2 November 2020
Penulis —  Kusumawardhani

Bunda dan Wanita-Wanitaku- true story

Akhirnya Bunda setuju untuk dijadikan modelku. Tadinya Bunda minta agar pekerjaanku dilaksanakan di dalam kamar saja, supaya Bunda tidak merasa rikuh untuk bertelanjang bulat di sana. Tapi tentu saja aku tolak, “Nanti kamarnya kotor dan bau cat Bun,” kataku.

Maka akhirnya Bunda setuju juga untuk dijadikan model lukisanku di ruangan yang biasa kujadikan studioku.

Keesokan harinya aku pun mulai membuat beberapa sketsa di atas kanvas-kanvasku, dengan Bunda sebagtai modelnya. Tentu saja aku sudah mengunci pintu depan dan samping, agar jangan sampai ada orang nyelonong masuk dan mengganggu konsentrasiku.

Kemudian kulanjutkan dengan mengerjakan lukisan pertama. Bunda merebahkan diri di atas sofa, dengan kaki kanan ditekuk dan dirapatkan ke sandaran sofa, sementara kaki kirinya terjuntai ke lantai.

Pose ini memang membutuhkan pengarahan. Aku pun tiada ragu memegang buah dada Bunda, karena aku ingin agar kedua puting payudaranya terlihat di mataku nanti.

Yang mendebarkan adalah ketika menyentuh kemaluannya yang sudah dicukur plontos itu. Baru sekali inilah aku memperhatikan kemaluan Bunda secara serius, dalam keadaan jelas pula karena sudah tidak berjembut lagi.

Namun aku berusaha untuk bersikap sebagai pelukis profesional. Tak mau diganggu oleh perasaanku yang sering ser-seran ketika melihat kemaluan ibuku itu.

Bahkan kuanggap pikiran yang bukan-bukan ini hanya godaan untuk menggagalkan lukisan-lukisan yang tengah kukerjakan.

Pada waktu melukis Bunda telanjang itu, aku selalu mengenakan kain sarung. Bertelanjang dada pula, seperti seniman-seniman Bali pada waktu melukis di studio mereka.

Karena itu Bunda tidak tahu, bahwa setiap kali aku sedang memperhatikan memeknya, diam-diam ada yang berdiri di balik sarungku…!

Tapi aku terus-terusan berusaha untuk menindas pikiranku sendiri. Karena aku ingin benar-benar berhasil melukis wanita telanjang dalam beberapa pose ini, tanpa diganggu oleh pikiran kotor ini.

Namun hanya seminggu aku bisa menahan perasaan yang bukan-bukan ini.

Diam-diam aku berpikir, bahwa mungkin konsentrasiku akan bisa lebih terpusat jika pikiran yang menggoda ini diredakan. Tapi dengan cara apa meredakannya?

Maka ketika aku dan Bunda baru selesai makan siang, aku pun mulai membahasnya. “Terus terang… kali ini ada yang mengganjal di hatiku Bun. Ganjalan ini membuatku jadi kurang bagus melukisnya,” kataku.

“Ganjalan apa?” tanya Bunda.

“Aku kan sudah dewasa Bun. Jadi… tiap kali memandang kemaluan Bunda… aku jadi… jadi gimana gitu ya… mmm… Bunda jangan marah ya… aku mau berterus terang…”

“Iya, terus teranglah. Kalau bisa bunda bantu, pasti dibantu.”

“Mmm… terus terang aja Bun… kontolku ngaceng terus… jadi konsentrasiku pecah.”

“Masa sih?”

“Betul Bun. Nih lihat… sekarang juga langsung ngaceng gini… apalagi kalau Bunda udah telanjang nanti,” kataku sambil berdiri dan menyingkapkan sarungku. Sehingga Bunda bisa melihat kontolku yang sedang ngaceng ini, karena aku jarang mengenakan celana dalam kalau sedang bersarung.

“Haaa?! “Bunda terbelalak. Tangannya pun bergerak untuk memegang kontolku yang sedang ngaceng ini. “Kontolmu kok panjang gede gini Od? Kontol ayahmu saja nggak sepanjang dan segede gini…”

“Iya, terus kalau sudah ngaceng gini harus diapain Bun?”

“Mmm… kalau mau tenang sih harus dibikin ngecrot. Ya udah… di kamar aja ngurusnya,” kata Bunda sambil menuntunku ke dalam kamar.

Di kamar Bunda menyuruhku celentang di atas tempat tidur. Lalu dikeluarkannya lotion dari dalam tasnya. Kemudian sarungku disingkapkan dan dituangkannya lotion itu ke kontolku yang masih ngaceng ini. “Mau diapain kontolku? Hihihiiii… Bunda ada-ada aja… !”

“Kan biar ngecrot. Lalu kamu bisa bekerja dengan tenang dan konsentrasimu nggak pecah lagi,” kata Bunda sambil mengocok-ngocok kontolku.

“Enak?” tanyanya sambil mngelus-elus puncak kontolku yang sudah berlumuran lotion.

“Nggak enak Bun. Coba Bundanya telanjang dulu… biar kubayangkan kontolku sedang dientotin di dalam memek Bunda.”

“Amit-amiiit! Kamu kok bisa punya pikiran gitu sih sama bunda? Kan bunda ini yang mengandung dan melahirkan kamu Odi.”

“Aku juga gak ngerti kenapa aku punya pikiran yang beda dengan waktu masih kecil. Padahal waktu masih kecil, kita kan sering mandi bareng. Tapi saat itu aku nggak pernah mikir yang bukan-bukan pada memek Bunda. Tapi sekarang… ah gak taulah… !”

Akhirnya Bunda mengikuti permintaanku. Dilepaskannya daster, beha dan celana dalamnya. Setelah telanjang, dia mengusap-usapkan lotion ke memeknya yang sudah bersih dari jembut itu.

“Tuh… Bunda… setelah melihat memek Bunda, kontolku makin keras nih…” kataku sambil memegang kontolku yang sudah mengacung ke langit-langit kamarku.

“Diamlah…” kata Bunda sambil mendorong dadaku agar celentang lagi. Kemudian Bunda berlutut dengan kedua lutut berada di kanan kiri pinggulku. Lalu memeknya diturunkan, menindih kontolku.

Batang kontolku jadi “celentang”, puncaknya berada di bawah pusar perutku. Kemudian Bunda menggeser-geserkan memeknya… maju mundur perlahan… sehingga batang kontolku bergesekan dengan permukaan memek Bunda… memang terasa enak…

“Sekarang enak gak?” tanya Bunda sambil menatapku dengan senyum.

“Enakan… tapi malah membuat semakin penasaran…” sahutku.

“Penasaran gimana?”

“Kayaknya sih mendingan dimasukin aja ke lubang memeknya Bun…”

“Aaah… Odi… Odi… “keluh Bunda, “kamu kok bikin bunda bingung gini sih?”

“Sebenarnya hitung-hitung membalas perbuatan Ayah, apa salahnya kalau Bunda… aaah… nggak tau Bun… aku juga jadi bingung kenapa aku bisa punya perasaan begini sama Bunda…”

“Iya sih… bunda sakit sekali kalau ingat kelakuan ayahmu itu…”

“Nah… siapa tau sakitnya hati Bunda bisa terobati kalau kita balas perbuatan Ayah dengan cara kita sendiri…”

Bunda tercenung. Seperti memikirkan kata-kataku.

Lalu Bunda merebahkan diri di sampingku. “Ya udah… masukin aja kontolmu…” ucapnya sambil mengusap-usap memeknya yang sudah berlumuran lotion.

Aku gembira sekali mendengar ucapan Bunda itu. Lalu kulepaskan sarung dan kaus oblongku. Dalam keadaan sama-sama telanjang, kudekatkan puncak kontolku ke memek Bunda…

Bunda pun memegangi kontolku. Mencolek-colekkan moncong kontolku ke memeknya sedemikian rupa sehingga terasa moncong kontolku sudah berada di ambang mulut memek Bunda.

“Ayo… doronglah…” kata Bunda sambil memandang ke arah langit-langit kamarku.

Aku pun mengikuti instruksi Bunda. Kudorong kontolku sehingga perlahan-lahan terasa membenam ke dalam liang kemaluan Bunda yang sudah terlicinkan oleh lotion itu.

Pada saat itulah Bunda merangkul leherku ke dalam pelukannya, sehingga pipiku bertempelan dengan pipinya. “Sudah masuk Od… entotlah…” bisik Bunda yang tidak bisa saling tatap denganku. Mungkin sengaja Bunda merapatkan pipinya dengan pipiku, agar mata kami tidak saling lihat.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan