2 November 2020
Penulis — watempa
Paginya Deni pamit pulang, sedih hatinya. Ia mencium pipi kedua bibinya, nggak enak cium bibir ada Ucil. Si Ucil juga nampak sedih. Mereka mengantar kepulangan Deni.
Menunggu angkot yang ke terminal. Deni berharap angkotnya tak akan pernah lewat, tapi tak lama angkot lewat, Deni naik melambaikan tangan… sedih sekali hatinya.
Ratna duduk termenung, agak anaeh rasanya setelah sebulan lebih terakhir ini ia menghabiskan waktu bersama keponakanya tersayang, Deni, kini rumahnya sepi kembali. Hanya ia dan anaknya Ucil. Ratna diam saja melamun memikirkan Deni. Hatinya terasa kosong,
matanya sedikit berkaca, apakah ia sedang kasmaran…?
Agak siangan Deni sampai. Ibunya senang sekali bertemu anak semata wayang kesayangannya ini. Tapi Deni nampak lesu. Menjawab seadanya. Bahkan saat ibunya menjelaskan kalau project kantor ayahnya sukses dan klientnya sangat puas sehingga menginginkan perusahaan ayahnya mengurus project baru di daerah secepatnya. Ayahnya terpaksa harus menetap sementara di daerah itu selama sebulan ke depan. Baru tadi pagi ayahnya berangkat, menyesal tak bisa bertemu Deni.
Namun Deni tak terlalu antusias. Deni cuma bilang ia capek habis menempuh perjalanan, mau tidur dulu,
meninggalkan ibunya yang rada bingung. Deni masuk ke dalam kamarnya. Ia berbaring sambil berpikir, sebulan lebih yang menakjubkan sudah usai. Deni terus berpikir… lama, menjelang sore ia mantap, keluar kama mencari ibunya… nah itu dia
Bu… Deni, mau ngomong sebentar.. penting.
Iya.. ngomong saja, kamu kayak pejabat saja gayanya.
Ayo bicaralah, ibu dengarkan.
Eh.. be… besok Deni tak mau masuk sekolah lagi.
HAH…? Kenapa, kamu ada masalah di sekolah sebelum kenaikan dulu yangibu tak tahu…?
Ti… tidak, bukan itu bu. Maksud Deni, Deni tak mau masuk sekolah lagi. Deni mau sekolah di kampung.
Lho… lho ada apa ini, bukannya biasanya kamu tak terlalu suka kehidupan di kampung ibu. Ada apa sih, ibu tak paham.
Dan memang Santi bingung sama perubahan sikap anaknya yang mendadak ini. Ia menunggu jawaban Deni.
Begini bu… Deni jenuh di Jakarta. Liburan yang lama di kampung kemarin telah membuka mata Deni. Di sana ternyata menyenangkan. Lingkungannya asik, orangnya ramah dan bersahabat. Juga Deni sempat melihat sekolah di sana, sepertinya bagus. Lagian memang Deni sangat kerasan dan menyukai kehidupan di sana. Pindhin sekolah Deni ya bu.
Wah.. wah… nggak bisa semudah itu nak. Ibu harus berdiskusi sama ayahmu. Tak bisa mendadak. Lagipula ibu sendiri keberatan. Sudh kamu pikirkan dulu, mungkin in hanya perasaan sesat karena kamu baru saja menghabiskan waktu di sana.
Nggak. Pokoknya harus. Kalau tak mau… Deni tak mau sekolah lagi.
Deni nyelonong pergi, memanting pintu kamarnya. Santi membiarkan sudah hafal tabiat anak semata wayangnya ini kalau lagi ngambek. Bingung dia memikirkan hal ini,
mana suaminya lagi dinas keluar. Santi paham adat Deni,
kalau dia sudah bilang tak akan sekolah, maka itu betul- betul akan dilaksanakannya. Santi bingung, kenapa anaknya mendadak kepingin sekali sekolah di kampung.
Santi lalu mengambil HP-nya menelepon suaminya,
menceritakan permasalahan, setelah berunding, mereka sepakat untuk membujuk Dni mengatakan alasan yang sebenarnya, pemikirn mereka, pasti deni ada masalah di sekolahnya yang tak mereka ketahui. Suaminya menyerahkan urusan ini sepenuhnya kepada Santi.
Senin ini Santi menelepon kantornya, alasan sakit. Ia sengaja tak masuk kerja, bertekad membujuk Deni. Dan memang Deni keras dengan niatnya, ia benar-benar tak masuk sekolah. Deni tak mengurung diri dalam kamar,
tapi dibujuk dan dirayu bagaimanapun jawaban anak itu sama, nggak mau sekolah di Jakarta, pindah sekolah titik.
Sampai lelah ibunya membujuk. Sepanjang hari. Jawaban
Deni tak berubah. Malamnya Santi menyerah. Sulit, adat anaknya keras. Deni sudah tidur, Santi duduk melamun.
Santi bukannya tak mau anaknya sekolah di kampung,
tapi jujur saja, Deni anak satu-satunya. Kalaupun memang dalam menempuh pendidikannya Deni harus pisah darinya, boleh, tapi nanti semasa Deni masuk bangku kuliah. Tidak di masa SMA. Santi sangat tidak mau berpisah dengan anaknya. Lagian alasan anaknya mengenai sekolah di kampung tak masuk akal, nggak, itu bukan alasan sebenarnya. Pasti terjadi sesuatu hal yag luar biasa pada anaknya selama ia berlibur di kampung… ya di kampung… semua jawaban ada di sana.
Besoknya Santi masuk kerja. Membiarkan anaknya, biar saja dulu. Dikantor Santi mengurus ijin selama 3 hari,
Rabu sampai Jumat. Senin baru ia masuk kerja.
Malamnya ia memanggil Deni, Santi bilang sebenarnya ia tak enak meninggalkan Deni sendirian, tapi ibu ada tugas kantor penting selma 3 hari, keluar kota. Deni bilang tak masalah. Santi meninggalkan sejumlah uang untuk jajan dan makan Deni. Di kulkas juga banyak bahan makanan kok. Sama sekali ibunya tak menyinggung soal sekolahnya, membuat Deni rada BeTe. Ibunya pura- pura cuek, memilih masuk kamar, tidur. Dan paginya
Santi sudah berada di bis yang akan membawanya ke kampungnya.
Deni berbaring di kamarnya, ia rindu sama bibi Ratna dan bi Lasmi, terutama bi Ratna, mengenang moment- moment panas mereka. Memang dulu ia suka membayangkan ibunya, tapi setelah melewatkan masa indah bersama bi Ratna, kini bi Ratna adalah segalanya buat Deni. Harus… pokoknya aku harus bisa pindah sekolah di sana. Biar bisa dekat kembali dengan bibinya.
Deni lalu tidur ditemani mimpi indahnya tentang bi
Ratna. Selama 3 hari ditinggal pergi, Deni hanya di rumah saja tak keluyuran seperti biasa. Teman sekolahnya memang menelepon HP-nya, menanyakan kabarnya yang tak masuk sekolah, juga diminta tolong sama wali kelasnya untuk mengecek, Deni bohong saja, bilang sedang sakit, waktu sohibnya bialng mau datang jenguk,
Deni bohong, saat ini ia di kampung ibunya. Deni mengakhiri pembicaraan dengan bilang tolong titip kabar ke wali kelasnya, setelah sembuh ia akan segera masuk.
Deni mulai gusar lagi. Ini sudah hari Jumat, belum ada kepastian mengenai kepindahan sekolahnya…
Jumat siang, Santi sudah berada di bis yang membawanya ke Jakarta. Lelah dan tertekan. Santi memejamkan mata, memikirkan apa yang ia dapat 3 hari ke belakng. Jawaban yang ia dapatkan sangatlah mengejutkannya. Awal ia datang, tentu teteh dan adiknya menyambut gembira, tak ada hal yang aneh dengan kedatangannya. Ia memutuskan menginap di rumah adiknya Ratna. Waktu ia menceritakan perihal Deni yang aneh tak mau sekolah lagi di Jakarta, lalu mau pindah sekolah di sini, juga menanyakan apa mereka tahu apa yang terjadi selama liburan, teteh dan adiknya nampak aneh. Sepintas wajar saja saat mereka bilang tak ada masalah. Tapi ia amat mengenal kedua saudarinya ini,
juga nalurinya mengatakan ada yang aneh di sini. Cara keduanya menjawab sangat dibuat-buat. Ia bertekad berusaha sekuat tenaga mencari tahu jawabannya. Cari teh Lasmi sulit, ia juga tak mungkin mendesak tetehnya,
sangat sulit. Paling mungkin adiknya Ratna, hubungan mereka sangat dekat. 2 hari pertama Ratna masih menjawab dengan jawaban yang sama, ditanya macam apapun tetap sama jawabannya. Mungkin memang Deni sendiri yang tahu jawabannya, ya sudahlah nanti ia akan coba membujuk Deni untuk berterus terang. Akhirnya malam harinya, seperti biasa kalau lagi ada kesempatan ia mengajak bicara adiknya, bukan membahas soal Deni,
membahas urusan si Ratna, biar bagaimanapun Santi itu kakaknya, berkewajiban mengetahui rencana masa depan adiknya.
Rat.. gimana, belum mau berumah tangga lagi…?
Alah si teteh, ada-ada saja nanyanya. Itu melulu yang ditanyakan
Ya nggaklah, kan kamu juga harus mikirin si Ucil.
Maksud teteh apa…?
Iyalah.. si Ucil kan butuh sosok ayah.
Ah itu mah nggak harus selalu begitu, toh Ratna menyayanginya sepenuh hati. Soal biaya juga nggak masalah, kan teteh juga sudah tahu.
Santi diam, membenarkan tidak, membantahpun tidak.
Ya sudah, kalau buat Ucil tak masalah, gimana sama kamu…? Maksudnya…
Alah kamu suka begitu Rat. Memangnya kamu sudah nggak butuh gituan, ayo deh sama teteh jujur saja,
ngomongnya vulgar juga nggak kenapa… nggak ada orang ini, bebas ngomong yang jorok hehehe.
Ah, jadi malu deh… ya jujurnya sih umurnya Ratna masih doyan ngewek, tapi itu kan caranya nggak melulu mesti dengan kawin. Memuaskan diri banyak caranya
Santi agak mengernyitkan keningnya, jawaban adiknya tak bisa ia benarkan, mana mungkin ia mau membiarkan adiknya menyalurkan hasratnya sembarangan.
Ya ampun Ratna, kalau maksud kamu dengan kumpul kebo ya teteh Santi nggak bakalan setuju.
Bukan itu teh.. maksud Ratna. Kan kita bisa eh… memuaskan sendiri, biar tak maksimal, lumayan bisa nurunin tegangan hehehe.
Bisa saja kamu. Ya, teteh sih masih berharap kamu mau berumah tangga, tapi pilihlah calon yang baik dan sesuai,
jangan kayak si Wawan geblek itu.
Ya pastilah teh. Asli itu mah pengalaman pahit. Geblek banget tuh lelaki, orangtuanya mampu, bisa menyekolahkan dia, bisa memberikan pekerjaan malah disia-siakan. Sudah foya-foya melulu, doyan ngewek sembarangan, mending kalau becus, nafsu doang gede… huh paling sebel kalau sudah ngebahas dia.
Santi nyengir, memang adiknya ini selalu marah kalau membahas si Wawan. Perkataan Ratna terakhir tadi membuatnya sedikit teringat masalah Deni. Ia pun kembali berucap, serius juga sedikit guyon biar adiknya nggak marah terus. Ratna masih emosi
Itulah… makanya teteh sedih banget si Deni nggak mau sekolah, berkeras mau pindah. Teteh keberatan, lain halnya kalau si Deni sudah kuliah. Kalau masih SMA di
Jakarta saja. Tapi sekarang tuh anak tak mau sekolah.
Teteh nggak mau tuh anak kayak si Wawan, orangtuanya mau menyekolahkan tapi si Deni menyia-nyiakan.
Nggaklah teh. Mana bisa si Deni disamain sama si
Wawan. Si Deni mah anak baik, sekolahnya pinter nggak bego kayak si Wawan. Lagian si Deni ngeweknya juga lebih pintar dari…
Ratna tak menyelesaikan ucapannya. Dia memang emosi banget tiap membahas si Wawan, lagianngapain juga tetehnya nyamain si Deni sama si Wawan. Ratna yang sayang sama keponakannya tentu membelanya dengan penuh semangat dan emosi. Saking semangatnya sampai kebablasan. Ekspresi muka Ratna kini seperti orang salah tingkah. Sedang Santi yang sudah hapal karakter adiknya tahu banget kalau ekspresi adiknya sudah seperti ini,
maka ada rahasia yang adiknya sembunyikan. Sementara
Ratna salah tingkah, Santi memandangnya dengan ekspresi pemuh minat…
Rat… teteh dengar kata-katamu yang terakhir walau tak kamu selesaikan. Kamu nggak usah bohong, teteh sudah tahu kalau sekarang gayamu seperti ini maka ada suatu rahasia yang kamu sembunyikan. Gimana kamu bisa ngomong dan bisa menilai kalau si Deni ngeweknya lebih pintar, jelas ada sesuatu yang tak teteh ketahui… nah sekarang kamu ceritakan saja semuanya dari awal sejujurnya…
Dan meski adiknya Ratna mencoba berkelit, akhirnya mengalir juga penjelasannya dari awal, sungguh membuat Santi sangat terkejut, sangat tak menyangka.
Ratna hanya diam saja setalah memberikan penjelasan.
Sementara Santi juga diam, selain terkejut, otaknya juga mulai bisa merangkai serpihan-serpihan jawaban yang tadinya terpencar, mulai bisa memahami alasan Deni.
Mau marah juga sulit, di satu sisi Deni anaknya, di sisi lain ada Ratna, adiknya. Ratna memang telah berterus terang,
tapi Ratna tidak jujur sepenuhnya, Ratna memilih untuk tidak melibatkan atau membawa nama teh Lasmi, bisa tambah runyam urusannya. Agak lama berdiam diri,
Ratna memulai kembali percakapan.
Teh, jadi begitulah ceritanya. Eh.. ma.. maafin Ratna yah teh.
Untuk apa…? Ini bukan masalah dimaafkan atau tidak,
semuanya telah terjadi. Kenapa Rat…? Kenapa..?
Den… Deni itu kan keponakanmua sendiri… apa tidak ada lelaki lain…?
Teh… sungguh… awalnya Ratna juga menolak. Terserah teteh mau percaya atau tidak, tapi itu benar. Tapi yang namanya laki dan perempuan dalam satu rumah… akhirnya apapun bisa terjadi. Be.. benar Ratna ini bibinya, tapi kalau digoda dan juga dari Ratna sendiri memang ada kebutuhan… ya.. eh… itu akhirnya terjadi.
Tidak harus terjadi kalau kau bisa menahan diri dan menolak secara sungguh-sungguh.
Santi memandang adiknya tersebut. Hatinya marah,
namun juga menyadari, sesalah apapun Ratna, tetap saja ia harus bisa objectif, Santi juga memikirkan kemungkinan lainnya, ya anaknya sendiri Deni, biar bagaimanapun sedang dalam usia yang sedang puncak- puncaknya penasaran mengenai wanita dan seks. Yang satu sedang penasaran, yang satu laginya juga punya kebutuhan… klop ketika mereka bertemu. Tak peduli kalaupun itu tak boleh dilakukan.
Teh… Ratna tak akan atau tak bisa bilang kalau Ratna menyesalinya.. nggak.. nggak bisa. Biar bagaimanapun sebagai wanita, Ratna mengakui kalau ratna menikmatinya. Diri ratna mendapatkan rasa nyaman.
Teteh boleh bilang ini edan, tapi jelas dengan eh Deni,
Ratna menemukan sesuatu yang telah lama hilang. Bukan hanya urusan eng… seks semata, tapi juga melibatkan rasa nyaman, rasa senang, hati Ratna bahagia. Setelah sakit karena perlakuan kasar si Wawan, entahlah.. Ratna merasakan Deni telah mengobatinya.
Cukup Rat. Cukup… jangan kau teruskan perkataanmu.
Teteh memang memikirkan keadaanmu yang terluka dan terpuruk akibat rumah tangga yang berantakan karena ulah suamimu yang tak bertanggung jawab itu. Berharap kau bisa bangkit lagi, tetapi jelas bukan sama anakku.
Iya teh. Ratna sadar itu tak mungkin. Ratna hanya mengungkapkan kalau saat itu Ratna bahagia. Bagi Ratna walau hanya sebentar, tapi saat itu telah membahagiakan
Ratna. Mungkin setelah ini teteh akan benci sama ratna,
tak mau ketemu lagi, Ratna bisa menerimanya, tapi tolong jangan salahkan Deni. Ini bukan salahnya sepenuhnya, Ratnalah yang pantas disalahkan.
Santi hanya diam saja, adiknya nampak bersungguh- sungguh dengan perkataannya yang terakhir. Bahkan kini
Ratna nampak menahan air matanya. Berat buat Santi untuk memutuskan atau memikirkan apa yang mau ia lakukan atau katakan selanjutnya. Ia berdiri, menuju dapur, membuat 2 cangkir teh. Dirinya perlu menyegarkan diri. Ia membuat teh. Setelah selesai ia membawanya ke sofa, ditaruhnya di meja. Satu untuknya satu untuk Ratna. Ia meminumnya, hanya mengangguk memberi tanda pada adiknya juga untuk minum. Setelah minum teh, Santi merasa lebih segar dan mulai bisa berpikir lebih jernih. Ia diam sebentar untuk berpikir.
Ratna hanya diam sambil memegang cangkir tehnya.
Akhirnya Santi memulai bicara.
Rat, seperti yang tadi teteh bilang, semua sudah terjadi.
Jelas teteh kecewa. Sangat. Tapi juga sadar, anak teteh pasti juga punya andil dalam kesalahan ini. Pasti, teteh yakin mengingat usianya yang puber. Biar bagaimanapun kamu adik teteh, selain kamu hanya ada teh Lasmi yang tersisa, tak mungkin teteh memutuskan hubungan.
I.. iya teh.
Tapi kini masalahnya adalah si Deni.
Den.. Deni teh..? Maksudnya..?
Selain masalah sekolahnya, ada hal lain yang teteh harus pikirkan setelah mendengar pengakuanmu. Kamu dan teteh sama-sama tahu, kalau kita sudah merasakan dan menikmati enaknya ngewek, pasti akan mau lagi dan lagi.
Ibarat orang yang sudah terbiasa merokok atau ngopi,
kalau tak ketemu rokok atau kopi, pasti rasanya tak enak.
Kamu paham kan..?
I.. iya teh.
Ratna meminum kembali tehya, kembali berbicara.
Dan Deni telah melakukan sesuatu yang seharusnya belum waktunya ia lakukan. Jelas sudah membuatnya terbiasa. Alasannya mau pindah sekolah pasti karena itu.
Kini sulit untuk teteh. Kalaupun ada sisi baiknya dalam hal ini, paling tidak Si Deni itu mengenal hubungan seks bukan dari pelacur dan sejenisnya. Namun tetap saja setelah merasakan enaknya hubungan seks, tubuhnya akan dan sudah terbiasa, pasti mau lagi, teteh khawatir anak itu… eh… bakalan mencari kepuasan melalui pelacur.
Seumurannya belum mengerti resiko dan bahayanya.
Teh… benar juga kata teteh…
Ya… ini masalah yang harus dipikirkan. Soal sekolahnya,
teteh akan berusaha membujuknya. Oh ya, Rat, tolong ceritakan lagi… jangan malu, ini penting. Kalau teteh mau bicara sama Deni, teteh perlu pahami dan mengerti jelas situasinya. Nah, kamu bilang tadi si Deni ngeweknya lebih pintar… eh, mana bisa si Rat. Dia itu anak baru gede… baru mau 17…?
Ratna wajahnya bersemu merah, malu juga dia menceritakan hal ini, tapi tetehnya benar, tetehnya perlu kejelasan. Kalau tetehnya mau membujuk keponakannya buat kembali bersekolah dan juga agar tidak melakukan hal yang beresiko, maka tetehnya perlu segala informasi.
Eh… gimana ya teh… aduh… anu…
Sudah jangan gugup begitu, ceritakan saja…
Ba.. baik… eh begini teh, memang sih awalnya si Deni itu eh.. per.. perjaka, masih hijau, tapi karena eh… giat belajarnya jadi pintar. Bakat juga sih…
Iya, gurunya kamu sih. Terus ada lagi..?
Eh se.. selain itu, teteh mungkin tak akan paham, tapi eh kont01nya itu sangat eh mengesankan. Sulit menolaknya,
makanya ratna juga sampai melakukan hal ini.
Ah… itu sih kamu terlalu berlebihan. Mungkin kamu saja yang sudah lama nggak ngewek, makanya pas ketemu pelampiasannya jadi berlebihan menilainya.
Sudah… sudah, soal itunya si Deni, nggak perlu dibahas.
Ratna menghela nafs, lelah, banyak yang masih harus ia pikirkan. Ia butuh istirahat.
Rat, teteh nggak bisa ngomong banyak lagi, semua sudah terjadi. Tapi tolong… tolong untuk ke depannya, tahan dirimu, jangan kamu lakukan lagi sama anakku. Teteh anggap ini hanyalah gairah sesaat saja… seiring waktu baik kamu atau Deni akan melupakannya, akan menemukan lagi jalannya yang baru. Paham…?
Pa.. paham teh.
Satu hal lagi, setelah ini, jangan kamu hubungi Deni. Biar saja, dia tahunya teteh sedang dinas kantor. Bukan ke kampung. Jangan kau bocorkan kalau teteh sudah tahu hal ini. Awas kalau kamu telepon dia. Urusan ini biar teteh yang selesaikan. Sudah, besok pagi teteh pulang.
Sekarang mau tidur dulu.
Teh… sekali lagi, maafin Ratna.