulai aku rasakan. Penisku semakin membengkak tapi belum sepenuhnya tegang. Kami kembali terdiam.
“Ahh…” aku mengerang halus, tangan Mbak Ana kembali menyentuh penisku.
Mbak Ana mengurut penisku dengan jempolnya, sama seperti tadi tapi kali ini tidak terlalu banyak tekanan lebih seperti mengelus. Penisku perlahan mulai tegang. Aku membuka mata, melihat Mbak Ana. Dia mengurut sambil melihat langsung penisku kali ini. Kulihat ke arah lubang kepala dasternya berharap bisa melihat belahan dada Mbak Ana lagi.
Nafsu mulai membuaiku. Aku memperhatikan Mbak Ana, jika diperhatikan baik-baik ternyata Mbak Ana menarik juga, wajahnya menggambarkan dia wanita yang kuat dan juga terlihat manis dihiasai dengan rambut sebahu, meski kulitnya sudah dihiasai kerutan-kerutan. Terlintas di kepalaku gambaran Mbak Ana sedang bersetubuh dengan suaminya, bagaimana ya dia di atas ranjang.
Ahh aku sungguh menikmati sensasi ini. Mbak Ana mengangkat tangannya menyisir sebelah rambutnya dengan jari dan menyisipkan ke belakang telinga. Tiba-tiba dia mengangkat kepalanya melihat ke arahku. Aku tersenyum tipis, memandangnya sayu, menahan kenikmatan yang ku rasa. Mbak Ana kembali menunduk mengetahui aku tidak terpejam, nafasnya sedikit tersengal.
Apakah Mbak Ana lelah mengurut atau mulai terangsang, aku tidak tahu tapi melihat Mbak Ana dalam kondisi tersebut malah membuat pikiran liar tentangnya terlintas di kepalaku. Setahuku wanita pada umumnya lebih susah terangsang dari pada laki-laki tapi bersentuhan dengan penis orang lain yang bukan suaminya dan membuatnya terangsang hingga orgasme, apakah hal seperti ini tidak mempengaruhinya?
Hembusan AC di kamarku menghantarkan aroma tubuh Mbak Ana, sungguh aroma yang khas, membuatku merasa diawang-awang, aku menarik nafas dalam memasukan aroma Mbak Ana ke dalam tubuhku. Urutan Mbak Ana berubah menjadi pijitan-pijitan ringan. Dia menekan beberapa titik di penisku secara bergantian. Rasanya aliran darah di penisku menjadi lancar sehingga membuat penisku mengeras.
“Aghh.. Mbak,” tiba-tiba Mbak Ana mengurut ujung kepala penisku dengan melingkarkan jempol dan jari telunjuknya. Aku menggelinjang, tanganku secara spontan menepuk dan mencengkram paha Mbak Ana yang duduk bersimpuh disampingku.
“Ahh.. ahh…” aku terengah, nikmat sekali.
Setelah aku bias mengendalikan diri aku baru sadar tangan kananku berada di paha Mbak Ana, namun tidak secara langsung bersentuhan dengan kulitnya karena masih tertutup daster. Aku melihat Mbak Ana dia diam saja masih mengurut, tidak ada protes darinya dan tidak ada usaha untuk menyingkirkan tanganku, akupun tidak berniat memindahkan tanganku.
Seiring dengan urutan Mbak Ana dan desahan nafasku, aku menggesek-gesekan tanganku ke pahanya, perlahan. Aku melirik ke arah pahanya, dasternya bergerak seiring gesekan tanganku. Muncul ideku untuk menyingkap sedikit dasternya aku melakukannya seolah-olah tidak sengaja hingga sekarang tanganku bersentuhan langsung dengan kulit pahanya, namun baru sedikit di atas lutut belum terlalu masuk ke dalam.
Mbak Ana menghentikan urutannya di kepala penisku. “Uhh..” aku melenguh pelan. Aku hentikan gesekan tanganku di pahanya tapi aku tidak memindahkan tanganku. Mbak Ana menarik nafas panjang, mengusap keringatnya, dan sedikit membetulkan dasternya yang tersingkap, tidak berani menatapnya, aku pura-pura menutup mataku.
Mbak Ana melanjutkan, sekarang buah zakarku dipijatnya. Hmmm rasanya seperti aliran sperma berkumpul menjadi satu di situ, buah zakarku mengencang. Aku mulai menggesek-gesekan tangaku kembali. Mungkin sekitar lima menit Mbak Ana memijatnya, rasanya air maniku sudah siap untuk diledakkan.
Mbak Ana kembali mengurut kepala penisku seperti tadi, kali ini dengan tempo yang sedikit lebih cepat.
“Arrrgghh…” aku tidak siap karena aku memejamkan mata. Tanganku mencengkram pahanya.
“Ahh..” aku tidak yakin tapi sepertinya aku mendengar Mbak Ana melenguh pelan.
Beberapi kali Mbak Ana mengurut kepala penisku kemudian dia melingkarkan seluruh jarinya dipenisku, penisku ditarik ke atas sehingga sekarang posisinya berdiri 90 derajat. Kemudian dia kembali mengurut pelan naik turun.
“Ahh.. ahh.. aahh” nafasku memburu. Tanganku terus mengelus dan meremas paha Mbak Ana berusaha semakin masuk ke dalam.
Lama-lama aku rasakan urutan Mbak Ana semakin cepat, ini lebih seperti mengocok.
“Ahh.. ahh.. Mbak..” diperlakukan seprti itu membuat gerakan tanganku semakin liar, ujung jariku suda menyentuh pinggang Mbak Ana, tanganku sudah masuk cukup dalam.
“Mbak ahh.. Mbak Ana” aku menyebut namanya dalam desahanku, nikmat sekali. Aku mencoba menahan klimaksku, aku tidak mau ini cepat berakhir. Aku mencoba mengarahkan tangku supaya dapat masuk ke bagian dalam paha Mbak Ana.
“Ahh..” aku yakin mendengar Mbak Ana melenguh.
“Ma.. mas… jangan ditahann” suara Mbak Ana bergetar, seprtinya dia tahu aku menahan klimaksku, “Ini memang harus ahh.. dikeluarkan” dia mencoba mengendalikan diri supaya dapat berbicara.
“Harus dikeluarkan mas richie, kalo enggak gak bagus.”
Nantinya Mbak Ana bercerita bahwa sebenernya ini memang prosesi terakhir dari proses urut yang sengaja ditujukan untuk mengeluarkan sperma karena sebelumnya sperma ditahan untuk tidak keluar.
Aku masih berusaha mati-matian menahan klimaksku, tangaku menyusup ke bagian dalam paha Mbak Ana, aku ingin meraba… memeknya.
“Aghhh…” Mbak Ana mempercepat kocokannya.
“AGGHHHH… Mbaaaakk.. jangan berhentii!!!” aku tidak dapat menahannya lagi, tanganku mencengkram kuat paha Mbak Ana, tangan kiriku meremas sprei.
Crretttt.. crett… berkali-kali penisku meledekan sperma, tubuhku menegang merasakan kenikmatan yang luar biasa. Semburan kenikmatan meluap dari penisku. Mbak Ana tidak berhenti mengocokku. Aku merasakan tumpahan sperma di perutku. Mbak Ana terus mengocokku hingga penisku tidak mengeluarkan sperma lagi.
“Ahh.. ahh…” aku masih terengah-engah, aku merasakan Mbak Ana mengusap penisku, membersihkannya.
Aku membuka mata. Kaget aku melihat ternyata sebagaian spermaku mengenai daster Mbak Ana dibagian dada dan sedikit rambutnya juga terkena. Mbak Ana menatapku, nafasnya juga terengah-engah, dia mencoba tersenyum ditengah deru nafasnya. Setelah selesai membersihkan penis dan perutku, dia membersihkan tangannya kemudian memegang dan menarik tanganku dari pahanya.
“Mbak..” aku meraih handuk kecil dari tangannya.
“Maaf mbak, itu rambutnya juga kena,” ucapku sambil meringis dan membersihkan sperma dari rambutnya, sepertinya dia tidak tahu ada sperma dirambutnya.
Mbak Ana hanya diam saja dan beranjak keluar dari kamar setelah aku selesai membersihkannya.
Aku masih terbaring lemah di tempat tidur. Aku berniat untuk mengenakan kembali boxerku namun aku masih penasaran apakah prosesi ini sudah selesai. Jadi aku urungkan niatku dan masih terbaring di kamar tanpa sehelai benangpun.
Mbak Ana kembali ke kamar, alih-alih masuk ke kamar dia hanya berdiri di pintu.
“Mas sudah urutnya.. Mbak Pulang dulu ya.”
“Eh.. iya Mbak,” sudah selesai pikirku, aku menyambar boxerku dan memakainya, “terima kasih ya mbak”.
Kami berbicara seolah-olah tidak ada hal luar biasa yang terjadi. Hanya pijatan biasa.
“Mbak aku antar aja pulangnya?” aku menawarkan, karena sudah malam aku tidak tega membirakan Mbak Ana pulang jalan kaki.
“Enggak usah mas,” dia menolak.
“Enggak papa mbak,” aku memaksa, Mbak Ana tidak menjawab. Aku segera bangkit memakai kaos dan mengambil celana pendek. Aku beranjak keluar kamar, Mbak Ana mengikutiku.
“Jadi harus berapa kali diurut Mbak?” aku berharap Mbak Ana mau mengurutku lagi.
“Harus beberapa kali sih mas, tapi tidak boleh terlalu sering. Dua atau tiga hari sekali bagusnya,” Mbak Ana menjelaskan.
“Jadi lusa diurut lagi mbak?” aku bertanya lebih seperti memohon.
“Kalo Mas Richie mau?” Mbak Ana menawarkan.
Mau? Bukan mau, tapi aku mengharapkannya. Akhirnya kami menyepakati akan kembali melakukannya besok lusa. Aku sungguh antusias mendengarnya tidak sabar menanti esok lusa.
“Ayo mbak,” aku sudah siap di atas motor.
Mbak Ana memboncengku. Sepanjang jalan kami hanya diam. Aku tersenyum masih terbayang urutan Mbak Ana. Aku tidak tahu apa yang Mbak Ana pikirkan dalam diamnya.
-tbc-