2 November 2020
Penulis —  qsanta

Ingin Binatang Peliharaan

Aku bangun jam tujuh. Kudapati mama sedang menhisap kontolku. Kuelus rambut mama… “Pinter… Pinter…” kataku. Kudiamkan mama selama beberapa menit. Hari ini kuputuskan untuk tak sekolah. Selain males upacara, aku terlalu asik dengan perliharaan baruku.

“Ayah sudah berangkat?”

“Sudah.”

“Tante mana?”

“Diluar kamar, nunggu.”

“Nunggu apa?”

“Katanya ingin izin ke kamar mandi.”

“Iya. Biar Uda mandi dulu, ntar baru urus tante. Siapin sarapan Uda, ntar Uda turun.”

Saat aku keluar kamar, kudapati tante sedang diam seperti anjing tanpa sehelai benang pun. Kusentuh dan kuelus rambutnya. “Sini ikut.” Aku pun menuju kamar mandi dibuntuti tante. Di kamar mandi aku duduk, sedang tante masih tetap merangkak diam.

“Gimana tadi malam.”

“Melelahkan?”

“Apanya?”

“Pantat tante sakit. Tenggorokan juga.”

“Trus perkara tante gimana kata ayah?”

“Ayahmu bilang gak usah khawatir.”

“Memang, pokoknya kalau kata ayah gak usah khawatir, berarti semuanya bisa diatur. Terus jam berapa kira - kira kalian tidur?”

“Kira - kira jam dua saat ayah mau tidur tante disuruh keluar. Diluar kamar tante liat mamamu lagi tidur di lantai, ya sudah tante ikut tidur di sana. Saat subuh tante sama mamamu bangun. Terus mamamu nyiapin keperluan ayahmu. Ayahmu pergi setengah enam, setelah sebelumnya menyuruh tante untuk tahu dan mengikuti aturan di sini jika ingin tinggal di rumah ini.

“Oh, gitu. Ya udah. Tante tunggu dulu, Uda mau mandi dulu. Abis itu kita jalan - jalan.”

“Iya, tante pipis dulu.”

“Jangan, ntar aja. Tunggu.”

Aku pun selesai mandi. Kupakai celana jin dan kaos. Saat turun, aku bahagia melihat tante mengikutiku dengan merangkak. Sarapan sudah siap, maka dari itu aku pun makan. Kulihat tante masih merangkak dekat kursiku.

Puas makan aku menuju belakang rumah. Kubuka pintu, tante langsung keluar dan kencing di tempat yang telah kutentukan. Aku terkesan dengan cara mama menerangkan. Kulihat mama. Kuanggukan kepala ke belakang rumah.

Rupanya mama mengerti. Mama langsung keluar dan ikut kencing. Setelah itu mama dan tante menunggu diluar pintu. Aku pun ikut keluar. Kuambil selang dan kunyalakan air. Kusemprot memek dan pantat mama serta tante. Mama dan tante terlihat senang serta bersih.

“Jemur dulu tubuh kalian hingga bersih. Setelah itu baru boleh masuk.”

***

Kira - kira sepuluh menit kemudain mama dan tante masuk dan mendekaitku yang sedang duduk di sofa.

“Pada laper gak?”

Mama dan tante tak menjawab, hanya menganggukkan kepala.

“Ya udah, Aisah, makanan kemarin masih ada kan? Makan aja berdua.!”

Mama lantas mengeluarkan makanan semalam dari kulkas. Menyiapkan di piring dan menaruh piring itu di lantai. Tak lupa mama menaruh mangkuk besar dan mengisinya dengan air. Mama lantas makan dengan lahap. Sesekali minum dari mangkuk itu. Namun tante hanya diam sambil melihat jijik kepada mama. Tante lantas melihatku.

“Kalian pake baju dulu sana. Yang rapi aja tapi gak usah pake bh dan cd. Abis itu ke sini lagi. Kita jalan - jalan.”

Mama dan tante langsung pergi ke kamar mama. Beberapa saat kemudian mereka keluar. Aku pun ke garasi dan diikuti mama dan tante.

“Aisah nyetir, tante di belakang sama Uda.”

“Mau kemana kita?”

“Udah, ikuti saja nanti.”

***

Beberapa saat kemudian mobil berhenti di depan sebuah pet shop. Aku turun dan memasuki toko diikuti mama. Di dalam disambut seorang wanita. Entah pegawai atau pemilik toko. Yang pasti tiada lagi orang lain sejauh mata memandang di dalam toko.

“Silakan, bisa saya bantu?”

“Saya mencari kalung anjing, sekalian sama talinya.”

“Mari silakan ikuti saya.” Kata pelayannya. Kami pun mengikuti pelayan ke bagian perkalungan. “Untuk anjing apa? Seberapa besar anjingnya?”

“Um… sebenarnya bukan buat anjing beneran sih, tapi anjing - anjingan.”

“Anjing - anjingan?” pelayan terlihat bingung.

Untuk mengatasi kebingungan pelayan, aku langsung menunjuk pada mama dan tante sambil bilang “Untuk mereka.”

“Apa?” pelayan tak bisa menutupi rasa kagetnya. Namun kemudian pelayan dapat mengatasi rasa kagetnya. “Ini ada yang cocok. Mau warna apa?” Kata pelayan sambil menyerahkan beberapa kalung padaku.

Kuraih kalung tersebut. Ada yang warnanya hitam, merah muda serta coklat. “Ini kira - kira ukurannya pas gak?”

“Kalau bapak mau, boleh dicoba kok.”

“Bener nih boleh dicoba? Bisa tolong praktekin cara masangnya?” kataku sambil menyerahkan kembali kalung - kalung itu kepada pelayan. Aku lantas menunjuk ke mama dan tante yang ada di belakangku dengan maksud agar mereka maju. Setelah mama dan tante ada di depanku, kutunjuk lantai.

Mama menatapku sambil menggelengkan kepala. Namun kupelototi mama, “Ayo cepet turun!” Mama pun langsung merangkak seperti anjing. Diikuti tante. Pelayan masih tetap terkejut dengan aksiku. Lantas tante dan mama pun merangkak diam.

Kuperhatikan pelayan yang kini terlihat agak gugup mulai memasang kalung warna hitam pada tante. “Anjing - anjingnya cantik - cantik ya pak”

“Tentu, kalau jelek sih mana mau saya pelihara.”

“Yang ini cocok pake yang hitam kayaknya.” Kata pelayan sesaat setelah kalung terpasang. Namun, pelayan itu tak langsung berdiri. Tangan pelayan kini mengelus - elus rambut tante. Tante hanya diam.

“Kalau boleh saya kasih saran, biasakan latih anjing bapak untuk berterimakasih pak.”

“Oh ya? Gimana caranya?”

“Biasanya anjing kami kalau mau berterimakasih pada seseorang, anjing langsung mengelus - elus kaki orang itu dengan kepalanya. Dan tak lupa mencium - cium kakinya juga.” Kini tangan pelayan mulai mengelus - elus punggung hingga pantat tante.

“Oh gitu ya? Saya sih belum tahu apa - apa. Maklum, baru punya anjing kemarin.”

“Sudah pada bernama belum pak?”

“Yang itu Yena. Yang belum berkalung Aisah. Yen, berterimakasih dulu sama Mbak, udah mau repot pasangin kalung.”

Tante langsung mencium kaki mbak pelayan, lalu mengelus - eluskan kepalanya. Namun kuperhatikan wajah tante basah oleh air mata. Saat kulihat mama, wajahnya terlihat sangat ketakutan.

Pelayan mulai mengelus susu dan paha tante sambil terkadang meremasnya. “Yang ini bagus pak. Masih pada kencang.” Sementara tante masih menggesekkan kepala ke kaki pelayan. Setelah itu pelayan bangkit mendekati mama dan berjongkok.

“Yang ini bagus nih pak.” kata pelayan sambil mencoba memasang kalung warna pink. Setelah terpasang, pelayan juga mengelus dan meremas tubuh mama. Dari mulai rambut hingga punggung. Namun tubuh mama tak terlihat rileks, malah seperti tegang. “Yang ini agak gemuk pak.”

“Iya memang.”

“Mau dilatih biar kurus gak pak? Ada paketnya lho.”

“Justru saya mau dia gemuk. Kira - kira gimana ya caranya?” Mama menoleh padaku mendengar jawabanku, kupelototi mama membuat mama langsung tertunduk menatap lantai.

“Oh, gampang pak. Minumannya mesti susu.” kata pelayan sambil meremas dan mengelus susu mama. “Tapi yang full cream. Terus banyak - banyak kasih daging. Yang berlemak lebih bagus.” Kini pelayan itu meremas lemak yang terdapat pada perut mama.”

“Kalau dikasih minum wine gimana mbak?”

“Wain, apaan tuh pak?”

“Itu lho, minuman yang kayak di film - film barat itu?” Memang, sejak ekonomi papa mulai membaik, papa ingin meniru gaya hidup yang seperti film - film barat. Papa mulai meminum dan bahkan membeli banyak anggur untuk di rumah. Dari yang kadar alkoholnya rendah hingga yang tinggi.

“Oh, yang botolnya gede? Kurang tahu pak, tapi untuk pertumbuhan lebih bagus pake susu.”

Setelah itu pelayan berdiri dan diam. Awalnya aku tak mengerti kenapa pelayan diam. Hingga akhirnya kusadari mama belum berterimakasih seperti tadi tante. Kutendang pantat mama, pelan saja. Namun mama tetap diam, malah melihat padaku.

“Kok malah bengong. Terimakasih dulu udah ngerepotin.”

Mata mama lantas berair mata. Dengan enggan mama menuruti. Mama maju mendekati kaki pelayan, lantas mencium dan menggesek - gesekan kepalanya. Pelayan pun lalu mengelu - elus rambut mama.”Pinter… Pinter…”

“Talinya mau yang sepaket pak?” kata pelayan sambil berdiri lagi.

“Kalau berbahan seperti kulit bisa gak?”

“Tentu bisa pak.” Pelayan lalu mengambil tali kulit dari rak dan menyerahkannya padaku. “Yang ini pak.”

Kuraih dan kuamati. “Bagus ini. Saya ambil dua.” Kukembalikan lagi tali ke pelayan. “Cara masangnya gimana mbak?”

“Gini pak.” kata pelayan yang langsung memasang tali pada kalung. Rupanya cukup dikaitkan saja. Sederhana. Setelah itu pelayan memberikan kedua tali padaku.

“Butuh yang lainnya Pak?”

“Kalau mangkuk buat makan minumnya ada gak?”

“Ada pak, mau yang kecil apa besar?”

“Yang mangkuk besar dua. Terus yang seperti piring besar dua.”

Pelayan lalu mengambil benda tersebut dan menyerahkannya padaku “Ini pak.”

Kuterima dan kuamati. “Saya beli ini sekalian.” Kuserahkan kembali benda tersebut ke pelayan. Lantas pelayan memasukannya ke kresek.

“Yang lainnya pak?”

“Ada kandang yang muat gak?”

“Oh ada pak. Ukuran jumbo, mari ikuti saya pak.”

Pelayan tersebut pergi ke bagian belakang toko. Aku berjalan mengikuti sambil memegang tali. Tentu saja mama dan tante merangkak mengikutiku karena tali kalungnya kutarik. Pelayan tersebut menoleh melihat dan lalu tersenyum. Akhirnya kami sampai ke bagian perkandangan. Pelayan tersebut menunjuk salah satu kandang, yang tampaknya paling besar.

“Ini pak sepertinya cocok.”

“Boleh dicoba?”

“Tentu saja pak. Mari silakan.”

Kutatap mama, mama melihatku. Lalu kutatap kandang. Mama memilih diam di tempat sambil menggelengkan kepala. Mama seperti sangat terhina. Lantas ganti kutatap tante. Tante melihatku, lalu kutatap kandang.

Tak seperti mama, tante langsung merangkak masuk. “Coba duduk!” kataku. Tante langsung duduk. Rupanya kandang itu cukup tinggi hingga tante bisa duduk. “Tidur.” Tante pun tidur, saat tidur, dengan posisi seperti tidurnya anjing tentu saja, kandang itu pun cukup. “Udah cukup keluar!” Lantas tante pun keluar kandang.

Setelah kandang kosong, kembali kutatap mama. Namun mama tetap tak mau masuk. Pelayan pun geleng - geleng melihat ketidak patuhan mama.

“Barangkali bapak tertarik, cara untuk melatih anjing biar menurut pak?”

“O ya, gimana?”

“Kami punya kalung elektrik. Jadi kalung itu ada remotnya. Tinggal pasang ke anjing, jika najing gak nurut, tinggal pijit tombol di kalung. Maka kalung itu akan menyentrum leher anjing. Ada tiga seting setrum, rendah menengah dan tinggi.”

“Bahaya gak?”

“Tentu tidak pak. Tidak mematikan, hanya untuk memberi efek kejut saja.”

“Terus, kalung elektriknya bisa dipakein tali gak?”

“Tentu bisa pak.”

Kulihat mama dan tante. Wajah mereka ketakutan mendengar pembicaraanku.

“Mau coba pak?”

“Bentar saya suruh dulu sekali lagi. Ayo masuk Sah!”

Akhirnya mama masuk ke kandang. “Nyaman gak di dalam?” Tanyaku.

“Iya.” Jawab mama lesu.

“Saya beli ini deh Mbak, dua.”

“Siap pak.”

“Udah Sah, keluar.”

Mama lantas keluar lagi.

“Ada lagi pak?”

“Apa yah. Ada ide mbak?”

“Gimana kalau tutup moncong pak?”

“Apaan tuh?”

“Tutup moncong ini adalah penutup mulut anjing dari stainles. Agar anjing tak menggigit atau tak makan minum. Biasanya dipakai agar anjing bisa mendisiplinkan mulutnya.”

“Bagus juga. Coba saya lihat.”

“Mari pak.”

Pelayan tersebut kembali ke depan. Kuikuti sambil menarik mama dan tante. Di depan, pelayan mengeluarkan tutup moncong tersebut.

“Bisa coba praktekan cara masangnya?”

“Siap pak.” Pelayan lalu mendekati mama. Memakainya ternyata mudah. Hanya tinggal pasang di mulut, lalu menalikan ke belakang kepala. “Sudah pak.”

“Mudah ya.”

“Baik saya beli deh mbak dua.” Pelayan pun seperti akan mencabut tutup moncong, namun sebelum terjadi, cepat kuhentikan. “Jangan mbak, biarin aja terpasang.”

“Iya pak.”

Mama tentu saja terlihat tak senang.

“Selain menjual, kami juga menerima jasa titipan pak.”

“Maksudnya?”

“Jika bapak pergi dan tak ada yang mengurus anjing bapak. Bisa bapak titipkan di sini.”

“Oh iya. Bayarnya bisa pake debit gak mbak?”

“Bisa pak.”

Kusadari tas mama dan tante ada di mobil. “Ambil dulu tasnya Aisah. Terus bayar.”

Mama lalu menggerak - gerakkan kepalaku, ingin agar tutup moncongnya dicabut. “Udah gak usah ada yang dicabut. Merangkak saja sampai pintu. Pas keluar pintu baru jalan berdiri. Masuk toko merangkak lagi!”

Kulepas tali dari tanganku. Mama lalu merangkak menuju pintu. Berdiri membuka pintu dan jalan ke mobil. Saat kembali, mama merangkak lagi sambil tangannya memegang tas. Kuambil tas dan kukeluarkan kartu debit. Saat memasukan pin kusuruh mama memencetnya. Setelah selesai, kuambil keresek belanjaan.

“Aisah, Yena, angkat kandang dan masukan ke mobil.”

Mama dan tante pun menggotong dua kandang. Sementara itu pelayan mengambil sebuah kartu dan menulis sesuatu di belakangnya. Pelayan itu memberikan kartu kepadaku. “Barangkali bapak butuh bantuan saya tentang anjing dan cara melatihnya. Hubungi saja saya pak.”

“Iya mbak makasih. Kalau boleh tahu, namanya siapa ya?”

“Rina.” Kami pun berjabat tangan.

Aku tetap di kasir menunggu mama dan tante selesai. Beberapa saat kemudian mama dan tante merangkak mendekatiku. “Udah selesai?” keduanya mengangguk. “Ya udah, makasih dulu sama mbak udah mau repot ngebantuin.” Mendengar ucapanku pelayan lalu keluar dari konter kasir dan berjalan ke sampingku.

Tante menggesekkan kepala ke kaki kiri pelayan. Mama diam, namun setelah melihat tante, mama ikut menggesekan kepala ke kaki kanan pelayan. Kedua tangan pelayang mengelus rambut mama dan tante. “Anjing pintar… Anjing pintar…” kata pelayan sambil tersenyum padaku.

“Mari mbak.” kuraih kedua tali dan menariknya menuju pintu. Di pintu mereka berdiri dan kulepas tali dari genggamanku. Menuju mobil aku pun berbicara, “Tante yang nyetir, biar Aisah di belakang sama Uda.”

Mama terlihat senang dengan ucapanku. Akhirnya selesai juga belanja di petshop.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan