1 November 2020
Penulis — qsanta
“Selamat datang di rumah.”
Mungkin Bu Bambang mencoba mencairkan kekikukanku. Kulihat Pak Bambang, namun dia sama sekali tak terpengaruh. Menoleh pun tidak.
“Jangan sakit hati ya. Bapak memang gitu. Keras.”
Bu Bambang mencoba menghiburku sambil membimbingku menuju ruang yang kukira akan menjadi kamarku.
“Tiru Eri, anggap aja Bapak gak ada.”
“Eri juga digituin?” Aku terkejut mendengarnya.
“Iya. Kayak ada jurang pemisah yang makin melebar. Tapi bukan salahnya Eri.”
Aku ingin tahu lagi, tapi tak bertanya lebih jauh. Aku ikuti Bu Bambang naik tangga. Kulihat pergerakan pantatnya, yang sungguh sangat menawan. Kami tiba di kamar yang cukup besar, yang seingatku dulu sering menjadi ruang bermain kalau aku dan Eri selagi kecil, dulu. Bu Bambang menaruh tasku di kasur, sedang aku menaruh ransel di lantai.
“Gimana?”
“Bagus Bu.”
“Syukurlah kalau kamu suka. Ada tape dan tv juga dvd.”
“Makasih Bu. Makasih banyak.”
“Gak perlu. Lagian ini juga untuk kebaikanmu.”
Aku masih terharu akan keramahannya hingga tak menyadari kalau Bu Bambang mendekatiku dan mencium bibirku. Lantas Bu Bambang keluar kamar, meninggalkanku yang berdiri terpana. Aku serasa tak percaya Bu Bambang mencium bibirku. Aku jadi berharap agar Eri gak pernah pulang.
Aku harus berusaha agar Pak Bambang menyukaiku. Setidaknya, tidak mendiamkanku. Agar aku bisa tinggal lebih lama lagi. Namun ternyata kenyataannya jauh lebih susah. Saat makan malam pun Pak Bambang tak pernah bicara padaku.
Sesudah itu, sambil membantu Bu Bambang di dapur, kukira beliau langsung ke dapur agar bisa menjauh dari Pak Bambang, Bu Bambang menyuruhku tetap sabar hingga Bapak memulai pembicaraan.
“Nanti juga berubah kok,” katanya mencoba meyakinkanku.
“Bapak hanya, gimana ya, kuno.
“Lagian, Ibu dan Eri ingin kamu tinggal di sini. Biar Bapak yang mengalah.”
Aku tak lagi fokus mendengar suaranya karena lututnya menyentuh lututku. Ternyata Pak Bambang ke dapur, meletakan piringnya ke wastafel. Setelah itu kembali pergi. Aku yakin Pak Bambang melihat istrinya menyentukan lutut ke lututku.
“Bikinin kopi dong.”
“Iya.”
Saat Bu Bambang melewatiku sambil membawa kopi, beliau kembali menyentuhkan lututnya ke lututku, seolah sentuhan lutut itu merupakan cara komunikasi rahasia. Beberapa hari kemudian Bu Bambang selalu berbuat sesuatu agar mendapatkan perhatianku. Selain menyentuhkan lutut, juga memegang lenganku, mengelus kakiku dengan kakinya saat kami duduk di sofa yang sama.
Bu Bambang selalu menyuruhku melakukan sesuatu. Seperti menjemur cucian di halaman. Okelah, aku bisa keluar menjemur saat aku tahu ada Bu Bambang yang mengawasiku. Namun saat Bu Bambang menyuruhku menutup dan atau mengecek pintu pagar, aku begitu gugup, begitu tegang saat kembali di rumah. Aku mencoba menyembunyikan kegugupanku dari Bu Bambang.
Tapi saat Pak Bambang ada di rumah, aku mencoba menjauhi Bu Bambang. Namun ternyata sulit, karena Bu Bambang mulai memakai pakaian yang, terbilang seksi, seperti pakaian berbahan tipis, setipis sutra, begitu tipisnya bagaikan tiada lagi yang lebih tipis. Atau bahkan pakaian yang ketat, begitu ketatnya hingga seolah tiada lagi yang lebih ketat.
Saat aku dipeluknya, aku menjadi ragu apakah Bu Bambang memakai pakaian dalam di dalam bajunya. Rasa penasaranku makin besar karena kini Bu Bambang memakai baju dengan belahan leher yang lebar.
Ketakutanku terhadap Pak Bambang tentu tak perlu saat Bu Bambang memelukku saat Pak Bambang tak ada. Namun kenyataanya, saat Pak Bambang ada, Bu Bambang seolah tak peduli dan tetap memelukku. Meski pergerakan Bu Bambang tak terlihat menggoda, namun kenyataannya tetap menggoda.
Aku takut Pak Bambang jadi marah hingga mengusirku.
Tingkah laku Bu Bambang saat ada Pak Bambang kini makin bervariasi. Bu Bambang duduk di sofa, menyilangkan kaki hingga membuat roknya turun hingga pahanya makin terlihat. Pun duduk sedemikian rupa hingga menyebabkan salahsatu payudaranya menyembul. Kalau aku tak menyadarinya, Bu Bambang akan bergerak dan atau bersuara hingga aku menoleh.
Suatu ketika, aku sedang dalam keadaan terangsang. Tentu gundukan di celanaku terlihat jelas. Aku capek mencoba menyembunyikan efek dari tingkah laku Bu Bambang, yaitu tonjolan di celanaku, setidaknya dari mata Bu Bambang.
Suatu ketika, Bu Bambang merebahkan diri di sofa. Kakinya menyentuh sisi sofa hingga terangkat. Pak Bambang di belakang Bu Bambang, sedang aku agak jauh namun posisiku duduk menatap mereka. Bu Bambang mengangkat lututnya hingga membuat roknya jatuh memperlihatkan pahanya. Baru kali ini aku kembali melihat pahanya setelah insiden es cone dulu.
Otomatis kontolku menegang. Pak Bambang mendeham, aku melihatnya sambil merasa berdosa. Aku merasa Pak Bambang mengetahui kelakuan istrinya.
Suatu ketika, kaki kiri Bu Bambang naik ke sandaran sofa, sedang kaki kanannya jatuh ke lantai, membuat kakinya melebar hingga selangkangannya tersaji untuk mataku. Aku tak begitu fanatik terhadap hal - hal berbau porno, tapi kali ini aku jadi ingin menikmati gundukan daging milik Bu Bambang.
Setelah beberapa lama, aku putuskan kembali ke kamar. Begitu ada di lantai atas, aku mendengar Bu Bambang bicara dengan Pak Bambang. Entah kenapa aku merasa suara Pak Bambang tak terdengar senang.
***
Aku sedang menonton tv sambil berbaring di kamar, sehabis menumpahkan peju di kamar mandi yang ada di kamarku. Aku mendengar pintuku diketuk, lantas terbuka. Bu Bambang lantas masuk dan duduk di kasur.
“Mau minum susu gak? Teh atau kopi?”
Aku menggelengkan kepalaku. Bu Bambang kini memakai daster tidurnya.
“Ali lupa gak cium sebelum tidur dulu sama Ibu.”
“Apa… Tapi…”
“Atau Ali gak mau ya? Ya gak apa - apa kalau gak mau.”
“Mau bu.”
“Kalau gitu cium ibu dong.”
Aku bangkit dan menekankan bibirku ke bibir Bu Bambang, sekilas. Saat aku kembali merebahkan diri, Bu Bambang ikut rebahan hingga bibirnya kembali menyentuh bibirku. Tekanan bibirnya lebih lama dari yang tadi. Lantas dia menarik kepalanya.
“Gitu saja?”
“E… ng…”
Bu Bambang bangkit lantas berdiri.
“Selamat tidur Li.”
“Sama - sama Bu.”
“Di dalam kenyataan, kamu harus berjuang untuk mendapat apa yang kamu inginkan. Kalau gagal, coba terus hingga berhasil.”
Bu Bambang melangkah hingga keluar dari kamarku. Tipisnya daster Bu Bambang membuatku yakin kalau beliat tak memakai apa - apa lagi di dalamnya. Aku mencoba berpikir mengenai makna kenyataan hidup, yang Bu Bambang katakan. Namun karena lelah, aku pun tertidur.