1 November 2020
Penulis — jrjoker
Namaku Richard Tilamaya, biasa dipanggil Richie. Umurku 28 tahun. Aku bekerja dibidang pemerintahan dan sekarang ditugaskan di Pulau Sumatera, tepatnya di kota P. Aku memiliki seorang istri, kami sudah menikah selama tiga tahun namun hingga saat ini belum diberi momongan. Di kota P aku tinggal di rumah mertua, kebetulan dulu mertuaku bekerja juga di Kota P sehingga memiliki rumah di sini.
Mertuaku sekarang sudah pensiun dan mereka memutuskan untuk kembali ke kampung halaman di Pulau Jawa, menetap di sana menikmati masa tua. Karena sayang untuk dijual dan kebetulan aku bertugas di kota ini, maka mereka menyuruh aku dan istri untuk menjaga dan tinggal di rumahnya. Kamipun setuju itung-itung menghemat biaya kontrak rumah hehehee.
Di rumah aku memiliki seorang pembantu, namanya Mbak Ana. Mbak Ana berumur sekitar 36 tahun dan memiliki tiga orang anak perempuan. Mbak Ana asli dari kota P. Secara fisik tidak ada yang spesial dengan Mbak Ana, rambut pendek sebahu dan badan yang agak kurus. Kulitnya tidak putih namun cukup terang.
Mukanya terlihat seperti orang yang kelelahan terlihat lesu, sayu, garis-garis keriput mulai nampak. Namun, sebagai seorang pembantu Mbak Ana masih masuk kategori yang cukup enak dipandang, not bad lah. Mbak Ana tidak menginap di rumahku, dia datang pagi dan pulang setelah pekerjaan rumah selesai. Mbak Ana bekerja di rumahku dari hari Senin sampai Sabtu.
Rumahnya berjarak kurang lebih 500 meter dari rumahku, dia biasanya datang ke rumahku dengan berjalan kaki. Mbak Ana tinggal bersama anak-anaknya, sedangkan suaminya bekerja di luar kota. Suaminya pulang sebulan sekali atau terkadang Mbak Ana yang datang ke kota suaminya bekerja. Penghasilan suami Mbak Ana bisa dibilang pas-pasan karenanya untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga Mbak Ana mencari penghasilan tambahan.
Aku jarang ngobrol dengan Mbak Ana, karena kami juga jarang bertemu. Kami biasanya hanya bertemu pada hari sabtu atau jika aku sedang sedang libur. Jika bertemu kami hanya saling bertegur sapa saja dan sangat jarang sekali mengobrol. Selama ini Mbak Ana tidak pernah menyita perhatianku dan aku juga tidak pernah berpikir macam-macam dengan Mbak Ana.
Pagi hari aku sedang bersiap-siap untuk berangkat kantor, ketika tiba-tiba kakak iparku menelpon mengabarkan ibu mertuaku masuk rumah sakit. Ibu mertuaku memang sudah lama sakit dan beberapa kali masuk rumah sakit, namun kali ini harus dilakukan tindakan operasi. Aku meyuruh istriku segera mencari tiket untuk pulang ke jawa untuk menjenguk dan memberi suport ibu yang akan melakukan opersi.
Siangnya aku pulang ke rumah untuk mengantar istriku ke bandara. Waktu itu Mbak Ana masih di rumahku, istriku sedang berpesan ini-itu, urusan rumah spertinya. Setelah selesai berpesan kepada Mbak Ana, istriku menitipkan kunci rumah cadangan ke Mbak Ana sehingga jika aku sedang bekerja dia tetap dapat bersih-bersih rumah dan menyelesaikan pekerjaan lainnya.
Hari ini Sabtu, aku terbangun oleh suara alarm hp-ku. Jam 08:00. Aku sengaja mengeset alarmku supaya tidak bangun kesiangan karena aku ada janji dengan teman kantorku untuk menyelesaiakan laporan kami. Mataku masih berat untuk dibuka, aku matikan alarmku namun aku masih bermalas-malasan di tempat tidur.
Baru jam 03.00 pagi tadi aku tidur karena semalam harus lembur, hari ini juga aku seharusnya libur namun terpaksa aku harus ke kantor untuk menyelesaikan laporan karena deadline sudah dekat. Aku masih mencoba mengumpulkan tenaga untuk beranjak dari kasur ketika terdengar ketukan pintu. Siapa pikirku?
“Mas.. Mas Richie?”
Aku mendengan suara yang aku kenal, Mbak Ana. Ahhg aku masih malas untuk bangkit. Mbak Ana kembali mengetuk dan memanggil namaku. Biarkan saja pikirku, toh dia bawa kunci cadangan juga. Benar saja setelah beberapa kali mengetuk dan memanggil tanpa ada balasan, terdengar suara kunci pintu dibuka. Mungkin Mbak Ana berpikir aku sedang pergi.
“Mas Richie?” Mbak Ana masih mencoba memangilku, memastikan aku ada di rumah atau tidak.
Seketika itu juga aku sadar aku tidak menutup pintu kamarku. Aku tidak menutupnya karena semalam listrik padam, AC kamarku mati. Karena gerah, kuputuskan untuk tidur dengan pintu kamar terbuka agar ada sedikit udara segar. Pintu kamarku menghadap ke ruang tengah. Mbak Ana pasti akan melalui kamarku untuk menuju ke dapur dan tempat cuci baju.
Tiba-tiba timbul niat isengku. Biar saja Mbak Ana melihatku dalam posisi tidur. Aku biasa tidur hanya mengenakan kaos dan boxer. Aku suka mengenakan boxer kalo di rumah karena si Junior rasanya jadi lebih lega dan kalo tiba-tiba “pengen” tinggal plorotin aja hehehe. Nahh yang bikin aku jadi tambah iseng karena kalo pagi bangun tidur si Junior suka berdiri.
Aku keluarkan penisku yang setengah berdiri dengan mengangkat sedikit bagian bawah boxerku sehingga seolah-olah penisku keluar dengan sendirinya ketika aku tidur. Aku penasaran ingin melihat ekspresi Mbak Ana ketika melihatku dalam posisi seperti ini. Kenapa aku jadi exebisionis ya hehehe. Hmmm.. muncul ideku untuk merekam ekspresi Mbak Ana agar aku bisa melihatnya nanti.
Dengan cepat aku menyalakan kamera video di hape-ku, aku arahkan ke pintu, dan aku sangga dengan bantal. Mbak Ana tidak akan tahu kalo kamera hape itu menyala, dia pasti akan berpikir hape-nya tergletak biasa saja. Aku lalu kembali ke posisi dan pura-pura masih tidur. Terdengar suara langkah Mbak Ana mendekat dan tiba-tiba berhenti ketika sampai di depan kamarku.
Aku tertawa geli dalam tidurku, pura-pura tidur tepatnya hehehee. Sepertinya Mbak Ana kaget melihat aku ada di rumah dan tertidur dengan si Junior mengintip keluar dari boxer ku. Beberapa saat Mbak Ana berhenti kemudian dengan hati-hati dia menjulurkan kepalanya ke dalam kamarku. Dia melihatku masih tidur, sekilas dia melirik penisku dan beranjak pergi.
Setelah Mbak Ana pergi aku tertawa pelan, aku sudah menahan tawa dari tadi. Dari bagian belakang rumah terengar Mbak Ana mulai beraktivitas, sepertinya sedang mencuci baju karena terdengar suara berisik mesin cuci. Aku ambil hapeku dan aku putar rekaman video tadi. Sambil menahan tawa aku melihat video itu.
Aku bangun dan segera menuju kamar mandi, aku masih tetap memakai boxer tapi tentunya si Junior sudah kembai ke sarangnya. Aku pura-pura kaget ketika melihat Mbak Ana.
“Eh.. Mbak Ana, sudah dari tadi mbak?”
“Baa.. baru saja kok mas.” Mbak Ana terlihar agak gugup, mungkin karena kejadian barusan.
“ohh.. maaf mbak aku gak denger Mbak Ana tadi datang.” Aku bicara dengan nada santai supaya Mbak Ana tidak gugup.
“Iya Mas Richie, Mbak tadi ketuk pintu enggak ada yang bukain. Mbak kira di rumah gak ada orang. Ehh.. ternyata Mas Richie masih tidur.” Mbak Ana sudah bisa mengendalikan dirinya.
“Iya mbak aku gak denger.” Aku beralasan. “Baru tidur tadi pagi. Semalam habis lembur.”
“Ouww.”
“Mbak aku tolong dibikinin mie ya buat sarapan, dah lapar nih.”
“iyaa mas tapi bentar lagi ya, tanggung ini mas nyucinya dah mau selesai.”
“Okai mbak aku juga mau mandi dulu.” Aku berlalu menuju kamar mandi.
Selesai mandi mieku sudah siap. Aku sarapan sambil duduk di depan TV, kunyalakan TV dan mulai menyantap mieku selagi masih hangat. Mbak Ana sedang menyetrika. Tempatnya menyetrika tidak jauh dari tempat aku duduk. Aku mencoba untuk mengajaknya mengobrol sambil sarapan.
“Anaknya yang gedhe sekarang di mana mbak? Masih sekolah? Atau sudah lulus?” aku membuka obrolan. Aku tau dari istriku kalo anak pertamannya dulu sekolah di akademi kebidanan, aku lupa nama anaknya.
“oh si Rina ya mas, sekarang sudah kerja mas. Baru lulus dua bulan yang lalu tapi alhamdulillah langsung dapat kerjaan,” jawabnya agak kaku karena tidak terbiasa mengobrol denganku.
“Kerja di mana mbak?”
“Di Rumah Sakit Merah Putih di Kota PP.” Rupanya si Rina kerja di luar kota.
Obrolan mulai berkembang dan suasana menjadi cair. Mbak Ana mulai nyaman ngobrol dengan ku. Dia bercerita kalo dia senang anaknya langsung mendapat kerja sehingga tidak bergantung dengan orang tua lagi. Mbak Ana juga bercerita kalo sekarang usaha tempat suaminya bekerja sedang tidak bagus sehingga sudah empat bulan ini suaminya belum bisa pulang karena belum ada ongkos.
“Kalo sudah rejekinya pasti gak akan ke mana mbak.” nasehat ku. “Yang penting kita berusaha. Rejeki pasti tiba dengan sendirinya.”
Dari obrolan kami aku jadi tahu ternyata selain bekerja di tempatku kalo malam Mbak Ana juga bekerja menjaga warung makan. Selama kami mengobrol aku mendapati Mbak Ana beberapa kali melirik si Junior. Aku cuek saja. Sehabis mandi tadi aku masih menggunakan boxer dan kaos saja. Seperti aku bilang kalo sedang di rumah aku memang biasa seperti ini.
“Mas.. Mas Richie dan Mbak Anja memang nunda punya momongan ya?” “Eh maaf ya mas.. Mbak nanya-nanya..” Mbak Ana sadar kalo pertanyaannya mungkin agak sensitif, dia jadi salah tingkah dan terlihat agak menyesal telah bertanya.
“Gak papa kok mbak.” jawabku tersenyum. “Aku sebernya pengen mbak segera punya momongan, apalagi Anja dia kan seneng banget sama anak kecil” tambahku, “Tapi sepertinya masih belum dikasih.”
“Sabar ya mas. Nanti juga pasti dapat kok kalo memang sudah rejekinya” Mbak Ana mencoba menghiburku dengan nada keibuan, seperti seorang ibu yang menghibur anaknya yang kalah dalam lomba. Aku menjadi sedikit terharu, terharu dengan diriku sendiri.
“Mbak dulu juga lama kosong kok. Hampir tiga tahun.”
“Iyaa ya mbak?” aku baru tahu kalo Mbak Ana ternyata juga lama dapat momongan.
“Mas Richie sudah coba cek ke dokter?” tanya Mbak Ana.
“Sudah sih mbak, tapi kata dokter gak ada masalah baik sama Anja maupun sama aku. Semuanya sehat. Kata dokter sih dicoba terus aja” jawabku “Mungkin bikinnya yang gak bener kali ya mbak heheheehe.” aku bercanda tanpa maskud menggoda.
Mbak Ana tersenyum kecil kemudian menjawab dengan nada serius “Sama mas Richie.. dulu mbak juga cek ke dokter dan kata dokter suami mbak dan mbak sehat semuanya.”
“Ohhh” jawabku singkat.
Aku melahap suapan terakhir mie ku, Mbak Ana terlihat fokus kembali menyetrika. Kami terdiam sejenak.
“Terus akhirnya bisa dapat Rina gimana mbak?” aku memecah keheningan” Kata temenku sih aku disuruh banyak-banyak makan toge, emang bener ya?”
“Kalo toge sih emang bagus buat laki-laki mas,” kata Mbak Ana sambil melipat kemeja yang baru selesai disetrika “Katanya dapat meningkatkan kualitas itunya.”
“Itunya?” aku memasang muka heran, aku menangkap maksud Mbak Ana adalah bahwa toge dapat meningkatkan kualitas ereksi atau ketahanan penis.
“Bukan anunya mas?” Mbak Ana terkikik, “eee.. itu kualitas.. ee sperma.” sepertinya Mbak Ana agak risih mengucapkan kata sperma.
“Ouww. Kirain hehee.. perasaan aku dah banyak makan toge tapi gak ada perubahan kualitas di situ hehehee” Mbak Ana ketawa mendengar komentarku.
“Jadi dulu suami mbak banyak makan toge juga ya?” tanyaku.
“Ya gak banyak juga sih mas biasa aja, kalo mbak kebetulan pas masak sayur toge aja.” Mbak Ana kemudian menambahkan, “Mbak dulu ke tukang urut mas.”
“Tukang urut?” aku bingung.
“Iya kebetulan nenek mbak dulu tukang urut.” Jelas Mbak Ana sambil mengusap keringat dikeningnya, sepertinya hawa panas strika membuat Mbak Ana gerah.
“Waktu itu nenek bilang supaya bisa cepet dapat momongan suami mbak harus diurut karena menurut nenek ada syaraf suami mbak yang bekerja kurang maksimal.”
Waktu itu aku masih berpikir kalo ‘diurut’ yang diceritakan Mbak Ana sepeti diurut pada umunya.
“Mbak sih awalnya gak ngerti tapi karena gak ada ruginya ya kenapa gak dicoba aja. Apalagi yang nyuruh orang tua kalo gak mau malah takut kualat nanti.”
Aku menyimak cerita mbak ana dengan serius.
“Jadi ya sudah mbak sama suami berangkat ke rumah nenek di dusun. Kemudian suami mbak diurut, nenek juga mengajari mbak cara ngurutnya. Kata nenek supaya berhasil gak bisa hanya diurut sekali jadi nenek mengajari mbak cara ngurutnya supaya mbak bisa ngurut sendiri nantinya sehingga gak perlu bolak-balik ke rumah nenek yang cukup jauh.
“Percaya gak percaya sih Mas Richie. Dua minggu setelah itu mbak langsung isi.” Mbak Ana mengakhiri ceritanya sambil melipat pakai terakhir yang disetrikanya.
Dia menghela nafas lega, setrikaanya sudah selesai semua. Mbak Ana mengusap butir-butir keringat diwajahnya dengan bagian bawah kaosnya. Otomatis kaosnya sedikit terangkat dan terlihat perut Mbak Ana yang putih, perut Mbak Ana ramping namun terlihat kendor. Maklum Mbak Ana kan bukan tante-tante berduit yang rajin fitnes.
Mbak Ana waktu itu memakai kaos warna krem yang agak kedodoran dan sudah kusam. Di bagian bawah dia menggunakan legging sebatas lutut warna biru gelap. Meskipun legging jangan bayangkan seperti legging-lengging yang dipakai ABG sehingga terlihat ketat dan sexy. Legging yang dipakai Mbak Ana sepertinya sudah sering dipakai sehingga agak melar.
Mbak Anak dalam berpakaian memang seadanya, kaos, legging, celana pendek kolor terkadang dia juga memakai daster dan semua pakaiannya sudah kusam bahkan ada beberapa yang terdapat bagian yang sobek atau bolong. Aku rasa di dunia ini tidak ada wanita yang tidak ingin tampil cantik dan menarik, begitu juga Mbak Ana.
Mbak Ana berjalan ke dapur dan mengambil segelas air minum. Setelah minum dia kembali mengusap keringat di dahi dengan punggung tangannya. Mbak Ana menyisir rambutnya kebelakang dengan jari mengumpulkannya menjadi satu dan mengikatnya dengan karet gelang. Dia berjalan menuju mesin cuci dan mulai mengeluarkan baju yang telah selesai dicuci untuk dijemur.
Aku melihat jam dinding, jam 09.00. Sebentar lagi berangkat ke kantor pikirku. Aku berjalan kebelakang untuk menaruh piring kotor ditempat cucian. Tempat cuci piring ada di luar rumah bersebelahan dengan tempat Mbak Ana mejemur. Aku perhatikan Mbak Ana agak kesulitan menjemur selimut, aku datang mendekat membantu Mbak Ana menaruh selimut di tali jemuran.
“Makasih Mas.” Mbak Ana menyadarkanku.
“Ah.. iyaa.” Gantian aku yang gugup.
Mbak Ana melanjutkan menjemur sisanya. Aku berdiri bersandar didinding tempat ujung tali jemuran ditambatkan.
“Mbak aku kayaknya tertarik juga urut sama neneknya Mbak Ana, siapa tau berhasil juga.” Aku melanjutkan obrolan kami tadi. Aku menunjukkan keantusiasanku.
Mbak Ana menjemur celana jeansku dan kembali mengusap keringat di dahinya, sepertinya dia mulai kelelahan.
“Masalahnya mas,” dia kembali mengambil sisa pakaian yang akan dijemur, “nenek mbak dah meninggal satu tahun yang lalu.”
“ahh.. maaf mbak.” aku tidak menduga jawaban Mbak Ana. “Sakit mbak?”
“Yaa memang sakit.. tapi juga karena memang sudah umur”
Angin kembali berhembus dan lagi-lagi bau aroma tubuh Mbak Ana mengalir melalui hidungku. Aku kembali blank.
“Kalo nenek masih sehat mungkin aku bisa berhasil juga kali ya mbak?” aku berbicara dengan pandangan kosong. Sebelum Mbak Ana sempat menimpali aku menyadari sesuatu, “ehh.. bukannya Mbak Ana pernah diajari cara ngurutnya juga ya?”
Mbak Ana tiba-tiba berhenti bergerak, dia kaget dengan pertanyaanku.
“ee.. em.. embak gak bisa.” Mbak Ana gugup.
“Loh tadi kan mbak cerita, mbak diajari cara ngurutnya supaya mbak bisa ngurut sendiri tanpa harus ke rumah nenek? Suami mbak kan cuma diurut sekali sama nenek, iya kan? Selebihnya Mbak Ana yang ngurut kan? Iya kan mbak?” aku membrondong mbak ana karena merasa ada harapan.
“Bukan gitu mas Richie.” Mbak Ana menjawab sambil berjalan masuk rumah. Keringatnya sepertinya semakin menjadi.
Kenapa Mbak Ana panik pikirku? Aku berjalan masuk rumah mengikuti Mbak Ana. Mbak Ana menuju ruang tengah, dan duduk di depan tv.
“Jadi gimana mbak? masa Mbak Ana gak mau nolongin aku?” Aku memohon.
Mbak Ana mengambil sapu sepertinya dia hendak menyapu tapi kemudian dia menghela nafas dan kemudian menarik kursi makan dan duduk memandangku dengan serius. Mbak Ana menarik nafas kemudian mulai berbicara.
“Mbak Ana bukannya gak mau menolong Mas Richie tapi mbak gak bisa.” Aku bingung, Mbak Ana kembali menarik nafas dan melanjutkan. “Soalnya..”
“Eee.. maksud mbak cara ngurut itu.. Ehh.. pokoknya mbak gak bisa ngurut Mas Richie.”
Aku memandang Mbak Ana, semakin bingung. Mbak Ana menarik nafas panjang seperti sedang mengumpulkan kekuatan.
“Mas.. Mbak gak bisa membantu Mas Richie karena yang harus diurut itu ada di.. syaraf yang harus diurut itu ada di..” Mbak Ana memelankan suaranya, mukanya memerah. “burungnya.”
Caaassss. Tubuhku seperti diguyur air es. Akhirnya aku paham kebingungan Mbak Ana. Aku mendadak jadi malu memaksa Mbak Ana untuk mengurutku. Aku melihat Mbak Ana dia menunduk memainkan gagang sapu, mukanya merah padam. Perlahan dia mulai mengakat kepalanya memandangku. Mbak Ana tersenyum, senyum yang terlihat grogi dan kikuk.
“Maaf mbak aku kirain urut badan kayak biasa gitu.” Aku menimpali sambil nyengir.
Kami berdua melihat tv tapi sama sekali tidak tahu apa yang kami tonton, pikiran kami melayang entah ke mana. Kami berdua jadi salah tingkah.
“yahh mungkin memang belum waktunya mbak, nanti juga pasti dapat kalo sudah waktunya kan?” ujarku sambil tersenyum getir.
Mata kami berdua masih melihat tv. Aku bangkit dari tempat duduk, “Aku siap-siap dulu ya mbak mau ke kantor ada janji sama temen.” Aku menuju kamarku ganti baju.
Aku baru selesai mengganti kaos yang aku kenakan dengan polo shirt ketika tiba-tiba Mbak Ana sudah di depan pintu kamarku yang tidak tertutup.
“Mas Richie..” mukanya menunjukkan raut merasa bersalah.
Aku jadi serba salah, sebenernya aku sudah memahami kondisinya dan maklum.
“Mas Richie… memangnya Mas Richie mau kalo mbak urut?” Duaarr aku jadi bingung sendiri. Aku jadi gak enak sama Mbak Ana, karena dari awal aku sudah salah memahami maksud ‘diurut’ yang diceritakan Mbak Ana.
“Mbak..” aku duduk di tepi tempat tidurku, “Mbak Ana gak usah merasa bersalah gitu, aku gak papa kok mbak, tadi cuma salah paham.”
“Kalo aku tau maksud diurut yang mbak ceritain itu seperti itu aku gak mungkin minta tolong Mbak Ana kan?” aku melannjutkan.
Mbak Ana menunduk, jarinya memainkan ujung kaosnya. “Mbak bukannya gak mau nolong Mas.. apalagi Mbak Anja sama Mas Richie sudah baik dan banyak membantu mbak,” Memang istriku suka memberi makanan dan uang tambahan untuk Mbak Ana. “Cuma mbak ngerasa gak pantes aja kalo harus ngurut Mas Richie.”
Nahhh. Aku paling gak bisa kalo wanita sudah merasa rendah seperti ini.
“Bukan gitu mbak… aku mau aja kok cuma kan..” Aku terdiam berpikir. Aku bukannya gak mau cuma aku gak membayangkan bakal ‘diurut’ Mbak Ana dan aku berpikir Mbak Ana juga pasti gak bakal mau. Aku jadi bingung.
“Gini aja Mbak Ana, aku sekarang ada janjian sama temen, ada kerjaan kantor. Kalo mbak emang mau gimana kalo nanti malam Mbak Ana ke rumah lagi buat ngurut aku?” jujur aja sejauh ini aku belum berpikir macam-macam. Aku setuju untuk diurut hanya karena gak tega melihat Mbak Ana. Mbak Ana mengangkat kepalanya melihatku, mukanya agak cerah, “Mas Richie yakin?
“yuupp!” aku menjawab yakin.
“Baik mas ntar mbak coba urut, semoga berhasil juga, supaya Mas Richie dan Mbak Anja cepet punya momongan.” Mbak Ana tersenyum ringan namun jauh di dalam matanya aku masih melihat keraguan. Aku tahu Mbak Ana pasti sama bimbangnya denganku.
Jam tujuh malam aku sudah mengendari motorku menuju ke rumah. Aku mampir ke warung untuk makan malam sekalian, karena tidak ada istriku artinya di rumah juga tidak ada makanan. Hari ini sudah seminggu sejak kepulangan istriku ke jawa. Kemarin dia telepon sepertinya masih belum bisa pulang karena masih harus menemani ibu.
Jam setengah delapan aku sudah sampai di rumah. Tepat waktu pikiriku. Sebelumnya aku sudah bilang Mbak Ana untuk ke rumah jam delapan saja. Aku segera mandi dan berganti pakaian, setelah mandi aku tiduran sambil nonton tv di kamar. Tak terasa mataku terpejam. Aku dikagetkan suara ketukan pintu, aku terbangun setengah sadar.
“Mas Richie dah di rumah ya?” Mbak Ana tersenyum menyapaku.
“Iya mbak, ini barusan juga sampainya.” Setelah Mbak Ana masuk, aku langsung menutup pintu.
“Sudah makan mbak?” tanyaku.
“Sudah mas.”
“ouuw ya udah, soalnya di rumah juga gak ada makanan mbak heheee.” Kami duduk di depan tv.
Memang di ruang tengah biasa aku gunakan untuk duduk santai, atau ketika ada keluarga dating biasanya kami mengobrol di sofa yang ada di depan tv. Begitu juga malam ini, rasanya akan terlalu resmi kalo aku mengajak Mbak Ana duduk di ruang tamu, jadi di sinilah kami duduk, di depan tv.
“Ohh Mas Richie belum makan ya?” tanya Mbak Ana.
“Sudah kok mbak, tadi mampir makan sekalain pas pulang.”
Kami terdiam sejenak. Terus terang aja aku juga sedikit grogi masalah urut-mengurut ini. Aku bingung harus bagaimana memulainya. Untungnya Mbak Ana yang berinisiatif memulai.
“Mau diurut sekarang mas?” Mbak bertanya sambil menatapku sekilas.
“Boleh mbak, ayuk. Di kamar aja kali ya mbak?” maksudku agar aku bisa sambil tiduran dengan nyaman di tempat tidur.
“Iya mas.” Mbak Ana berjalan mengikuti aku ke kamar.
Sampai di kamar aku bingung harus gimana “Gimana nih mbak?”
“Mas Richie ada handbody?”
“Ada mbak.” aku segera mengambil handbody lotion istriku di meja rias.
“Mas Richie tidur tengkurap ya mas.”
Aku langsung tengkurap masih dengan pakaian lengkap, kaos dan boxer. Detak jantungku mulai berakselerasi. Aku pikir Mbak Ana akan langsung mengurut burungku hehe. Ternyata Mbak Ana memulainya dengan mengurut kakiku. Mbak Ana mengoleskan sedikit lotion ke tangannya dan mulai mengurut telapak kakiku. Dia memijatnya di berapa titik dan kemudian mengurutnya naik dari betis ke paha.
“Maaf ya mas mbak urut di sini.” Mbak Ana lanjut mengurut beberapa titik dipantatku. Dia memijat sebentar dan sepertinya agak bingung karena aku masih mengenakan boxer.
“Mas Richie maaf celananya diturunin dikit ya, mbak agak susah ini ngurutnya.”
“Ahh.. iya mbak.” Aku menurunkan sedikit boxerku, sehingga setengah pantatku terlihat.
Mbak Ana melanjutkan mengurut pantatku. Tekanan dan urutan Mbak Ana didaerah pantat mulai mempengaruhi si junior. Aku mencoba mengalihkan perhatian supaya penisku tidak menjadi tegang. Tapi lama kelamaan urutan Mbak Ana membuatku merasa nikmat, sehingga aku tidak bisa melawannya. Akibatnya si junior menjadi separuh tegang.
“Mas Richie balik badannya.”
“ahh.. iya.” deg deg deg detak jantungku meningkat dengan pasti, telapak tanganku dingin. Dengan kondisi penisku yang sedang tegang dan dengan boxer longgar yang aku pakai, pasti Mbak Ana akan melihatnya. Ahh tp toh nanti dia juga akan mengurutnya pikirku. Aku segera membalikkan badan. Aku melihat Mbak Ana ketika membalikkan badan, dia sama gugupnya denganku, kepalanya menunduk tidak berani menatapku.
Setelah aku mendapat posisi nyaman aku kembali memejamkan mata. Mbak Ana meneruskan memijat, kembali memijat kaki ku dan kemudian mengurut dari atas ke bawah dari kaki kiri berganti kaki kanan. Aku berusaha mengendalikan nafasku agar jantungku tidak berdetak terlalu cepat, tapi soal si junior aku tidak bisa mengendalikannya, tekanan darah terus mengalir terpusat.
“Ahh..” aku reflek melenguh pelan, mungkin Mbak Ana tidak mendengarnya. Dia terus mengurut seperti itu berulang-ulang. Penisku semakin tegang, tegang sejadi-jadinya sehingga tampak menonjol dari boxerku. Getaran-getaran kenikmatan mulai kurasakan, gila padahal Mbak Ana sama sekali belum menyentuhnya.
“Mas sekarang perutnya,” kata Mbak Ana sambil menyelesaikan urutan terakhir di pahaku.
Tanpa menjawab aku sedikit menarik kaosku ke atas. Aku mencoba mengendalikan diriku kembali. Terasa tangan Mbak Ana menyentuh perutku, pergelangan tangan Mbak Ana sempat menyentuh penisku ketika tangannya menuju perutku. Membuatku bergetar. Mbak Ana mengurut perutku pelan dari atas ke bawah menuju ke penisku.
Aku yang sedang mencoba mengandilakn diri kembali memburu. Sensasi kenikmatan kembali kurasakan. Sesekali ketika mengurut ke bawah pergelangan Mbak Ana kembali mengenai ujung penisku yang membuatku merinding menahan nikmat. Aku mulai khawatir tidak dapat menahan kenikmatan dan menyemburkan cairanku, aku rasa diujung penisku mulai keluar lelehan cairan.
Mbak Ana menghentikan urutannya di perutku, dia tidak mengurutnya selama pahaku tadi.
“Mas sekarang itunya,” Detak jantungku meningkat, penisku semakin tegang.
“I.. iya mbak,” aku membuka mata. Mbak Ana mengusap butiran keringat didahinya, sepertinya dia cukup tenang dan fokus mengurutku.
“Tolong diturunin sedikit mas celananya,” Mbak Ana melihatku sekilas kemudian menunduk, suaranya sedikit bergetar, sepertinya tidak setenang yang aku kira.
Perlahan aku menurunkan boxerku, penisku yang sudah tegang meloncat keluar, aku tidak melepas boxerku hanya menurunkan sebatas paha. Terlihat Mbak Ana mengendalikan nafasnya sepertinya dia mencoba untuk tak terlihat grogi. Dia kembali mengusap keringaat di dahinya dan melap tangannya dengan daster yang dikenakannya.
“Maaf ya mas,” dia memajukan tangannya ke penisku, aku bersiap-siap.
Sentuhan tangannya mulai terasa di penisku “eghh..” aku menahan nikmat. Mbak Ana diam saja.
Mbak Ana mengurut penisku perlahan dengan sedikit tekanan dari bawah ke atas menggunakan jempolnya. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini dia mengurut tanpa menggunakan lotion. Dia mengulangnya kembali dari bawah ke atas. Penisku terasa tegang sekali dan aku merasa kenikmatan yang sangat. Aku melihat Mbak Ana, dia sepertinya menghindari memandang langsung penisku, pandangannya sedikit lebih ke atas ke arah perutku.
Karena agak membungkuk ketika mengurut, aku dapat melihat sedikit belahan dada Mbak Ana melalui lubang atas dasternya, membuat sensasi yang kurasakan semakin menjadi. Kami sama-sama diam, entah apa yang dirasakan dan dipikirkan Mbak Ana. Aku? Tak ada pikiran apapun di kepalaku tapi apa yang kurasakan membuatku melayang, seluruh tubuhku dibaluri oleh sensasi kenikmatan, aku tak dapat menahannya.
“Akhhhhhhh.. Mbaaaak!!,” aku mengerang nikmat, memejamkan mata, menegangkan badanku ke atas, tanganku meremas sprei.
Seketika Mbak Ana menghentikan urutannya, dia menekan keras batang penisku dengan jarinya. Aku merasakan denyut berulang dipenisku, ledakan-ledakan kenikmatan menghantamku, orgasme, aku mencapai klimaks.
Terengah-engah, perlahan ketika kenikmatanku mulai mereda aku mulai merasa heran, sepertinya aku tidak mengeluarkan sperma sama sekali ketika orgasme. Aku membuka mataku, tangan Mbak Ana masih menekan batang penisku, kulihat diujung penisku hanya terdapat sedikit lelehan cairan. Perlahan Mbak Ana melepaskan tangannya dari penisku, kulihat dahinya dipenuhi butiran peluh dan terlihat nafasnya sedikit memburu. Dia melap keringat di wajah dan lehernya, aku mengambil tisu yang ada di samping ranjangku dan menyodorkan ke Mbak Ana. Mbak Ana tersenyum mengambilnya. Aku masih terbaring, penisku mulai menyusut, rasa gugupku hilang seketika.
“Mbak kok aneh ya?” aku membuka percakapan. Mbak Ana duduk di sampingku menghadapku.
“Aku tadi kayaknya orgasme deh, tapi kok gak keluar spermanya ya?”
“Iya mas,” Mbak Ana maklum dengan keherananku, “tadi pas Mas Richie keluar mbak tekan supaya gak keluar.”
Suasana memang sudah lebih cair tapi terlihat Mbak Ana masih belum tenang seperti menahan sesuatu. Aku hanya menerka-nerka sepertinya dia terbawa suasana.
“ohh.. bisa ya seperti itu, aku baru tahu mbak, belum pernah kayak gini, tapi tadi bener-bener enak banget mbak,” aku ngomong asal tanpa mempedulikan kondisi Mbak Ana dan sepintas lupa tujuan urut sebenarnya. Begitulah lelaki kalo sudah klimaks, nafsu langsung hilang seketika hehehee. Mbak Ana hanya tersenyum menanggapiku.
“Mbak minum sebentar ya mas, ntar Mbak lanjutkan lagi,” Mbak Ana bangkit keluar dari kamar menuju dapur.
Aku tersadar, aku masih dalam prosesi urut, heran bercampur penasaran, dan ternyata ini belum selesai?
-tbc-