2 November 2020
Penulis — Neena
Ketika aku keluar dari kamar mandi, ternyata Donna sudah menungguku di luar.
Ketika berpapasan denganku, Donna berkata, “Senang aku punya saudara kembar tampan gini, “diasusul dengan kecupannya di pipiku.
“Aku juga senang punya saudara kembar cantik gini,” sahutku sambil balas mengecup pipinya juga.
Kemudian Donna masuk ke dalam kamar mandi, sementara aku balik ke kamar Bunda.
Ketika aku sedang berdandan, terdengar suara Bunda di ambang pintu, “Mau nonton bioskop sama Donna?”
“Iya,” sahutku, “Bunda mau ikut?”
“Nggak ah. Bunda sih cukup dengan nonton tivi aja hiburannya.”
“Ohya Bun… bagaimana kalau rumah ini direnovasi?”
“Kamu mau nyediain biayanya?”
“Iya. Soal biayanya biar aku sendiri yang menanggungnya.”
“Kalau ada duitnya sih mendingan beli tanah kosong di sebelah itu. Kebetulan pemiliknya meninggal, lalu mau dijual murah oleh anaknya.”
“Memang sih mendingan bangun rumah baru. Di sini harga tanah murah Bun?”
“Ya nggak semahal di pusat kota lah. Di sini kan sudah dekat ke batas kota.”
“Bunda sudah tau harga dan luas tanah di sebelah itu?”
“Lumayan luas. Limaribu meter. Setengah hektar lah. Soal harganya besok bunda mau tanyain ke orangnya.”
“Iya,” sahutku singkat, karena mendengar langkah Donna mendekati pintu kamar Bunda ini.
“Donny… udah siap?” tanya Donna di ambang pintu.
“Udah,” sahutku, lalu menghampiri Bunda, “Aku mau pergi dulu Bun,” kataku yang lalu mencium tangan Bunda disusul dengan cipika - cipiki dengan beliau. Seperti yang biasa kulakukan kepada Mama almarhumah di Bangkok dahulu.
“Pulangnya beliin oleh - oleh ya,” kata Bunda di ambang pintu depan.
“Mau dibeliin apa?” tanya Donna.
“Apa aja. Pizza boleh, martabak manis juga boleh,” sahut Bunda.
Lalu aku dan Donna melangkah ke pinggir jalan. Kebetulan ada taksi mau lewat, dicegat oleh Donna. Kami pun masuk ke dalam taksi itu. Duduk berdampingan di seat belakang.
Donna menyebut tujuan kami kepada sopir taksi. Maka taksi itu pun mulai meluncur di kegelapan malam.
“Bagaimana perasaanmu setelah berjumpa dengan Bunda dan aku?” tanya Donna sambil menyandarkan kepalanya di bahuku dan memegang tangan kiriku yang tersimpan di atas lutut.
“Aku masih canggung, karena tidak menyangka kalau ibu kandungku itu Bunda. Tadinya kukira diriku ini anak tunggal Bapak dan Ibu Margono di Bangkok,” sahutku.
“Aku juga kaget, karena baru tau tadi, bahwa aku punya saudara kembar, cowok pula.”
“Iya Donna. Semoga kita bisa rukun sampai tua ya.”
“Iya. Umurku dan umurmu berarti sama - sama duapuluh tahun ya?”
“Iya… hehehee… namanya juga anak kembar, pasti dilahirkan di hari, tanggal, bulan dan tahun yang sama.”
“Terus… kamu sudah bisa adaptasi dengan suasana baru ini? Bahwa Bunda itu ibu kandungmu dan aku ini saudara kembarmu?”
“Masih agak sulit adaptasinya. Waktu cium pipi Mama tadi aja terasa rikuh. Seolah - olah bukan mencium pipi ibu kandungku sendiri.”
Donna menanggapi dengan bisikan, “Sama aku juga… waktu cium pipi kamu di depan pintu kamar mandi, rasanya seperti nyium pipi pacar… hihihi…”
“Ogitu ya?”
“Kamu pernah dengar cerita tentang anak kembar yang berbeda jenis kelaminnya, lalu dipisahkan waktu kecil dan dijodohkan setelah mereka dewasa?”
“Ohya?”
“Iya. Pokoknya tradisi itu pernah ada di salah satu daerah di negara kita. Mereka menganggap kalau anak kembar itu berbeda jenis kelaminnya, berarti jodoh mereka sudah dibawa dari perut ibunya. Karena itu pada waktu masih kecil mereka dipisahkan, setelah dewasa dinikahkan.”
“Oh, begitu ya? Aku malah baru dengar kalau di negara kita pernah ada tradisi seperti itu.”
Tiba - tiba Donna membisiki telingaku, “Kalau kita dijodohkan, kamu mau?”
Aku menatap wajah saudara kembarku di keremangan malam. Tapi sebelum sempat kujawab, taksi sudah berhenti di parkiran sebuah mall yang ada gedung bioskopnya.
Aku yang baru menginjak kota ini masih kebingungan. Karena itu kuberikan uang secukupnya kepada Donna untuk membeli tiket bioskop.
Tak lama kemudian, Donna kembali lagi dengan wajah masam. “Kehabisan tiket. Cuma bisa yang midnight. Gak apa - apa?”
“Berarti masih lama dong menunggunya.”
“Sekarang baru jam delapan. Berarti tiga jam setengah lagi baru bisa nonton,” sahut Donna.
“Ya udah, beli aja tiketnya. Sambil menunggu, kita kan bisa ngobrol di café atau resto.”
Donna kembali lagi ke loket penjualan tiket. Beberapa saat kemudian dia sudah menghampiriku lagi.
“Dapet?”
“Dapet tapi maksa dulu. Karena seharusnya untuk yang midnight dijual sejam sebelum film diputar.”
Lalu kami menuju sebuah resto di dalam kompleks mall itu, yang kata Donna enak - enak masakannya.
Di dalam resto itu kami memilih bagian sudut yang terlihat sepi, agar bisa ngobrol leluasa. Walau pun begitu, kami bicara perlahan - lahan, agar tidak terdengar oleh orang lain.
Aku dan Donna duduk berdampingan. Donna duduk di samping kiriku, sehingga ia bisa memegang tangan kiriku sambil berkata perlahan, “Tadi pertanyaan di dalam mobil belum kamu jawab.”
“Pertanyaan tentang apa?” tanyaku pura - pura lupa. Padahal aku sedang memikirkan jawabannya.
“Kalau kita dijodohkan, kamu mau?”
“Kenapa tidak? Kamu cantik dan seksi, Donna.”
Donna menghela nafas. Lalu membisiki telingaku, “Sayangnya aku tidak perawan lagi Donny.”
“Baguslah. Jadi kita bisa ML tanpa harus memikirkan perkawinan aneh itu.”
“Gila… !” Donna menepuk punggung tangan kiriku.
“Soalnya kalau ketahuan oleh penghulu bahwa kita ini saudara kembar, belum tentu penghulu mau menikahkan kita.”
Tiba - tiba Donna mengalihkan topik pembicaraan, “Tadi kamu memilih untuk tidur bersama Bunda. Kenapa gak milih tidur sama aku saudara kembarmu ini?”
“Soalnya sejak kecil sampai dewasa, aku selalu tidur bersama ibu angkatku di Bangkok. Makanya aku ingin merasakan tidur dalam pelukan ibu kandungku sekarang.”
“Tapi Bunda itu peminum lho.”
“Haaa? Maksudmu minum minuman beralkohol?”
“Iya, “Donna mengangguk, “Sejak Ayah meninggal, Bunda jadi peminum alkohol. Duit dari Kak Siska dan Kak Nenden habis dibelikan minuman mulu.”
“Pantesan tadi di dalam kamarnya banyak botol minuman. Kenapa kamu gak berusaha nyadarkan Bunda?“
“Wah, udah sering nyadarin Bunda. Tapi kata - kataku gak pernah digubris. Barangkali nanti kamu bisa ngasih saran sedikit - sedikit setelah dekat dengan Bunda. Soalnya alkohol itu kan berbahaya bagi Bunda sendiri.”
“Iya… nanti aku akan berusaha menyadarkannya. Tapi biasanya seorang alcoholic itu sulit disadarkan. Mungkin harus sering dibawa ke tempat yang tidak ada penjual minuman keras…”
Makanan yang kami pesan sudah dihidangkan. Lalu kami makan bersama.
“Kamu kok bisa kehilangan virginitasmu, sama siapa?” tanyaku perlahan.
“Sama pacar brengsek. Setelah mendapatkan semuanya, dia menghilang entah ke mana. Kamu sendiri di Bangkok gimana? Punya pacar?”
“Males nyari cewek di Bangkok. Hampir separohnya cewek di sana hasil transgender. Jadi kalau kurang cermat malah bisa dapetin cowok yang sudah ganti kelamin. Hihihihi…”
“Tapi kamu tentu udah punya pengalaman sama cewek kan?”
“Pengalaman apa?”
Donna menjawabnya dengan bisikan di telingaku, “Pengalaman bersetubuh dengan perempuan.”
“Pernah, tapi belum sering.”
“Sama orang sana?”
“Bukan, “aku menggeleng, “sama turis dari Indonesia.”
“Cantik?”
“Mmm… cantikan kamu. Mudaan kamu juga.”
“Ohya?!”
“Punya suami. Tapi waktu tour ke sana gak sama lakinya.”
“Owh… ceritanya main sama binor.”
“Apa itu binor?”
“Bini orang.”
“Hihihiiii… iya… “aku hampir tersedak, karena ketawa waktu makan.
Namun diam - diam aku teringat kembali segala yang pernah terjadi di Bangkok. Sesuatu yang takkan pernah kulupakan di seumur hidupku. Cerita tentang turis barusan sebenarnya cuma bullshit. Sebenarnya pengalamanku dengan perempuan bukan dengan turis.
Ya… aku masih ingat semuanya itu. Bahwa aku sejak kecil sampai besar aku sangat dimanjakan oleh Pak Margono dan istrinya, yang saat itu kusangka orang tua kandungku. Dan sejak ingat aku memanggil mereka Papa dan Mama. Sejak ingat pula aku selalu tidur bersama mereka. Terutama dengan Mama, karena Papa sering berada di Singapore, untuk mengurus perusahaannya yang ada di sana.
Mama bahkan selalu memandikanku sejak aku mulai ingat semuanya sampai sekarang. Setelah aku berusia 15 tahun, barulah aku mandi sendiri, tidak dimandikan oleh Mama lagi. Tapi kalau tidur selalu dengan Mama. Kalau Papa sedang berada di Bangkok, barulah aku tidur di kamarku sendiri.
Aku sangat dimanjakan oleh Papa dan Mama. Apa pun permintaanku pasti dikabulkan. Mungkin itulah yang menyebabkanku lambat dewasa.
Buktinya, pada saat usiaku sudah 18 tahun, ketika kampusku sedang liburan dan ketika Papa sedang berada di Singapore, aku masih minta dimandikan oleh Mama.
“Mama… pengen dimandiin sama Mama,” ucapku dengan nada manja.
“Kok tumben, udah tiga tahun bisa mandi sendiri, sekarang kok tiba - tiba mau dimandiin sama mama?” tanya Mama sambil tersenyum.
“Kangen aja sama kasih sayang Mama waktu ngemandiin aku. “ “Ya udah. Kebetulan mama juga belum mandi sore.”
Lalu aku dan Mama masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam bedroom Mama.
Sebenarnya kamar Papa dan kamar Mama itu terpisah. Karena kamar Papa ada ruang kerjanya, sementara kamar mama ada ruang rias dan lemari pakaian yang berderet di dinding. Kamar mandi Papa pun terpisah dengan kamar mandi Mama. Maklum kalau wanita suka berlama - lama di kamar mandi, jadi di kamar Papa pun disediakan kamar mandi sendiri.
Setelah berada di dalam kamar mandi Mama, aku langsung menelanjangi diriku sendiri. Sewmentara Mama pun melepaskan gaun rumah (housecoat), beha dan celana dalamnya. Ini adalah pertama kalinya Mama telanjang bulat pada waktu mau memandikanku. Mungkin karena beliau pun mau mandi juga.
Memang ada desir aneh di dada dan benakku melihat Mama dalam keadaan tewlanjang bulat begitu. Namun ternyata Mama pun tampak heran memandang ke arah penisku.
“Donny… dalam tiga tahun ini penismu jadi segede dan sepanjang ini?” ucap Mama sambil memegang penisku.
“Kan sekarang aku sudah gede Mam.”
“Sudah gede tapi masih mau disuapin dan dimandiin sama mama ya?”
“Kan aku ingin tau apakah Mama masih sayang sama aku nggak?”
Mama menciumi pipiku, lalu berkata, “Sampai kapan pun rasa sayang mama takkan pernah pudar, Sayang.”
Lalu Mama mengambil shower manual dan memancarkan air hangatnya ke tubuhku. Dan mulai menyabuniku dari kepala sampai ke kakiku. Tapi entah kenapa, ketika Mama menyabuni batang kemaluanku, begitu lama Mama menyabuninya. Sehingga diam - diam batang kemaluanku jadi ngaceng.
“Wow… dalam keadaan ngaceng gini penismu jadi lebih gede dan lebih panjang, Don,” kata Mama sambil mengocok penisku dibantu oleh air sabun.
“Iya Mam. Kata teman - teman, kalau penis sedang ngaceng gini lalu dimasukin ke dalam memek, rasanya enak sekali. Betul Mam?”
“Iya, betul. Memangnya kamu belum pernah menyetubuhi perempuan?”
“Belum, “aku menggeleng, “Kan kata Mama perempuan di Thailand ini hampir setengahnya berasal dari transgender. Lagian kata Mama juga di sini banyak sekali perempuan yang menderita HIV.”
“Iya. Apalagi di pantai Pattaya. Gudangnya HIV di Asia. Makanya harus hati - hati, jangan sembarangan main perempuan di sini.”
“Iya Mam. Main perempuan sih nanti aja kalau kebetulan kita pulang ke Indonesia.”
“Di mana pun kamu berada, jangan pernah menyentuh pelacur ya. Kalau pacaran dengan cewek baik - baik sih nggak apa - apa.”
“Iya Mama. Aku takkan sembarangan bergaul di Thailand ini. Tapi nanti Mama ajarin bagaimana cara untuk menyetubuhi perempuan ya Mam.”
“Haaa?! Mmm… ya udah, sekarang selesaikan dulu mandinya. Setelah mandi, kita malam ya Sayang.”
Setelah mandi, Mama menemaniku makan malam di ruang makan. Dua orang pembantu menghidangkan makanan di meja makan dan menunggu kami makan untuk menyediakan yang kurang.
Semua wanita yang bekerja di rumah ini berasal dari Indonesia. Karena hanya orang Indonesia yang paling mengerti apa yang diinginkan oleh aku dan kedua orang tuaku.
Pekerjaan mereka dibagi - bagi sesuai dengan bakat mereka sendiri. Ada tukang masak, tukang bersih - bersih rumah, tukang cuci pakaian, tukang merapikan taman kecil di pekarangan rumah dan sebagainya. Semuanya berasal dari tanah air kami.
Papa, Mama dan aku masih berkewarganegaraan Indonesia. Tapi kami punya izin stay permanent di Thailand dan di Singapore. Mungkin izin itu diberikan karena Papa tergolong pengusaha besar.