2 November 2020
Penulis —  qsanta

Ingin Binatang Peliharaan

Pagi ini merupakan pagi yang sangat menyenangkan. Saat kubuka mata, mamaku sedang sibuk

menghisap kontolku. Mama sedang memakai mantel handuk, sedangkan di rambutnya dililit oleh handuk. Kumasukan tangan melalui mantel mandi mama lalu meremas susu mama. Tak lupa kupilin juga putting mama. Mulut mama sungguh ahli membuat kontolku seperti akan orgasme, namun aku belum ingin. Kudorong kepala mama hingga lepas dari kontolku.

“Udah mah, Uda pingin kencing dulu.”

Aku pun turun dari ranjang diikuti mama. Namun, bukannya ke kamar mandi, kubuat mama berlutut di lantai dan kembali kumasukan kontol ke mulut mama. Menyadari apa yang akan terjadi, mama menatapku seolah memohon agar menghentikan aksi ini. Kutatap mama kembali sambil tersenyum. Kucabut kontolku.

“Mama mau ngomong apa?”

Air mata mama jatuh. Mama menangis. “Mama… mama gak mau Uda kencingin. Kenapa Uda seperti ini sama mama?”

“Karena Uda sayang mama. Inilah buktinya. Inilah cara Uda menunjukan kasih sayang Uda ke mama.”

“Uda bener - bener seperti ayah.”

“Buka anduk dan mantelnya mah. Taruh di lantai trus duduki.”

Mama menuruti.

“Kalau Uda gak ngencingin mama, Mama mau kasih apa sebagai gantinya?”

Mama tersenyum. “Akan mama buatin sarapan spesial buat Uda.”

“Makasih mah.” kataku sambil mengeluarkan urin dari kontolku.

Kubuat tubuh mama basah oleh air kencingku hingga ke anduk yang sedang didudukinya. Hingga aku pun selesai kencing.

“Udah mah. Siapin sarapan dulu tuh.”

Mama pun bangkit. Kulihat air matanya masih turn.

“Mama mau mandi dulu lagi. Baru buat sarapan.”

“Gak perlu mandi dulu. Sekarang mama jemur tuh anduk dan mantel anduk diluar biar kering. Jangan di cuci dulu. Ntar kalau mama butuh, tinggal langsung pake lagi.”

“Tapi si bibi di bawah lagi beres - beres.”

Kubiarkan protes mama, “Lapar nih…”

“Gimana kalau mama pake aja dulu nih mantel anduk.”

“Mama tuh tuli apa idiot sih? Jemur tuh handuk dan mantel. Terus bikinin Uda sarapan. Gak perlu malu kayak perawan. Sekalian tawarin si bibi susu atau kopi atau apa kek…”

“Terus gimana mama jelasin kenapa mama telanjang dan bau pesing.”

“Gak perlu jelasin apa - apa.” kataku sambil berlalu ke kamar mandi.

***

Saat keluar dari kamar mandi, kudengar mama di tangga. Aku masuk ke kamarku diikuti mama yang masih telanjang. Rambutnya pun masih basah. Mama meletakan sarapanku di meja.

“Mama bikinin kopi dulu nak.”

“Sekalian bawa celemek mama.”

Mama terlihat marah namun tak menjawab. Hanya menganggukan kepala. Selesai sarapan kudengar mama datang. Aku duduk di kursi saat mama masuk kamar sambil. Ku ambil kopi dari mama dan dengan tatapanku, kuarahkan tatapanku dari mama ke kontolku. Aku senang mama mengerti maksudku. Mama langsung berlutut memasukan kontol ke mulutnya.

“Uda sangat mencintai mama.”

Mama mengangguk, entah mengiyakan atau apalah - apalah. Hingga akhirnya aku pun orgasme dalam mulut mama. Mama tak membiarkan satu tetes pun lepas dari mulutnya. Aku sungguh puas dengan pelayanan mama.

“Telan mah semuanya!”

Mama menelan semua pejuku.

“Udah, duduk dulu mah.”

Mama pun duduk di lantai.

Timbul keisenganku untuk menggoda mama “Gimana tadi, buatin sesuatu gak buat si bibi?”

Mama menganggukkan kepala.

“Terus, gimana reaksinya liat mama telanjang?”

“Si bibi liat mama dari atas sampai bawah. Terus tersenyum dan bilang ‘Bapak pasti bangga karena ibu punya tubuh bagus. Apalagi memamerkannya di rumah.’”

“Terdengar seperti si bibi tertarik sama tubuh mama.”

Mama tak menjawab. Kuulang lagi perkataanku dengan sedikit nada tinggi.

“Iya.”

“Udah, biar itu kita pikirin nanti.”

Selesai berkata, kurengkuh dan kupeluk mama. Mama mulai terisak dipelukanku lalu menangis. Kubiarkan mama menangis sambil mengelus pungung dan pantat mama. Mama lalu menatapku.

“Kenapa gini Uda?”

“Karena Uda sayang sama mama.”

Mama kembali menekankan kepala di dadaku sambil terus menangis.

“Udahlah mah, terima saja gak usah berontak. Semakin mama menerima kenyataan ini, semakin mudah mama menjalaninya.”

Mama menganggukan kepalanya lalu mulai melepaskan pelukanku. Dengan tangannya mama menghapus air matanya.

“Pake celemeknya mah.” Mama menurut dan langsung memakainya. “Nah, beginilah seharusnya seorang mama berpakaian.” Mama tak menjawab namun tersenyum.

Kuambil gunting dan kupotong bawahan celemek. Sekarang ujung celemek sejajar dengan memek mama. Aku mundur selangkah dan mengamati mama.

“Kalau sekarang mama terlihat seperti pelacur.”

Komentarku membuat air mata mama kembali hadir.

“Ambil dan beresin bekas sarapan Uda mah. Abis itu rebahan di belakang, biar kayak bule, berjemur sinar matahari sambil tetap pake celemek.”

Mama langsung terkejut mendengarnya, “bentar lagi ayah pulang, mama mesti jelasin apa ke ayah?”

“Jangan bingung, bilang aja mama pingin itemin kulit mama. Oh ya, gak perlu pake sunkrin atau apa gitu yang sejenisnya. Gak usah diolesin apa - apa lagi. Biar air kencing Uda nyatu sama keringet mama. Jangan berhenti berjemur sebelum Uda suruh.”

Setelah itu kubimbing mama agar keluar dari kamarku. Sambil mendorong mama, kembali kuberbicara” Sebelum berjemur, minum dulu dua gelas mah.”

***

Dari jendela kamar kulihat halaman belakang rumahku. Mama sedang berjemur, beralas anduk di sisi kolam renang, persis seperti yang kusarankan. Sambil memakai kaca mata hitam. Kufoto mama memakai kamera. Saat sedang mengamati mama, kulihat ada pria yang datang. Pria itu memang tetangga sebelah yang bekerja pada ayah untuk mengurus kolam renang.

“Semua udah selesai Bu.”

Mama tak menjawab, hanya melambaikan tangan untuk mengusirnya. Si bibi pun pergi. Mama mulai terlihat kepanasan tapi mama sadar mama tak bisa pergi tanpa izinku. Saat itu kudengar suara mobil ayah. Aku lantas turun dan duduk di sofa depan tv. Ayah pun datang.

“Mamamu mana?”

“Gak tau yah. Uda baru aja turun terus langsung duduk di sini. Oh ya, Yah, akhir - akhir ini mama terlihat beda. Gak tau kenapa?”

“Apa yang mamamu lakuin?”

“Maaf yah, tapi mama terlihat agak ‘nakal.’ Tapi Uda cuekin aja.”

“Mungkin akibat pil kb atau entahlah.”

“Oh.”

“Tapi ayah gak mau mamamu hamil. Ayah gak sanggup punya bayi lagi, udah terlalu tua.”

“Gak usah khawatir yah, kan ada Uda. Jadi ayah gak tambah sibuk. Kan yang penting mama gak berubah.”

“Terserah kamu deh.”

“Lapar nih ayah.”

Ayah lalu ke dapur. Saat ayah mencuci tangannya ayah menoleh ke jendela dan melihat mama diluar. Ayah lalu membuka jendela.

“Ngapain mah? Ayah lapar nih.”

Mama lalu masuk. Aku menoleh. Kulihat ada sedikit perubahan pada kulit mama, walau secuil. Ayah pun menatap mama.

“Kenapa telanjang mah?”

Mama lalu memakai celemeknya. “Ya kan gak ada siapa - siapa di rumah.”

Melihat mama bercelemek ayah menjawab, “cocok sekali mama pake itu.” Suara ayah terdengar mengejek.

Aku ikut bicara, “Mama jadi terlihat seksi yah.”

Ayah tak merespon. Namun ayah seperti mencium sesuatu. “Mamah kayak bau pesing sih?”

“Oh, ini akibat lotion baru mama.”

Ayah hanya geleng - geleng, “Ayah laper nih.”

“Ya udah, ayah mandi saja biar mama siapin makanan.”

“Iya.”

Ayah pun naik ke atas lantas ke kamar mandi. Kudekati mama lalu kuelus - elus rambutnya.

“Bagus… bagus…”

Setelah itu kubuka kulkas lalu kuambil mentimun. Gak besar, sedang saja ukurannya. Kuberikan pada mama.

“Masukan ke memek mama.”

“Gak bisa, kebesaran. Terus susah kalau gak ada penahan, kayak celana dalam misalnya.”

“Masukan ke memek mama atau Uda masukan ke anus mama!”

Mama lalu mengolesan ujung mentimun itu dengan minyak dan memasukannya.

“Gimana kalau ntar tiba - tiba keluar?”

“Ya jangan sampai dong mah.” kataku sambil menuang air ke gelas. Kuberikan gelas itu ke mama, “minum mah. Awas jangan dulu kencing sebelum Uda izinin.”

Saat aku kembali duduk di sofa, kudengar ayah menuruni tangga. Menyadari kehadiran ayah mama terlihat panik lalu menatapku seolah meminta agar mentimun itu dicabut. Aku melotot sambil menggeleng. Ayah melihat makanan belum tersaji jadi ayah ikut duduk. Ayah memperhatikan mama.

“Mamamu jalannya keliatan lucu.”

Aku menoleh melihat mama, “Iya yah. Munkin karena abis berjemur atau entahlah.” Kulihat tv kembali.

***

“Makanan udah siap.”

Aku dan ayah lalu beranjak dan duduk di meja makan. Mama menyiapkan makanan.

“Mama bau banget.” kata ayah sambil beranjak membawa makanan lalu duduk di sofa.

“Mending makan di sini aja yah.” kataku.

“Ntar mama makan terakhir, abis Uda dan ayah selesai.”

Selesai makan, aku dan ayah duduk di sofa.

“Bikinin ayah kopi dong mah.”

Beberapa saat kemudian mama datang membawa kopi ayah. Sambil membawa cangkir kopi dari mama, ayah bertanya kepadaku, “kamu liat gak, mama agak gemukan sekarang ya?”

“Ya gak liat dong yah, kan mamanya pake celemek.”

“Coba mama buka celemeknya, biar Uda bisa liat.”

Mama terlihat malu namun mematuhi kata - kata ayah. Air mata mama jatuh.

“Coba mendekat ke Uda mah,” kata ayah.

Mama mendekat kepadaku. Aku menunjuk perutnya. Memang terlihat lemak di sana.

“Udah banyak lemaknya. Terus agak besar. Apa mama mau ke kamar mandi.”

“Iya.”

“Jangan, ambil sini piring mama!” perintah ayah.

Mama pun beranjak kembali ke dapur.

“Kenapa jalan mama gitu sih mah?”

Tentu mama tak mau bilang bahwa ada mentimun di memeknya. Mama hanya menggeleng sambil bilang, “ah perasaan jalan mama biasa aja deh.” Akhirnya mama pun kembali sambil membawa piringnya.

“Taruh di lantai. Makan kayak anjing.” kata Ayah. Lalu ayah berdiri. “Mama mesti minum obat lagi. Kamu pastiin mamamu habisin makanannya Uda.” Setelah itu ayah beranjak naik.

Saat mama sedang makan seperti anjing, kuelus - elus kakiku ke memeknya yang dipenuhi mentimun. Mama langsung menoleh padaku dan memohon.

“Mama pingin kencing, biarin mama kencing nak.”

“Iya deh.”

Mama langsung berdiri, namun belum mama melangkah langsung kutampar pantatnya dengan keras. Begitu kerasnya hingga membuat tanganku pun sakit.

“Awww…”

“Siapa yang nyuruh berdiri?”

Mama pun kembali merangkak seperti anjing ke arah kamar mandi, namun kuhentikan. Kutunjuk belakang rumah.

“Jangan Uda. Jangan perlakuin mama kayak gini.”

Aku tak menjawab, namun kuraih rambut mama dan kutarik keluar kebelakang rumah.

“Angkat pantat mama, Uda pingin liat mama kencing.”

Mama mulai menangis. “Gak bisa kalau masih ada mentimun.”

Kusentil keras memek mama dengan jemariku membuat mama kembali berteriak. Namun mama langsung memuntahkan air kencingnya hingga selesai.

“Cabut timunnya terus makan mah.”

Mama mengeluarkan mentimun. Wajahnya terlihat jijik. Namun tetap memakan timun itu sampai habis.

“Udah, merangkak lagi mah, biar Uda semprot.”

“Biarin mama mandi di kamar mandi Uda.”

“Lho, anjing kan gak ke kamar mandi.”

***

Setelah puas menyemprot mama dengan air dari selang, kusuruh mama kembali masuk. Saat mama merangkak, telepon rumah berbunyi. Kuangkat ternyata tanteku, Yena, adik mama. Tante yena mau bicara sama mama namun kubilang mama lagi di kamar mandi. Ntar kubilang sama mama. Setelah itu kututup teleponnya.

“Ntar malam mama telepon tante yena sambil ngewe. Sekarang abisin dulu makanan mama. Abis itu mama ke garasi, diam di sana hingga waktunya untuk masak malam.”

Mama mengangguk lalu menyelesaikan makannya. Setelah itu mama merangkak ke garasi. Kudengar pintu garasi terbuka. Beberapa saat kemudian, ayah turun lalu mengambil minuman dari dalam kulkas. Ayah ikut duduk di sofa.

“Mama mana?”

“Kayaknya tadi pergi ke garasi yah.”

Ayah bangkit lalu menuju garasi. Didapatinya mama sedang terbaring tidur di lantai, telanjang. Ayah lalu menutup pelan pintu garasi dan kembali duduk di sampingku.

“Uda mesti lebih hati - hati sama mamamu. Kalau gak bisa berbahaya.”

“Uda ngerti. Baiklah, Uda bakal lebih hati - hati lagi.”

“Tadi tantemu nelpon ingin ngomong sama mama tapi lagi gak bisa. Mau ngomong apa tantemu Uda?”

“Gak tau yah. Tapi dari nadanya kayak yang sedikit emosi gitu.”

“Mungkin ada masalah sama pamanmu, pamanmu memang kacau. Ingetin aja mamamu buat nelpon tantemu. Ayah demen sama tantemu itu,” kaya ayah sambil tersenyum penuh arti kepadaku.

Aku pun nonton tv sama ayah.

***

Tak terasa malam pun tiba. Aku pun bangkit, “biar uda bangunin mama buat masak.” Aku menuju garasi. Mama terlihat tidur nyenyak. Kubuka celana dan kuarahkan kontolku. Aku mulai kencing dan kuarahkan agar membasahi rambut, wajah dan susu mama. Mama bangun, terkejut namun memilih diam hingga aku selesai kencing.

“Saatnya masak mah.” kataku sambil melempar celemek mama lalu kembali masuk dan duduk di sebelah ayah. Mama mendekati dan menyapa ayah lalu menuju kulkas. Ayah melihat mama basah, susunya bergerak naik turun. Tentu hal ini tak luput dari perhatian ayah. Ayah pun bangkit lalu memeluk mama dari belakang.

Aku bangkit lalu mendekati mereka.

“Yah, rasanya Uda kepingin punya peliharaan, beli kucing kek, atau kelinci.”

“Enggak. Ntar ribet. Kamu mesti beli makannya, mandiin, urus kotorannya.”

“Tapi yah, Uda pingin ngelatih peliharaan. Biar nurut, biar bisa diajak jalan - jalan.”

Ayah diam lalu menatapku. Setelah itu ayah mendorong mama ke arahku.

“Mulai sekarang, dia bisa jadi peliharaan Uda. Jadi anjing Uda. Mau Uda latih, bermain, terserah. Mau Uda ajak jalan keluar pun biar bisa ketemu sama anjing lainnya pun bisa. Eh tapi, tentu jangan Uda bawa jalan keluar. Biar anjing lain saja yang Uda bawa ke sini. Biar mereka bisa main”

“Tapi yah, kita kan gak tau apa anjing lainnya dikebiri atau engga.”

Ayah mengedipkan mata padaku lalu berkata, “ya hanya satu cara untuk mengetahuinya.” Setelah itu ayah ke belakang rumah, ke kolam.

***

Kulihat mama yang benar - benar ketakutan.

“Uda gak boleh begitu sama mama.”

Plak… kutampar pipi mama keras.

“Jangan bicara sembarangan. Sekarang mama masak aja. Oh ya, sebelum itu, hubungi tante Yena sekarang. Sekalian ajak makan di sini. Bahkan ajak nginep di sini aja.”

Masih berair mata, mama menelepon Tante Yena. Setelah basa - basi, mama pun mengajak Tante Yena menginap. Sekalian ngobrol sama suamiku, siapa tahu bisa membantu kalian berdua, kata mama. Mama pun menutup telepon setelah percakapan usai.

“Ngomongin apaan sih mah?”

“Pamanmu lagi butuh uang, siapa tahu ayahmu bisa membantu.”

Aku hanya mengangguk lalu beranjak untuk duduk di sofa.

“Sah, Aisah, sini!” untuk kali pertama kupanggil mama dengan menyebut namanya. Mama menghampiri, terlihat tak suka.

“Kamu punya korset gak?”

“Ada tapi, kemungkinan udah gak cukup.”

“Bagus. Pake aja. Sekalian pake kaos putih dan rok mini.”

“Tapi warna korsetnya merah. Pasti bakal keliatan dari luar kaos.”

“Uda juga tau.”

“Mama bilang gini karena pamanmu suka bercanda. Apalagi sama mama.”

“Uda juga tau itu. Lagian kan masih keluarga.”

Mama memilih untuk tidak membantah. Akhirnya mama naik ke kamarnya untuk memakai pakaian. Saat kembali, mama terlihat nakal. Korset merah terlihat dari balik kaos putihnya. Susunya tercetak jelas sedang rok mininya pun sangat pendek.

“Tunjukan yang ada di balik rok mini itu!”

Mama menunjukan bahwa tiada apa pun selain rok mini itu. Puas akan pandangan itu, kuberdiri, mendekati mama, memeluk dan mencium keningya.

“Mama memang pintar, cepat belajar hal baru. Meski bau mama kaya di wc umum, namun mama terlihat cantik.”

Aku lalu memutar mama. Kumasukan tangan ke dalam kaos mama ingin tahu apakah korset itu bisa diperketat lagi. Ternyata bisa. Kuperketat saja korset itu hingga mentok.

“Mama susah nafas Uda. Susu mama juga jadinya naik banget.”

“Gak apa - apa. Ntar sekalian kamu belajar akting. Paman pasti coba mencuri pandang ke arahmu. Bantu sekalian sama kamu biar dia bisa puas. Namun jangan biarkan dia ngentot kamu. Kalau sampai terjadi, kamu rasakan sendiri akibatnya. Kalau dia tetap memaksa, teriak saja.”

Kuhentikan omonganku. Kutampar pantat mama lalu melanjutkan bicara, “Sekarang ayo masak.”

Aku kembali duduk di sofa sambil menonton tv. Sesekali kulihat mama. Mama terlihat kaku memakai korset ketat sambil memasak. Aku hanya tersenyum.

Beberapa saat kemudian ayah datang. Saat melihat mama ayah terkejut.

“Wow, ada yang dandan nih. Siapa yang bakal datang?”

“Tante Yena sama paman mama undang makan dan nginep di sini. Juga paman mau bicara sama ayah, lagi butuh uang.”

“Enak aja. Gak akan ayah kasih bantuan lagi tuh orang.” kata ayah sambil membuka kulkas, mengambil minumannya. Setelah itu ayah ikut duduk di sofa.

“Coba dengar ide Uda yah, kalau ayah bantu paman, sekalian saja ambil sertifikat rumahnya. Juga suruh Tante tinggal di sini sampai hutang paman lunas.”

Ayah tiba - tiba tersenyum sambil menatapku. “Bener - bener anak ayah. Idemu sungguh orisinil.”

“Tapi jangan langsung ayah kasih. Bilang aja mau ayah pikirkan dulu. Trust tanya buat apaan uangnya.”

Ayah tak menjawab, namun pergi. Mungkin mandi. Aku ke kulkas, mengambil mentimun dan menyerahkan ke mama. Mama mengambil dan langsung mencoba memasukan itu ke memeknya. Namun ternyata susah karena ketatnya korset.

“Tolong bantu mama masukin dong Uda.”

“Siap. Nungging dulu dong.”

Mama langsung nungging kayak anjing. Kumasukan timun itu ke memek mama. Mama kembali bangkit lalu melanjutkan memasak. Aku berjalan ke kamar. Di kamar kusiapkan webcam untuk nanti. Saat aku keluar kamar, kudengar bel berbunyi. Aku pun ke dapur.

“Aisah, coba liat siapa yang datang.”

Saat kulihat mama berjalan menuju pintu, kusadari betapa mama terlihat sangat nakal. Susu mama seperti tak muat dalam kaos. Cara jalannya pun unik karena adanya timun. Saat mama membuka pintu, Tante dan Paman berdiri lalu menatap mama. Tante memeluk mama lalu berjalan masuk melewatiku. Kulihat Paman juga memeluk mama.

Kini Tante memeluku, namun mataku terus mengawasi mama yang tak bisa lepas dari pelukan paman. Keadaan ini membuat kontolku menegang. Rupanya Tante pun merasakan kontolku yang menegang. Tante langsung mendorong melepas pelukannya. Tante berbalik dan langsung menyadari tangan suaminya yang sedang berada di pantat mama.

“Ayahmu di rumah?”

“Iya, lagi di atas. Bentar lagi turun kok.”

Kulihat tante menarik mama ke dapur. Dapat kudengar percakapan mama dan tante.

“Kakak pake apaan sih? Kesannya kok murahan banget. Mending cepetan ganti.”

“Laki - laki di rumah ini suka kalau kakak berpakaian seperti ini. Lagian kakak juga gak keberatan kok.”

“Laki - laki? Maksud kakak suami dan Uda? Tapi kan Uda anak kakak. Gila. Udahlah, Yena gak mau tahu.”

Puas mendengar percakapan kutuang anggur untuk paman dan tante. Kuberi segelas anggur yang langsung diambil tante.

“Tante memang haus.”

Merasa mendapat kesempatan, paman lalu mengambil botol dan menuangkan lagi ke gelas kosong di tangan tante. Mama kembali sibuk dengan masakan di dapur. Mata paman kini kembali melihat mama. Ayah pun akhirnya turun yang langsung didekati paman. Mereka berjabat tangan. Tante yena lalu mendekati dan memeluk ayah.

“Bantu kami kak. Kami gak mau masuk bui.”

Kukira ayah akan sangat mengambil kesempatan untuk mengelus dan meremas tante. Namun ternyata ayah memilih diam.

“Jangan cemas. Kita pikirkan itu nanti. Sekarang kita makan dulu yuk.”

Ayah lalu mengajak tante ke meja makan. Sedang paman di dapur mencoba membantu mama. Ayah dan tante lalu duduk di meja makan. Ayah kini menatap mama.

“Kakakmu seksi kan?”

“Iya, yena ngerti kakak suka kalau kak Siti berpakaian seksi.”

“Iya. Tubuh kakakmu bagus. Sayang kalau selamanya tersembunyi.” Kini ayah menatap tante. “Eh, ngomong - ngomong, tubuh kamu juga bagus kok.”

“Kami lagi punya masalah. Lagi gak minat pamer.”

“Tenang saja, akan kakak coba bantu.” kata ayah sambil menyentuh rambut tante, lalu mengelusnya.

Dapat kurasakan perubahan di wajah tante. Tante seperti bakal menuruti apa yang ayah katakan. Mungkin efek anggur tadi. Entah ini merupakan naluri atau tidak, namun sepertinya tante menunjukan gejala penurut seperti mama. Kuputuskan untu mengujinya. Saat ayah bangkit, mungkin untuk mengambil minumannya, kudekati tante dan berbisik di telinganya.

“Ayah pasti suka kalau tante gak pake celana dalam. Ke kamar mandi sekarang, lepas celana dalam tante lalu gantung dan tutupi dengan handuk. Terus kembali ke sini. Ayo cepat, waktu tante hanya lima menit.”

Tante memalingkan wajah untuk menatapku. Wajahnya terlihat malu. Tante lalu berdiri. Kubantu dengan mendorongnya ke arah kamar mandi. Kuikuti tante hingga tante masuk. Namun sebelum tante mengunci pintu, kudorong hingga aku pun ikut masuk.

“Sekalian juga lepas bh tante.” Tante akan protes namun langsung kupotong sebelum tante bicara. “Maaf, aturan ayah di rumah ini.”

Aku lalu keluar. Kutuangkan anggur di gelas tante dan kuletakan di meja disebelah kursi ayah.

“Tantemu di mana?”

“Di kamar mandi. Lagi melepas bh dan celana dalamnya.”

“Kamu pintar. Cepet belajar.”

Aku hanya tersenyum. Kuputuskan untuk ke dapur. Saat masuk kulihat paman berdiri di belakang mama. Rok mama terangkat hingga ke pinggang. Kontol paman sedang menggesek - gesek pantat mama. Aku batuk, untuk membuat suara agar mereka menyadari kehadiranku. Paman langsung mundur menjauhi mama.

“Masih lama matengnya mah?”

“Lima menitan lagi.”

Lalu kudengar suara kamarmandi terbuka dan kembali tertutup. Tiga puluh detik kemudian, kumasuki kamar mandi untuk mengecek. Ternyata ada bh tante warna biru, selaras dengan warna celana dalamnya. Kuambil dan kubuang ke tempat sampah lalu kembali ke ke meja makan. Kuarahkan kepalaku diantara kepala ayah dan kepala tante.

“Bh tante ukuran tiga enam, namun celana dalamnya kecil.” Kutatap tante dan kembali bicara, “ukuran celana tante berapa sih?”

Tante hanya diam sambil memandang ke bawah. Kupegang bahu tante.

“Tante mau Uda ukur sendiri ya?”

Kini kupegang tengkuk tante, “Kalau pantat tante?”

“Tiga empat.”

“Jadi ukuran tante tiga enam, dua sembilan dan tiga empat?”

“Iya.”

“Tante mulai terangsang ya?”

Tante kini memilih diam. Kuremas tengkuknya.

“Sedikit.”

Saat itu ayah mulai bicara, “Udah, jangan ganggu tantemu.”

Aku mulai menarik kepalaku, namun kulihat tangan kiri ayah mulai pindah ke paha tante. Lalu mama muncul membawa makanan, dibantu oleh paman.

“Mari makan paman.”

“Iya kak, ayo duduk.” kata paman sambil menatap mama.

“Enggak, nanti aja. Masih ada urusan di dapur.”

“Mama lagi diet. Katanya biar seperti tante.”

Kulirik tante yang seperti terkejut, mungkin akibat tangan ayah. Kulihat mama, wajahnya terlihat sedih, mungkin akibat komentarku. Setelah itu mama berbalik akan menuju dapur.

“Bisa tolong ambilin timun mah, yang udah dipotong - potong.”

Sepuluh menit berlalu namun mama belum juga datang mengantar timun. Aku pun bangkit menuju dapur. Kulihat mama sedang berdiri bersandar ke kulkas. Menangis sambil mencoba mengeluarkan mentimun. Kudekati mama.

“Kenapa nangis Aisah?”

“Mama gak bisa bungkuk buat ngambil timunnya.”

“Oh.”

Aku lalu duduk di kursi. “Sini coba buka pahanya.” Saat akan mencabut mentimun, kulihat memek mama agak basah.

“Kamu orgasme ya? Berapa kali?”

“Iya… Mungkin tiga kali.”

Aku berdiri lalu kutampar mama.

“Dasar murahan, baru digoda segitu aja udah orgasme.”

Kubalikan tubuh mama hingga membelakangiku. Lalu kutampar pantat mama beberapa kali dengan keras. Setelah tanganku terasa sakit baru aku hentikan. Ternyata pantat mama penuh lecet warna merah. Kini kuremas rambut mama.

“Diam, jangan nangis. Sekarang sajikan sisa makanan. Dasar murahan, bisanya ngerusak acara makan orang aja.”

Aku pun kembali ke meja makan dan duduk.

“Dari mana Uda?” tanya ayah.

“Liat mama. Ternyata timunnya habis.”

Kulihat gelas tante kosong, aku pun mengisinya kembali dengan anggur. Beberapa saat kemudian sepertinya kami mulai selesai makan.

Ayah pun menatap Paman, “Kita ngobrol di teras yuk.” Ayah bangkit menuju teras diikuti paman.

Tante menatapku, “Kira - kira ayahmu bakal bantuin pamanmu gak yah?”

“Sepertinya ayah hanya mau membantu tante. Tapi…”

“Tapi apa?”

“Mungkin ayah gak ngebantu secara cuma - cuma.”

“Apa tante mesti ke teras buat bantuin paman?”

“Jangan, mending kita duduk aja di sofa sambil nunggu.”

“Tante udah susah berdiri, bantuin tante dong.”

Aku berdiri lalu ke belakang tante, kubantu tante berdiri. Tanganku melingkari badannya hingga tangan ini menyentuh susu kanan tante. Tante mencoba mendorong tanganku ini.

“Kalau tante lakuin itu sekalian Uda lepasin aja pakaian tante.”

Saat aku melihat ke bawah, ternyata ada bagian yang basah di celana tante. Tepatnya di bagian selangkangan.

“Memek tante basah ya?”

“Iya.”

“Sama ayah?”

“Iya.”

“Angkat pakaian tante, Uda pingin liat susu tante.”

“Jangan, ntar ada yang liat.”

Kubuka paksa blus tante dengan kedua tangan membuat kancingnya terlepas.

“Anggap ini pelajaran jika mempertanyakan ucapan Uda.”

Kuraih susu tante dengan tanganku. Kuelus dan kuremas. Lalu kumainkan putingnya. Tante masih diam karena terkejut. Kini kuarahkan tanganku di tengkuk tante. Kubuat kepala tante mengarah ke wajahku lalu kucium tanteku. Kucium tante sambil melepas blus dari tubuhnya. Setelah itu kubimbing tante hingga duduk di sofa.

“Sah, Aisah sini!”

Kupanggil mama yang langsung datang menghampiri. Mama terkejut melihat tante yang sudah tak berblus. Kini mama mungkin menyadari bahwa tante sudah berada dalam cengkramanku.

“Kasih tante kaos kesayangan Uda.”

Mama langsung melepas kaosnya. Kaos itu diberikan ke tante dan langsung dipakainya. Sebagian besar susu tante terlihat karena memang lehernya sangat lebar dan rendah. Mama langsung menunjuk celana tante yang basah.

“Yang itu gimana?”

“Biar tante ke atas buat ganti. Makanannya udah siap Sah?”

“Iya.”

“Ya udah. Cepet beresin mejanya. Terus hidangkan makanan yang baru mateng. Abis itu ke sini lagi.”

Sesaat setelah mama pergi, langsung kucium pipi tante. Setelah itu aku berbisik di telinganya. “Uda pingin liat memek tante.” Bukannya menjawab tante malah diam saja. Kupalingkan wajah tante dengan tangan kiriku hingga menatapku. “Kenapa? Masalah buat tante?”

“Gak masalah.” kata tante sambil menurunkan celananya hingga sampai lutut. Kulebarkan paha tante, jembutnya hitam namun tak lebat. Kumasukan jari ke memeknya. Ternyata sudah basah.

“Kok udah basah sih.”

“Ya karena keadaan.”

“Keadaan apa?”

“Seperti ucapanmu.”

“Karena ucapan Uda atau cara Uda berucap?”

“Karena cara Uda berucap. Menyuruh - nyuruh.”

“Apa paman suka suruh - suruh tante?”

“Enggak. Pamanmu gak peduli sama tante. Malah peduli sama wanita lain.”

Mama tiba - tiba muncul di hadapan kami. “Makanan udah tersaji di meja.”

“Ntar nunggu ayah sama paman dulu. Sambil nunggu tolong lepasin celana tante. Sekalian jilatin memek tante. Biar tante rileks.”

Mama terlihat agak kesusahan melepas celana tante, mungkin akibat korset. Lalu setelah lepas, memek tante mulai dijilati oleh mama. Tante mulai meremas susunya sendiri. Kudekati wajahku ke wajah tante.

“Tante gak boleh orgasme tanpa izin Uda dan atau ayah.”

Tante makin melebarkan pahanya menikmati jilatan lidah mama.

“Nikmati aja mulut Aisah. Lebih dari pada itu tidak.”

“Makasih.”

“Aisah, kamu bawa tante ke atas. Bersihin sekalian kasih tahu aturan rumah ini. Bikin tante mengerti. Abis itu langsung pada turun lagi.”

Tante mencoba berdiri, namun belum sepenuhnya tersadar. Kubantu tante berdiri dan kusuruh mama agak merangkulnya. Namun, saat di tangga tiba - tiba tante terjatuh. Untung mama langsung memegangnya hingga tante hanya berlutut sambil dipegang mama. Mama panik dan langsung memanggilku. Aku menghampiri dan melihat keadaan.

“Tante mau ke kamar mandi?”

“Gak. Tante rasanya pingin tidur aja.”

Kubawa tante ke kamar ayah dan kubaringkan di kasur. Kulepas kaos mama kesukaanku. Kucium bibir tante. Lalu aku bangkit dan keluar kamar. Mama ternyata menunggu di ruang tv. Kuberi kaos tadi ke mama.

“Udah lepas aja korsetnya. Pake lagi nih kaos.”

Mama terlihat senang dan langsung melakukan apa yang kusuruh. Kulihat pantat mama masih memerah.

“Jadi inget gangguan pas makan tadi.”

Mama langsung menatap padaku, seperti memohon.

“Terserah kamu. Mau dilakukan sekarang atau ntar nunggu ayah dan paman.”

“Sekarang aja.”

“Ambilin sabuk Uda.”

Mama pergi mengambil sabuk. Aku berdiri dan kusuruh mama telungkup di sofa. Pantatnya terlihat menantang ke atas. Setelah itu kupecut pantat mama kira - kira sepuluh pecutan di pantat kanan dan kiri. Mama hanya meringis sambil menangis. Kulihat betapa pantat mama makin merah hingga membuatku yakin mama takkan sanggup duduk tanpa merasa sakit.

Kutaruh sabuk, lalu berdiri di hadapan wajah mama. Kubantu mama berdiri dan kucium mama.

“Uda harap setelah ini kamu gakkan membuat kesalahan lagi.”

Mama menganggukan kepala namun tangisnya tak juga berhenti.

“Udah, cuci muka dulu sana.”

“Boleh cabut timunnya?”

“Jangan dulu.”

Mama pun pergi dari hadapanku. Beberapa menit berselang, mama kembali muncul.

“Kok yena tidur di kasur ayah?”

“Ya iya. Kalau tante mau tinggal di sini, tentu mesti ayah setujui dulu. Lagian buat apa lagi ayah ngebantuin?

Akhirnya mama berbalik dan menuju dapur. Kuputuskan untuk duduk di sofa sambil melihat mama. Mama sedang membersihakn piring bekas makan tadi.

“Sisa makanannya jangan dibuang semua. Sisihkan sebagian atau seluruhnya buat kamu makan juga buat sarapan kamu besok.”

Beberapa saat kemudian ayah muncul disertai paman.

“Mau cuci mulutnya gak?

“Gak ah. Ayah udah ngantuk. Mau tidur dulu.” kata ayah sambil berlalu menuju kamarnya. Entah apa yang akan ayah pikirkan saat ada cuci mulut lain di ranjangnya.

“Tantemu mana Uda?”

“Oh, udah di atas. Pingin tidur katanya. Paman makan dong ya cuci mulut buatan mama, biar gak sia - sia. Uda mau pergi dulu nganter mama.”

“Iya. Kamu temenin paman makan yuk.”

“Ayuk.”

Paman langsung duduk di meja makan. Aku hampiri mama dan berbisik, “cabut aja timunnya, terus simpan di freezer.” setelah itu aku ikut gabung bersama paman.

“Paman tidur aja di kamar Uda. Uda kayaknya mau nginep di rumah temen.”

“Gak usah, paman tidur sama tante aja di kamar tamu.”

“Nah itu, Uda bilang gitu karena kayaknya tante ngunci kamar tamu dari dalam.”

Mama langsung muncul dan berdiri di dekat meja makan. Susu mama hampir tak tertutupi karena bagian leher kaos yang lebar.

“Uda mau nginep di rumah temen mah. Paman biar tidur di kamar Uda saja. Sekalian ada piyama Uda biar dipakai paman. Uda pamit ya.”

Aku pun pergi keluar rumah. Kutunggu di sebrang jalan hingga lampu rumahku padam. Aku pun menyelinap kembali ke rumah dari pintu belakang. Kunyalakan komputer dari ruang kerja ayah. Komputer tersebut telah terhubung ke webcam di kamarku yang tentu saja telah aku persiapkan sebelumnya.

Di kamarku, paman mendesak mama hingga mentok ke dinding. Paman berusaha mencium mama, namun mama berusaha mengelak. Kaos mama sudah terlepas dari tubuh mama. Tangan paman memainkan putting mama. Sesekali diremas pula susu mama.

Paman lalu menarik mama dan mendorong hingga mama berbaring di kasurku. Paman membuka lebar paha mama dan langsung menyusu pada mama. Mama mencoba menendang paman, lalu meraih rambut paman dan mengangkat kepalanya. Mama langsung menampar paman dan menyuruhnya agar berhenti.

Paman langsung berdiri, namun bukan untuk berhenti. Paman langsung melepas celananya. Setelah itu paman mencoba memasukan kontol ke mulut mama. Mama terlihat ketakutan. Puas memainkan mulut mama, paman kembali mencoba melebarkan kaki mama.

Kalah tenaga, kaki mama pun melebar. Paman langsung mengarahkan kontol ke memek mama. Mama mencoba memukul paman dengan bantal, namun jelas tenaga paman menang telak. Dengan tusukan penuh tenaga akhirnya kontol paman amblas di memek mama.

Paman pun memompa kontolnya disertai erangan.

“Udah gak usah ngelawan. Dasar lonte, sengaja ngegoda pingin dientot.”

“Hentikan… jangan …”

Inilah saat yang kunanti. Aku bergegas ke kamarku dan kubuka pintu. Kudekati paman dan langsung kudorong hingga terbanting. Kuangkat paman dan kudorong hingga ke dinding. Kedua tanganku kini mencengkram kerah paman.

“Apa - apaan ini?”

“Maafin paman, Da.”

“Biar Uda bunuh saja paman sekalian.”

“Jangan Uda, ampun.”

Kulepas cengkramanku. Paman langsung terduduk di lantai. Kutatap mama.

“Turun mah, tunggu di bawah!”

Setelah mama turun, kutatap kembali paman.

“Gimana kalau ayah tau. Apa ayah akan tetap membantu?”

“Dengar dulu nak, sedari paman datang, mamamulah yang menggoda paman. Kamu juga liat kan. Bahkan saat paman gak sengaja menyentuh mamamu, gak ada penolakan. Bilang ‘jangan’ pun tidak. Jadi paman anggap mamamu mau.”

“Terus saat mama berteriak sambil bilang jangan, hentikan, apa paman berhenti? Uda rasa sebaiknya paman pergi dan jangan pernah kembali lagi ke sini.”

“Iya. Tapi, sebelumnya paman ingin minta maaf dulu sama mamamu.”

Aku mengangguk. Paman kembali memakai celananya lalu turun. Kuikuti paman dari belakang. Paman mengahampiri mama yang sedang berdiri di ruang tv. Sendirian. Telanjang. Membelakangi kami. Aku dan paman bisa melihat betapa merahnya pantat mama. Kudorong paman agar semakin mendekati mama.

“Maafin isal kak. Isal janji gak kan ngulangi lagi.”

Namun mama tak menjawab. Akhirnya aku bertindak, “Sini mah!”

Mama mendekat, kupeluk mama dan kuelus rambutnya. Mama langsung menangis di pelukanku. Kubiarkan mama menangis selama beberapa menit.

“Mamah baik baik sajakah? Apa mama pingin ke dokter?”

Namun mama tetap menangis. Paman terlihat sangat gugup. Paman tahu masalah ini bisa berakibat fatal padanya.

“Udah, mama minum dulu. Uda mau ke atas dulu sebentar.”

Mama pun ke dapur buat minum sesuatu. Aku ke kamar. Rekaman webcam barusan kumasukan ke keping cd. Setelah selesai aku turun. Paman di dapur, masih memohon agar dimaafkan. Namun mama memilih diam. Kudekati mama.

“Ada yang sakit gak mah?”

Mama mengangguk.

“Yang mana yang sakitnya.”

Mama malah kembali menangis.

“Ya udah, mama minum dulu, ntar kita ke dokter.” Aku lalu menatap paman. “Sebaiknya paman pergi sekarang.”

Dengan gugup, paman mencoba bicara, “apa kita bisa bicara berdua?”

Kubawa paman ke teras.

“Dengar, kalau sampai ketauan dokter terdapat pemaksaan di tubuh mamamu, paman bisa celaka.”

Aku tak menjawab, namun kuraih cd dan kuberikan pada paman.

“Ini rekaman saat paman perkosa mama. Mama akan Uda bawa ke dokter. Uda janji gak akan melibatkan nama paman dengan syarat paman jangan lagi ke rumah ini. Sebaiknya paman pergi jauh keluar kota dan tinggalkan tante di sini. Tante bakal terurus di sini dan tak kan ada yang memperkosanya.”

“Ternyata kamu jebak paman. Dasar bajingan.”

Kupukul wajah paman.

“Diam. Pergi sana!”

“Baik, paman akan pergi. Tapi jangan kasih tahu ayahmu. Paman benar - benar butuh uang dari ayahmu. Kalau tidak, paman dan tantemu akan masuk bui.”

“Paman bisa datangi ayah di kantornya. Tapi jangan coba hubungi tante.”

Aku lalu masuk dan menutup pintu meninggalkan paman sendirian di luar.

Mama masih di dapur menungguku. Kupeluk mama.

“Mana yang sakitnya?”

Mama menunjuk selangkangan dengan jarinya.

“Bisu yah?”

“Di sini.” kata mama sambil tetap menunjuk.

“Apa tuh namanya?”

Mama diam, jadi kupegang rambutnya. Mama langsung mejawab, “memek mama.”

“Jadi memek mama sakit?”

“Iya.”

“Karena timun atau karena kontol paman?”

“Sudah sakit sebelum dipaksa pamanmu.”

“Apa maksudnya itu?”

Mama mengerti apa yang ingin kudengar.

“Sudah sakit sebelum dia ngentot mama.”

“Mau ke dokter?”

“Gak perlu. Tapi mama pingin kencing.”

“Kencing?”

“Maksud mama mama ingin kencing.”

Aku menjauh menuju jendela. Kulihat halaman rumah. Ternyata sudah tidak ada paman. Lantas aku membuka pintu belakang rumahku. Kulihat mama.

“Kencingkan saja.”

Mama langsung merangkak dan berjalan seperti anjing ke halaman belakang. Menuju titik tempatnya kencing lalu kencing. Setelah selesai mama kembali merangkak mendekati pintu dan diam menunggu disiram. Tapi aku tak ingin menyiramnya yang akan membasahinya.

“Gesek - gesek aja memeknya di teras biar kering.”

Ajaib, mama langsung nurut tanpa protes. Mungkin mama juga tak mau basah - basahan. Udah malem juga sih.

“Capek bener hari ini. Pingin ngentot tapi momokmu bau peju paman.”

“Mama bisa bersihin kok.”

“Gak usah. Langsung aja ke kamar pijitin terus sepong Uda. O ya, pokoknya esok pagi tante harus sudah paham aturan di sini. Jika tidak, ayah kemungkinan gakkan senang dan tante bisa berakhir di bui.”

Aku lalu berjalan menuju kamarku diikuti dengan mama yang merangkak di belakangku. Setelah di kamar, mama membantuku melepas pakaian. Aku berbaring telungkup dan mama mulai memijatku.

“Mama boleh nanya?”

“Ya.”

“Apa yena akan terus tidur di ranjang mama tiap malam?”

“Itu sih tergantung ayah. Tapi sekarang kamu kan jadi anjing. Lagian anjing kan gak tidur di kasur. Emang, apa pedulimu. Tugasmu anjing hanya satu, nyenangin tuannya.”

“Oh iya, lupa. Anjing ini mesti siapin pakaian buat ayahmu besok.”

“Iya. Setelah kamu selesai di sini, tidur sana di dekat pintu kamar ayah. Biar gampang nyediain yang tadi.”

Aku pun tertidur.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan