3 November 2020
Penulis —  McDodol

Acara Terus Berlanjut

Didalam cerita ini tidak ada peran ‘aku’ (= Rodri), semua pelaku mempunyai perannya masing-masing. Bagi pembaca yang tidak mengetahui awal dari hal-ikhwal dalam cerita ini, silahkan baca ‘Dirumahku Banyak Acara (sequel - complete) jika memang ingin mengetahuinya secara jelas. Short link-nya adalah:

Pelaku:

David Cumarekaan (44) = bapak rumahtangga.

Susan C (39) = ibu rumahtangga.

Rodri C (18) = anak lelaki dari David & Susan.

Marcy C (13) = anak perempuan dari David & Susan.

Ida (20) = anak asuh Susan.

Tati (20) = anak asuh Susan.

Mirah (30) = PRT baru, bibinya Tiara.

Tiara (18) = PRT baru, keponakannya Mirah.

Karakter:

David = seorang ayah yang baik, mencintai keluarganya, sangat menghormati isterinya yang ternyata sangat kaya-raya melebihi harta hasil keringatnya sendiri (karena itu dia sangat rajin mencari uang), workaholik, mengikuti irama kehidupan dilingkungan terdekatnya, penganut paham ‘open-marriage’, foya-foya, ‘swinging’ dan ‘partner-swapping’ tentu saja dengan membawa WIL-nya yang tak lain adalah sekretaris pribadinya sendiri, sama sekali bukan seorang yang pencemburu, tetapi sayang…

Susan = (puteri tunggal orangtuanya yang sangat kaya-raya, ibunya sudah lama meninggal dunia tapi ayahnya masih aktif mengurus semua perusahaannya yang banyak, workaholik, mungkin karena menjadi ‘bujangan’ kembali alias hidup sendiri). Ibu yang sangat pengasih, sangat cerdas membaca situasi yang dihadapi, pemurah dan senang melihat orang-orang didekatnya untuk maju, karena itu tidak segan-segan mengeluarkan uang dan…

tanpa pamrih, sangat akrab dengan orang-orang didekatnya dan tidak pernah mengukur seseorang dengan status, pekerjaan dan asal-usulnya, konsisten memutuskan apa saja setelah melalui pertimbangan yang sangat dalam sesuai analisa keilmuan yang dimilikinya, penganut paham ‘open-marriage’ meskipun hanya didalam lingkup lingkungan rumahnya sendiri, tidak suka dan sangat anti pada kehidupan diluar lingkungan rumah-tangga yang foya-foya dengan gaya seks yang ‘swinging’ atau ‘partner swapping’, gangbang dan orgy.

Rodri = pemuda tampan yang periang, bertubuh tegap dan sehat dan suka berolah-raga, usilan dan suka membanyol tapi tidak untuk menyakitkan hati orang lain dan menghormati orang-orang yang lebih tua darinya, jujur hatinya sehingga menjadikan orang-orang lain bisa mempercayai perkataannya, mudah mempengaruhi lawan bicaranya yang wanita, suka melihat hal-hal yang indah-indah dari lawan jenisnya yang cantik dan seksi (mungkin memang dalam masanya remaja yang suka bereksperimen dan bertualang akan hal-hal yang berbau seks yang baru dialaminya sebagai seorang remaja yang sehat kehidupan seksual-nya).

Marcy = gadis yang modis, supel dan lincah, mudah sekali marah pada sesuatu yang tak berkenan di hatinya dan diungkapkannya seketika, spontan tetapi dengan cepat melupakannya, pemaaf, tidak pernah berburuk-sangka pada lawan bicaranya, sangat sayang dan percaya sepenuh hati pada kakak lelaki satu-satunya yang jauh lebih tua 5 tahun darinya.

Ida = rajin bekerja, setia-kawan, agak pendiam, penurut, lunak dan halus perasaannya, pemaaf, mudah sekali untuk diajak kompromi dan dipengaruhi karena tidak ada perasaan buruk sangka pada lawan bicaranya, diam-diam ‘sedikit’ jatuh-hati dengan Rodri yang lebih muda 2 tahun.

Tati = rajin bekerja, setia-kawan, spontan dan mudah mengungkapkan isi hatinya, agak vokal, walaupun dalam keadaan jengkel sekalipun dengan sopan tutur katanya, tegas memutuskan sesuatu, sangat melindungi apa saja yang dalam pengawasannya bila diberi kewenangan dan tanggung-jawab, keras hatinya tapi tidak pendendam.

***

Ida dan Tati sudah masuk kuliah, kedua wanita muda ini sungguh sangat kompak sekali kelihatannya, sama-sama berusia 20 tahun. Mereka bukanlah bersaudara, tetapi berasal dari satu desa yang sama, cuma berbeda RW/RT saja. Berangkat dan pulang kuliah selalu bersama-sama bahkan mengambil jurusan kuliah yang sama pula, yaitu jurusan Komputer Informatika.

Susan yang menjadi ‘ibu asuh’ kedua wanita muda ini, senang dan bahagia melihat tingkah-polah mereka. Rasanya tidak ada artinya semua biaya yang dikeluarkannya untuk semua kegiatan perkuliahan mereka dibandingkan dengan kebahagiaan yang didapat dan dirasakan oleh Susan. Sekali waktu bila Ida dan Tati tidak ada jadwal kuliah, maka sedari pagi hari mereka bertiga bersama jalan-jalan ke mall terdekat dengan mengendarai mobil sedan yang dikemudikan sendiri oleh Susan, ibu cantik berusia 39 tahun yang baik hati ini.

Sebagai oleh-oleh, Susan membelikan untuk mereka masing-masing dua stel baju daster dengan model sama tapi berbeda motif dan warna sesuai pilihan sendiri juga untuk dirinya dengan pilihan corak dan warna yang diinginkannya sendiri. Hari itu mereka bertiga makan diluar sebelum kembali pulang ke rumah.

***

Sekarang hari Jum’at jam 3-an siang menjelang petang hari, terlihat didepan rumah yang masih dalam pekarangan rumah, Rodri yang sekarang sudah berumur 18 tahun berperawakan tubuh semakin tegap dan kekar sedang berlatih dan bermain basket, ikut juga bermain bersama, dengan bola basketnya sendiri, Marcy, dara manis muda usia berusia 13 tahun, adik perempuannya Rodri.

Saat giliran Marcy mencoba untuk memasukkan bola basket kedalam keranjang basket yang tergantung diatas tiang, Rodri yang berdiri tak jauh dibelakangnya mulai iseng melemparkan bola basket dari tangannya dengan pelan kearah pantat Marcy yang mulai berisi dan seksi.

“Ehh… maaf dik… sengaja… he-he-he!”, kata Rodri tertawa berolok-olok pada adiknya itu.

“Kaaa-kak… nih! Mai jadi nggak jadi masuk deh… bolanya!”, kata Marcy kesal pada Rodri, kakaknya yang usil. “Pokoknya kakak, berdiri saja yang manis disitu ya, lihat nih… pelatih kakak sedang memperagakan cara memasukkan bola yang benar ke keranjangnya,” kata Marcy mencandai kakaknya.

“Sombongnya…!”, tukas Rodri singkat.

Sebenarnya tempat berlatih itu rencananya ingin dibangun di halaman disamping kanan rumah sesuai dengan keinginan Rodri yang menjadi pembasket dalam klub basket di sekolahnya, tetapi ditolak dengan halus oleh ibunya yang berkeberatan dengan menjelaskan alasan kenapa tempat latihan itu sebaiknya berada di halaman depan rumah.

(Szzreenggg… ) bunyi pintu gerbang pagar depan rumah dibuka bergeser kesamping. Ida dan Tati baru saja sampai dari kampus tempat kuliah mereka. Mereka berdua mengenakan ‘seragam’ mahasiswa jaman sekarang yaitu celana panjang jeans dengan baju atas terserah… dari berbagai beragam mode dan warna. Ida memakai jeans berwarna cream dipadu-padankan dengan blus atasnya sedangkan Tati yang berwarna standar jeans, biru warnanya plus blus atas berwarna putih bermotif sedikit berwarna biru muda.

Rodri yang mendengar pintu gerbang dibuka, membalikkan badannya memunggungi Marcy. Sambil memandang ‘kakak-kakak’-nya yang ayu-ayu dan manis itu, timbul lagi keisengannya yang lain…

“Halo… cewek!”, teriak Rodri pada Ita dan Tati yang baru saja menutup kembali gerbang itu dan mulai melangkah menuju ke pintu utama depan rumah. “Godain… aku donggg…!,” sapa Rodri berseloroh.

“Gggrr… hi-hi-hi…! ”, tertawa kompak dari Ita dan Tati berbarengan. “Cewek belum mandi aja, pake disuruh menggoda… ,” tersenjum manis Ita menanggapi ulah Rodri. “Tau nih… ganteng-ganteng… tapi… sayang rada genit… ,” timpal Tati sambil meleletkan lidahnya pada Rodri memandang tajam ke sekujur tubuh seksi mereka.

Marcy yang tahu sekarang lagi dipunggungi oleh Rodri, segera mengambil kesempatan ‘emas’ ini dengan langsung melemparkan bola basket ditangannya dengan sekuat tenaganya kearah pantat Rodri yang kekar.

“Aduhhh…!”, badan Rodri langsung jatuh terjerembab kedepan.

“Sakittt… neng! Ngelempar kok nggak kira-kira sih…!”, protes Rodri berusaha untuk bangun kembali.

Marcy terkesiap kaget oleh ulahnya sendiri, buru-buru memberitahu kakaknya. “Eeeh… maaf kak… lemparannya kekerasan ya…? Sebenarnya nggak disengaja… ‘swear’ deh, sini Mai ulang lagi lemparannya yang rada pelanan dikit… hi-hi-hi… ,” sambil menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya yang mungil.

Ida dan Tati urung melangkah memasuki rumah lewat pintu depan begitu mendengarkan teriakan Rodri langsung segera berlari mendekatinya yang ‘KO’ terjatuh oleh lemparan Marcy yang jitu dan sangat keras itu.

Ida memegang tangan kiri sedangkan Tati memegang tangan kanan Rodri, berusaha mengangkat Rodri untuk berdiri kembali. Rodri yang tadinya berusaha untuk bangkit sendiri, begitu melihat cewek-cewek itu datang untuk menolongnya jadi berpura-pura lemas tubuhnya.

Tinggi badan Rodri sekarang 177 cm dengan bobot badan seberat 67 kg.

Karena merasa berat, Ida mendekap tangan kiri Rodri merapat ke dadanya yang montok berusaha membantu Rodri berdiri. Sama halnya dengan Tati yang merapatkan tangan kanan Rodri juga merapat ke dadanya yang sama-sama semok dengan punyanya Ida.

Tahu kedua tangannya merasakan yang kenyal-kenyal… tapi empuk, Rodri tidak menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Segera saja jari-jari mengelus-elus lembut kedua pasang dada milik Ida Dan Tati. Karena merasakan kurang begitu jelas kekenyalannya (mereka memakai BH), semua jari-jari tangan Rodri meremasnya dengan agak lebih keras.

“Iiih… memancing di air yang keruh… nih yeee… kebangetan deh… hi-hi-hi’, Tati tertawa pura-pura ngambek sambil melepaskan pegangan dari tangan kanan Rodri. Disambung perkataannya oleh Ida yang ikut-ikutan berpura-pura ngambek sambil tertawa mengikik. “Iiiya… nih, nggak boleh ada kesempatan dikit…

“Tapi… ikannya… gede-gede… kak!”, ujarnya sambil melirik nakal pada kedua cewek itu.

“Uuuh… dasar…!”, kata Tati menanggapi perkataan Rodri itu. Kedua cewek itu berbalik badan, langsung menuju ke pintu utama depan rumah tanpa menolehkan lagi kepala mereka kebelakang.

Marcy yang melihat semua itu, berteriak kecil sambil tertawa, “Kak Ida ama kak Tati… baru tahu yaaa… jari-jarinya kak Rodri kan… ada matanya…! Hi-hi-hi…!”

“Aduhh… gimana nih… nggak jadi nolong… apa?! Tega… nian!”, Rodri mengeluh pura-pura kesakitan.

Tapi Ida dan Tati cuek saja, berpura-pura tidak mendengarkan tetap melangkahkan kaki mereka masuk kedalam melalui pintu utama depan rumah.

Rodri buru-buru bangun kembali dan langsung mendekati Marcy yang agak was-was menghadapi kakaknya itu.

“Pelanggaran yang sangat fatal! Kamu langsung kena kartu merah”, kata Rodri yang sekarang berlagak jadi wasit lapangan sepakbola, karena pelanggaran dalam permainan basket tidaklah memakai hukuman kartu (kuning dan merah, pelanggaran kartu merah sama dengan hukuman ‘foul out’ pada permainan basket yaitu yang terhukum harus segera keluar dari lapangan permainan), Rodri memberlakukan peraturan dan hukuman dalam permainan sepakbola yang lebih populer.

“Mana kartu merahnya…?”, tanya Marcy pasrah menerima hukuman.

“Ini dia…!”, jawab Rodri tegas sambil telunjuk kanannya menunjuk bibirnya sendiri.

“Aaapa…? Eeeh… jangan disini dooong…! Malu nanti dilihat sama orang yang kebetulan lewat nanti…”, jawab Marcy masih pasrah, disangkanya kakaknya bakalan mencium pipinya yang kiri dan kanan sambil berlari kecil masuk kedalam rumah menuju kamarnya sendiri.

“Eh-ehhh…! Kabur…! Mau kemana…?! Pri-wittt…!”, Rodri mengejar adiknya sembari menirukan suara nyaring pluit wasit yang lagi ditiup.

Rodri sampai didepan pintu kamat tidur Marcy yang setengah terbuka. ‘Bukan main… gesit juga Marcy ini berlari langsung menghilang kedalam kamarnya sendiri… ’, pikir Rodri yang sekarang perlahan-lahan dengan berjalan menyampingkan tubuhnya menyelinap masuk kedalam kamar Marcy tanpa membuat pintu kamar membuka bertambah lebar.

‘Nggak dapat pipi… yang lain apa aja… juga boleh …’, gumam Rodri yang mulai sange melihat kepasrahan tubuh mulus adiknya yang bersiap menerima hukumannya.

“Ini dia… dik… kartu merahnya… harap diterima dengan hormat he-he-he…”, kata Rodri bergurau sambil tertawa kecil, mulai menciumi punggung Marcy. Yang dicium malah semakin mengkerutkan tubuhnya menjadi kaku menelungkup semakin merapat diatas meja belajar itu.

Mengetahui adiknya diam saja… Rodri menyelusuri bibirnya keatas, menciumi pundak kiri dan kanan adiknya… terakhir selusuran bibirnya berhenti pada kuduk mulus Marcy yang sedikit ditumbuhi rambut halus dibagian atas kuduk itu. Dengan gencar dan bertubi-tubi memulai ciumannya pada kuduk mungil itu…

“Aaaduh…! Kok geli siiih…! Jangan disitu… geli tau…! Hi-hi-hi’, tersentak tubuh Marcy dengan keras dan kaget merasakan ‘geli’ kecupan itu yang langsung menyebarkan rasa yang ‘aneh’ ke… sekujur tubuh mungilnya.

‘Apaaa…?!’, gumam Rodri dalam hati ikut-ikutan kaget. Teringat Rodri pada pengalamannya bersama ibunya, saat beliau memberikan ‘privat les’ tentang cara nge-seks yang benar pada lawan jenisnya pada hampir setahun yang lalu.

Ternyata titik pemicu gairah seks Marcy persis sama letaknya dengan letak titik pemicu gairah seks… milik ibu mereka.

Rupanya ‘memory cell’ dalam DNA (DeoxyriboNucleic Acid) ibunya telah di-transfer isinya kedalam tubuh Marcy, salah satunya adalah letak titik pemicu gairah seks yang sama berada pada titik sekitar kuduknya. Rodri yakin setelah dewasa nanti, Marcy pasti secantik dan se-seksi ibu mereka, Susan.

“Kalau kamu tidak berbalik badan, kakak akan terus mencium kudukmu ini…”, kata Rodri berpura-pura mengancam adiknya.

“Eeeh… jangan-jangan… terserah deh mau cium yang mana, tapi jangan mencium kuduk Mai… rasanya geli… jadi kepengen pipis nih…!”, pinta Marcy yang telah menyerah total.

Rodri berdiri tegak kembali memberi kesempatan Marcy untuk membalikkan badannya.

Marcy dari posisi membungkuk lalu berdiri memunggungi Rodri jadinya, tapi buru-buru membalikkan badannya… takut kuduknya disambar lagi oleh ciuman Rodri yang dashyat efeknya itu.

Mereka sekarang berdiri berhadap-hadapan, Rodri memandang dengan ‘lapar’ wajah Marcy yang menunduk memandang kebawah. Rodri merangkulkan kedua tangannya yang lumayan kekar itu, melingkari tubuh Marcy yang mungil dan menaruh telapak tangan kanannya pada tengkuk Marcy.

“Eeeh…!”, Marcy refleks menggeliatkan lehernya sebentar.

Tangan kiri Rodri memegang dagu Marcy dan mendongakkan wajahnya keatas dengan halus dan perlahan. Mereka bertatapan mata sekilas saja karena Rodri dengan sigap menempelkan bibirnya pada bibir Marcy yang mungil dan seksi itu.

“Hhhm… ”, Marcy menggeliatkan kepalanya ingin melepaskan ciuman penuh gairah itu karena dirasa Marcy agak terlalu lama dari semestinya. Tapi lidah Rodri yang kesat malah menerobos masuk kedalam rongga mulut Marcy… menyentuh dan membelit lidah Marcy yang mungil… Rodri menginginkan mereka untuk ber-‘French kissing’.

Marcy mencoba menghindar dengan menolehkan wajahnya kekiri dan kekanan, tapi wajah Rodri terus mengikuti dan menempel ketat pada wajah Marcy. Jadi yang didalam mulut Marcy dua lidah saling berkutetan dan membelit, sedangkan diluar mulut, wajah Rodri juga saling berkutetan mengikuti arah tolehan wajah Marcy yang mulai merasakan kelabakan sulit bernapas…

Memang sih… tinggi badan Marcy lebih pendek dari tinggi badannya Rodri tetapi… akal Marcy lebih panjang ketimbang dari akal Rodri, kakaknya itu. Karena dirasa Marcy ciuman itu agak berlebihan dan… membuatnya jadi sulit bernapas, tanpa sepengetahuan Rodri yang lagi fokus dan asyik menikmati French kiss itu…

“Whaaadoowww…! Sakitnya…!”, teriak Rodri segera setelah menyudahi French kiss yang asyik… tapi ini… “Aduhhh… bisa cantengan kuku kaki kakak nih… bilang-bilang dong kalau mau menginjak kaki kakak…!,” protes keras Rodri pada Marcy, adiknya itu.

“Ueeenak aja… nggak jadi… ku-ku-ka-ki-ka-kak-ku-ka-ku… dong hi-hi-hi…! ”, kata Marcy sambil tertawa lega karena bisa bernapas lagi dengan nyaman. “Itu hukuman kartu merah dari wasit Mai… tau?! Karena telah membuat 2 kali kesalahan kartu kuning… ke-satu adalah karena telah mencium kuduk Mai yang…

“Kalau begitu… ayo kamu… balikkan badanmu lagi…”, kata Rodri memaksa adiknya untuk berbalik badan kembali.

“Eitsss… mau ngapain lagi… kak?”, tanya Marcy curiga.

“Mau dicium lagi… kuduk kamu…!”, jawab Rodri pendek saja sembari masih nyengir jelek karena masih merasakan sakit pada jempol kaki kirinya.

“Oooh… itu… tidak-TIDAK lagi…!”, kata Marcy merangkulkan kedua tangan mungilnya dengan ketat melingkar pada tubuh Rodri, karena takut badannya dibalik dengan paksa oleh Rodri yang bengal.

Tapi karena Marcy jauh lebih pendek dari Rodri, dengan mudah hanya menundukkan kepalanya saja bibirnya sampai juga pada kuduk Marcy dari atas. Dengan lembut tapi serius Rodri mulai mengecup sekitar kuduk Marcy yang mungil.

“Aaaduh… kak! Geli banget nih… yaaa… pipis deh…! (seeer… ) (seeer… )”, keluh Marcy merasa geli dan lemas tubuhnya, bukannya melepaskan rangkulan tangan pada tubuh Rodri malah semakin mempererat rangkulannya itu karena takut jatuh menggelosor kebawah pada lantai. Marcy tadi bukannya kencing di celana tetapi menyemprotkan cairan pelicin yang keluar dari memek mungilnya yang sudah berkedut-kedut kencang gara-gara kuduknya dirangsang terus-menerus oleh Rodri yang sudah pintar…

Melihat kondisi Marcy, tak sampai hati juga Rodri melihatnya, mendekatkan mulutnya dekat kuping kiri Marcy dan berbisik pelan, “OK sayang… kakak tidak akan mencium kudukmu lagi tapi… boleh kan mencium bagian tubuhmu… yang lain…?”

Marcy buru-buru menjawab, “Boleh-booleh… kak, asal nyiumnya jangan kelamaan kayak tadi…”. Marcy sudah pasrah saja asalkan kuduknya jangan lagi dirangsang kembali dengan kecupan-kecupan Rodri, karena… efeknya menyebar keseluruh bagian tubuhnya.

Rodri mulai mendorong pelan tubuh Marcy merenggang sedikit dari tubuhnya sendiri, mengangkat dengan lembut dagu Marcy dan mengecupnya sebentar, pelan tapi lembut pada bibir mungil yang seksi milik Marcy… ‘Oooh… ternyata… kakakku bisa juga lembut, kalau… dia mau… ’, tanggap Marcy dalam hatinya dan…

Lalu Rodri menundukkan kepalanya lebih kebawah lagi, sampai… pada dada kiri Marcy yang menonjol nyata (Marcy mulai tumbuh dan berkembang payudaranya, dimulai dari kurang lebih setahun yang lalu). Sekarang Marcy sudah bisa memakai BH, kalau dia mau, karena ukuran buahdadanya sekarang 34A dan sudah banyak dan tersedia ditoko-toko sandang pada umumnya.

Rodri menciumi tonjolan payudara yang kanan milik Marcy, merasa kurang puas… Rodri menyingkap keatas T-shirt yang dikenakan Marcy, kemudian menyingkapkan lagi kaus dalam yang dibawah T-shirt itu. Dan… terpampanglah pemandangan indah… yang bisa dinikmati sepuasnya oleh mata Rodri yang ‘haus’ akan benda-benda seksi yang menggairahkan.

Dikecup puting itu dengan lembut serta dengan ujung lidahnya menyapu dan mengusap-usap pelan, disertai dengan tangan kiri Rodri yang tidak mau berlama-lama ‘menganggur’ ikut-ikutan meremas lembut payudara Marcy yang masih 100% kekenyalannya itu.

“Aaaduh… kak… geli tapi kok enak sekali ya rasanya…?”, terbuai sudah Marcy dalam alunan gairah dan birahi yang menerpa lembut pada sekujur tubuhnya.

Rodri melanjutkan tindakannya dengan mulai mengenyut dan mengisap-isap puting mungil itu.

“Aaaduh… kak… Mai kekamar mandi dulu yaa… CD Mai perasaan… sudah basah banget nih… habis kencing tadi… nggak sengaja, habis… gara-garanya kakak juga sih…”, kata Marcy bercampur desahan karena birahinya yang sudah meninggi karena ulah nakal kakaknya tadi.

“Nggak perlu, sini kakak seka… ”, kata Rodri singkat sambil dengan cekatan tangannya membuka celana pendek Marcy dan menurunkan dan meloloskan celana itu lewat kedua kaki adiknya dan melemparkannya keatas meja belajar. Kemudian melorotkan CD Marcy, setelah lepas… dengan bagian dari CD itu yang masih kering dia menyeka memek mungil Marcy yang memang sudah basah itu sampai memek yang masih plontos tanpa bulu itu menjadi agak kering sedikit.

Tak lama kemudian terlihatlah kedua kakak-beradik itu sama-sama telanjang bulat, berdiri saling berhadapan. Marcy dengan tubuh mulusnya, paha dan pinggul yang mulai berisi serta payudaranya tokcil kencang dan montok kedepan. Sedangkan Rodri dengan tubuh remajanya yang kekar berdada tegap dan bidang dengan penisnya yang sudah berpengalaman ML dengan ibunya sendiri dan panjangnya sekarang 18 cm dalam keadaan ngaceng…

Rodri memeluk tubuh Marcy serta menundukkan kepalanya mendekati kuping kiri adiknya sambil berbisik, “Ajo dik… kita naik naik keatas tempat tidurmu…”.

***

Ida setelah mandi lalu mengenakan baju dasternya yang baru. Dia masih berpikir pada kejadian di halaman depan rumah tadi, bukan pada remasan nakal tangan Rodri pada susunya yang montok, meskipun itu adalah remasan dari tangan seorang pria dewasa yang baru pertama kali dia alami. Dia lebih memikirkan keadaan badan Rodri sendiri, karena dia lah yang terakhir melepas tangan Rodri sehingga jatuh terjerembab lagi.

‘Jangan-jangan Rodri keseleo deh… gara-gara aku.. sebaiknya aku melihat dan bertanya pada Rodri sendiri.. kalau perlu aku urutin bagian yang sakit… ’, bergegas Ida pergi kekamar Rodri. Sampai didepan pintu kamar Rodri, baru saja dia ingin mengetuk pelan pintu… tidak jadi, karena pintu disebelah kiri dari kamar Rodri setengah terbuka…

itu adalah kamarnya Marcy dan… ada suara desahan-desahan dan bisik-bisik yang dirasa rada aneh sehingga menggelitik rasa keingin-tahuannya… apa yang sedang terjadi didalam kamar Marcy sekarang ini…? Dengan berjinjit pelan… baru juga selangkah kekiri, Ida sudah tahu sumber suara yang mencuriga itu lewat pantulan dalam kaca cermin lebar yang menutupi sebelah daun pintu lemari pakaian yang besar yang berdempetan dengan dinding tembok dan menghadap tempat tidur Marcy…

‘Lagi ngapain tuh si Rodri bengal… oooh…! ’, Ida terkesiap kaget melihat pemandangan syur didalam cermin yang memantulkan apa yang sedang terjadi diatas tempat tidur Marcy, sambil menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya… mungkin takut nanti tanpa sengaja mengeluarkan suara. ‘Eeeh… rupanya Rodri lagi ngemotin memek mungilnya Marcy…

kok bisa yaaa…? Mana yang lagi diemot kok diam saja malah menggeliatkan tubuhnya… keenakan rupanya… oooh… rupanya sumber suara desahan-desahan itu… dari mulutnya Marcy… toh? ’, tanya Ida dalam hati… sambil terus mengikuti ulah kedua kakak-beradik itu dengan seksama dan mulai bergairah sendiri.

Dengan serius dan ingin tahu kelanjutannya aksi kedua kakak-beradik didalam kamar tidur itu, Ida mengawasi terus lewat bayangan nyata didalam cermin, sekilas mata kanan Ida melirik kekanan seakan ada Tati yang datang menghampiri dari belakang, terbukti ada lambaian dari bagian bawah baju daster yang disangka Ida, dibelakangnya adalah Tati yang rupanya mau ikutan mengintip…

“Ssst…”, Ida berbisik sangat pelan sekali, sehingga hanya orang yang sangat dekat keberadaan dengannya saja yang mampu mendengarkan. Mengacungkan telunjuk kanannya keatas, lalu telunjuk itu menunjuk kearah cermin yang menempel pada pintu lemari pakaian didalam kamar Marcy.

Ida melihat pada cermin itu, ‘Kok… masih mengemoti memek adiknya saja siiih… getol amat…! Apa eeenak… ya rasanya…?! ’, Ida masih saja bertanya-tanya dalam hati. Sedangkan orang yang dibelakangnya yang disangka Tati itu juga ikut-ikutan melihat dengan serius… dan diam, cuma napas 2 pengintip itu yang mulai terdengar mulai nyata sedikit tersengal-sengal karena gairah dan birahi mereka ikut meninggi menuju ke ubun-ubun mereka sendiri…

“Aaah… kakak…! Aawas… Mai mau pipis lagi… kayak tadi…!” (seeertz… ) (seeertz… ) (seeertz… ) Marcy mendapatkan orgasme-nya untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupnya… Marcy sudah tidak dapat bertutur kata dan mengeluarkan desahannya yang erotis… (bagi yang mendengarkan, khususnya bagi kedua orang pengintip yang sedang serius mengikuti) hanya berdiam diri terlentang lemas tapi puas kelihatannya sambil memejamkan matanya masih menikmati orgasme pertamanya.

Sedangkan Rodri sudah bangkit kembali dan duduk diantara kangkangan paha adiknya yang mulus dan pasrah… dilihatnya dengan senang apa yang terjadi atas diri adiknya, akibat ulahnya sendiri. Tidak sia-sia ibunya mulai mengajari hampir setahun yang lalu perihal dan seluk-beluk cara ber-ML yang benar dan saling menyenangkan pasangan ML-nya.

‘Inilah saatnya… kau akan menjadi wanita yang baru… adikku sayang yang manis, tapi… sangat menggairahkan… ’, kata Rodri dalam hati sambil memegang penisnya yang panjangnya 18 cm, tegang dan basah oleh ‘pre-cum’ dari sejak awal dia melakukan ‘cunnilingus’ pada vagina mungil tanpa bulu alias gundul milik Marcy, adiknya yang seksi itu.

Rodri mulai naik keatas tubuh bugil Marcy yang pasrah, menindihnya tanpa menyebabkan adiknya merasa berat dan sesak karena bobot tubuh Rodri sepenuhnya bertumpu pada kedua lengan bawahnya dan kedua lutut kakinya diatas tempat tidur. Mencium lembut bibir mungil yang seksi adik kandungnya yang sangat muda belia sekali…

Tanpa mengerti apa yang dimaksudkan kakaknya, Marcy menjawab, “Yaaa… kak, tapi rasanya belum habis rasa enaknya, sampai… Mai jadi lemas… tapi… Mai merasa puas sekali. Kak… jangan cuma kali ini saja ya… kak… nanti malam sebelum tidur… besok… dan besoknya lagi terus… ya kak”.

Sementara Marcy masih mengoceh terus tentang nikmatnya dia merasakan orgasme pertamanya dan keinginan untuk melakukannya setiap hari… Rodri memegang penisnya yang dirasakannya semakin keras dan tegang saja… seakan ingin segera merasakan jepitan nikmat memek Marcy yang mungil itu, ditempatkan palkon-nya pas depan pintu masuk gua sempit pada vagina mungil adiknya.

Dijawabnya ocehan Marcy, berbisik pada telinga adiknya dengan suara lembut diiringi dengan suara dengusan nafsu yang berkobar-kobar, “Maksud kakak… masih ada yang jauh lebih nikmat dari apa yang kau rasakan tadi dik… Dan segera mencium lembut bibir Marcy dengan penuh gairah, dengan semangat ‘no more talk but start the action!

“Aaaduh… pelan-pelan… kak! Jari-jari kakak jangan dalam-dalam dong masuknya…”, Marcy berkata pelan memberitahu ketidak-nyamanannya.

Rupanya Marcy belum pulih kesadarannya karena masih dalam pengaruh rasa nikmat orgasme pertamanya, dia tidak menyadari bahwa kedua tangan kakaknya itu sudah berada di kedua sisi tubuh dekat payudara tokcilnya yang kiri dan kanan. Disangkanya, kakaknya masih bermain-main dengan jarinya pada memeknya…

Rodri menarik kembali penis tegangnya sangat perlahan-lahan sekali.

Gesekan pelan dari penis besar yang terjepit ketat oleh otot-otot

vagina Marcy yang mungil membuat tubuhnya kelojotan penuh rasa sangat nikmat dirasakannya dan ini menyebabkan memeknya semakin berkedut-kedut kencang yang memilin-milin penis besar Rodri dengan sangat kuatnya seakan menyedot menarik masuk kembali penis yang sedang ditarik keluar secara sangat pelan oleh pemiliknya.

‘Nikmatnyaaa…! Sungguh tak tertahan olehku rasa nikmat akibat sedotan dan kedutan ini… ahhh… bisa-bisa aku KO duluan nih… dikalahkan oleh adik kandungku sendiri yang masih kecil… aku harus bergerak cepat… jika aku tidak mau dikalahkan… ’, tekad Rodri yang matanya sudah merem-melek keenakan.

Segera saja dia menarik paksa penisnya melawan sedotan dan pilinan otot-otot dalam memek mungil adiknya… tidak sampai terlepas palkon-nya dari jepitan bibir luar mememk mungil itu… kemudian memompakan penisnya pendek-pendek saja tidak terlalu dalam dengan cepat… lalu ditarik kembali penis tegangnya…

palkon tetap masih dalam jepitan kuat memek Marcy… didiamkan sebentar… dengan ditambah sedikit tenaga dorongan… (BLESSS…! ) langsung penis besar Rodri dengan palkon-nya yang besar dan ampuh menggempur habis dan menerjang masuk merontokkan pertahanan barikade selaput dara Marcy… lalu didiamkannya sebentar…

“Aaah… kak! Besar banget sih… jari kakak… Mai rasakan…!”, yang anehnya Marcy merasa sangat lega meskipun merasakan sakit… sedikit saja… ketika selaput daranya robek diterobos paksa oleh penis besar dan keras milik kakaknya itu.

Rodri juga ikut merasa lega jadinya, tidak ada lagi hadangan dalam gua nikmat vagina mungil adiknya itu sehingga dia bisa leluasa menyetubuhi adiknya nanti dengan lancar. Dibisikinya dengan mesra pada telinga Marcy, “Dik… itu bukan jari kakak sayang… Mengecup mesra sekilas bibir seksi adiknya, “Itu adalah…

Langsung dijawab Marcy dengan kaget, “Penis kakak kan… gede sekali…! Kok bisa masuk… sih?!”

“Bisa dong… kan kita berdua sudah sama-sama… nafsu…!”, jawab Rodri asal saja.

“Udah… nih kak? Kok nggak digerak-gerakin lagi sih…?”, Marcy rada protes karena sekarang dia sudah tahu kalau penis itu baru berasa nikmatnya kalau digerakkan keluar-masuk pada memek mungilnya itu.

“Siap nih… dik? Sembari tanganmu memeluk kakak dong… ”, Rodri memberikan pengarahan pada Marcy, adiknya yang belum pernah merasakan disetubuhi olah lawan jenisnya itu. “Nanti… kalau mulai merasa enak… kamu… goyang-goyangin ya pantatmu… kekiri-kekanan atau memutar-mutar terserah kamu yang mana lebih nyaman kamu lakukan, biar…

Dimulailah persetubuhan incest ini yang dilakukan oleh kakak terhadap adik kandungnya sendiri yang masih kecil.

Goyangan pantat Rodri cepat tapi konstan… sembari merasakan gesekan pada alat kelamin mereka, sungguh nikmat sekali persetubuhan ini dirasakan keduanya. 5 menit telah berlalu… Marcy sudah mulai menggoyang-goyangkan pinggulnya yang mulus, sebentar kekiri dan kekanan kadang beralih gerakan memutar tak beraturan…

“Aaah… kak… kayaknya Mai mau pipis lagi nih… oh-oh-oooh… kak…!” (seeerz…!) (Seeerz…!) (Seeerz…!) sampai juga dengan cepat Marcy pada orgasme keduanya yang lebih dashyat dari yang pertama tadi… “Ini… yang paling nikmat…!”

Rodri yang tahu adiknya telah mendapatkan orgasme untuk kedua kalinya, menghentikan sejenak gerakan enjotannya… tidak lama sih paling cuma belasan detik saja. Setelah itu mulailah Rodri mengenjotkan lagi pantat kekarnya dengan cepat dan bertenaga. Bagi Rodri inilah saat persetubuhan yang sesungguhnya.

Marcy yang merasa memeknya dienjot dengan gencar oleh penis besar kakaknya merasakan sangat nikmatnya… bukannya tambah lemas, malah… terpicu lagi gairahnya… “Teeerus… kak… Mai mau pipis eeenak… lagi nih… ah-ah-aaah… yang kencang… kak! ,” Marcy mendesah keras, mau kedatangan orgasme-nya untuk ketiga kalinya.

Mendengarkan perkataan Marcy itu Rodri semakin mempercepat enjotannya, dia menginginkan kali ini bisa mencapai puncak nikmat persetubuhan berbarengan bersama adiknya.

“Aaah… nikmatnya… yaaa… Mai jadi keluar pipis enaknya lagi deh… ah-ah-aaah… kaaak…!” (seeerz…!) (Seeerz…!) (Seeerz…!), Marcy mendapatkan orgasme ketiganya dengan mulus.

Sedetik kemudian menyusul Rodri dengan desahan dan perkataannya, “Nikmatnya… sungguh nikmat sekali… memekmu… dik…! ,” (crotttz…! ) (Crotttz…! ) (Crotttz…! ) (Crotttz…! ) berkali-kali airmani Rodri sangat deras menyemprot dan membanjiri mungil memek mungil adiknya itu bahkan sampai luber mengalir keluar…

Segera setelah reda gelombang puncak kenikmatan persetubuhan itu mereda, Rodri menggulirkan tubuh terlentang menempel merapat disamping tubuh bugil adiknya…

***

Sedangkan kedua pengintip ikut bernapas lega setelah melihat dan menyaksikan persetubuhan kakak-adik itu yang dirasa cukup lama itu… berakhir dengan sukses.

Ida merasa ada tangan yang menyusup cepat masuk dari bawah dasternya dan langsung menyelinap lewat lingkar CD dekat perutnya

dan sampai pada vaginanya. Ternyata tangan itu memiliki jari-jari yang sangat trampil sekali, sekarang sedang mengelus-elus clitoris-nya… sampai terhentak-hentak tubuh Ida merasakan nikmatnya elusan itu. “Uuudah… Ti jangan disini… nanti ketauan lho… hm-hhm-hhhm… ,” Ida merasa ada tangan yang membekap.

“Ssst… sudah jangan bicara lagi…”, kata Susan menyudahi usapan jari-jarinya pada clitoris Ida yang memeknya mulai berkedut-kedut keenakan.

Terkesiap sangat kaget Ida jadinya… ini suara bu Susan! Dengan cepat Ida menoleh pada ibu ‘asuh’-nya ini, baru juga dia mau meminta maaf sudah keduluan oleh Susan yang menenangkan dengan perkataannya yang meyakinkan dan pelan tapi bernada lembut keibuan.

“Ibu tidak marah kok… ibu juga menikmati tontonan ‘live’ syur… yang gratis tadi… ayo sayang… ikut kekamar ibu sekarang”, sambil memeluk lembut pinggang Ida dan menggiringnya kekamar tidur.

Sampai didalam kamar, Susan menutup kembali pintu kamarnya dari dalam. Dipegangnya dengan lembut tangan Ida dan menariknya untuk untuk duduk berdampingan dipinggir tempat tidur. Ida menurut saja dengan pasrah dengan perasaan sangat malu, duduk dengan kepala tertunduk dalam sambil memandang lantai dibawahnya.

“Kok kamu tahu sih… bakalan ada tontonan syur dikamar Marcy?”, tanya Susan lembut memecah keheningan sesaat tadi.

“Sebenarnya Ida juga tidak tahu bakalan melihat itu semua… bu. Ida merasa bersalah atas kejadian petang tadi… di halaman depan rumah… bu”, kata Ida agak takut dan was-was.

“Merasa bersalah karena apa… sayang? Coba ceritakan pada ibu…”, kata Susan dengan lembut.

Ida kemudian menceritakan semua kejadian pada petang itu… semuanya tanpa ada yang ditutup-tutupi.

“Bengal juga yaaa… Rodri itu… tapi ibu anggap wajar deh… habis kamu dan Tati ayu dan cantik sih… maklum saja memang sekarang masanya Rodri lagi sedang genit-genitnya sama lawan jenisnya… jangan diambil hati ya… sayang. Ibu minta maaf deh karena tangan Rodri yang nakal itu…”.

“Eh… tidak apa-apa kok… bu, kan tidak habis ini… hi-hi-hi…”, Ita berkata sambil tertawa, rupanya sudah cair rasa takut dan was-wasnya.

“Memangnya kamu mau dicemol susumu sampai habis… apa?”, kata Susan sambil bercanda.

“Iiiya… tidak dong… bu”, jawab Ida singkat, takut mencandai balik ‘ibu asuh’-nya, Susan.

“Ngomomg-ngomong… seingat ibu, 6 bulan yang lalu… kamu dan Tati kan sudah ibu berikan masing-masing sebuah buku agenda yang tebal. Apa kamu sudah mencatat tanpa lupa… kapan tanggalnya pada hari setiap bulannya… kamu mendapat haidmu? Bagaimana…? Lupa ya… kamu mencatat hari M-mu sendiri? ”, tanya Susan.

“Tidak… maksud Ida tidak pernah lupa dong bu”, jawab Ida sambil bertanya-tanya dalam hati, arah dan tujuan pertanyaan itu.

“OK ibu percaya deh… juga ibu yakin Tati juga tidak lupa melakukannya, bukankah kalian berdua suka saling mengingatkan”, jawab Susan lega. “Baik sekarang ibu mau men-test pengetahuanmu

tentang diri pribadimu sendiri”.

“Apa itu… bu”, tanya Ida yang masih saja tidak mengerti apa yang dimaksud ‘ibu-asuh’-nya itu.

“Terang saja kamu tidak tahu… orang ibu belum bertanya kok hi-hi-hi…”, tawa Susan melihat wajah Ida yang bengong.

“Oh… begitu ya bu. Tanya dong… bu, biar Ida tahu… apa itu?”, tanya Ida lagi.

“Baik… pertanyaannya adalah… berapa jumlah bintang di langit?”, tanya Susan berpura-pura serius.

Bertambah bengong saja wajah manis Ida.

“Hi-hi-hi… kamu jadi lucu deh kelihatannya kalau bengong begitu hi-hi-hi…”, sambil tertawa Susan memandang muka Ida yang tambah bengong.

“Kok tanya yang begitu sih… bu, mana Ida tahu… jawabannya… hi-hi-hi…”, jawab Ida sambil ikut-ikutan tertawa tapi bengong.

“Kamu ini… sudah kuliah… kok masih mau sih… dibodohi seperti itu…? Yang cerdas dong… sayang”, kata Susan dengan lembut. “Ini pertanyaan yang sebenarnya, ini serius…”.

“Tadi ibu juga serius kelihatannya ketika menanyakan jumlah bintang”, kata Ida yang yang khawatir dibohongi lagi.

“Kamu kan… bisa menyimak isi pertanyaannya… sayang”, kata Susan meyakinkan Ida. “OK ini pertanyaannya, kamu sekarang ini atau tepatnya hari ini, kamu dalam keadaan ‘subur’ atau tidak?”

“Aduh… pertanyaan yang tidak diduga Ida… bu, Ida belum mempelajarinya… bu”, jawab Ida pelan.

“Kamu ini… gimana sih… memangnya ini pertanyaan ujian kenaikan semester… apa?! Pakai dipelajari lebih dahulu segala…! Begini… sayang, kalau ibu bertanya tentang jumlah bintang dilangit… kamu tidak tahu jawabannya… itu sih wajar saja… wong yang bertanya juga tidak tahu jawaban… hi-hi-hi…

Tapi kalau ibu bertanya tentang ‘subur’ atau tidaknya dirimu hari ini… dan kamu tidak bisa menjawabnya… ibu pikir itu hal… yang kurang wajar, karena kamu sudah memasuki usia wanita yang dewasa yang… produktif secara biologis. Cobalah berusaha membentengi diri kamu sendiri agar kamu siap menghadapi situasi dan kondisi yang tak diinginkan yang mungkin saja kelak terjadi di kemudian hari yang akan menimpa dirimu sendiri”, kata Susan menjelaskan secara panjang lebar.

“Ida tidak ke pikiran sampai kesana bu, maafkan Ida bu”, kata Ida pelan. “Di SMA dekat desa tempat tinggal keluarga Ida, hal semacam ini tabu untuk dibicarakan apalagi kalau diberi pelajaran khusus mengenai hal itu… lebih tabu lagi… bu”.

“Singkat kata… kamu tidak tahu sama sekali mengenai hal ini… bilang dong dari dulu…”, kata Susan masih bernada lembut.

Ida dengan cepat memegang tangan kanan Susan dan mencium dengan penuh hormat pada punggung tangan, sambil berkata pelan, “Maaf… bu, tolong ibu menjelaskannya pada Ida…”.

“Hi-hi-hi… gimana tercium tidak bau memekmu sendiri, kan itu tangan kanan ibu yang mengobel-ngobel memekmu tadi… saat mengintip, hi-hi-hi…”, tanya Susan sambil tertawa, segera merasakan punggung telapak kanannya dicium dengan penuh hormat oleh Ida.

“Aaah… ibu, gitu… sih…”, ujar singkat Ida yang bernada malu-malu.

“Baiklah… nanti ibu teruskan sampai tuntas… kalau kamu masih penasaran… biar nanti puas deh… seperti Marcy… ”, lanjut Susan sambil tersenyum simpul. “Begini… sayang, dengan waktu 6 bulan telah berlalu dan tercatat dalam agenda-mu itu, ibu pikir itu sudah cukup menentukan panjang hari atau siklus-bulananmu…

apakah dengan jarak yang 28 hari, 29 hari atau 30 hari yang stabil. Hitung hari dari tanda M-mu yang pertama dengan M-mu yang kedua yang tertera dalam agenda-mu itu lalu catat pada selembar kertas. Lakukan hal yang sama… M2 ke M3 lalu… catat pada kertas tadi, terus sampai M5 ke M6 dan… jangan lupa dicatat.

Lalu perhatikan hasil catatanmu itu, angka mana yang lebih dominan… 28 hari, 29 hari, 30 hari atau mungkin saja 31 hari walau ini jarang terjadi… Jadi sekarang kamu sudah tahu siklus-bulananmu yang stabil, misalkan saja… 28 hari… ini misal lho… Kamu bisa tahu kapan tepatnya hari M yang akan datang…

hitung dan tandai pada kalender, karena itulah sistim untuk mengetahui hari ‘subur’ atau tidak ini dalam KB disebut juga dengan istilah ‘sistim-kalender’… sampai disini dulu ya… apa kamu mengerti tidak? Atau mungkin kamu ada pertanyaan”, kata Susan menjelaskan panjang lebar… seperti seorang penyuluh KB saja layaknya.

“Jadi kapan dong hari ‘subur’ dan… hari ‘tidak subur’-nya… bu?”, tanya Ida mulai tertarik dan ingin tahu.

“Bagus…! Memang ini yang ibu tunggu… keluar dari mulutmu… sayang, ternyata kamu diam-diam… cerdas juga ya… ”, timpal Susan dengan gembira, tidak percuma dia menjelaskan semuanya… hampir berbusa mulutnya. “Begini… sayang, dari tanda pada kalender hari M yang di-prediksi akan datang itu…

kurangi dan tambahkan dengan 5. Contoh… ingat ini cuma contoh… misalkan kamu akan mendapatkan haid-mu seminggu kemudian yaitu pada tanggal 15 mendatang… kurangi dengan 5, didapat tanggal 10 kemudian ditambah dengan 5, didapat tanggal 20, jadi hari ‘tidak subur’-mu pada hari mendatang dimulai dari tanggal 10 sampai tanggal 20”.

“Jadi apa gunanya untuk Ida sekarang… kan Ida belum menikah…?”, tanya Ida lagi.

“Waaah… payah deh… anak ibu satu ini… cuma menang di umur doang… kegunaannya sistim-kalender ini lebih dirasakan manfaatnya justru sebelum kamu menikah… neng geulis! Itulah yang ibu katakan tadi… sebagai benteng dirimu dalam menghadapi situasi dan kondisi yang mungkin saja kamu hadapi nanti.

“Aaah… ibu, mana Ida berani melakukannya…”, kata Ida malu-malu tidak yakin dengan perkataannya sendiri.

“Eeeh… jangan berdusta pada ibu, kan ibu tahu kalau… kamu agak naksir sama Rodri… aaayo… jangan membantah…! Ibu anggap itu wajar dan normal saja, cinta-nyemot (monyet)-mu yang pertama ini lebih didorong oleh gejolak hormon seksual ketimbang oleh hal-hal yang lebih serius… pengen kan…? Nanti ibu ikut membantu deh untuk mewujudkannya hi-hi-hi…

daripada kamu sange terus… nanti malah kuliahmu jadi berantakan… karena kamu tidak konsen belajar, karena… sange terus… tanpa ada tempat penyalurannya hi-hi-hi… aaayo… akui saja, bagi ibu, itu tidak jadi masalah dan ibu tidak bakalan marah kok… kalau kamu berdua… menginginkannya hi-hi-hi…

“Tau… deh bu, bagaimana nanti saja deh…”, jawab Ida malu karena ketahuan rahasianya yang dipendam selama ini.

“OK… ibu setuju, kita lihat momen yang tepat saja nanti… tergantung oleh situasi dan kondisi… bila memungkinkan… setuju kan…? ”, kata Susan meyakinkan hati Ida. “Sekarang… kita teruskan apa yang tadi tertunda, ayo… sekarang buka pakaianmu semuanya… anggap saja ini hukuman yang harus kamu lakukan, karena…

Tercengang kagum Ida melihat tubuh ‘ibu-asuh’-nya yang indah mempesona… sampai-sampai mulutnya ternganga tanpa disadarinya.

“Hei… halo sayang…! Sudah tahu kalah mencopot pakaianmu, eeeh… malah mangap lagi mulutnya… nanti kemasukan nyamuk jantan lho… baru tahu rasa hi-hi-hi…”, Susan berguyon meledek Ida yang belum tuntas memreteli pakaianya sendiri. “Apa perlu ibu ikut membantu…? Kayak anak kecil aja…”.

“Ti-ti-daaak usah… bu…”, kata Ida buru-buru melepas semua pakaiannya sambil menekan rasa malunya.

Begitu CD yang merupakan pakaian terakhir dilepas dari tubuh muda Ida yang mulus lewat tungkai kakinya yang seksi, segera saja Susan menarik keatas tubuh Ida untuk tegak kembali… yang tadi membungkuk melepas CD-nya sendiri.

Dengan melakukan ‘shock therapy’ untuk mengikis habis sisa-sisa penolakan dan perlawanan dalam hati Ida yang masih bimbang dan ragu, Susan langsung saja melancarkan ‘serangan’ seksual yang ampuh dengan melakukan French kiss yang menyebabkan Ida menjadi kaget dan gelagapan mendapatkan ‘serangan nikmat’ ini jadinya.

Susan memandang wajah ayu Ida yang pasrah, sambil melingkari tangan kanannya pada pundak mungil Ida, Susan berbisik pelan dekat telinga kiri Ida, “Ayo… sayang naik keatas tempat tidur… berbaring terlentang ditengah-tengah…”.

Dengan patuh Ida melakukan apa yang dikatakan Susan, merebahkan tubuhya… berbaring terlentang. Susan segera menyusul dan duduk diantara kedua kaki seksi Ida yang sebelumnya telah direnggang dulu oleh Susan.

“Aaaduh… Ida mau diapain nih… bu…?”, kata Ida yang kekhawatiran mulai muncul kembali.

“Tenang saja… sayang, pokoknya percaya saja deh sama ibu… kan mau melanjutkan yang tertunda tadi… dijamin nikmat deh… kalau tidak percaya… nanti kamu boleh minta lagi dan… lagi, hi-hi-hi…”, kata Susan tertawa geli… meyakinkan ‘client’-nya itu.

“Hi-hi-hi… ibu bisa saja…”, Ida jadi ikut-ikutan tertawa.

Susan memandang sekilas memek Ida yang masih rapat dan ditumbuhi bulu-bulu pubis yang tidak terlalu. Segera mendekatkan mulut seksinya pada bibir memek Ida, dengan bantuan jari-jari lentiknya yang trampil menyibakkan bibir memek itu sehingga terlihat jelas tonjolan daging kecil yang dituju, dekat bagian bagian atas memek Ida yang masih rapat itu.

Tanpa permisi lagi dengan ujung lidahnya yang dilancipkan segera diusap-usap pada clitoris Ida yang mulai membesar sedikit karena birahi Ida sudah meninggi oleh kelihaian Susan yang pintar melakukan ‘olah kenyut’ pada memek Ida yang belum punya pengalaman. “Aaah… geli tapi kok enak ya bu… ,” desah kegelian tapi penuh kenikmatan baru dirasa Ida untuk pertama kalinya ini.

“Haaa-haaatsi…! Haaatsi…! Haaatsi…!”

“Hi-hi-hi… bau ya bu… padahal Ida sudah mandi lho… bu”, kata Ida tertawa geli mendengarkan Susan bangkis-bangkis.

“Aduh… deh nih jembut menggelitik lubang hidung ibu…! Nanti setelah ini dicukur ya sayang… biar lebih bersih seperti punya ibu… nanti ibu bantu deh dengan alat cukur spesial untuk memek… punya ibu… tidak sakit kok… mudah dan cepat… bersih lagi… tidak lebih 5 menit… ”, setelah berbicara, Susan konsen lagi pada clitoris Ida yang super sensitif.

“Aaah… bu, Ida nggak tahan nih… jadi pengen pipis nih… ”, Ida mulai mendesah lirih merasa nikmat. “Uuudah… bu, entar kena pipisnya Ida nih…! Oooh… bu-bu-bu… awas mau keluar nih pipisnya… beneran… bu…!” (seeertz… ) (seeertz… ) (seeertz… ) menyemprot dengan kencang cairan nikmat dari dalam memek Ida sembari dia merasakan terpaan nikmat dari orgasme sesungguh yang baru pertama kali dialaminya…

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan