2 November 2020
Penulis — McDodol
Bagian 1
“Eitsss… waduh oh… dasar nih kakak kurang ajar…! Mami…! Mami…! Nih kakak tidak sopan, pegang-pegang pepek Mai!”, teriak Marcy, adik perempuanku yang masih berusia 12 tahun dan masih duduk di kelas 6 SD itu.
(Klotak…!)
Pintu kamar mama pun dibuka dengan tergesa-gesa. Mama muncul dengan bertolak pinggang. “Apaan lagi sih…! Bertengkar melulu…!,” ujar mama dengan kesal.
Segera Marcy menjelaskan apa yang telah terjadi.
Mama menoleh kearah aku dan bertanya kepadaku, “Ayo… sekarang apa penjelasanmu? Rodri Cumarekaan?!”
Bila mama memanggil dengan nama lengkapku seperti ini berarti dia sedang kesal hatinya.
Aku segera menjelaskan duduk perkaranya.
“Begini… mam…”, aku memulai penjelasanku.
Mama mendengarkan dengan kepalanya dimiringkan kearahku seperti minta penjelasan lebih jauh dariku.
“Aku baru pulang dari main basket, masuk kedalam rumah dan melihat Marcy berdiri sambil membungkukkan badannya ke lantai dan… terlihat celana dalamnya dengan jelas. Aku memang tidak bicara memberitahukannya khawatir dia terkejut jadi aku pegang saja celana dalamnya agar supaya dia sadar kalau dia telah memamerkan privacynya”, kataku.
Mama diam seperti sedang mengolah penjelasanku itu, kemudian kepalanya ditolehkan kearah Marcy dan memandangnya seperti minta penjelasan dari Marcy.
“Bohong…!”, kata Marcy dengan nada kesal.
“Apanya yang bohong, adikku sayang yang manis…”, aku menyela perkataan Marcy.
Mama mendehem dan melotot padaku. “Teruskan…,” katanya kepada Marcy.
“Begini mi… bagaimana tidak sopan, tangan kakak mengusap-usap nih… seperti ini…”, kata Marcy sembari mengangkat tinggi-tinggi T-shirtnya dan memperagakan perbuatanku tadi. Tangannya mengusap-usap memeknya yang masih terbalut celana dalamnya.
Bedanya ia mengusap-usap dari depan sedang aku tadi mengusap-usapnya dari belakang, he-he-he…
Tangan mama menutupi mulutnya seperti menahan tawa melihat ulah adikku Marcy itu.
Marcy terhenti dan memandangi mama dengan heran tapi masih diliputi perasaan kesal. “Mami…,” keluhnya.
“Sudahlah…”. Tangan mama sudah tidak menutupi mulutnya tapi sepertinya masih menahan senyumnya dengan sulit. “Ayo Rodri minta maaf pada adikmu yang tadi kamu katakan manis ini”.
Dengan senang hati karena kelihatannya mama sudah reda amarahnya, kudekati Marcy, “Marcy sayang… maafkan kakak ya…,” sembari mengusap dan mencium ubun-ubunnya.
Marcy luluh hatinya, membalikkan badannya dan mendekap aku.
“Lain kali jangan lupa pakai rok atau celana pendek dong say”, kataku sembari mengusap-usap punggungnya.
“Tapi aku tidak sedang diluar rumah, kakak…”, rengut adikku mendengar kata-kataku.
“Sudah… sudah… jangan memulai lagi”, mama menimpali kata-kata kami. “Kalian berdua makan dahulu dan kamu Rodri cepat ganti dulu pakaianmu yang lembab itu”.
Memang benar, pakaian seragam sekolahku yang mulai mengering tapi masih lembab. Kan habis bermain bola basket seusai sekolah tadi.
Mama berbalik badan dan berjalan menuju pintu kamarnya.
Tiba-tiba Marcy menarik tanganku kebawah sehingga mukaku sejajar tingginya dengan mukanya. Dia menempelkan mulutnya ke telingaku dan berbisik, “Lihat tuh… buruan. Punggung mami terbuka bebas, ayo pegang punggungnya seperti apa yang kakak lakukan padaku tadi. Kalau bertindak yang adil dong…! ,” katanya dengan licik.
Aku tergugah, bukan karena perkataan Marcy tetapi lebih disebab-kan oleh kemulusan punggung mama dan eh… tunggu dulu! Beliau tidak memakai BH! Buktinya tidak terlihat tali BH dipunggungnya.
“Pasti…!”, kataku dengan nada gagah-berani menjawab kata-kata Marcy adikku itu. Aku buru-buru mendekati mama dari belakang.
Marcy tersenyum puas. (‘Biar tahu rasa, dimarahi dan pasti Rodri… telingamu bakal dijewer mami’, Marcy dengan senang membayangkan akan menyaksikan hal yang bakal terjadi dan dia tersenyum simpul gembira).
Seandainya Marcy tahu strategi yang akan aku pakai menghadapi mama, bila kusentuh punggung mama dan ia marah, aku akan katakan saja padanya bahwa aku ingin membantu mama dengan menarik retsluitingnya untuk menutupi punggungnya yang mulus itu, he-he-he… dasar bulus!
Mama sudah memegang handle pintu kamarnya tapi ketika hendak masuk kamar tidurnya, langkah kakinya terhenti karena mendengar derap langkah kakiku yang tergesa-gesa.
“Kamu mau ap…”, kata-kata mama terhenti ketika merasakan usapan tanganku dipunggungnya yang putih mulus bak pualam itu.
Segera mama bergegas masuk kedalam kamar tidurnya dan langsung melompat menelungkup diatas tempat tidur sembari menggerutu, “Geli tahu… kamu jangan kurang ajar ya Rod…!” Tubuh mama berguncang-guncang diatas kasur yang empuk itu, disebabkan karena lompatan mama tadi.
Aku mendekati mama dan berkata, “Maaf mam… lupa menutup retsluitingnya ya mam…”.
Dan mama menjawab, “Ya… sudah, ayo tarik retsluitingnya”.
Tapi aku tidak melakukannya karena melihat disamping tubuh mama masih tergeletak sebuah vibrator yang agaknya seperti tergesa-gesa dimatikan dan aku melihat disekitar tubuh mama berserakan BH, CD dan sebuah cermin kecil untuk ber-make-up.
‘Wah rupanya mama sedang bermasturbasi saat aku dan Marcy berada diluar kamar tadi. Pantas saja mama kelihatan kesal tadi karena acara masturbasinya terganggu oleh kami, aku dan adikku Marcy’.
Dikeheningan sesaat itu tiba-tiba pecah oleh kata-kata mama. “Ayo… kok bengong…!”
Dengan malu aku menimpalinya, “Maaf mam… habis mama cantik dan tubuh mama mulus sekali sih…”.
Mama mendongakkan kepala dan menoleh kearahku, tapi kemudian sadar akan keadaan kamar tidurnya dengan adanya benda-benda pribadinya berserakan itu.
“Eehmm… jangan cerita pada adikmu ya. Kamu kan sudah dewasa… dan… sudah tahu segalanya itu…”, ujar mama seakan memintaku memaklumi keadaan kamar tidurnya itu.
Darah mudaku yang penuh gairah langsung bergejolak disebabkan oleh suasana kamar dan kata-kata mama.
“Tapi mam… aku kan masih kelas 2 SMA dan belum tahu segalanya seperti yang mama maksudkan…”, timpalku. “Apa mama mau mengajariku semua itu…?,” tanyaku nekat.
“Ya sana… keluar, nanti adikmu curiga”, tukas mama lagi.
Aku bersikeras tetap berdiri ditempat, kataku, “Katanya mau mengajari Rodri tentang itu tuh…”.
Jawab mama, “Nanti malam setelah adikmu tidur, datang lagi kesini. Kan ayahmu masih 2 minggu lagi diluar kota mengurusi bisnisnya. Ayo buruan nanti keburu datang adikmu karena curiga”.
Sembari bicara, mama menyingkirkan benda-benda pribadinya yang tadi berserakan diatas kasur dan sekarang kasurnya sudah bersih dan rapi kembali.
Aku lalu bertanya pada mama, “Mama tidak berbohong kan…?”
Seketika itu mama menjadi kesal dengan pertanyaanku, “Tidak percayaan amat sih sama mamamu sendiri?!” Tiba-tiba mama menelentangkan tubuhnya keatas kasur dan segera mengangkat bagian bawah rok terusannya ke dadanya dan berkata, “Nih… lihat! Ayo kamu mau omong apa sekarang…?!”
Mataku lolong melotot… Mengapa tidak? Kulihat tubuh mama bagian bawah terbuka polos alias bugil… Betisnya yang indah, pahanya yang menggairahkan dan… vagina mama, maksudku bibir vagina mama terlihat dengan jelas karena vagina mama yang polos tanpa rambut pubis sehelaipun! Rupanya mama merawat bagian tubuhnya yang paling tersembunyi itu dengan cara mencukur habis semua bulu-bulu pubis sekitar vaginanya.
Nafsu birahiku langsung melonjak, ‘Seperti memek anak kecil saja yang tanpa bulu! ’, pikirku. ‘Pasti serupa dengan memeknya Marcy, adikku itu. Masih gundul… ’, aku membayangkannya. Jadi aku ingin sekali mengetahui vaginanya Marcy yang tadi sempat aku usap-usap walau masih terbalut dengan celana dalamnya.
Perlahan-lahan aku mendekati mama dan langsung menindih tubuh mama dengan seragam sekolahku yang masih lengkap dan lembab.
“Rodri kamu mau apa, ooh…!”, perkataannya terputus karena bibirnya keburu tertutup oleh bibirku.
Aku mencium mama dan berusaha meniru gaya French-kiss layaknya seperti yang pernah kulihat dalam film-film BF yang sering kutonton bersama-sama kawanku dirumah salah seorang dari mereka.
“Mmmh… hhm…”, mama berontak pelan dan menolak badanku.
Tapi karena aku sering olahraga basket, tenagaku jauh lebih besar ketimbang mama yang juga senangnya ber-olahraga senam demi kesehatan, menjaga keindahan tubuhnya agar tetap awet muda dan enak dipandang mata. Usia mama yang sekarang 38 tahun tapi dengan tubuh dan perawakan badan yang 28 tahun dengan wajah cantik dan manis keibuan dengan payudara 36B bagaikan milik penari striptease yang indah dan menggairahkan.
Lidahku menyusup masuk kedalam mulut mama dan membelit lidahnya,
didalam mulut mama, lidah-lidah itu saling berangkulan membelit berganti-ganti arah eh… rupanya telah sirna penolakan dari mamaku yang sexy ini.
Ketika aku ingin minta penegasan dan mulai ingin menanyakan lagi, tentunya aku harus melepaskan bibirku dari bibir mama terlebih dahulu tapi dengan cepat tangan mama membekap mulutku sehingga aku tidak bisa berbicara.
“Sudah jangan bicara lagi, pokoknya nanti malam setelah adikmu tidur. Cepat bangun…!”
Aku bangun dan berdiri disamping tempat tidur, mama buru-buru duduk ditepi tempat tidur sambil merapikan pakaiannya kembali… tepat Marcy masuk kedalam kamar tidur mama yang pintunya masih terbuka lebar dengan tersenyum-senyum yang mencurigakanku.
Begitu melihat Marcy masuk, segera mama berpura-pura memarahiku dengan menjewer telingaku (dengan pelan) sembari membentakku, “Rodri! Kamu mulai nakal ya…! Ayo keluar sana…!”
Marcy yang menyaksikan ini semua, kaget sekejap lalu tertawa terkikik-kikik dengan cepat membalikkan badannya lari keluar sambil berteriak.
Sempat aku dengar teriakannya. “BENAR KAN PIKIRKU… rasakan itu semua kakakku yang ganteng hi-hi-hi…!”
Mama tersenyum lega dan aku buru-buru keluar dari kamar tidur mama. Sebelum melewati pintu, sempat mama mengingatkan, “Jangan lupa nanti… DASAR NAKAL…!”
Tentu saja kata-kata mama yang terakhir ini masih terdengar oleh Marcy yang menimpali dengan… “Asyik… asyik… oh… bahagianya aku, hi-hi-hi…”.
Kataku dalam hati, ‘Dasar anak kecil sok pintar tapi lugunya minta ampun! Dibohongi saja mau!’.
Selagi aku menuju kamarku aku berpikir tentang Marcy, adikku yang cantik, manis dan imut-imut itu. Tubuh Marcy mulai bertumbuh besar, baby-fat sudah banyak yang berkurang. Ya… adikku itu berubah dan sudah bertumbuh menjadi gadis cilik yang menggemaskan, dadanya mulai menonjol dan yang mencolok ketika ia mengenakan T-shirt nya yang kebanyakan tipis-tipis jelas terlihat tonjolan putingnya indah.
Sesampainya aku dalam kamarku, aku mengambil pakaian rumahku yang bersih dan masuk kekamar mandi.
Rumah yang kami tempati sungguh besar bagi kami berempat. David Cumarekaan, ayah kami yang berusia 43 tahun, Susan C, ibu kami tercinta yang berusia 38 tahun, aku, Rodri C berusia 17 tahun dan Marcy C, si bungsu yang berusia 12 tahun. Jumlah kamar dirumah ini, semuanya ada 12 kamar jika kamar yang di lantai atas ikut dihitung berikut kamar-kamar mandi yang ada pada masing-masing kamar tidur semuanya.
Ruang aula untuk keperluan keluarga besar berkumpul ada di lantai atas, sementara 2 kamar tidur yang berada disana tidak terpakai tapi telah rapi ditata dengan bersih dan siap sewaktu-waktu bila ingin ditempati dengan segera. Ini berkat keterampilan dari 2 orang pembantu rumah tangga kami, Ida dan Tati walau masih belia, segar tapi semuanya beres dikerjakan.
Aku sudah berpakaian rumah yang bersih, badanku wangi maklum saja sesuai kebiasaanku seusai kegiatan olahraga sesampai dirumah, biasanya aku langsung mandi.
Jam dinding masih menunjukkan waktu 2:15 siang, pikirku jika ada yang diharapkan kenapa waktu berjalan lambat? Aku merebahkan diriku keatas tempat tidur, kembali aku mengingat keluguan Marcy, adikku itu. Jika aku ingat-ingat lagi, aku baru sadar sekarang kalau adikku telah tumbuh menjadi gadis manis yang imut-imut tapi hormon-hormon dalam tubuhnya mulai membentuk tubuhnya menuju ke bentuk tubuh yang sexy.
“Kak…! Kak Rodri! Ayo keluar… makan sama-sama Mai”.
Seketika lamunanku pun buyar-yar… oleh teriakan Marcy, adikku yang mengagetkanku membuatku sadar dari lamunan jorokku, langsung saja aku merasa sangat lapar… kan aku belum makan siang?
Sekeluar dari kamar, aku disambut oleh Marcy. “Ngambek ya… kak? Maafkan Mai ya…”.
Aku tersenyum saja mendengar kata-kata Marcy. ‘Marcy… Marcy lugu amat sih kamu’, pikirku mungkin dia harus dicium dan di French-kiss agar bisa berpikir dan berusaha berpikir lebih dewasa, tidak seperti anak kecil lainnya yang sedikit-sedikit panggil-panggil maminya.
Marcy membahasahan dirinya dengan panggilan Mai karena sejak kecil sewaktu dia mulai bisa berbicara, kurang bisa melafalkan huruf R. Sehingga namanya Marcy berubah menjadi Mai dan ini sudah menjadi kebiasaannya sampai sekarang. Tapi kami semua tidak menanggapinya, selalu kami memanggilnya dengan nama sebenarnya, yaitu Marcy.
Juga panggilannya terhadap mama, dia memanggilnya dengan kata mami. Demikian juga panggilannya terhadap papa dengan kata papi.
Orangtua kami happy saja tanpa meralat panggilan terhadap diri mereka. Aku Rodri dan adikku Marcy adalah anak-anak kandung mereka yang sangat mereka kasihi.
Siang ini Marcy sudah mengganti bajunya, untuk balutan tubuhnya bagian atas, dia mengenakan sejenis T-shirt, tapi bagian bawahnya lebih pendek dari T-shirt umumnya, kaos yang dikenakan sekarang itu tidak bisa menutupi pusar serta perut datarnya ini membuat hatiku mulai bergetar. Atau inikah yang disebut busana model tanktop, tak tahulah…
Selanjutnya pandangan mataku menelusuri tubuh Marcy bagian bawah, kali ini Marcy mengenakan sejenis celana pendek mini atau apa namanya minipant mungkin? Oh iya… mungkin ini namanya hotpant yang membuat gairahku bergejolak ‘to be hot’ tetapi mengenai istilah dan nama-nama model pakaian wanita, aku tidak mengerti sama sekali, ‘memangnya gue pikirin…
Heit… tungggu dulu, celana pendeknya yang jelas terlihat terbuat dari bahan kain yang tipis, kok… tidak ada garis-garis batas yang menandakan ia mengenakan celana dalam ya? Jangan-jangan… dia tidak memakai celana dalam?! Wah pikiran ‘ngeres’-ku sekarang terbelah dua. Yang satu masih memikirkan tubuh mamaku yang sexy habis dan satunya lagi sedang berpikiran jorok menebak-nebak tubuh adikku yang berada dihadapanku ini.
Kupandangi wajah Marcy, yang ternyata sedari tadi senyum-senyum saja sembari mengikuti gerak-gerik pandangan mataku. Tahu begini aku jadi salah tingkah dan malu jadinya, bagaikan maling tertangkap lagi mandi… basah tahu!
“Selama masih hanya dipandang saja dan tidak pakai pegang-pegang… aman-aman saja… tuh!”, ujar Marcy sembari duduk di kursi makan.
Aku pun sudah duduk di kursi makan seperti halnya Marcy dengan perasaan kesal, aku tahu dikerjai oleh adikku, Marcy ini. Aku bergumam kecil dengan kesal, “Kenapa tidak telanjang bulat saja sekalian… tanggung kan”.
Rupa-rupanya gumaman kecilku masih terdengar oleh Marcy, ia berkata lagi, “Mau bulat kek… mau lonjong kek… selama masih hanya dipandang saja dan tidak pakai pegang-pegang… aman-aman saja tuh…!”
Oh lagi…! Dia mengulangi kata-kata manteranya itu lagi. Aku pandangi Marcy dan melotot padanya.
Cepat Marcy berkata lagi. “Maaf… kak, Mai kan cuma bercanda. Please, sekali lagi Mai minta maaf, jadi seorang kakak jangan terlalu sensitif dong. Don’t Worry Be Happy…!,” katanya sembari menjiplak salah satu slogan iklan dari TV.
Aku diam saja. ‘Makin nakal saja adikku ini tapi… juga makin manis dan menggairahkan saja, nanti kalau sudah di French kiss olehku baru tahu rasa dia, pasti… merem-melek’. Aku jadi tersenyum-senyum dengan sendirinya.
Melihatku begini, Marcy pun tersenyum lebar, “Terima kasih kak… kak Rodri memang baik deh mau memaafkan Mai”.
Mendengar itu aku jadi gelagapan dan menjawab singkat sekenanya, “Ya… Yang aku lanjutkan dalam hati. ‘Kamu salah duga sayang, maksudku kau merem-melek di French kiss olehku dan… akan minta lagi… minta lagi… minta lagi…! Huh… kenapa ya penisku selalu bereaksi cepat seperti reflex saja yang sekarang menjadi tegang dan mengacung kedepan dengan gagahnya.
Makan siang kami yang sudah tertata rapi pasti ini hasil kerja pembantu-pembantu rumah kami yang gesit dan cekatan itu. Kami pun makan dengan lahap dan tanpa suara, maklumlah kami sudah dibiasakan disiplin dari kecil termasuk makan di meja makan tidak boleh pakai berisik.