2 November 2020
Penulis — unwell
Pagi dini hari gue terbangun, beberapa saat masih bingung gue ada dimana, baru gue sadar gue tidur di kamar Kakak, pantesan bantalnya harum banget, nggak kayak bantal gue… apek dan dekil. Terasa ada hembusan nafas halus dekat telinga gue, gue lirik kesamping, Kakak masih tidur, meringkuk dekat disamping gue, mungkin dia kedinginan tidur dengan hanya tertutup selembar selimut dipagi buta begini.
Gue langsung ingat kejadian beberapa jam sebelumnya, wajah damai itu begitu berbeda tadi, nyooot… si Junior langsung bereaksi niruin suara “senjata super sakti” nya Ryo Saeba, detektif super cabul. Masih selimutan, pikiran gue menerawang kepada kejadian kemarin siang, jalan dengan Kakak, mulai “baekan” lagi, memulai komunikasi lagi, akrab lagi, becanda lagi, hingga hal itu terulang kembali.
Tapi bedanya semalam itu kita melakukannya dengan sadar. Nggak pernah terpikir dibenak gue perbuatan itu bisa terulang kembali. Dulu itu rasanya mau kiamat aja, kayaknya gue udah kehilangan Kakak gue deh, boro-boro mau kejadian lagi, ngobrol aja udah jarang banget. Tapi nanti-nantinya gimana ya? Gimana hubungan gue dengan Kakak selanjutnya, gimana kita mesti bersikap?
Apa kejadian malam ini cuman accident aja dan nggak akan kita ulangi lagi? atau malah suatu awal, awal dari bentuk hubungan yang baru? Naluri bejat gue mah maunya milih option terakhir, tapi hati kecil gue sebenarnya menolak semua ini, gue lebih memilih hubungan seperti dulu. Pure love without lust.
Gue pandangi lagi wajahnya lekat-lekat, innocent, dia kakak yang baik, tapi kenapa hal ini bisa terjadi? Tau ah, gue pusing, gimana antar aja. Yang penting sekarang pikiran gue tenang, Kakak ternyata nggak marah. Nggak kayak tempo hari, otak gue kusyut ketakutan. Gue cabut sekarang aja deh, daripada pagi-pagi nanti, ntar keburu dia bangun, masih berasa tengsin aja gue.
Pagi hari gue terbangun. Gue inget ada kuliah pagi ini, buru-buru gue mandi dan pakaian, terus turun ke bawah. Oops… Kakak rupanya masih dirumah, udah rapi tapi belum berangkat kuliah, dia sedang masak di dapur. Yah… gimana nih? Udah kepalang tanggung, gue langsung berangkat ajalah. Tapi harum nasi gorengnya membuat gue lapar dan lagi dia pasti nyuruh gue makan dulu.
Akhirnya gue duduk aja di meja makan sambil sibuk baca koran. “Kuliah Tom?” sapanya tanpa melihat gue. “Iya” jawab gue. Terus dia diam aja, sibuk ngaduk kuali. Kemudian dia menghidangkan 2 piring dimeja. “Makan dulu Tom,” katanya singkat. Terus kami makan tanpa mengucapkan sepatah katapun, kayak orang musuhan.
Suasananya nggak enak banget, sama-sama malu, sama-sama salting, kontras dengan suasana kemarin sore yang ceria dan akrab. Gue makan sambil menunduk, pura-pura sibuk baca koran disamping gue, nggak berani mendahului bicara. Akhirnya dia menghela nafas pelan dan bicara, “Tom… nggak enak ya suasana begini…
“dia diam, “Padahal kemarin kita udah mulai akrab lagi… tapi…” kemudian dia diam, nggak nerusin ucapannya tadi. “Gue kangen suasana kayak dulu Tom…” “Ahh… semuanya emang gara-gara gue…” Wajahnya mulai suram, matanya mulai berkaca, tatapannya menerawang kosong ntah kemana, tapi sekarang dia kelihatan lebih tabah, nggak histeris lagi, mungkin udah pasrah.
“Mungkin kamu ngeliat gue udah jelek banget ya Tom, mungkin kamu mikir kakakmu cewek nakal yang tega-teganya manfaatin kamu…” sambungnya lagi, “Tapi tolong Tom… jangan benci sama gue, gue cuman minta itu sama kamu,” lalu dia diam, berusaha keras menguasai diri, sempat gue lihat dia mengusap matanya sesaat, makannya nggak diterusin lagi.
Gue juga jadi malas makan, “Kakak ngomong apaan sih, ngaco begitu. Siapa yang mikir begitu? Ya udahlah… apaan lagi sih… udah kejadian juga. Kan gue udah bilang, Kakak ya tetap kakak gue… nggak berubah. Lagian gue juga kangen sama suasana dulu, cuman Kakak aja yang diam terus, gue kan jadi takut, ntar salah-salah disemprot lagi” kata gue setengah menghibur, setengah ngomel.
Setelah lama diam dia akhirnya ngomong lagi, “Ya udah, makasih kamu nggak benci sama gue, yang penting sekarang kejadian itu nggak boleh diulangi lagi, nggak boleh” katanya. “Tidaaaaaakkkkkkk…” itu yang teriak bukan gue, si Junior nih yang menjerit histeris, dia meronta-ronta begitu tau makanannya hendak melarikan diri.
“Mumpung belum ada yang tau, mumpung belum muncul masalah yang lebih besar, kita harus stop, menjaganya jangan sampe terulang lagi.” “Mudah-mudahan hubungan kita bisa kembali kayak dulu lagi, kamu dengar Tom?” “Iya,” kata gue pelan. Setelah diam beberapa saat, “Kamu mau kuliah? yok bareng, gue anterin”.
Kira-kira tiga mingguan kita bisa bertahan, tiga minggu gue berusaha menguasai diri, mengusir bayangan tubuh telanjang Kakak dari fikiran gue, berusaha mengacuhkan godaan si Junior keparat ini. Heran deh, beratnya nggak sampai seperseratus berat badan gue, tapi bertingkah banget, suka nggak mau nurut sama gue, kepengen gue air keras aja nih makhluk biar nggak ngerepotin.
Tapi janji tinggal janji. Malang tak dapat diraih, mujur tak dapat ditolak, gitu kata pepatah versi gue. Kira-kira tiga minggu setelah itu, rumah kami kedatangan keluarga Oom dari daerah, satu keluarga penuh lengkap dengan anak-anaknya 3 ekor. Mereka mau menghadiri wisuda putra sulungnya, sepupu gue.
Berhubung satu keluarga full, sama Nyokap mereka ditempatkan di kamar gue, gue jelas nggak bisa protes, masa mereka disuruh tidur di ruang tamu. Gue sendiri disuruh tidur di kamar Kakak. Wah repot juga nih, bisa tergoda gue, tapi tidur diluar selama seminggu mana tahaaan, bisa kena demam berdarah gue, lagi musim soalnya.
“Kak, gue tidur diluar aja deh” kata gue basa-basi. “Eh.. jangan ntar kamu sakit lagi, duh gimana ya?” Kakak gue juga bingung. “Ya udah, kalo gitu Kakak aja yang tidur diluar” kata gue memberi solusi blo’on. “Enak aja lu, udah bagus gue kasih tumpangan, gini aja, kamu tetap tidur disini, bawa tuh kasur lipat, gelar dipojok sana, awas..
Malamnya gue deg-degan, duh gimana ya ntar, apakah akan ada siaran ulangan? buru-buru gue buang pikiran ngeres itu dari kepala gue, tapi buangnya nggak jauh-jauh. Yang jelas gue harus ikutin kata-kata Kakak, gak boleh ya gak boleh, lagian gue mana berani sih buat mulai duluan, kalo Kakak juga mau, kalo nggak bisa digampar gue, dan diminta dengan tidak hormat untuk tidur diluar berteman nyamuk-nyamuk nakal, taela.
Lagian gue juga nggak mau ngorbanin perjanjian kita dan hubungan yang mulai membaik belakangan ini. Kalo perbuatan itu sampai terulang lagi, pasti rusak lagi semuanya. Tapi pas mulai malam gue perhatiin Kakak juga mulai grogi, hampir nggak kelihatan memang, karena dia pintar banget nyembunyiin perasaannya, dia nggak berani bertatapan muka sama gue, selalu menghindar, pura-pura maen sama sepupu gue yang paling kecil, padahal gue tau dia horny berat, cuman sok cool aja.
Gue biarin dia masuk kamar duluan, biar gue belakangan aja nunggu dia tidur, buat menghindari conversation basa-basi yang nambah bikin gue salting. Film udah habis, semua udah pada tidur, gue juga udah mulai ngantuk, baru gue beranjak ke kamar. Gue masuk pelan-pelan, lampu besar udah dimatiin, tinggal lampu baca di samping tempat tidurnya.
Kakak tidur miring memeluk guling Mickey Mouse-nya, heran udah gede masih aja suka sama makhluk-makhluk jelek itu. Memakai kaos yang kedodoran dan second skin yang mencetak erat pahanya yang kencang. Wuihh… berdesir juga darah gue, buru-buru gue ke pojok singgasana gue, berbaring dan mencoba memejamkan mata.
Susah payah gue mencoba tidur, tapi suasana dan harum kamar ini mengingatkan gue sama kejadian dua malam disini, di kamar ini, geliat, desah nafas, rintihan, kehangatan dan kelembutan seorang wanita yang kini berbaring hanya beberapa meter dari gue. Boro-boro mau tidur, ngantuk aja langsung hilang. Tapi gue dengar Kakak juga membolak-balik badannya, ehmm…
dia masih bangun rupanya, nggak bisa tidur juga, soalnya dia biasanya kalo udah tidur anteng. Dia pasti sedang berjuang juga seperti gue, tersiksa banget tuh, mana napsunya gede juga lagi. Pusing juga sih, lamaaaa gue masih terjaga, akhirnya semuanya jadi sayup-sayup dan akhirnya gue tidur juga. Selamat deh malam ini.
Pagi hari gue bangun, Kakak udah nggak ada, hmm… bangun duluan rupanya, gue mandi dan pakaian terus turun kebawah. Kakak ada dibawah, sedang becanda sama sepupu gue. Gue lihat matanya agak merah, hihihi… kurang tidur kayaknya. Siang ini gue janji sama sepupu gue mau nganterin mereka ke Dufan, dan siang itu gue, Kakak, dan tiga anak manis itu pergi ke Dufan.
Pulangnya udah malam, gue capek banget. Kakak udah masuk kamar dari tadi-tadi, gue nyusul nggak lama kemudian. Tadi di Dufan dia ceria banget, becanda sama gue dan sepupu, tapi pas sampe rumah jadi nggak banyak ngomong, mukanya ditekuk terus langsung masuk kamar. Pas udah berbaring, pikiran gue mulai korslet lagi, padahal badan capek, tapi si Botak senut-senut terus, heran makin capek, makin horny rasanya.
Perlahan gue mulai dibuai mimpi. Nah, kira-kira tengah malam, tidur gue berasa nggak enak, kok sempit banget sih ni, pikir gue, antara sadar dan nggak gue merasa ada orang yang ikutan berbaring disamping gue, siapa sih ni nyempit-nyempitin aja. Gue lihat kesebelah gue, ditemaram lampu gue lihat Kakak tidur rapat menghadap gue, buah dadanya yang lembut terasa menyentuh lengan gue.
Nyooott… nggak peduli gue masih ngantuk si Junior langsung bereaksi. Matanya terpejam, tapi nafasnya yang panas memburu menyapu wajah gue, menandakan dia tidak sedang tidur. Otak di kepala gue langsung pindah ke kepala botak si Junior, menandakan dia sekarang yang memegang kendali seluruh tubuh gue.
Gue membalik menghadap Kakak dan melingkarkan tangan gue di pinggangnya, wajah kami sangat rapat, benar saja, Kakak nggak tidur, dia langsung bereaksi. Matanya tetap terpejam tapi kepalanya perlahan maju dan melumat bibir gue, pertama dengan lembut, makin lama makin panas, nafasnya menghembus kasar, lidahnya bagaikan ular melilit lidah gue.
Tangan gue masuk kedalam kaosnya, memeluk erat dan meraba punggungnya yang mulus, disela ciumannya dia mulai mendesah. Nekat aja langsung gue buka pengait bra-nya, sementara dia mulai menarik-narik kaos gue. Gue bantu dia melepas kaos gue, kemudian gue tarik lepas juga kaosnya, dan dengan cepat dia meloloskan bra dari tangannya dan langsung menindih gue lagi.
Buah dadanya yang padat jelas terasa mengganjal di dada gue. Gue remas pantatnya yang hanya dilapisi second-skin ketat, dia melenguh dalam ciumannya. Terus gue mulai buka second-skin-nya, dia membantu dengan mengangkat dan memajukan tubuhnnya sehingga buah dadanya tepat di muka gue, langsung aja gue hisap putingnya yang sudah mencuat, tubuhnya bergetar dan dia mendesis seperti orang kepedasan.
“Tommm… sshhhhh..” dia mulai memanggil nama gue, tangannya nggak berusaha membuka celananya lagi, tapi memeluk erat kepala gue. Second-skin berikut CDnya sudah terlepas, dalam keadaan telanjang begitu dia langsung memelorotkan celana plus CD gue. Begitu terlepas dia langsung menindih gue. Tanpa penghalang lagi seluruh permukaan tubuhnya langsung menyentuh kulit gue, membuat bulu gue merinding.
Kami berpagutan panas beberapa saat, ciumannya mulai turun ke telinga dan leher gue, sementara lebat bulu kelaminnya terasa seperti membelit penis gue. Tangan gue meremas bongkahan pantatnya dan terus turun ke celah vagina-nya, basah… dia memang sedang horny berat, dan aroma kewanitaannya mulai menyeruak.
Kemudian dia merangkak diatas gue dan menggenggam penis gue dan perlahan dia mendekatkan pinggulnya, dia benar-benar sudah nggak tahan. Terasa helm si Junior menyentuh bibir vaginanya. Kemudian setelah masuk sedikit, perlahan dia bergerak mendorong dan duduk di pinggang gue. “Aaaahhhkk… erangan kami sama-sama terdengar begitu penis gue bergerak masuk ke lubang kewanitaannya, terbenam di dalam tubuhnya.
Tubuhnya bergetar dan matanya tinggal putihnya saja. Kakak diam beberapa saat menikmati sensasi itu, untung aja jadi gue bisa narik nafas menenangkan diri. Kemudian dia mulai menggerak-gerakkan pinggulnya, maju-mundur, memutar, pertama perlahan, dengan mata terpejam dan mendesis-desis pelan sambil menggigit bibir bawahnya, dia sepertinya sangat menikmatinya.
Gue cuman bisa mendelik sambil menahan nafas menikmati semuanya, menyaksikan Kakak gue dengan tubuh putihnya yang telanjang bersimbah peluh menari di atas tubuh gue yang bersatu didalam tubuhnya, semakin hangat dan basah, terasa cairan kewanitaannya mengalir di biji gue, sementara buah dadanya berguncang-guncang mengikuti gerak tubuhnya.
“Toomm.. hhh…” tubuhnya kaku dan limbung kedepan memeluk gue. Wah.. Kakak diambang orgasme nih, gue juga dikit lagi nih, langsung gue balikkan badannya dan menindihnya, “Ahhhhkk… ,” jeritannya keras banget, gue sampe takut kedengaran ke kamar sebelah, terpaksa gue tutup mulutnya pake tangan, tapi tangan gue malah digigitnya keras.
Gue langsung menyetubuhinya secepat gue bisa di sisa-sisa orgasmenya. Organ wanitanya yang berdenyut-denyut semakin menjepit erat, tubuhnya terguncang-guncang menahan badan gue. Dan… akhirnya diantara berjuta kenikmatan dan perih ditangan gue, gue melepas semua beban, mengalir ke dalam relung tubuhnya, tubuh Kakak gue sendiri, menyatu disana.
Beberapa saat gue baru tersadar, penis gue masih berada didalam tubuhnya, terasa basah semuanya, gue bangkit dari atas tubuh Kakak. Dia cuman diam terkulai seperti mati, hanya naek turun dadanya yang teratur yang menandakan dia sedang tidur, sungging senyum kepuasan masih terisa di sudut bibirnya. Mungkin dia terlalu lelah akibat kemarin kurang tidur dan seharian mondar-mandir di Dufan, ditambah pergumulan barusan.
Perlahan gue gendong tubuh telanjangnya, dia hanya mendesah manja sambil mengalungkan tangannya keleher gue. Gue baringkan di tempat tidurnya dan gue selimutin, balik ke kasur lipat gue yang barusan menjadi ajang pertempuran, kusut masai dan ceceran cairan tubuh kami disana sini. Gue udah gak peduli, pake celana, langsung berbaring dan…
Sejak saat itu kami menyadari bahwa semuanya benar-benar sudah berubah, akan sangat sulit sekali menghentikan perbuatan ini. Kami sudah beberapa kali bertekad untuk menghentikannya tapi selalu saja gagal. Kakak udah pasrah, gue apalagi cuek aja. Kami biarkan semuanya berlalu apa adanya. Kami nggak kuasa menolak dorongan biologis itu, meskipun tau ini salah.
Sejak malam itu, kami melakukan hubungan intim setiam malam, selama seminggu, sampai keluarga Oom pulang. Segala nafsu, hasrat, kami tumpahkan setiap malam. Begitu malam tiba, kami berdua langsung masuk kamar, menyetel tape agak keras sebagai kamuflase, dan mulai bergumul, bergulat, dan saling tindih.
Malam hari kamar Kakak penuh dengan aroma sex, rintihan halus, erangan, rengekan dan cekikikan manja, suara tubuh beradu, derit ranjang, dilatar belakangi lagu-lagu fave kami. Kakak memang nafsunya gede banget, gampang banget terangsangnya, seperti nggak kenyang-kenyang, sampe pegel gue ngeladeninnya, cairan wanitanya juga banyak banget, sampe meleleh-leleh keluar gitu, gue nggak tau deh apa emang semua cewek begitu.
Seminggu itu ilmu persilatan gue maju pesat, Kakak membiarkan gue mengeksplor seluruh lekuk tubuhnya mulai dari kepala sampe ujung kaki, kita nyoba bermacam-macam posisi sanggama, dan pada malam ketiga kita udah nyobain oral sex, komentar gue… asin… hehehe, besok-besok gue harus pake topi, soalnya habis rambut gue dijenggutin, mungkin gue ceritain laen kali aja kalo masih pada minat.
Setelah keluarga Oom pulang, hubungan sex kami terus berlanjut. Sudah seperti kebutuhan sehari-hari, kapan saja dan dimana saja, itu mottonya. Kami pernah melakukannya di kamar mandi, di ruang keluarga, di dapur, di mobil kalo lagi kebelet banget, di toiletnya Argo Bromo, di rumah sakit (sewaktu gue dirawat), pernah juga kita lakukan selagi cowoknya datang dan nungguin dibawah, “Ndi, tunggu bentaran ya,” serunya dari atas, terus masuk kamar dan kita lakukan buru-buru, terus dia keluar nemuin cowoknya dengan nafas masih ngos-ngosan.
Gue juga gak tau gimana Kakak menjaga biar nggak hamil, pas gue tanya dia cuman bilang, “Udah itu urusan cewek, kamu gak perlu tau, ntar disalahgunain lagi”. Tapi diluar urusan sex, hubungan kakak-beradik kami sama aja dengan orang laen, yang kadang akur, kadang berantem. Diluar itu sih sikapnya sama aja kayak dulu, kadang ngomelin, kadang ngeselin, sering ngerjain, tapi emang lebih sering baeknya sih.
Hubungan intim hanya kami anggap sebagai penyaluran kebutuhan fisik, seperti makan minum, analoginya kira-kira sama dengan gue minta Kakak membuatkan nasgor kalo lagi lapar. Memang sih sensasi psikologisnya terasa begitu dahsyat kalo mengingat gue melakukan itu dengan Kakak gue sendiri, Kakak yang gue sayangi.